Saturday, April 26, 2025

Efek Jokowi: Teater dalam Gang Mati, Politik Busuk Tumbuh di Mana-mana

Perspektif KBA News, Sabtu, 26 April 2025

Buni Yani

Dramawan dan sutradara kondang Teguh Karya pernah mendirikan Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon di kawasan Kebon Kacang yang tidak jauh dari Hotel Indonesia dan Bundaran HI. Dikabarkan, Teguh Karya pernah mengatakan dia mendirikan pusat kesenian itu meniru komunitas-komunitas teater di Eropa. Waktu itu tahun 1993, sekitar lima tahun sebelum Orde Baru tumbang.

Disebut “Teater dalam Gang” karena letaknya memang dalam gang. Teguh memproyeksikan teater itu akan menjadi alternatif dan oase kebudayaan di Jakarta yang sudah berkembang menjadi metropolitan yang semakin impersonal, minim kebudayaan, dan kurang manusiawi. Namun dalam perjalanannya Teater dalam Gang rintisan Teguh Karya itu tidak berjalan seperti diharapkan.

Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon pelan-pelan tidak pernah kedengaran lagi. Entah apa penyebab pusat kesenian itu tidak tumbuh seperti diharapkan. Bisa jadi karena sumber pendanaan yang tidak stabil, program yang tidak digarap dengan baik, atau hal-hal lain. Entahlah. Publik tidak pernah lagi mendengar kegiatannya. Namun begitu, rintisan membentuk komunitas-komunitas kecil seni dan budaya paling tidak sudah dimulai oleh Teguh.

Nasib Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon adalah cermin dari kondisi seni dan budaya Indonesia pada saat ini. Menyusul gempuran teknologi digital yang tanpa ampun, pelan-pelan halaman sastra, seni dan budaya di koran cetak mulai menghilang karena korannya sendiri tidak lagi terbit. Sementara bagi banyak koran cetak yang masih terbit, keberadaan rubrik seni dan budaya mulai dianggap tidak penting, dikalahkan oleh rubrik lain yang lebih mendatangkan keuntungan finansial.

Rubrik seni dan budaya mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Para penulis puisi, cerpen, dan kritik sastra tidak tahu ke mana lagi harus menerbitkan karya mereka agar dibaca oleh khalayak luas. Para penulis merasa kesepian karena tidak ada lawan dialog. Medium mereka untuk menyampaikan karya dan gagasan semakin terbatas. Mereka berkarya tetapi tidak punya medium untuk berdialog dengan pembaca.

Koran-koran cetak semakin sedikit. Ada yang bertahan hanya dengan melakukan penerbitan daring. Tentu ini kabar menggembirakan. Namun bagi pembaca yang sudah terbiasa memegang kertas koran, penerbitan daring dianggap kurang prestisius. Karya sastra, entah itu puisi atau cerpen, dianggap tidak cukup hanya berbentuk digital.

Dan ini yang lebih penting. Kalaupun karya para penulis itu diterbitkan secara daring, mereka tidak mendapatkan imbalan sebesar bila karya mereka terbit pada koran edisi cetak. Ini membuat para penulis itu semakin sulit hidup bila hanya bergantung pada tulisan mereka.

Ironisnya, ketika nasib seni dan budaya semakin terpuruk dan orang-orang di gang-gang kecil Jakarta semakin jarang membicarakan soal-soal dan kegiatan budaya yang bermakna, pada saat yang sama pembicaraan mengenai politik justru semakin meningkat. Orang-orang sangat bergairah membicarakan bansos yang diikuti kewajiban memilih capres tertentu.

Perubahan orientasi ini tidak saja menyedihkan tetapi juga mengkhawatirkan. Terjadi penurunan kualitas budaya yang sangat besar. Warga dididik bergantung pada capres, cagub atau cawalkot yang memberikan bansos. Bila tidak memilih pemberi bansos maka akan mendapatkan teror atau perlakuan tidak wajar. Bansos menjadi senjata untuk menundukkan orang-orang lemah dan miskin. Cara licik dalam berpolitik dengan membeli suara kaum tak berdaya.

Sepuluh tahun terakhir Indonesia di bawah kekuasaan Jokowi yang zalim menciptakan musim paceklik panjang kebudayaan dan peradaban. Hampir semua segi dirusak oleh Jokowi yang memerintah dengan kebodohan. Politik, ekonomi, hukum, seni, dan budaya rusak—semuanya. Indonesia berada di tepi jurang kehancuran, yang menurut Prabowo bertahun-tahun silam, akan bubar pada tahun 2030.

Dulu para seniman dengan inisiatif sendiri mendirikan komunitas-komunitas kesenian independen, suatu ciri masyarakat sipil yang tumbuh di negara demokrasi. Mereka merayakan kebebasan, mengungkapkan pendapat lewat karya seni. Mereka antusias mengembangkan kebudayaan secara mandiri lewat usaha-usaha yang melibatkan partisipasi warga.

Namun kondisi positif yang mulai tumbuh itu kini seperti patung pasir yang disapu ombak di pinggir pantai. Patung itu kini rata dengan tanah, tak berbekas. Jokowi adalah aktor utama di balik pembinasaan seni dan budaya selama 10 tahun. Dengan kapasitas intelektual yang sangat minim, dan bahkan kini keaslian ijazahnya dipertanyakan oleh massa yang luas, Jokowi bertindak seperti algojo robot tanpa hati yang melakukan penyembelihan terhadap budaya dan kemanusiaan.

Jokowi melibas dengan kejam lawan-lawan politiknya. Para seniman, intelektual, dan penjaga denyut nadi kebudayaan dia persekusi tanpa ampun. Pada saat yang sama, dia membayar buzzer dan preman untuk melakukan intimidasi. Pembungkaman terhadap pikiran yang berbeda terjadi tanpa henti dan dilakukan secara brutal. Jokowi sangat menikmati kekejaman yang dia lakukan kepada siapa pun yang dia anggap lawan. Hatinya lebih dingin dari es, tak tersentuh oleh percikan nilai-nilai kemanusiaan.

Jokowi tidak hanya telah mengkhianati bangsanya, tetapi juga kemanusiaan secara keseluruhan. Karena, mempersekusi satu orang manusia tidak bersalah sama dengan mempersekusi semua manusia. Sebuah analogi dari ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa membunuh satu orang manusia sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan. Tapi, saking kejamnya Jokowi, dia bahkan sama sekali tak merasa bersalah. Dia merasa kekejamannya adalah hal normal.

Efek Jokowi, atau lebih tepatnya efek kemerosotan Jokowi, akan terus menghantui bangsa ini di masa depan. Jokowi seolah telah memasukkan semua produk kebudayaan dan peradaban ke dalam ruang pembantaian. Dia binasakan semua hal yang menyinggung dirinya dan bertentangan dengan kebodohannya. Jokowi sangat bangga dengan ketidaktahuan dan kebodohan yang sudah menjadi napas dan habitusnya.

Jokowi menginginkan semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya. Entah dari mana ego megalomaniak super negatif ini muncul begitu ekstrem. Normalnya, orang bodoh berusaha memperbaiki diri agar menjadi cerdas. Tetapi dalam kasus Jokowi, yang terjadi sebaliknya. Jokowi memaksa agar semua orang turun derajat. Dia memaksa semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya.

Jokowi adalah anomali kemanusiaan dan peradaban. Dia anti pada apa saja yang baik. Dia adalah manusia yang berasal dari kegelapan. Kuasa gelap gulita menguasai pikiran, hati, dan tindak-tanduknya.

Kelak masa-masa Jokowi berkuasa akan dikenang oleh anak-cucu kita sebagai masa-masa kegelapan Indonesia. Jokowi adalah arsitek kegelapan itu. Dia adalah manusia yang diturunkan dari neraka ke bumi, seperti sangat tepat digambarkan oleh seorang akademisi UI. Gelar yang sama sekali tidak berlebihan bila melihat portfolio Jokowi dengan kezaliman yang sempurna dan tiada tara.

Kini, mengembalikan teater ke dalam gang, dan pada saat yang sama menghilangkan politik busuk dari dalamnya, ibarat menegakkan benang basah. Kerusakan sudah paripurna. Republik hanya menunggu bubar dan meninggalkan puing-puing kebodohan yang memalukan. Penanda yang akan menjadi artefak tak termaafkan.

Efek Jokowi jauh melampaui imajinasi orang waras untuk bisa membayangkannya. Karena efek itu telah menjangkiti pikiran-pikiran cemerlang yang kemudian menjadi busuk dan ikut seperti lalat mengerubungi kotoran yang menjijikkan. Jokowi sangat piawai menularkan kebodohan dan kezaliman kepada siapa saja yang mendekatinya. Panggungnya seluas Indonesia. Dia pemain watak dalam tragedi tak berkesudahan selama 10 tahun.

Jokowi harus dihentikan apa pun risiko dan ongkosnya. Karena Jokowi adalah kegelapan itu sendiri yang merusak bangsa, negara, dan kemanusiaan. Menyerah pada kejahatan, kebodohan, dan kezaliman adalah sama dengan menerima keberadaannya. Dan kita yakin bangsa Indonesia tidak serendah dan sepengecut itu. ***

Saturday, April 19, 2025

Soal Ijazah Palsu, Strategi Jokowi Berubah dari Defensif Jadi Ofensif

Perspektif KBA News, Sabtu, 19 April 2025

Buni Yani

Mimpi Jokowi untuk menikmati hari-hari pensiun dengan momong cucu dan menerima ternak-ternaknya yang masih setia buyar sudah. Ledakan ijazah palsunya begitu keras yang membuat perbincangan publik dalam beberapa pekan terakhir tak hendak beranjak. Negeri mayoritas Muslim ini tidak bisa menerima kebohongan dan kepalsuan terus-menerus, karenanya tak ada celah sedikit pun bagi Jokowi untuk bisa menghindar.

Rombongan aktivis dari beberapa daerah dan tim TPUA menggeruduk UGM pada 15 April dan rumah Jokowi pada keesokan harinya. Namun UGM kelihatan melemparkan tanggung jawab sebagai institusi yang terbuka. Ketika menerima tiga perwakilan alumni, tim rektorat UGM beserta orang-orang yang mengaku teman kuliah Jokowi tidak memberikan informasi yang diperlukan untuk menjernihkan masalah.

UGM mengatakan ijazah Jokowi dipegang oleh Jokowi sendiri, dan seharusnya memang demikianlah adanya. Namun tidak memberikan data-data bahwa Jokowi pernah kuliah dan dokumen otentik bukti kelulusannya karena berlindung di balik privasi tidak saja konyol tetapi juga dicurigai sebagai cara halus untuk menghindar dari inti masalah sebenarnya.

UGM terkesan sangat melindungi Jokowi sejak awal. Rektor yang sekarang diangkat oleh Majelis Wali Amanat melalui pemilihan yang diketuai oleh Pratikno, dan Pratikno sendiri adalah operator politik Jokowi par excellence. Informasi minim ini cukup memberikan gambaran mengenai apa yang sedang terjadi di UGM sekarang.

Di Solo, pada 16 April, Jokowi menerima tim TPUA yang terdiri dari tiga orang. Jokowi berkeras tidak mau menunjukkan ijazahnya dengan alasan tidak ada kewajiban untuk melakukan hal demikian. Jokowi hanya bersedia menunjukkan ijazahnya kepada sejumlah wartawan namun tidak boleh difoto dan didokumentasikan. Yang aneh, pihak yang meragukan ijazahnya adalah TPUA, dan sempat diperkarakan di pengadilan di Jakarta, namun justru tidak boleh melihat dokumen akademik itu.

Jokowi menantang agar perkara ini dibawa ke pengadilan dan di sanalah dia akan menunjukkan ijazahnya. Tidak cuma itu, dia mengancam akan memperkarakan pihak-pihak yang meragukan ijazahnya, dan menuduh mereka telah memfitnahnya.

Melihat perkembangan ini, maka dengan gampang kita bisa membaca perubahan strategi Jokowi dalam menutupi aib ijazah palsunya. Jokowi tidak lagi defensif (bertahan), namun sekarang sudah berani melakukan ofensif (menyerang). Pertanyaannya, apa yang menyebabkan Jokowi mengubah strategi dan begitu percaya diri berani menantang para pengacara TPUA secara khusus, dan rakyat Indonesia secara umum?

Hanya satu kemungkinan jawabannya. Yaitu dia sangat percaya diri akan menang karena merasa masih menguasai jaringan penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim. Dulu di pengadilan Jakarta, hakim mengatakan tidak berhak mengadili perkara ijazah Jokowi. Pengadilan Jakarta sengaja membuat perkara ini macet dan menemui jalan buntu demi melindungi Jokowi. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Bila pengadilan Jakarta mengatakan tidak berhak mengadili kasus ijazah palsu Jokowi, itu artinya kasus ini gugur dengan sendirinya sebelum masuk ke pembuktian materil kepalsuan ijazah. Bisa jadi teknik serupa telah direncanakan bila perkara ini kembali disidangkan. Akan dibuat jalan buntu sehingga kasus ini jadi kabur sampai Jokowi mati.

Target Jokowi kalau tidak bisa memenangkan perkara, paling tidak dia bisa mengaburkan fakta sesungguhnya untuk membuat rakyat tetap dalam keragu-raguan abadi dan tidak yakin mengenai duduk perkara ijazahnya. Ini untuk menutupi aib yang tidak bisa dia bantah dengan beredarnya banyak sekali pembuktian oleh ahli forensik digital dan penelusuran swadaya oleh netizen anonim yang jumlahnya sangat banyak.

Jokowi kelihatan semakin lemah, letih, dan panik. Buzzer-buzzer yang dulu sangat ganas menyerang pengeritik Jokowi, yang mentag akun polisi di media sosial sebagai tanda melapor, lalu dengan cepat diproses hukum dan masuk penjara, kini semakin tak terorganisir dan lemah. Besar kemungkinan organisasi mereka kini kocar-kacir setelah sumber pendanaan untuk operasional tidak lagi sebesar dulu, atau bisa jadi sudah tidak ada. Sudah jadi rahasia umum ada dana APBN dulu yang digunakan untuk membayar influencer, nama halus untuk buzzer.

Kepanikan Jokowi untuk menutupi ijazah palsunya begitu nyata. Dia menyewa pengacara yang sesungguhnya sangat tidak diperlukan. Tidak cukup yakin dengan keampuhan para pengacara itu, dia pun mengundang Hercules, seorang preman Tanah Abang yang sangat terkenal di Jakarta. Padahal, soal ijazah palsu ini cuma perlu pembuktian ilmiah. Kehadiran Hercules yang jelas dari dunia yang berbeda sama sekali tidak diperlukan.

Seharusnya Jokowi sangat bangga menunjukkan ijazah dan skripsi UGM-nya karena UGM punya nama besar, sama seperti dia sangat bangga memamerkan bisa shalat waktu kampanye menjelang pemilu dulu. Tapi ini tidak terjadi. Jokowi hanya bersedia menunjukkan ijazahnya ke kalangan terbatas dan itu pun tidak boleh didokumentasikan.

UGM yang sejak lama dikenal sebagai kampus rakyat seharusnya bisa menenteramkan psikologi publik dengan memberikan informasi yang benar dan bisa dipercaya mengenai Jokowi. Alih-alih menjernihkan masalah, UGM justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sikapnya yang kelihatan partisan dan tidak bermutu dengan kuatnya pemihakan pada Jokowi membuat reputasinya menjadi hancur.

Skripsi Jokowi di perpustakaan UGM dilindungi seperti perlindungan terhadap Injil Barnabas di Vatikan. Tidak semua orang bisa menyentuh apa lagi membacanya. Ini jelas aneh dan sangat mengggelikan. Semua karya ilmiah, baik itu buku, paper, atau skripsi seharusnya terbuka untuk umum dan bisa dibaca oleh siapa saja yang memerlukannya. Hal-hal ini menambah kecurigaan bahwa skripsi Jokowi memang bermasalah.

Publik curiga UGM sedang menyimpan rahasia yang sangat memalukan dan tidak boleh diketahui oleh khalayak ramai. UGM sedang berusaha menjadi mesin cuci dosa-dosa dan keculasan Jokowi sehingga naskah akademik berupa skripsi yang seharusnya terbuka untuk umum namun nyatanya disimpan secara rapat dari sorotan publik. Langkah ini sangat terorganisir dan sistematis yang hanya bisa terjadi bila melibatkan ordal.

Tetapi Jokowi tidak bisa menipu publik lagi bahwa dia seolah sangat tenang. Sebaliknya, semua langkahnya menunjukkan dia sedang panik. Bahwa dia menantang publik untuk menunjukkan dia berani dan jantan, seolah memang dia punya ijazah asli dan sah dari UGM, sama sekali tidak punya efek ke publik. Masyarakat sudah super kenyang dibohongi Jokowi selama 10 tahun.

Kiranya Jokowi sekarang sudah mulai menjalani azab dari Tuhan karena kezaliman yang telah dilakukannya kepada rakyat selama ini. Azab pertama yang dia terima adalah dia dicaci-maki tiap saat oleh rakyat. Cap dan stempel pendusta dalam dirinya seperti ukiran batu yang akan abadi sampai dia mati. Bukan penghormatan yang dia terima, tetapi caci-maki bergemuruh tanpa henti.

Tekanan batin akibat caci maki ini adalah azab yang nyata. Jokowi tidak akan bisa tenang sampai kapan pun. Karena tidak merasa tenang inilah maka Jokowi masih wara-wiri Solo-Jakarta, masih merasa belum cukup usaha untuk melindungi diri dari sergapan para korban selama 10 tahun ini. Jokowi selalu merasa diintai musuh. Dia merasa perlindungan Prabowo, juga Gibran anak haram konstitusi, wajib dia dapatkan agar bisa sedikit tenang. Tetapi ketenangan itu tak kunjung tiba karena serangan semakin bertubi-tubi.

Seharusnya Jokowi sebagai pribadi di bulan Syawal ini akan mendapatkan pengampunan dari seluruh tanah air. Tetapi Jokowi sebagai pribadi kelihatannya tidak pernah berbuat dosa ke rakyat sebagai pribadi. Rakyat sebagai pribadi pun tidak pernah berbuat dosa ke Jokowi sebagai pribadi. Rakyat tidak mengenal Jokowi secara pribadi, begitu pula sebaliknya.

Yang belum tuntas urusannya adalah Jokowi sebagai mantan presiden dan rakyat sebagai korban selama 10 tahun. Jelas rakyat tidak bisa memaafkan Jokowi sampai kapan pun karena Jokowi dengan sadar melakukan kezaliman kepada mereka. Sampai Jokowi masuk kubur, sampai akhirat kelak.

Untuk hal terakhir ini, bahkan rakyat banyak mendoakan Jokowi semoga dia berumur panjang, dan agar dengan umur panjang itu dia sempat mendapatkan azab dan penderitaan yang panjang sejak di dunia. Jokowi jangan cepat-cepat mati, tetapi mulai mendapatkan balasan atas kezaliman yang telah diperbuatnya.

Tentu saja ini adalah doa yang sangat adil bagi pelaku kezaliman yang nyata. Dan Allah maha adil memberikan balasan atas apa yang diperbuat oleh semua hamba-Nya. ***

Saturday, April 12, 2025

Ledakan Ijazah Palsu Tak Terbendung, Jokowi Makin Tersudut

Perspektif KBA News, Sabtu, 12 April 2025

Buni Yani

Setelah bertahun-tahun nasib gugatan atas kepalsuan ijazah Jokowi semakin redup dan mulai dilupakan orang, tiba-tiba dalam beberapa pekan terakhir isu ini kembali meledak dan menjadi perbincangan para pengguna media sosial. Seperti biasa, Jokowi tetap bertahan dan menuduh orang-orang yang mempermasalahkan ijazahnya sebagai pemfitnah yang harus diproses hukum.

Pengacara Jokowi yang mendatangi kediamannya di Solo mengancam publik—publik anonim yang luas yang sedang menguji kesahihan klaim Jokowi secara sepihak tanpa menunjukkan ijazah asli yang dia punya. Publik menertawakan ancaman ini karena dianggap konyol dan tidak masuk akal. Karena bukankah masalah ini sangat sederhana dan tidak perlu harus menyewa pengacara segala. Jokowi cukup menunjukkan ijazahnya di hadapan wartawan dan para penuduh maka kasus ini langsung selesai.

Dua orang telah menjadi korban keengganan Jokowi menunjukkan ijazahnya. Korban pertama adalah Bambang Tri yang sangat yakin Jokowi tidak punya ijazah SMA. Korban kedua adalah Gus Nur dengan kasus yang kurang lebih sama dengan Bambang Tri. Para pengacara yang membela Bambang Tri dan Gus Nur mengatakan selama persidangan kedua terdakwa tersebut Jokowi sama sekali gagal menunjukkan ijazahnya.

Logisnya memang karena Bambang Tri menuduh Jokowi tidak punya ijazah SMA yang asli, maka Jokowi seharusnya menunjukkan ijazahnya. Namun ini tidak pernah terjadi di pengadilan. Bambang Tri malah dituntut dengan perkara lain yang tidak ada kaitannya dengan ijazah palsu yang dia tuduhkan ke Jokowi. Inilah yang membuat perkara ini menjadi aneh dan mengundang kecurigaan bahwa Jokowi memang tidak punya ijazah SMA.

Gugatan sejumlah aktivis di pengadilan Jakarta juga menemui jalan buntu. Para penggugat dan pengacara penggugat sangat kecewa karena hakim yang menyidangkan perkara kelihatan tidak netral dan melindungi Jokowi agar lolos dari jerat hukum. Jokowi yang menjadi obyek gugatan tidak pernah hadir dalam persidangan. Jokowi mengutus seseorang untuk mewakilinya namun sama sekali tidak membawa surat kuasa. Jokowi tidak hadir, dan ijazah yang menjadi obyek perkara tidak pernah ditunjukkan.

Para aktivis yang melakukan gugatan memang sadar bahwa usaha mereka akan sangat susah waktu itu karena Jokowi masih sangat kuat. Jokowi masih menjadi presiden. Sudah menjadi pengetahuan umum selama 10 tahun berkuasa secara zalim, Jokowi menekuk hukum sedemikian rupa untuk kepentingan politik sempitnya.

Semua perangkat dan institusi hukum dia kuasai. Kelompok yang mendukungnya—seperti para begundal dan buzzer—kebal hukum meskipun nyata-nyata melanggar hukum. Sementara kelompok yang dianggap lawan politik, tidak punya salah pun dicari-cari salahnya—dan harus salah—meskipun sesungguhnya sama sekali tidak bersalah. UU ITE dijadikan senjata oleh Jokowi untuk menggasak para aktivis dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Keculasan Jokowi dalam bidang hukum ini sudah menjadi pengetahuan umum. Jokowi sama sekali tidak mempunyai niat—apa lagi visi besar—untuk menjadikan hukum sebagai alat penegakan hukum dan keadilan. Sebaliknya, Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen politik untuk agenda sempit dia yang penuh kezaliman.

Karena kuatnya Jokowi inilah maka perlawanan para aktivis hampir tak punya efek. Jokowi terus melaju dengan kezalimannya mengangkangi hukum. Jangankan kasus ijazah palsu yang langsung menyasar dirinya, kasus-kasus umum lainnya bila menyangkut kepentingan gerombolannya akan langsung dibuat kandas dengan segala rekayasa. Kondisi ini berlangsung sampai dia turun jabatan.

Namun sekian minggu terakhir ini dunia media sosial kembali digemparkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang forensik digital. Dia mampu menelusuri file video dan gambar dan bisa menentukan apakah sebuah video atau gambar sudah diubah atau masih asli. Dia mampu menemukan bahwa ijazah Jokowi 100 persen palsu.

Dia mendapatkan akses ke skripsi S1 Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Dia menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi aneh. Halaman ini dicetak menggunakan font Times New Roman. Skripsi Jokowi selesai dibuat tahun 1985, padahal font Times New Roman baru masuk Microsoft Word pada tahun 1992. Ini tentu aneh dan janggal—yang menghasilkan kesimpulan pasti skripsi Jokowi dibuat pada tahun 1992 atau setelahnya.

Tidak cuma itu, pada lembar pengesahan ini dosen pembimbing dan penguji tidak membubuhkan tanda tangan—hal yang tidak mungkin terjadi di UGM. Foto Jokowi di ijazah mengenakan kacamata, padahal UGM mempunyai peraturan melarang calon wisudawan mengenakan kacamata. Alhasil kejanggalan-kejanggalan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ijazah S1 Jokowi memang palsu.

Hal-hal aneh dan janggal ini membuat banyak orang mengaitkannya dengan usaha Jokowi membuat Omnibus Law—salah satu produk UU paling zalim yang dibuatnya—yang berusaha menghapuskan pidana terhadap pemalsu ijazah. Jadi, kata banyak orang dengan penuh curiga, usaha Jokowi untuk melindungi dirinya dari jerat pidana ijazah palsu dia antisipasi dengan perubahan UU.

Publik semakin yakin ijazah Jokowi memang palsu karena ahli forensik digital tersebut mendapatkan teror yang tidak ringan. Kaca mobilnya dipecahkan dan ban disayat sampai kempes sehingga mobil tersebut tidak bisa dipakai. Publik sangat yakin bahwa teror pengecut ini ada kaitannya dengan gencarnya si ahli forensik digital dalam mengungkapkan palsunya ijazah Jokowi—meskipun sejauh ini publik belum punya bukti nyata.

Saya dari dulu sama sekali tidak pernah tertarik dengan urusan ijazah palsu Jokowi. Karena tidak saja isu ini tidak bermutu dan memalukan bila ternyata benar, tetapi juga karena beberapa orang alumni UGM di Fakultas Kehutanan mengatakan Jokowi memang pernah terlihat kuliah di sana. Satu orang pengusaha bidang perkayuan mengatakannya secara langsung kepada saya, sementara dua orang lainnya disampaikan lewat sumber yang bisa dipercaya. Karena alasan inilah maka saya berpikir kemungkinan besar Jokowi memang tamat dari Fakultas Kehutanan UGM.

Namun derasnya informasi dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama yang berkaitan dengan pengujian foto ijazah Jokowi menggunakan aplikasi tertentu yang hasilnya foto itu ternyata bukan foto Jokowi tetapi foto orang lain, membuat saya berubah pikiran. Karena dari orang-orang yang bersaksi bahwa Jokowi memang sempat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tidak ada yang secara sepesifik mengetahui dan berani menjamin Jokowi memang tamat kuliah. Pernah kuliah dan wara-wiri di kampus tidak menjamin seseorang pasti tamat dan punya ijazah.

Jokowi seharusnya membuat masalah jadi sederhana untuk menghentikan ribut-ribut tidak bermutu ini. Yaitu tunjukkan ijazah asli dengan mengundang para penuduh dan wartawan. Sesederhana itu. Semakin Jokowi mengelak, apa lagi dengan menyewa pengacara untuk menggertak publik, maka semakin yakinlah masyarakat memang ijazah Jokowi palsu adanya.

Jokowi harus berani menerima rombongan aktivis yang akan bertandang ke rumahnya di Solo dalam waktu dekat. Mumpung hari baik bulan Syawal, Jokowi harus membuka rumahnya untuk kelompok ini, sama seperti dia sangat bangga menerima ratusan bahkan ribuan warga yang mengunjunginya setiap hari. Jokowi tidak perlu takut kalau memang benar. Kenapa harus menolak tamu yang datang baik-baik untuk klarifikasi ijazah.

Hal yang sama juga berlaku untuk UGM. UGM harus menerima rombongan aktivis yang akan mengklarifikasi ijazah Jokowi. Bila ijazah Jokowi memang palsu, UGM harus bertanggung jawab. UGM harus melaporkan dan memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam kejahatan pemalsuan ijazah.

Kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Kita adalah bangsa besar yang tidak tunduk pada kejahatan dan kezaliman terorganisir. Apa lagi cuma teror receh. ***

Saturday, April 5, 2025

Demo RUU TNI Marak, Tercium Bau Jokowi di Baliknya

Perspektif KBA New, Sabtu, 5 April 2025

Buni Yani

Kemunculan dan maraknya demonstrasi RUU TNI yang menjurus ke anti Prabowo akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya besar. Karena skala dan intensitas demo-demo ini jauh lebih besar dibandingkan dengan demo-demo anti Jokowi selama 10 tahun penjahat kemanusiaan itu berkuasa. Keanehan ini memunculkan pertanyaan yang mengundang minat penyelidikan lebih jauh oleh berbagai kalangan.

Demonstrasi dan suara kritis terhadap Prabowo menjelang 100 hari dan enam bulan kekuasaannya banyak terjadi yang sebagian besar mengeritik kekeliruannya melindungi Jokowi yang telah ditahbiskan menjadi penjahat kemanusiaan dan salah satu pemimpin terkorup di dunia versi OCCRP. Jokowi harus segera diseret ke meja hijau karena kejahatannya selama 10 tahun berkuasa secara zalim dan biadab.

Tuntutan ini meluas dan dianggap hal lumrah oleh karena warga negara yang selama ini mendapatkan penzaliman dari Jokowi berhak menuntut keadilan. Baik hukum positif negara maupun hukum agama memberikan dasar yang kuat bagi para korban untuk menuntut Jokowi agar dihukum seberat-beratnya—kalau tidak dihukum mati, maka minimal penjara seumur hidup.

Jokowi tidak bisa lari dari dosa-dosanya menzalimi rakyat. Dia akan dikejar sampai mana pun. Bila negara tidak bisa memberikan keadilan, maka rakyat akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Kejahatan tidak boleh dibiarkan lolos dan dianggap hal normal. Karena ini tidak saja merugikan korban, tetapi juga melecehkan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.

Tuntutan besar mengadili Jokowi ini tidak cukup menarik minat sebagian besar kelompok aktivis. Mereka membiarkan Jokowi berbuat semaunya selama 10 tahun. Ketika aktivis-aktivis Islam dan ulama dikriminalisasi, dijebloskan ke dalam penjara, dan enam laskar FPI dibunuh secara brutal, para aktivis ini juga seolah buta dan tuli. Mereka kelihatan sangat alergi dengan apa saja yang berbau Islam.

Mereka menjadi pembela Jokowi, mendukung persekusi terhadap umat Islam, lalu ikut meneriakkan kampanye “NKRI harga mati”—seolah-olah merekalah kelompok paling Pancasila dan paling mencintai tanah air. Mereka membangun logika bahwa Islam bertentangan dengan ide nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.

Namun, ini yang sangat mengejutkan, ketika Prabowo mengesahkan RUU TNI bersama DPR pada Kamis, 20 Maret 2025, kelompok-kelompok pendukung Jokowi ini tiba-tiba muncul dengan penolakan yang tanpa tedeng aling-aling. Penolakan menjalar dengan cepat dan luas dari Sabang sampai Merauke, setidaknya berlangsung di sekitar 70 kota.

Tidak cuma itu, beberapa jam setelah RUU disahkan DPR, pendemo yang mengenakan penutup wajah yang kelihatannya bukan mahasiswa, menyanyikan lagu Internasionale sambil mengepalkan tangan di depan gerbang utama DPR. Dilihat dari postur dan tampang mereka, kemungkinan besar mereka adalah aktivis yang sudah bukan lagi jadi mahasiswa.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa kira-kira kelompok di balik penolakan RUU TNI yang menyanyikan lagu Internasionale dalam demo itu? Lagu ini adalah lagu yang sangat terkenal yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, yang menjadi lagu pemersatu kaum kiri, pendukung ideologi sosialisme, juga pendukung komunisme.

Besarnya demo anti RUU TNI ini membuat hampir semua kasus sebelumnya menjadi tenggelam. Tuntutan agar Jokowi diadili tak terdengar lagi. Kasus pagar laut, kasus korupsi ratusan triliun di berbagai tempat, termasuk korupsi di Pertamina, dilupakan publik. Ini mengingatkan kita akan teknik komunikasi 10 tahun terakhir khas Jokowi, yaitu untuk menenggelamkan suatu kasus yang sangat sensitif, dimunculkanlah kasus yang lebih besar atau setidaknya sama bobotnya.

Kemunculan penolakan RUU TNI yang masih berlangsung sampai saat ini, dengan intensitas dan skala yang begitu besar, adalah anomali bila melihat demo-demo selama 10 tahun Jokowi berkuasa secara zalim. Maka kita cukup yakin ini demo yang berbeda dan digerakkan oleh kelompok yang berbeda dengan demo-demo dalam 10 tahun terakhir ini.

Ketika umat Islam dan kelompok Islam sedang melaksanakan ibadah puasa, menahan diri untuk melakukan hal-hal yang bisa membatalkan ibadah mereka, sebaliknya penolak RUU TNI justru begitu garang menggalang demonstrasi. Dalam demo tidak terlihat FPI, ormas Islam, dan semua organisasi yang selama ini menjadi sasaran penzaliman Jokowi.

Tidak terlihat pada demo-demo RUU TNI kelompok yang selama ini menuntut Jokowi untuk diadili segera. Bahkan kelompok terakhir ini kelihatan terpecah menjadi dua. Kelompok pertama mendukung RUU TNI dengan alasan untuk menandingi UU Kepolisian yang memberikan kekuasaan terlalu besar kepada polisi. Kelompok kedua cenderung tidak setuju pada RUU TNI namun pasif, tidak melakukan demonstrasi.

Situasi demontrasi RUU TNI sekarang ini mirip sekali dengan demo-demo besar menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998. Pelaku dan cara-cara yang digunakan juga sangat mirip. Ada kelompok LSM, dosen, mahasiswa, kelompok kiri—tentu minus PDIP karena PDIP sudah termasuk partai yang mendukung RUU TNI. Ada persebaran demo yang cepat, lalu ada pula keberanian bentrok dengan aparat serta pembakaran dan perusakan fasilitas umum—yang hampir tidak terjadi selama 10 tahun Jokowi berkuasa.

Melihat lonjakan “keberanian” ini, yang tentu saja terasa aneh, maka sejumlah kalangan sangat curiga dengan kelompok pelaku dan agenda sesungguhnya di balik demo RUU TNI. Apakah ada kemungkinan demo RUU TNI ditunggangi oleh kelompok yang selama ini dikenal sebagai anti TNI? Melihat fakta sejarah, PKI adalah kelompok yang paling anti terhadap TNI AD pasca gagalnya pemberontakan G30S/PKI yang kemudian disusul dengan pembantaian berdarah terhadap anggota PKI.

Di satu sisi, RUU TNI yang kembali memberikan peran multi fungsi ke TNI memang seolah mengembalikan Indonesia ke masa pra Reformasi, namun di sisi lain bila kelompok pendemo sama sekali tidak curiga bila mereka sedang ditunggangi oleh kelompok lain juga jelas tidak masuk akal. Menganggap berkumandangnya lagu Internasionale di DPR sebagai hal yang tidak penting tidak saja naif tetapi juga menunjukkan gagalnya membaca situasi.

Apakah kita harus menafikan kemungkinan terlibatnya kelompok kiri dalam penolakan RUU TNI ini? Jelas tidak. Kita tidak boleh menafikannya, karena lagu Internasionale adalah fakta keras yang bisa menjadi bukti permulaan, yang bisa mengantarkan kita ke fakta-fakta lainnya.

Para aktivis mencium ada bau Jokowi di balik demo-demo RUU TNI yang demikian besar di seluruh tanah air. Jokowi dan keluarga adalah pihak yang paling diuntungkan dengan ribut-ribut secara nasional. Tuntutan untuk mengadilinya menjadi tenggelam. Bila demo ini mendelegitimasi Prabowo, Jokowi memetik keuntungan sangat besar. Bila Prabowo jatuh, Gibran akan menggantikannya sesuai bunyi UU.

Gibran sedang dipersiapkan oleh Jokowi untuk menjadi presiden pada Pemilu 2029—atau lebih cepat dari itu. Langkah-langkah Gibran yang meng-copy-paste teknik Jokowi dengan blusukan ke daerah banjir dan bagi-bagi makanan—padahal Wapres punya tugas jauh lebih besar daripada itu—harus dibaca sebagai gerakan politik tersembunyi dalam rangka menggergaji Prabowo.

Melihat cengkeraman Jokowi yang masih kuat di kabinet Prabowo, sangat sulit bagi Jokowi untuk tidak menggunakan sumber daya ini untuk kepentingan Gibran—sama seperti ketika dia menjadi penjahat pengubah konstitusi untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres. Jadi memang bau Jokowi sangat menyengat dalam demo RUU TNI ini. ***