Pengacara Jokowi yang mendatangi kediamannya di Solo mengancam publik—publik anonim yang luas yang sedang menguji kesahihan klaim Jokowi secara sepihak tanpa menunjukkan ijazah asli yang dia punya. Publik menertawakan ancaman ini karena dianggap konyol dan tidak masuk akal. Karena bukankah masalah ini sangat sederhana dan tidak perlu harus menyewa pengacara segala. Jokowi cukup menunjukkan ijazahnya di hadapan wartawan dan para penuduh maka kasus ini langsung selesai.
Dua orang telah menjadi korban keengganan Jokowi menunjukkan ijazahnya. Korban pertama adalah Bambang Tri yang sangat yakin Jokowi tidak punya ijazah SMA. Korban kedua adalah Gus Nur dengan kasus yang kurang lebih sama dengan Bambang Tri. Para pengacara yang membela Bambang Tri dan Gus Nur mengatakan selama persidangan kedua terdakwa tersebut Jokowi sama sekali gagal menunjukkan ijazahnya.
Logisnya memang karena Bambang Tri menuduh Jokowi tidak punya ijazah SMA yang asli, maka Jokowi seharusnya menunjukkan ijazahnya. Namun ini tidak pernah terjadi di pengadilan. Bambang Tri malah dituntut dengan perkara lain yang tidak ada kaitannya dengan ijazah palsu yang dia tuduhkan ke Jokowi. Inilah yang membuat perkara ini menjadi aneh dan mengundang kecurigaan bahwa Jokowi memang tidak punya ijazah SMA.
Gugatan sejumlah aktivis di pengadilan Jakarta juga menemui jalan buntu. Para penggugat dan pengacara penggugat sangat kecewa karena hakim yang menyidangkan perkara kelihatan tidak netral dan melindungi Jokowi agar lolos dari jerat hukum. Jokowi yang menjadi obyek gugatan tidak pernah hadir dalam persidangan. Jokowi mengutus seseorang untuk mewakilinya namun sama sekali tidak membawa surat kuasa. Jokowi tidak hadir, dan ijazah yang menjadi obyek perkara tidak pernah ditunjukkan.
Para aktivis yang melakukan gugatan memang sadar bahwa usaha mereka akan sangat susah waktu itu karena Jokowi masih sangat kuat. Jokowi masih menjadi presiden. Sudah menjadi pengetahuan umum selama 10 tahun berkuasa secara zalim, Jokowi menekuk hukum sedemikian rupa untuk kepentingan politik sempitnya.
Semua perangkat dan institusi hukum dia kuasai. Kelompok yang mendukungnya—seperti para begundal dan buzzer—kebal hukum meskipun nyata-nyata melanggar hukum. Sementara kelompok yang dianggap lawan politik, tidak punya salah pun dicari-cari salahnya—dan harus salah—meskipun sesungguhnya sama sekali tidak bersalah. UU ITE dijadikan senjata oleh Jokowi untuk menggasak para aktivis dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.
Keculasan Jokowi dalam bidang hukum ini sudah menjadi pengetahuan umum. Jokowi sama sekali tidak mempunyai niat—apa lagi visi besar—untuk menjadikan hukum sebagai alat penegakan hukum dan keadilan. Sebaliknya, Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen politik untuk agenda sempit dia yang penuh kezaliman.
Karena kuatnya Jokowi inilah maka perlawanan para aktivis hampir tak punya efek. Jokowi terus melaju dengan kezalimannya mengangkangi hukum. Jangankan kasus ijazah palsu yang langsung menyasar dirinya, kasus-kasus umum lainnya bila menyangkut kepentingan gerombolannya akan langsung dibuat kandas dengan segala rekayasa. Kondisi ini berlangsung sampai dia turun jabatan.
Namun sekian minggu terakhir ini dunia media sosial kembali digemparkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang forensik digital. Dia mampu menelusuri file video dan gambar dan bisa menentukan apakah sebuah video atau gambar sudah diubah atau masih asli. Dia mampu menemukan bahwa ijazah Jokowi 100 persen palsu.
Dia mendapatkan akses ke skripsi S1 Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Dia menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi aneh. Halaman ini dicetak menggunakan font Times New Roman. Skripsi Jokowi selesai dibuat tahun 1985, padahal font Times New Roman baru masuk Microsoft Word pada tahun 1992. Ini tentu aneh dan janggal—yang menghasilkan kesimpulan pasti skripsi Jokowi dibuat pada tahun 1992 atau setelahnya.
Tidak cuma itu, pada lembar pengesahan ini dosen pembimbing dan penguji tidak membubuhkan tanda tangan—hal yang tidak mungkin terjadi di UGM. Foto Jokowi di ijazah mengenakan kacamata, padahal UGM mempunyai peraturan melarang calon wisudawan mengenakan kacamata. Alhasil kejanggalan-kejanggalan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ijazah S1 Jokowi memang palsu.
Hal-hal aneh dan janggal ini membuat banyak orang mengaitkannya dengan usaha Jokowi membuat Omnibus Law—salah satu produk UU paling zalim yang dibuatnya—yang berusaha menghapuskan pidana terhadap pemalsu ijazah. Jadi, kata banyak orang dengan penuh curiga, usaha Jokowi untuk melindungi dirinya dari jerat pidana ijazah palsu dia antisipasi dengan perubahan UU.
Publik semakin yakin ijazah Jokowi memang palsu karena ahli forensik digital tersebut mendapatkan teror yang tidak ringan. Kaca mobilnya dipecahkan dan ban disayat sampai kempes sehingga mobil tersebut tidak bisa dipakai. Publik sangat yakin bahwa teror pengecut ini ada kaitannya dengan gencarnya si ahli forensik digital dalam mengungkapkan palsunya ijazah Jokowi—meskipun sejauh ini publik belum punya bukti nyata.
Saya dari dulu sama sekali tidak pernah tertarik dengan urusan ijazah palsu Jokowi. Karena tidak saja isu ini tidak bermutu dan memalukan bila ternyata benar, tetapi juga karena beberapa orang alumni UGM di Fakultas Kehutanan mengatakan Jokowi memang pernah terlihat kuliah di sana. Satu orang pengusaha bidang perkayuan mengatakannya secara langsung kepada saya, sementara dua orang lainnya disampaikan lewat sumber yang bisa dipercaya. Karena alasan inilah maka saya berpikir kemungkinan besar Jokowi memang tamat dari Fakultas Kehutanan UGM.
Namun derasnya informasi dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama yang berkaitan dengan pengujian foto ijazah Jokowi menggunakan aplikasi tertentu yang hasilnya foto itu ternyata bukan foto Jokowi tetapi foto orang lain, membuat saya berubah pikiran. Karena dari orang-orang yang bersaksi bahwa Jokowi memang sempat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tidak ada yang secara sepesifik mengetahui dan berani menjamin Jokowi memang tamat kuliah. Pernah kuliah dan wara-wiri di kampus tidak menjamin seseorang pasti tamat dan punya ijazah.
Jokowi seharusnya membuat masalah jadi sederhana untuk menghentikan ribut-ribut tidak bermutu ini. Yaitu tunjukkan ijazah asli dengan mengundang para penuduh dan wartawan. Sesederhana itu. Semakin Jokowi mengelak, apa lagi dengan menyewa pengacara untuk menggertak publik, maka semakin yakinlah masyarakat memang ijazah Jokowi palsu adanya.
Jokowi harus berani menerima rombongan aktivis yang akan bertandang ke rumahnya di Solo dalam waktu dekat. Mumpung hari baik bulan Syawal, Jokowi harus membuka rumahnya untuk kelompok ini, sama seperti dia sangat bangga menerima ratusan bahkan ribuan warga yang mengunjunginya setiap hari. Jokowi tidak perlu takut kalau memang benar. Kenapa harus menolak tamu yang datang baik-baik untuk klarifikasi ijazah.
Hal yang sama juga berlaku untuk UGM. UGM harus menerima rombongan aktivis yang akan mengklarifikasi ijazah Jokowi. Bila ijazah Jokowi memang palsu, UGM harus bertanggung jawab. UGM harus melaporkan dan memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam kejahatan pemalsuan ijazah.Kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Kita adalah bangsa besar yang tidak tunduk pada kejahatan dan kezaliman terorganisir. Apa lagi cuma teror receh. ***