Saturday, April 12, 2025

Ledakan Ijazah Palsu Tak Terbendung, Jokowi Makin Tersudut

Perspektif KBA News, Sabtu, 12 April 2025

Buni Yani

Setelah bertahun-tahun nasib gugatan atas kepalsuan ijazah Jokowi semakin redup dan mulai dilupakan orang, tiba-tiba dalam beberapa pekan terakhir isu ini kembali meledak dan menjadi perbincangan para pengguna media sosial. Seperti biasa, Jokowi tetap bertahan dan menuduh orang-orang yang mempermasalahkan ijazahnya sebagai pemfitnah yang harus diproses hukum.

Pengacara Jokowi yang mendatangi kediamannya di Solo mengancam publik—publik anonim yang luas yang sedang menguji kesahihan klaim Jokowi secara sepihak tanpa menunjukkan ijazah asli yang dia punya. Publik menertawakan ancaman ini karena dianggap konyol dan tidak masuk akal. Karena bukankah masalah ini sangat sederhana dan tidak perlu harus menyewa pengacara segala. Jokowi cukup menunjukkan ijazahnya di hadapan wartawan dan para penuduh maka kasus ini langsung selesai.

Dua orang telah menjadi korban keengganan Jokowi menunjukkan ijazahnya. Korban pertama adalah Bambang Tri yang sangat yakin Jokowi tidak punya ijazah SMA. Korban kedua adalah Gus Nur dengan kasus yang kurang lebih sama dengan Bambang Tri. Para pengacara yang membela Bambang Tri dan Gus Nur mengatakan selama persidangan kedua terdakwa tersebut Jokowi sama sekali gagal menunjukkan ijazahnya.

Logisnya memang karena Bambang Tri menuduh Jokowi tidak punya ijazah SMA yang asli, maka Jokowi seharusnya menunjukkan ijazahnya. Namun ini tidak pernah terjadi di pengadilan. Bambang Tri malah dituntut dengan perkara lain yang tidak ada kaitannya dengan ijazah palsu yang dia tuduhkan ke Jokowi. Inilah yang membuat perkara ini menjadi aneh dan mengundang kecurigaan bahwa Jokowi memang tidak punya ijazah SMA.

Gugatan sejumlah aktivis di pengadilan Jakarta juga menemui jalan buntu. Para penggugat dan pengacara penggugat sangat kecewa karena hakim yang menyidangkan perkara kelihatan tidak netral dan melindungi Jokowi agar lolos dari jerat hukum. Jokowi yang menjadi obyek gugatan tidak pernah hadir dalam persidangan. Jokowi mengutus seseorang untuk mewakilinya namun sama sekali tidak membawa surat kuasa. Jokowi tidak hadir, dan ijazah yang menjadi obyek perkara tidak pernah ditunjukkan.

Para aktivis yang melakukan gugatan memang sadar bahwa usaha mereka akan sangat susah waktu itu karena Jokowi masih sangat kuat. Jokowi masih menjadi presiden. Sudah menjadi pengetahuan umum selama 10 tahun berkuasa secara zalim, Jokowi menekuk hukum sedemikian rupa untuk kepentingan politik sempitnya.

Semua perangkat dan institusi hukum dia kuasai. Kelompok yang mendukungnya—seperti para begundal dan buzzer—kebal hukum meskipun nyata-nyata melanggar hukum. Sementara kelompok yang dianggap lawan politik, tidak punya salah pun dicari-cari salahnya—dan harus salah—meskipun sesungguhnya sama sekali tidak bersalah. UU ITE dijadikan senjata oleh Jokowi untuk menggasak para aktivis dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Keculasan Jokowi dalam bidang hukum ini sudah menjadi pengetahuan umum. Jokowi sama sekali tidak mempunyai niat—apa lagi visi besar—untuk menjadikan hukum sebagai alat penegakan hukum dan keadilan. Sebaliknya, Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen politik untuk agenda sempit dia yang penuh kezaliman.

Karena kuatnya Jokowi inilah maka perlawanan para aktivis hampir tak punya efek. Jokowi terus melaju dengan kezalimannya mengangkangi hukum. Jangankan kasus ijazah palsu yang langsung menyasar dirinya, kasus-kasus umum lainnya bila menyangkut kepentingan gerombolannya akan langsung dibuat kandas dengan segala rekayasa. Kondisi ini berlangsung sampai dia turun jabatan.

Namun sekian minggu terakhir ini dunia media sosial kembali digemparkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang forensik digital. Dia mampu menelusuri file video dan gambar dan bisa menentukan apakah sebuah video atau gambar sudah diubah atau masih asli. Dia mampu menemukan bahwa ijazah Jokowi 100 persen palsu.

Dia mendapatkan akses ke skripsi S1 Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Dia menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi aneh. Halaman ini dicetak menggunakan font Times New Roman. Skripsi Jokowi selesai dibuat tahun 1985, padahal font Times New Roman baru masuk Microsoft Word pada tahun 1992. Ini tentu aneh dan janggal—yang menghasilkan kesimpulan pasti skripsi Jokowi dibuat pada tahun 1992 atau setelahnya.

Tidak cuma itu, pada lembar pengesahan ini dosen pembimbing dan penguji tidak membubuhkan tanda tangan—hal yang tidak mungkin terjadi di UGM. Foto Jokowi di ijazah mengenakan kacamata, padahal UGM mempunyai peraturan melarang calon wisudawan mengenakan kacamata. Alhasil kejanggalan-kejanggalan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ijazah S1 Jokowi memang palsu.

Hal-hal aneh dan janggal ini membuat banyak orang mengaitkannya dengan usaha Jokowi membuat Omnibus Law—salah satu produk UU paling zalim yang dibuatnya—yang berusaha menghapuskan pidana terhadap pemalsu ijazah. Jadi, kata banyak orang dengan penuh curiga, usaha Jokowi untuk melindungi dirinya dari jerat pidana ijazah palsu dia antisipasi dengan perubahan UU.

Publik semakin yakin ijazah Jokowi memang palsu karena ahli forensik digital tersebut mendapatkan teror yang tidak ringan. Kaca mobilnya dipecahkan dan ban disayat sampai kempes sehingga mobil tersebut tidak bisa dipakai. Publik sangat yakin bahwa teror pengecut ini ada kaitannya dengan gencarnya si ahli forensik digital dalam mengungkapkan palsunya ijazah Jokowi—meskipun sejauh ini publik belum punya bukti nyata.

Saya dari dulu sama sekali tidak pernah tertarik dengan urusan ijazah palsu Jokowi. Karena tidak saja isu ini tidak bermutu dan memalukan bila ternyata benar, tetapi juga karena beberapa orang alumni UGM di Fakultas Kehutanan mengatakan Jokowi memang pernah terlihat kuliah di sana. Satu orang pengusaha bidang perkayuan mengatakannya secara langsung kepada saya, sementara dua orang lainnya disampaikan lewat sumber yang bisa dipercaya. Karena alasan inilah maka saya berpikir kemungkinan besar Jokowi memang tamat dari Fakultas Kehutanan UGM.

Namun derasnya informasi dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama yang berkaitan dengan pengujian foto ijazah Jokowi menggunakan aplikasi tertentu yang hasilnya foto itu ternyata bukan foto Jokowi tetapi foto orang lain, membuat saya berubah pikiran. Karena dari orang-orang yang bersaksi bahwa Jokowi memang sempat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tidak ada yang secara sepesifik mengetahui dan berani menjamin Jokowi memang tamat kuliah. Pernah kuliah dan wara-wiri di kampus tidak menjamin seseorang pasti tamat dan punya ijazah.

Jokowi seharusnya membuat masalah jadi sederhana untuk menghentikan ribut-ribut tidak bermutu ini. Yaitu tunjukkan ijazah asli dengan mengundang para penuduh dan wartawan. Sesederhana itu. Semakin Jokowi mengelak, apa lagi dengan menyewa pengacara untuk menggertak publik, maka semakin yakinlah masyarakat memang ijazah Jokowi palsu adanya.

Jokowi harus berani menerima rombongan aktivis yang akan bertandang ke rumahnya di Solo dalam waktu dekat. Mumpung hari baik bulan Syawal, Jokowi harus membuka rumahnya untuk kelompok ini, sama seperti dia sangat bangga menerima ratusan bahkan ribuan warga yang mengunjunginya setiap hari. Jokowi tidak perlu takut kalau memang benar. Kenapa harus menolak tamu yang datang baik-baik untuk klarifikasi ijazah.

Hal yang sama juga berlaku untuk UGM. UGM harus menerima rombongan aktivis yang akan mengklarifikasi ijazah Jokowi. Bila ijazah Jokowi memang palsu, UGM harus bertanggung jawab. UGM harus melaporkan dan memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam kejahatan pemalsuan ijazah.

Kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Kita adalah bangsa besar yang tidak tunduk pada kejahatan dan kezaliman terorganisir. Apa lagi cuma teror receh. ***

Saturday, April 5, 2025

Demo RUU TNI Marak, Tercium Bau Jokowi di Baliknya

Perspektif KBA New, Sabtu, 5 April 2025

Buni Yani

Kemunculan dan maraknya demonstrasi RUU TNI yang menjurus ke anti Prabowo akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya besar. Karena skala dan intensitas demo-demo ini jauh lebih besar dibandingkan dengan demo-demo anti Jokowi selama 10 tahun penjahat kemanusiaan itu berkuasa. Keanehan ini memunculkan pertanyaan yang mengundang minat penyelidikan lebih jauh oleh berbagai kalangan.

Demonstrasi dan suara kritis terhadap Prabowo menjelang 100 hari dan enam bulan kekuasaannya banyak terjadi yang sebagian besar mengeritik kekeliruannya melindungi Jokowi yang telah ditahbiskan menjadi penjahat kemanusiaan dan salah satu pemimpin terkorup di dunia versi OCCRP. Jokowi harus segera diseret ke meja hijau karena kejahatannya selama 10 tahun berkuasa secara zalim dan biadab.

Tuntutan ini meluas dan dianggap hal lumrah oleh karena warga negara yang selama ini mendapatkan penzaliman dari Jokowi berhak menuntut keadilan. Baik hukum positif negara maupun hukum agama memberikan dasar yang kuat bagi para korban untuk menuntut Jokowi agar dihukum seberat-beratnya—kalau tidak dihukum mati, maka minimal penjara seumur hidup.

Jokowi tidak bisa lari dari dosa-dosanya menzalimi rakyat. Dia akan dikejar sampai mana pun. Bila negara tidak bisa memberikan keadilan, maka rakyat akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Kejahatan tidak boleh dibiarkan lolos dan dianggap hal normal. Karena ini tidak saja merugikan korban, tetapi juga melecehkan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.

Tuntutan besar mengadili Jokowi ini tidak cukup menarik minat sebagian besar kelompok aktivis. Mereka membiarkan Jokowi berbuat semaunya selama 10 tahun. Ketika aktivis-aktivis Islam dan ulama dikriminalisasi, dijebloskan ke dalam penjara, dan enam laskar FPI dibunuh secara brutal, para aktivis ini juga seolah buta dan tuli. Mereka kelihatan sangat alergi dengan apa saja yang berbau Islam.

Mereka menjadi pembela Jokowi, mendukung persekusi terhadap umat Islam, lalu ikut meneriakkan kampanye “NKRI harga mati”—seolah-olah merekalah kelompok paling Pancasila dan paling mencintai tanah air. Mereka membangun logika bahwa Islam bertentangan dengan ide nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.

Namun, ini yang sangat mengejutkan, ketika Prabowo mengesahkan RUU TNI bersama DPR pada Kamis, 20 Maret 2025, kelompok-kelompok pendukung Jokowi ini tiba-tiba muncul dengan penolakan yang tanpa tedeng aling-aling. Penolakan menjalar dengan cepat dan luas dari Sabang sampai Merauke, setidaknya berlangsung di sekitar 70 kota.

Tidak cuma itu, beberapa jam setelah RUU disahkan DPR, pendemo yang mengenakan penutup wajah yang kelihatannya bukan mahasiswa, menyanyikan lagu Internasionale sambil mengepalkan tangan di depan gerbang utama DPR. Dilihat dari postur dan tampang mereka, kemungkinan besar mereka adalah aktivis yang sudah bukan lagi jadi mahasiswa.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa kira-kira kelompok di balik penolakan RUU TNI yang menyanyikan lagu Internasionale dalam demo itu? Lagu ini adalah lagu yang sangat terkenal yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, yang menjadi lagu pemersatu kaum kiri, pendukung ideologi sosialisme, juga pendukung komunisme.

Besarnya demo anti RUU TNI ini membuat hampir semua kasus sebelumnya menjadi tenggelam. Tuntutan agar Jokowi diadili tak terdengar lagi. Kasus pagar laut, kasus korupsi ratusan triliun di berbagai tempat, termasuk korupsi di Pertamina, dilupakan publik. Ini mengingatkan kita akan teknik komunikasi 10 tahun terakhir khas Jokowi, yaitu untuk menenggelamkan suatu kasus yang sangat sensitif, dimunculkanlah kasus yang lebih besar atau setidaknya sama bobotnya.

Kemunculan penolakan RUU TNI yang masih berlangsung sampai saat ini, dengan intensitas dan skala yang begitu besar, adalah anomali bila melihat demo-demo selama 10 tahun Jokowi berkuasa secara zalim. Maka kita cukup yakin ini demo yang berbeda dan digerakkan oleh kelompok yang berbeda dengan demo-demo dalam 10 tahun terakhir ini.

Ketika umat Islam dan kelompok Islam sedang melaksanakan ibadah puasa, menahan diri untuk melakukan hal-hal yang bisa membatalkan ibadah mereka, sebaliknya penolak RUU TNI justru begitu garang menggalang demonstrasi. Dalam demo tidak terlihat FPI, ormas Islam, dan semua organisasi yang selama ini menjadi sasaran penzaliman Jokowi.

Tidak terlihat pada demo-demo RUU TNI kelompok yang selama ini menuntut Jokowi untuk diadili segera. Bahkan kelompok terakhir ini kelihatan terpecah menjadi dua. Kelompok pertama mendukung RUU TNI dengan alasan untuk menandingi UU Kepolisian yang memberikan kekuasaan terlalu besar kepada polisi. Kelompok kedua cenderung tidak setuju pada RUU TNI namun pasif, tidak melakukan demonstrasi.

Situasi demontrasi RUU TNI sekarang ini mirip sekali dengan demo-demo besar menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998. Pelaku dan cara-cara yang digunakan juga sangat mirip. Ada kelompok LSM, dosen, mahasiswa, kelompok kiri—tentu minus PDIP karena PDIP sudah termasuk partai yang mendukung RUU TNI. Ada persebaran demo yang cepat, lalu ada pula keberanian bentrok dengan aparat serta pembakaran dan perusakan fasilitas umum—yang hampir tidak terjadi selama 10 tahun Jokowi berkuasa.

Melihat lonjakan “keberanian” ini, yang tentu saja terasa aneh, maka sejumlah kalangan sangat curiga dengan kelompok pelaku dan agenda sesungguhnya di balik demo RUU TNI. Apakah ada kemungkinan demo RUU TNI ditunggangi oleh kelompok yang selama ini dikenal sebagai anti TNI? Melihat fakta sejarah, PKI adalah kelompok yang paling anti terhadap TNI AD pasca gagalnya pemberontakan G30S/PKI yang kemudian disusul dengan pembantaian berdarah terhadap anggota PKI.

Di satu sisi, RUU TNI yang kembali memberikan peran multi fungsi ke TNI memang seolah mengembalikan Indonesia ke masa pra Reformasi, namun di sisi lain bila kelompok pendemo sama sekali tidak curiga bila mereka sedang ditunggangi oleh kelompok lain juga jelas tidak masuk akal. Menganggap berkumandangnya lagu Internasionale di DPR sebagai hal yang tidak penting tidak saja naif tetapi juga menunjukkan gagalnya membaca situasi.

Apakah kita harus menafikan kemungkinan terlibatnya kelompok kiri dalam penolakan RUU TNI ini? Jelas tidak. Kita tidak boleh menafikannya, karena lagu Internasionale adalah fakta keras yang bisa menjadi bukti permulaan, yang bisa mengantarkan kita ke fakta-fakta lainnya.

Para aktivis mencium ada bau Jokowi di balik demo-demo RUU TNI yang demikian besar di seluruh tanah air. Jokowi dan keluarga adalah pihak yang paling diuntungkan dengan ribut-ribut secara nasional. Tuntutan untuk mengadilinya menjadi tenggelam. Bila demo ini mendelegitimasi Prabowo, Jokowi memetik keuntungan sangat besar. Bila Prabowo jatuh, Gibran akan menggantikannya sesuai bunyi UU.

Gibran sedang dipersiapkan oleh Jokowi untuk menjadi presiden pada Pemilu 2029—atau lebih cepat dari itu. Langkah-langkah Gibran yang meng-copy-paste teknik Jokowi dengan blusukan ke daerah banjir dan bagi-bagi makanan—padahal Wapres punya tugas jauh lebih besar daripada itu—harus dibaca sebagai gerakan politik tersembunyi dalam rangka menggergaji Prabowo.

Melihat cengkeraman Jokowi yang masih kuat di kabinet Prabowo, sangat sulit bagi Jokowi untuk tidak menggunakan sumber daya ini untuk kepentingan Gibran—sama seperti ketika dia menjadi penjahat pengubah konstitusi untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres. Jadi memang bau Jokowi sangat menyengat dalam demo RUU TNI ini. ***