Buni Yani
Peneliti
Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology Universitas
Leiden, Belanda, sekarang sedang penelitian mengenai budaya pop dan modernitas
Modernitas perlu
biaya, tak bisa gratis begitu saja. Ongkos paling kasat mata bisa berupa benda
material, namun bisa juga barang tak tampak mata yang lebih halus dan ideologis
sifatnya. Modernitas diperjuangkan, ia tak datang dengan sendirinya dan otomatis
melekat pada diri seseorang. Modernitas harus ditampakkan karena ia adalah
etalase di mana prestise bisa dipamerkan.
Orang-orang
berebut marwah modernitas karena prestisenya bisa punya dampak sosial dan
budaya yang penting. Modernitas dianggap membawa tuah yang bisa mengubah
persepsi khalayak akan postur seseorang dalam pergaulan sosial. Orang-orang
berlomba ingin disebut modern karena di dalamnya tersimpan janji yang agung dan
tinggi bahwa ia adalah segala hal yang bisa menjadi obat segala sesuatu yang
dikonotasikan terbelakang. Dalam dunia sosial, keterbelakangan adalah aib yang mesti
ditebus dan dibayar berapa pun harganya.
Secara umum,
konstruksi wacana demikian ini tak hanya berlaku pada kelas sosial tertentu,
seperti kalangan menengah dan atas, misalnya. Di kalangan masyarakat bawah pun
modernitas memiliki arti dan ciri sendiri yang berlaku, beredar dan diterima
sebagai kebenaran. Di kelas sosial mana pun, modernitas adalah aspirasi yang terus
diperjuangkan dan direbut karena ia adalah simbol kemajuan dan gerak ke depan.
Di kawasan perumahan mewah dan prestisius Menteng tahun 1960-an, mendengarkan
musik rock ’n roll dianggap sebagai simbol modernitas karena marwah Barat,
kebaruan, dan sisa-sisa prestise kolonialismenya. Di tempat lain Ibu Kota,
sebaliknya, irama gambus dianggap sebagai pencapaian modernitas yang tinggi.
Yang satu mengacu ke dunia Barat, yang lainnya ke dunia Arab-Islam. Dua-duanya
mendaku sebagai telah mengadopsi modernitas dengan cara masing-masing.
Aspirasi akan
modernitas kelihatannya sama tuanya dengan aspirasi akan intelektualitas karena
keduanya memiliki banyak titik singgung yang mempertemukan. Modernitas adalah
proyek yang tak pernah selesai, tulis Habermas. Tak pernah selesai karena
setiap zaman memiliki semangat dan ciri sendiri dalam melihat apa yang baru dan
maju dan apa yang dianggap mundur dan terbelakang. Ungkapan Habermas ini buat
sebagian orang bisa jadi kemubaziran yang tidak perlu karena modernitas memang
sebuah gerak maju ke depan yang memperbaharui diri sendiri terus-menerus yang
tentu tak akan selesai sampai berakhirnya dunia. Namun Habermas menjadi relevan
manakala modernitas dikaitkan dengan semangat zaman atau zeitgeist.
Justru karena setiap zaman memiliki semangat, aspirasi budaya dan intelektual
sendiri, maka proyek tentang kebaruan dan kemajuan itu tak akan pernah selesai.
Modernitas per se tak pernah salah dalam dirinya
karena ia adalah gagasan tentang kemajuan dan kebaruan yang inheren melekat
dalam diri manusia yang dinamis. Bukan modernitasnya yang salah dan merusak,
tetapi arah perlintasan atau trajektori sosial serta konsekuensinya. Implikasi
sosial modernitas bisa sangat merusak bila segala ongkos yang harus dibayarkan
untuk mencapainya mesti menggunakan sumber-sumber milik publik. Karena yang
porak-poranda bukan cuma materi, namun juga nilai-nilai sosial-budaya sebagai
penyangga sebuah budaya dan peradaban. Dalam banyak kasus di Indonesia,
modernitas telah memangsa banyak korban. Modernitas telah menjadi gagasan dan
praktik yang ganas, yang haluannya telah diputar-balikkan menjadi kiamat kecil
ruang publik. Pejabat, politisi, dan pemangku kepentingan publik dalam mengejar
ambisi dan prestise sosial mereka telah mencuri kekayaan yang mestinya menjadi
sumber kemaslahatan publik. Bagi mereka, membebankan ongkos modernitas untuk
prestise pribadi dan kelompok dari kekayaan publik bukanlah dosa karena itu
bagian dari kecerdasan berakrobat politik.
Dalam perlintasan
demikian, modernitas yang berkawin-mawin dengan politisi narsis yang tak
henti-hentinya memuja dirinya di hadapan publik tidak cuma mengerikan namun
juga telah menjelma jadi sumber dari segala bencana sosial. Dengan penghasilan
yang tidak mencukupi untuk membayar ongkos modernitas yang tinggi, mau tak mau
mereka putar otak untuk menemukan sumber dana yang bisa dimainkan. Lalu mereka
menemukan kekayaan publik sebagai sumber yang bisa dijarah. Dengan kepintaran
memainkan pasal demi pasal undang-undang, lobi, kongkalikong dan perbuatan
tidak senonoh lainnya, maka target penjarahan kekayaan publik menjadi legal.
Mereka merasa bukan melakukan korupsi karena seringkali di atas kertas memang
sah dan memiliki justifikasi hukum yang tak terbantahkan.
Ongkos modernitas
mahal dan tak pernah gratis. Dalam dunia yang telah dibentuk oleh kapitalisme
dan konsumerisme yang ganas dan masif, maka gaya hidup modern itu adalah mobil
mewah, rumah besar, baju bermerek, parfum wangi, dasi yang indah berselera, dan
jabatan publik yang tinggi dan berpengaruh. Khusus untuk yang terakhir ini,
dari tahun ke tahun ongkosnya terus naik berlipat-lipat. Agar mendapatkan promosi
dari partai politik untuk memegang jabatan tertentu, si calon harus membayarkan
biaya yang sangat besar yang lagi-lagi sumbernya diambil dari sumber kekayaan
publik yang dilakukan dengan cara korupsi. Lingkaran setan ini tak akan
berhenti sampai akhirnya menjadi megaskandal dan pelakunya ditangkap KPK.
Kondisi
modernitas dengan trajektori korupsi ini mengingatkan saya akan tesis Zygmunt
Bauman tentang apa yang ia maksud dengan “modernitas yang cair” (liquid
modernity). Bauman menemukan tiga konsekuensi modernitas yang mesti
ditanggung oleh masyarakat modern. Pertama, munculnya ketidakpastian di
mana-mana; kedua, masyarakat modern hidup dalam risiko yang berkelanjutan; dan
ketiga, masyarakat modern harus bertindak dalam kondisi keyakinan yang
terus-menerus berubah. Kondisi kepegawaian mungkin bisa merangkum ketiga konsekuensi
yang disebut Bauman ini: karena modernitas membawa gagasan efisiensi yang
membuat perusahaan tidak mau mempekerjakan karyawan sebagai pegawai tetap, maka
praktik outsourcing terjadi di mana-mana. Ini membuat hidup para pekerja
tidak menentu, penuh risiko, dan untuk mengatasi persoalan yang terus-menerus
berubah, maka mereka dituntut memutuskan dengan keyakinan yang terus-menerus
berubah pula. Bagi Bauman, alih-alih padat dan statis, modernitas itu cair
karena berubah dengan cepat dan perubahannya terus-menerus terjadi.