Saturday, May 31, 2025

Kuldesak Ijazah Palsu dan Mati Langkah Jokowi

Perspektif KBA News, Sabtu, 31 Mei 2025

Buni Yani

Pengumuman Bareskrim soal keaslian ijazah Jokowi sama sekali tidak memadamkan keraguan publik akan kepalsuan dan kebohongan Jokowi. Sebaliknya publik malah semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali. Sejumlah dokumen yang ditampilkan oleh Bareskrim untuk menopang dan membuktikan keaslian ijazah itu malah menjadi obyek penelitian yang semakin menguatkan kepercayaan publik bahwa ijazah Jokowi memang palsu.

Situasi sekarang sudah menemui jalan buntu atau kuldesak. Jokowi dan Bareskrim berusaha sangat keras meyakinkan publik, tetapi publik malah semakin curiga dengan langkah-langkah tidak alami itu. Dokumen berbicara sendiri mengenai keaslian atau kepalsuannya. Tidak perlu dirias dan didandani. Tidak perlu membujuk apa lagi menggertak orang untuk percaya.

Kuldesak ini membuat Jokowi semakin panik yang menjadikannya mati langkah. Seperti biasa, bila terdesak, Jokowi akan menggunakan jurus survei untuk mempengaruhi opini publik. Jokowi menggunakan tangan pollster untuk meng-counter opini publik yang tak kunjung berubah sejak kasus ijazah palsu meledak kembali.

Sangat besar kemungkinan Jokowilah yang mendanai survei mengenai tingkat kepercayaan publik mengenai ijazahnya. Menurut hasil survei tersebut, sebagian besar responden yang mencapai 66,9%, tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazah. Persoalannya, apakah survei ini bermaksud membalik persepsi publik dengan survei yang tiba-tiba entah dari mana asalnya?

Jika itu tujuannya, sudah bisa dipastikan tujuannya akan gagal. Publik tentu saja tidak sebodoh yang dibayangkan Jokowi dan pollster itu. Survei yang bisa jadi sudah direkayasa metode dan hasilnya itu tidak akan bisa menggiring opini mayoritas masyarakat untuk mempercayai status keaslian/kepalsuan ijazah Jokowi.

Survei tentu saja tidak akan bisa mempengaruhi jalannya kasus hukum Jokowi. Polisi, jaksa dan hakim yang punya integritas tidak akan pernah terpengaruh oleh hasil survei. Karena menemukan kebenaran hukum sama sekali tidak ditentukan oleh berapa banyak orang yang percaya atau tidak. Sebaliknya, kebenaran hukum ditentukan oleh fakta yang tersedia.

Kebenaran tidak ditentukan oleh berapa jumlah orang yang mempercayainya. Untuk menentukan apakah betul matahari terbit di timur, maka murid diajarkan sejak SD untuk mengecek apakah betul memang demikian fakta yang ditemukan. Bila ada guru yang mengajarkan murid-muridnya cara membuktikan apakah betul matahari terbit di timur dengan melakukan polling di kelas berapa siswa yang percaya dan tidak, maka kita sangat merekomendasikan agar guru jenis ini segera dikirim ke barak.

Rekayasa sosial menggunakan metode bandwagon effect dalam kasus ijazah Jokowi ini tidak hanya lucu karena asumsi-asumsi dasar yang digunakannya, tetapi juga sangat merendahkan kapasitas masyarakat. Seolah-olah bila mayoritas anggota masyarakat percaya akan keaslian ijazah Jokowi—entah angka mayoritas dalam survei ini diperoleh dengan cara yang benar dan jujur—maka otomatis anggota masyarakat lainnya langsung akan ikut-ikutan percaya.

Kuldesak ini adalah mimpi buruk Jokowi. Meskipun berusaha sekuat tenaga dengan mengerahkan semua sumber daya, publik sudah menentukan sikap bahwa ijazah Jokowi tidak mungkin asli. Apa pun yang dikatakan dan berkaitan dengan Jokowi sudah dicap sebagai bohong dan palsu. Sebuah sikap yang sangat mengerikan tentu saja.

Kepanikan, kerisauan, dan kekhawatiran Jokowi sangat tampak secara visual. Rambutnya semakin jarang dan rontok. Kulit muka dan lehernya seperti ditumbuhi bercak hitam yang tidak biasa. Fisik Jokowi berubah drastis padahal baru saja enam bulan tidak lagi menjabat. Dia tampak semakin tua dan lelah. Ada aura kekhawatiran tampak di mukanya.

Fakta perubahan penampilan Jokowi ini begitu nyata sehingga segala usaha untuk menutupinya dipastikan akan gagal. Bahkan usaha dari Jokowi sendiri untuk berusaha tampil sealami dan sebaik mungkin, misalnya dengan mencoba tertawa dan tenang, menjadikan publik semakin yakin bahwa Jokowi memang secara psikologis sedang mengalami tekanan besar. Karena semakin Jokowi berusaha tertawa dan tenang, semakin artifisial efek yang ditimbulkannya.

Kini tertawa terkekeh ciri khas Jokowi tidak lagi menjadi simbol pembeda yang dikagumi pemujanya, tetapi sudah berubah menjadi gestur kikuk dan palsu. Netizen yang teliti memperhatikan bahasa tubuh Jokowi bisa mendeteksi bahwa Jokowi tidak bisa lagi setiap saat mampu menguasai tubuhnya sendiri. Jokowi tampak bergerak-gerak tidak alami yang ditengarai sebagai tremor.

Sejumlah pendukung yang dulu sangat mengaguminya sekarang menjadi orang terdepan yang paling tidak percaya mengenai keaslian ijazah Jokowi. Sudah tidak terhitung bukti otentik yang beredar di media sosial yang menunjukkan bahwa ijazah Jokowi memang palsu. Mulai dari font skripsi, foto ijazah, kwitansi pembayaran SPP, transkrip nilai, dan banyak lagi, yang kesemuanya semakin membuat publik yakin bahwa ijazah Jokowi tidak mungkin asli.

Hal-hal ini membuat Jokowi semakin kehilangan akal bagaimana cara melawan opini publik yang tumbuh demikian organik. Tentu saja ketidakpercayaan pada ijazah Jokowi tumbuh secara organik karena muncul dari kesadaran dan proses berpikir yang alami. Muncul dari hasil melihat fakta yang bertubi-tubi memenuhi linimasa media sosial.

Mungkin hal-hal ini pula yang menggerakkan Jokowi untuk mengerahkan lembaga survei. Survei yang hasilnya sangat menguntungkan Jokowi itu tidak saja bertujuan untuk mengubah opini publik mengenai ijazah misterius itu, tetapi juga untuk mengubah suasana hati Jokowi sendiri yang sedang sangat kalut membayangkan kesudahan dari perkara memalukan ini.

Setidaknya Jokowi sedikit merasa tenang dengan hiburan hasil survei itu. Survei yang menjadi tertawaan publik karena basis dan tujuan penyelenggaraannya penuh masalah dan melawan kejujuran. Survei yang seharusnya tidak pernah diadakan karena melawan moralitas khalayak ramai yang sedang berusaha menegakkan kebenaran melalui riset masif yang dilakukan oleh relawan anonim di media sosial.

Organiknya perlawanan terhadap Jokowi didasarkan pada rasionalitas biasa. Menggunakan akal sehat saja, siapa pun bisa menilai bahwa begitu banyaknya kejanggalan pada ijazah Jokowi sudah pasti menyimpan sesuatu yang lain. Sesuatu yang disebut kepalsuan atau ketidakaslian karena melawan logika keaslian yang dipahami awam.

Jokowi bisa jadi tidak pernah mengantisipasi serangan masif dan organik ini karena semua dukungan di media sosial yang pernah dia dapatkan digerakkan dan direkayasa. Jokowi membayar buzzer untuk melakukan pembohongan publik, caci-maki, dan penyesatan terhadap kinerjanya selama 10 tahun.

Mendapatkan fakta ini, Jokowi terdesak. Jokowi sudah berada di ujung jalan buntu yang membuatnya tidak bisa lagi ke mana-mana. ***

Saturday, May 24, 2025

Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar

Perspektif KBA News, Sabtu, 24 Mei 2025

Buni Yani

Membayangkan konsekuensi pengumuman Bareskrim Polri mengenai keaslian ijazah UGM Jokowi seperti membayangkan semakin gelapnya Indonesia ditimpa gerhana tak berkesudahan setelah tujuh bulan lebih Presiden Prabowo memerintah. Pengumuman yang sangat menguntungkan Jokowi itu memang sudah diantisipasi publik karena ini hanya memperkuat saja fenomena Parcok yang selama ini telah menjadi rahasia umum.


Pengumuman itu adalah politik tingkat tinggi, perebutan pengaruh, dan unjuk kekuatan melalui simbol-simbol budaya dan unggah-ungguh Jawa. Pengumuman itu jauh melampaui dampak hukum bagi pihak-pihak yang sedang berperkara seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma. Bila harus diringkas dengan kalimat pendek, maka pengumuman itu adalah bunyi terompet pemberitahuan kekalahan Prabowo melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian.

Betul, Prabowo tidak berkutik melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian. Prabowo dibuat impoten dan tak bergigi melawan pengaruh Jokowi yang semakin kuat dan mengakar. Prabowo bahkan tidak bisa melakukan penetrasi kecil di tubuh kepolisian yang sudah menjadi sekutu utama Jokowi sejak lama, bahkan setelah tujuh bulan Prabowo berkuasa.

Bagi Jokowi, pengumuman Bareskrim atas keaslian ijazahnya adalah show of force bahwa dia masih digdaya dan masih memegang kendali atas kepolisian. Jokowi sedang melakukan konsolidasi kekuatan sebelum pertempuran yang sebenarnya dengan melakukan tes loyalitas melalui kasus ijazah palsu ini. Seperti diharapkan Jokowi, akhirnya Sigit Listyo sebagai Kapolri menunjukkan loyalitasnya yang tanpa reserve. Seperti diharapkan Jokowi, Sigit tidak mungkin melupakan jasanya yang telah menjadikannya Kapolri yang melompati sekian angkatan.

Mengapa Jokowi melakukan ini, karena Gibran sedang berada di ujung tanduk pemakzulan. Publik menekan Prabowo agar segera mengganti Gibran dengan Wapres yang lebih cakap dan punya kapabilitas. Di bawah inisiasi purnawirawan TNI, publik ikut mendesak agar Gibran diganti karena telah melakukan perbuatan tercela lewat postingan akun Fufufafa di platform Kaskus. Akun Fufufafa diduga kuat milik Gibran.

Jokowi tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut yang membahayakan posisi Gibran, lalu menjadikan dirinya menjadi sasaran tembak melalui kasus ijazah palsu. Dalam hal ini, strategi Jokowi menggunakan kasus ijazah palsu sebagai senjata membalikkan keadaan mempunyai dua keuntungan. Keuntungan pertama, kasus ini akan mengalihkan perhatian publik dari serangan ke Gibran menjadi serangan ke dirinya. Keuntungan kedua, kasus ini adalah tes loyalitas kepolisian di bawah Listyo Sigit yang selama ini menjadi sekutu utamanya.

Tanda-tanda kepolisian masih berada di bawah pengaruh Jokowi bisa dibuktikan dengan banyaknya kejanggalan dalam uji forensik di Bareskrim. Kepolisian de facto belum berada di bawah kontrol Prabowo.

Pemihakan kepolisian kepada Jokowi yang telah diberi nama Parcok oleh publik sangatlah nyata dan tidak bisa ditutupi. Pertama, mungkin tanpa disadari oleh Djuhandhani dari Bareskrim, ia memberikan kesan kurang baik ke Egi Sujana yang tidak datang ke Bareskrim untuk memberikan keterangan. Seharusnya Djuhandhani paham bahwa Egi tidak bisa datang karena sakit. Namun Djuhandhani sama sekali tidak menyebut Egi Sujana sedang sakit, seolah-olah Egi mangkir tanpa alasan yang jelas.

Kedua, Djuhandhani menyebut TPUA tidak terdaftar di AHU Kemenkumham—yang kembali mau tidak mau bisa ditafsirkan bahwa Djuhandhani memang sengaja ingin memberikan kesan negatif terhadap TPUA ke publik. Menurut UU, tidak semua perkumpulan atau organisasi di tengah masyarakat harus berbadan hukum. Begitu juga dengan TPUA.

Dari sini saja kita sudah tahu bahwa secara tidak sadar Bareskrim tidaklah netral. Bareskrim terkesan mengambil jarak dengan TPUA, tetapi sebaliknya begitu takzim ke Jokowi. Untuk hal terakhir ini bisa dilihat dari bahasa tubuh dua penyelidik yang mewawancarai Jokowi selama satu jam untuk 22 pertanyaan. Dari foto yang beredar luas di media sosial, kedua penyelidik seperti tidak percaya diri menghadapi Jokowi. Penyelidik menunjukkan bahasa tubuh seolah-olah sedang menghadap atasan—hal yang seharusnya tidak terjadi.

Absennya imparsialitas Bareskrim sebagai penegak hukum bisa dikenali lebih jauh dari hasil “uji forensik” yang sangat menguntungkan Jokowi. Sampel yang dijadikan pembanding untuk membandingkan ijazah Jokowi cuma tiga ijazah lain. Ini sangat mencurigakan karena publik tidak tahu ijazah siapa saja yang dipakai. Bila ketiga ijazah yang dipakai sebagai pembanding adalah para “alumni” yang selama ini diajak Jokowi untuk reuni—atau sampel dari kolam yang sama—maka sama juga bohong. Seharusnya Bareskrim menyebutkan nama pemilik ketiga ijazah itu.

Tidak cuma itu, Bareskrim juga berani melakukan hal yang sangat fatal dalam konferensi pers yang disaksikan oleh 270 juta rakyat Indonesia itu. Yaitu tidak menampilkan ijazah asli Jokowi yang diklaim telah diuji forensik. Seharusnya Bareskrim menampilkan ijazah Jokowi itu, sama seperti mereka menampilkan alat-alat bukti dalam kasus-kasus lainnya. Publik bertanya-tanya mengapa Bareskrim hanya menampilkan fotokopi ijazah di layar, bukan ijazah asli dalam bentuk fisiknya.

Hal paling penting dari semua kejanggalan di atas adalah Bareskrim tidak menampilkan hasil uji forensiknya. Seharusnya Bareskrim membuka ke publik bagan lengkap mengenai unsur kimia uji karbon ijazah Jokowi yang menunjukkan usia kertas ijazah dan hal-hal lain yang terkait. Begitu juga dengan hasil analisis kandungan kimia berbagai tipe tinta yang dipakai dalam ijazah. Namun itu tidak dilakukan oleh Bareskrim. Publik dipaksa untuk percaya begitu saja terhadap absennya data ilmiah dalam pengujian ini.

Bareskrim menampilkan banyak sekali dokumen untuk mendukung klaimnya bahwa ijazah Jokowi memang asli. Bareskrim menunjukkan ke publik fotokopi daftar alumni, bundel milik Achmad Sumitro, bundel KPU DKI Jakarta, bukti setor SPP Jokowi, dan banyak lagi. Namun mau ratusan bahkan ribuan dokumen yang ditunjukkan ke publik tidak akan pernah berarti apa-apa karena Bareskrim tidak menunjukkan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli.

Bareskrim dan Polri harus paham bahwa publik tidak meragukan Jokowi pernah kuliah di UGM. Yang diragukan adalah apakah Jokowi punya ijazah yang sah melalui prosedur yang sah. Apakah ijazah Jokowi setelah diuji forensik berasal dari tahun 1985, apakah foto yang dipakai pada ijazah adalah foto Jokowi sendiri—bukan punya Dumatno seperti dicurigai publik, apakah diperkenankan mengenakan kacamata pada foto ijazah pada tahun 1985, apakah banyak kejanggalan pada skripsi Jokowi sudah diteliti dengan seksama, dan banyak lagi pertanyaan yang masih menjadi misteri.

Pendek kata, banyaknya data yang tidak diungkapkan—atau memang sengaja disembunyikan—Bareskrim menimbulkan semakin banyak teka-teki mengenai ijazah Jokowi. Publik curiga bahwa absennya ijazah asli Jokowi dalam konferensi pers itu dan tidak hadirnya data-data saintifik mengenai hasil uji labfor adalah strategi untuk menghindari penelitian terbuka terhadap ijazah Jokowi yang memang bermasalah. Karena di persidangan Gus Nur dan Bambang Tri, juga di persidangan perdata di Solo yang sedang berlangsung, Jokowi sangat menghindar dari menunjukkan ijazahnya secara terbuka.

Lumpuhnya pemerintahan Prabowo dalam menangani dugaan ijazah palsu Jokowi karena ketidakmampuannya menguasai Parcok adalah serial kedua dari tragedi memalukan ini. Seharusnya Prabowo gerak cepat melakukan pergantian besar-besaran di tubuh Polri untuk menghindari macetnya kasus-kasus yang berhubungan dengan Jokowi. Pada reshuffle kabinet mendatang, penyegaran di tubuh Polri harus dilakukan segera di samping mengganti semua menteri titipan Jokowi.

Tanpa itu, Prabowo terkesan seperti bebek lumpuh. Semakin lama Prabowo mengulur-ulur waktu melakukan pembenahan, semakin kuatlah Jokowi, semakin intensiflah dia melakukan konsolidasi, semakin tampaklah matahari kembar itu telah menimbulkan gerhana yang membuat Indonesia semakin gelap. Kondisi ini tidak saja buruk bagi pemerintahan Prabowo, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan segera.

Memang tidak sederhana menangani dilema pelik mengenai Jokowi yang sudah berjasa mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Tapi soalnya bukan di sana. Prabowo harus sadar bahwa dia hanya berhutang budi ke rakyat, bukan ke Jokowi yang sudah 10 tahun menjadikan Indonesia menjadi negara gagal.

Semoga Prabowo bisa kembali memakai akal sehatnya dalam mengurus negara yang selalu ia cintai. Kini rakyat berharap besar kepadanya untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan Jokowi selama 10 tahun. ***

Sunday, May 18, 2025

Perang Ijazah Palsu Melebar, Jokowi Semakin Panik dan Risau

Perspektif KBA News, Sabtu, 17 Mei 2025

Buni Yani

Rakyat menyayangkan sikap berbelit-belit Jokowi dalam menangani masalah sepele ijazah palsu yang dituduhkan kepadanya dengan cara belok-belok, berkelok-kelok tidak karuan. Sudah tidak terbilang jumlah himbauan agar Jokowi segera menunjukkan ijazahnya. Namun dia memilih langkah yang rumit dan tidak lazim.

Akibat akrobatnya itu, Jokowi disindir, juga dikecam, karena telah membuat kegaduhan nasional yang tidak perlu. Rakyat terperangah, mengapa Jokowi yang dua kali menjabat jadi presiden sama sekali tidak memiliki sikap kenegarawanan yang seharusnya. Jokowi kelihatannya menikmati drama tidak bermutu ini, yang bahkan menimbulkan gesekan horizontal di tengah masyarakat.

Menyusul Jokowi dilaporkan di beberapa tempat, lalu dia juga melaporkan lima nama di Polda Metro Jaya, kasus murahan ini sudah semakin melebar dan tidak terkendali. Seseorang telah menggugat pihak UGM dan bekas dosen Jokowi yang dulu diakui sebagai dosen pembimbing. Dosen sepuh itu bernama Kasmudjo yang sudah berumur 75 tahun.

Dari pihak UGM terdapat sejumlah nama yang digugat di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta. Yaitu Rektor, empat Wakil Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan, dan kepala perpustakaan UGM. Penggugat bernama Komardin yang berprofesi sebagai pengacara dari Makassar itu menuntut UGM untuk membayar ganti rugi sejumlah 1.069 triliun rupiah bila UGM tidak bisa menunjukkan bukti akademik kelulusan Jokowi.

Tak lama setelah beredar rumor Kasmudjo menghilang menyusul pelaporan Komardin, Jokowi mengunjungi kediaman pria sepuh itu. Tidak ada yang tahu apa isi pembicaraan mereka. Beredar spekulasi bahwa Jokowi sedang mengarahkan Kasmudjo menghadapi sidang yang akan dimulai pada 22 Mei 2025. Jokowi diduga menitip pesan apa yang harus dikatakan oleh Kasmudjo di depan hakim nanti.

Sehari setelah Jokowi mendatanginya, Kasmudjo berbicara kepada wartawan bahwa dirinya tidak siap dengan gugatan yang dilayangkan kepadanya. Dia tampak bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kasmudjo kelihatannya tidak menyangka pernyataan Jokowi dulu bahwa dia dosen pembimbingnya akan menyeretnya menjadi pihak tergugat. Bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan, Kasmudjo akhirnya mengatakan telah menyerahkan perkara ini ke Fakultas Kehutanan UGM.

Publik sangat kasihan melihat Kasmudjo yang sudah sepuh itu tidak bisa menjalani masa-masa pensiunnya karena diseret-seret Jokowi ke dalam pusaran kasus tak berujung ini. Sebagian publik mengecam Jokowi karena dianggap sudah melampaui batas. Seharusnya Kasmudjo bisa hidup tenang di usia senjanya, mengisi kegiatan dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan melayani gugatan hukum yang mungkin dia tak pernah sangka sebelumnya.

Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Kasmudjo harus kooperatif bila mendapat panggilan dari pengadilan dan harus bersedia memberikan keterangan sebenar-benarnya sesuai dengan pengetahuannya. Inilah waktu paling dinanti oleh rakyat Indonesia agar Kasmudjo berkata jujur, tidak ada yang ditutup-tutupi.

Di antara pengakuan Kasmudjo yang paling mengejutkan kepada wartawan adalah dia cuma asisten dosen. Bukan dosen pembimbing skripsi, dan bukan pula dosen pembimbing akademik (PA) Jokowi. Tentu pengakuan ini berbanding terbalik dengan pernyataan Jokowi beberapa tahun lalu bahwa Kasmudjo adalah dosen pembimbingnya—entah pembimbing skripsi atau pembimbing akademik.

Di akun X miliknya tertanggal 13 Mei 2025, Jokowi masih mengaku Kasmudjo sebagai dosen pembimbing akademiknya. Namun dalam wawancaranya dengan wartawan, Kasmudjo sama sekali tidak menyinggung bahwa dia dosen pembimbing akademik Jokowi. Dia mengaku hanya pernah menjadi asisten dosen di Fakultas Kehutanan UGM pada 1980-1985, masa yang diakui Jokowi sebagai masa dia kuliah di kampus itu.

Kasus ijazah palsu ini sangat memalukan rakyat Indonesia. Bila Jokowi punya ijazah, mampu menunjukkannya di depan hakim, dan terbukti sah, maka rakyat malu karena Jokowi telah membuat gaduh selama bertahun-tahun. Dia terbukti bukan negarawan dan memilih memenjarakan rakyatnya sendiri daripada menunjukkan ijazahnya secara baik-baik ke publik jauh-jauh hari sebelumnya.

Tetapi rakyat akan lebih malu lagi bila ijazah Jokowi ternyata memang palsu. Bagaimana mungkin negara besar dengan penduduk hampir 300 juta jiwa ini bisa dibohongi secara telak, telanjang, dan mentah-mentah selama 10 tahun? Membayangkan kemungkinan kedua ini yang terjadi ibarat membayangkan runtuh dan bubarnya republik. Pasti ada yang sangat salah selama ini yang ditutup-tutupi para elit.

Rakyat hanya menginginkan para penegak hukum, terutama dalam hal ini kepolisian, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Setelah 10 tahun menjadi alat kepentingan sempit Jokowi, kini sangat susah bagi rakyat untuk percaya pada kepolisian. Karenanya, penanganan kasus ini oleh polisi, terutama dalam uji forensik ijazah Jokowi, diliputi sikap skeptis oleh masyarakat. Bagaimana mungkin lembaga yang selama ini menghamba pada Jokowi akan bisa bersikap obyektif dan adil?

Rakyat tentu tidak bisa disalahkan begitu saja bila muncul kecurigaan dan rasa tidak percaya pada kepolisian. Rakyat masih trauma dengan kasus Kilometer 50, kasus Sambo, dan kasus kopi sianida Jessica, di antaranya, yang diliputi rekayasa demi membela pihak tertentu. Kasus-kasus ini jauh dari kebenaran dan keadilan.

Dari semua perkembangan kasus ijazah palsu ini yang sudah melebar ke berbagai pihak sebagai tergugat, Jokowi kelihatan semakin panik dan risau. Dia tampak semakin cepat tua. Angle kamera dari sudut agak atas memperlihatkan rambutnya sudah kelihatan jarang dan rontok. Mungkin Jokowi sudah mendapat firasat kurang baik sehingga kondisi fisiknya semakin terganggu. Mungkin juga dia mulai sadar bahwa semua aktingnya di depan kamera sudah tidak mempan lagi mengelabui rakyat.

Namun kabar keseriusan Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi dengan tidak melibatkan kepolisian mungkin yang paling merisaukannya. Publik dengan cepat membaca langkah Prabowo memerintahkan TNI untuk menjaga kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia sebagai sikap tidak percayanya pada kepolisian.

Bila langkah Prabowo ini menggelinding dan berhasil sebagai program unggulan, maka terbuka kemungkinan untuk memeriksa laporan dugaan korupsi keluarga Jokowi yang sudah dilaporkan ke KPK tetapi tidak kunjung diproses. Skenario ini bukan isapan jempol bila melihat langkah catur Prabowo yang sudah memasuki bulan keenam dalam memerintah.

Kasus laporan hukum yang menimpa Jokowi sudah lumayan merepotkannya. Di samping kasus ijazah palsu, ada pula laporan wanprestasi mobil Esemka yang membuat Jokowi terpilih menjadi Gubernur Jakarta pada 2012. Gugatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Kota Solo oleh seorang warga Solo.

Melihat melebarnya medan pertempuran yang harus dihadapi oleh Jokowi dan keluarga, yang kemudian akan melebar kelak ke kroni-kroninya, kemungkinan besar akhir hayat Jokowi akan berakhir tragis. Tidak sukar untuk melihat ke mana arah kemarahan rakyat yang selama ini menderita akibat kezaliman Jokowi selama 10 tahun.

Mungkin Jokowi sekarang sedang menjalani kutukan ungkapan yang mengatakan, “Mereka yang naik kekuasaan dengan cara tidak wajar, akan jatuh pula dengan tidak wajar.” Jokowi tidak perlu mengeluh, apa lagi memohon belas kasihan kepada siapa pun, karena dia sangat sadar dengan segala kezaliman yang telah dilakukannya. ***

Saturday, May 10, 2025

Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi

Perspektif KBA News, Sabtu, 10 Mei 2025

Buni Yani

Publik, terutama mereka yang pernah menjadi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, tidak sabar dengan kelambanannya memproses hukum Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah memerintah dengan penuh kezaliman selama 10 tahun. Sebulan, dua bulan, bahkan setelah 100 hari pun Jokowi masih pecicilan ke mana-mana yang membuat rakyat marah.

Lazimnya pemerintahan baru di banyak tempat di dunia, seratus hari dianggap sebagai angka yang cukup adil untuk menilai kinerja presiden terpilih. Namun pada bulan keempat pun Jokowi masih seperti presiden periode ketiga. Bulan kelima juga demikian. Banyak menteri kabinet Prabowo sowan ke Solo, menjadikan pemerintahan Prabowo mengalami gerhana gelap, dan publik yang berpikiran waras tidak bisa menerima kejadian ini.

Dugaan matahari kembar bukan lagi isapan jempol. Jokowi dipandang sedang mempersiapkan Gibran menjadi presiden untuk Pemilu 2029—tetapi lebih cepat dari itu lebih baik. Sementara itu di pihak lain, publik melihat Gibran adalah anak kecil yang belum cukup umur, tidak memiliki kemampuan sama sekali bahkan untuk hal-hal sederhana, dan naiknya pun menjadi pejabat publk diperoleh melalui proses penuh kecurangan karena menukangi konstitusi.

Kesabaran publik sudah habis begitu memasuki bulan keenam. Jokowi kelihatan semakin kuat mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara di pihak lain Prabowo semakin lemah di bawah bayang-bayang gerhana yang diciptakan Jokowi. Namun Prabowo menjanjikan akan ada kejutan setelah enam bulan memerintah.

Publik terlanjur tidak percaya. Meniru ucapan Prabowo yang viral, banyak orang mengatakan, ah itu pasti omon-omon belaka. Publik sudah terlanjur kehilangan harapan. Bukankah Prabowo telah mengatakan Jokowi adalah guru politiknya dan berteriak “hidup Jokowi”? Bukankah Prabowo telah berjanji akan melanjutkan program-program gurunya itu?

Namun plot twist tak terduga membuat ternak Jokowi dan geng Solo shock berat. Belum genap enam bulan, gempa politik memang betul-betul terjadi. Janji Prabowo itu memang benar adanya. Tiba-tiba purnawirawan TNI mengajukan delapan tuntutan yang salah satunya adalah mendesak penggantian Gibran anak haram konstitusi. Para purnawirawan meniupkan terompet perlawanan untuk menyelamatkan republik yang sedang sekarat akibat ulah Jokowi.

Delapan tuntutan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh lima jenderal purnawirawan TNI yaitu Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, Hanafi Asnan, dan Try Sutrisno. Di antara kelima nama itu, yang menjadi bintang tentu saja adalah Try Sutrisno. Tidak saja karena senioritas Try di TNI, tetapi juga karena dia pernah menjadi wakil presiden. Tuntutan itu didukung oleh 103 jenderal purnawirawan, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.

Para purnawirawan menyampaikan delapan tuntutan itu dalam sebuah acara pada 17 April 2025, atau tiga hari sebelum Presiden Prabowo merampungkan enam bulan pemerintahannya. Yang menarik, dokumen yang ditandatangani oleh para purnawirawan itu sudah dibuat pada bulan Februari 2025.

Pada saat terjadi serangan ke Gibran, bergulir pula dengan lancar dan menjadi perhatian nasional, kasus ijazah palsu Jokowi yang sudah bertahun-tahun jadi polemik dan hampir dilupakan. Munculnya ahli forensik digital Rismon Sianipar menyuntikkan darah baru pada penelisikan ijazah Jokowi yang punya banyak kejanggalan itu. Hasil penelitian Rismon melengkapi penelitian ahli digital Roy Suryo dan dokter Tifauzia Tyassuma, dan ini semakin meyakinkan publik bahwa ijazah UGM Jokowi memang bermasalah.

Rismon Sianipar dan Roy Suryo dengan sangat meyakinkan menunjukkan hasil penelitian mereka menggunakan aplikasi digital bahwa foto ijazah UGM Jokowi tidak identik dengan foto Jokowi sekarang ini. Kesimpulan mereka, ijazah UGM Jokowi yang beredar luas menggunakan foto diri orang lain. Bahkan foto diri tersebut kelihatan seperti foto yang ditempelkan di atas stempel karena tidak ada warna merah tinta stempel di atasnya.

Ini temuan baru yang tentu saja sangat mengguncang dan membuat heboh politik nasional. Perlawanan buzzer dan ternak Jokowi tenggelam oleh besarnya magnitude dan skala perbincangan publik atas kasus ini. Mereka tidak bisa lagi melawan narasi yang sudah masuk ke dalam kesadaran publik bahwa Jokowi memang pembohong yang ijazahnya palsu. Perlawanan sia-sia ini menunjukkan semakin lemahnya Jokowi dan gerbong di belakangnya.

Dua gempuran dahsyat ini membuat Jokowi dan geng Solo mulai gemetaran dan kelihatan oleng. Dalam sebuah video menanggapi laporannya ke Polda Metro Jaya, suara Jokowi mulai kedengaran was-was dan khawatir. Meskipun dia berusaha tampil tenang dan berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang terzalimi karena telah “dihina sehina-hinanya”, suaranya tak bisa berbohong. Dia kelihatan lelah dan risau.

Bagaimana kita bisa memaknai dua kejadian penting ini menggunakan semiotika sosial sebagai pisau analisis? Apakah ada keterlibatan Prabowo? Apakah dua kejadian itu merupakan perwujudan dari janji Prabowo bahwa akan ada kejutan setelah enam bulan menjabat? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang beredar sekarang ini di banyak grup WA, obrolan santai, dan diskusi serius.

Bahwa Prabowo adalah orang Jawa dari garis bapak dan Minahasa dari garis ibu adalah fakta yang harus kita catat. Prabowo lahir dari keluarga yang heterogen baik dari segi latar belakang agama maupun suku bangsa. Persentuhannya dengan budaya dan pendidikan Eropa sejak SMP menjadikannya berwawasan global—dan menambah pluralitas dalam dirinya.

Prabowo kemudian menikah dengan Titiek Soeharto yang beragama Islam, dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam sejak muda. Di lettingnya, Prabowo dimasukkan ke dalam perwira "hijau" karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam itu. Pergaulannya yang luas membuat Prabowo menjadi orang yang semakin lentur dalam beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru.

Sebagai orang yang lahir dari keluarga setengah Jawa, Prabowo cukup memahami unggah-ungguh Jawa. Dia paham apa itu high-context culture yang melekat dalam budaya Jawa—yaitu suatu tradisi yang menghargai komunikasi dengan simbol dan gestur, bukan bahasa verbal yang terang-terangan. Yaitu suatu budaya yang mensyaratkan pemahaman pada apa yang tersirat di samping pada apa yang tersurat.

Karenanya, bagi mereka yang memahami budaya Jawa dengan baik, pendekatan Prabowo pada kompleksitas hubungannya dengan Jokowi harus dipahami dalam kerangka ini. Prabowo tahu bahwa rakyat menolak Gibran dengan keras, tetapi dia harus mengesampingkan penolakan itu untuk tujuan yang lebih besar. Dia juga harus pintar dan hati-hati menangani tuntutan mengadili Jokowi karena Jokowi telah berjasa mengantarkannya menang pada Pemilu 2024.

Memahami konteks sosial dan budaya ini, maka bagi sebagian orang, teriakan “hidup Jokowi” dan pujian-pujiannya itu memiliki arti sebaliknya. Bukan apa yang terkatakan, tetapi apa yang terjadi dan berlaku di ruang publik secara nyata itulah pesan yang sebenarnya.

Bahwa kemudian Prabowo membatalkan mutasi Letjen Kunto dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) untuk digantikan oleh orangnya Jokowi merupakan sinyal nyata Prabowo sedang melakukan operasi senyap: puji terus, tetapi gergaji kekuatan Jokowi sedikit demi sedikit.

Langkah catur Prabowo yang kemudian tidak mengizinkan mundurnya Hasan Nasbi “kepala babi”—orang yang sejak awal dikenal sebagai orangnya Jokowi—sebagai juru bicara Istana dimaksudkan untuk menimbulkan kesan draw, permainan berimbang. Bahwa dikembalikannya Hasan Nasbi menjadi juru bicara Istana merupakan pertukaran atas dikembalikannya Letjen Kunto ke posisi semula.

Tetapi semua analis tentu paham bahwa posisi juru bicara Istana jelas jauh kalah strategis dibandingkan dengan posisi Pangkogabwilhan. Bila terjadi huru-hara politik, yang akan punya kontribusi menyelamatkan posisi Prabowo secara riil di lapangan bukanlah juru bicara Istana, tetapi Pangkogabwilhan. Sesederhana itu kita membaca langkah bidak permainan catur ini.

Bila naskah delapan tuntutan para purnawirawan sudah dipersiapkan sejak Februari, dan Prabowo dengan begitu meyakinkan berjanji akan ada kejutan setelah enam bulan, maka ini sangat susah dianggap sebagai hal yang terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Kedekatan Prabowo dan Try Sutrisno yang duduk satu meja dalam acara halal-bihalal purnawirawan TNI AD memperkuat analisis bahwa Prabowo menyetujui penggantian Gibran. Bahkan mungkin sudah lama Prabowo berkomunikasi dengan para purnawirawan.

Untuk kasus ijazah palsu pun Prabowo kelihatan membiarkan perkara ini berkembang seperti apa adanya dan membiarkan Jokowi berjuang sendiri. Prabowo tidak kelihatan melindungi Jokowi—hal yang tentu berbanding terbalik dengan puja-puji verbal terhadap “mentor” politiknya itu. Sangat besar kemungkinan inilah yang membuat Jokowi kelihatan khawatir dan risau.

Harapan Jokowi satu-satunya kini terletak pada Kapolri Listyo Sigit, orang dekatnya, yang sedang menangani proses hukum ijazahnya. Penyelidikan sudah berlangsung selama sebulan sejak adanya pengaduan ke Bareskrim. Penyelidikan sudah rampung sekitar 90 persen, dan sisa 10 persen menunggu hasil uji laboratorium forensik Bareskrim.

Drama ini penuh ketegangan. Rakyat hanya akan percaya bila hasil uji forensik menunjukkan ijazah Jokowi memang palsu adanya. Bila dinyatakan asli, rakyat akan menolaknya, rakyat tidak akan percaya. Penyebabnya dua hal. Pertama, karena kepolisian masih di bawah Sigit Listyo yang merupakan orang dekat Jokowi. Kedua, karena kepolisian selama ini punya reputasi buruk dalam merekayasa kasus.

Katakanlah dilakukan uji forensik oleh pihak kedua, selain oleh Bareskrim, lalu ternyata ijazah Jokowi memang asli adanya, ini pun tidak akan memadamkan perlawanan. Jokowi akan dilaporkan kembali karena telah membuat gaduh, karena baru mengeluarkan ijazahnya yang asli setelah bertahun-tahun kemudian.

Alhasil, Jokowi sekarang maju kena mundur kena. Yang jelas rakyat menginginkan Jokowi dihukum seberat-beratnya akibat kezalimannya selama 10 tahun.

Kejatuhan Jokowi begitu nyata. Partai-partai politik yang dulu menjadi sekutunya dan begundal-begundal yang selalu mendampinginya sedang melakukan perhitungan. Sebagian besar mereka sedang menunggu di pinggir gawang untuk melakukan tendangan telak begitu Jokowi sedang sekarat politik. Mereka-mereka yang dulu begitu intensif menjilat Jokowi adalah orang yang paling cepat pindah kubu begitu Jokowi terdesak dan menemui ajal politik.

Semiotika sosial kejatuhan Jokowi sangatlah tidak rumit untuk dibaca bahkan oleh orang awam sekalipun. Zaman informasi yang mempercepat jalannya sejarah tidak berpihak kepadanya. Bahkan kebenaran sekalipun tak akan menolongnya. Karena dia terlanjur menjadi musuh bersama rakyat akibat kezalimannya yang tak termaafkan. ***

Sunday, May 4, 2025

Jokowi Semakin Panik, Merengkuh Apa Saja agar Tidak Hanyut

Perspektif KBA News, Sabtu, 3 Mei 2025

Buni Yani

Sebagai pemain drama politik nasional dengan jabatan sebagai pemeran utama selama 10 tahun, Jokowi jelas sudah hapal dan sangat berpengalaman bermain watak, terutama di depan kamera. Tetapi kali ini Jokowi sangat naif bila menganggap rakyat Indonesia masih bodoh dan masih saja percaya pada dirinya. Rakyat sudah tahu Jokowi seringkali sen kanan tahunya belok kiri.

Setelah melaporkan lima nama ke Polda Metro Jaya terkait ijazah palsu, Jokowi, seperti biasa, seperti yang dia lakukan selama 10 tahun berkuasa, dengan gagah berani dan enteng menghadapi wartawan. Dia mengatakan soal ijazah palsu ini soal ringan saja sambil tertawa terkekeh yang sudah menjadi ciri khasnya. Jokowi mencoba mengecilkan peristiwa ini seolah sama sekali tidak mengganggu keadaan mental apa lagi agenda politiknya.

Jokowi adalah aktor hebat. Bahwa dia menjadi presiden dua periode dengan melibas semua lawan politiknya dan menghindari serangan ijazah palsu serta riwayat silsilah keluarganya merupakan peristiwa langka yang jarang terjadi di dunia. Ini jelas kemampuan yang luar biasa yang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya—yang kali ini memiliki pengertian negatif.

Sebagai aktor hebat, Jokowi sangat pintar bermain peran di depan kamera. Baginya, kamera adalah jendela dunia melalui mana dia bisa berkomunikasi dengan massa anonim, massa luas yang tak berhingga jumlahnya yang dia tak pernah kenal. Baginya, kamera adalah senjata utama bagi agenda politknya, alat untuk menyampaikan pesan dan membangun citra yang dia inginkan.

Jokowi sangat percaya diri bahwa dia telah mempunyai apa yang di dalam kajian budaya pop dikenal sebagai “persona”—yaitu citra unik seorang bintang yang lahir dan dipuja oleh fans karena mempunyai daya pikat dan kharisma di atas panggung. Jokowi merasa dia adalah bintang, bukan dalam budaya pop, tetapi dalam dunia politik. Sebuah dunia yang menurutnya bisa jadi tidak jauh berbeda dengan dunia artis dan kebintangan.

Namun kali ini sangkaan Jokowi jelas tidak tepat mengenai dirinya. Dia sudah lama bukan lagi bintang, dan orang dengan cepat belajar bahwa gerak-gerik Jokowi lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat untuk bangsa. Massa sangat cepat belajar dari janji yang tidak ditepati, kebohongan-kebohongan yang secara telanjang dipertontonkan, banyaknya korupsi, dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman dia berkuasa.

Jokowi jelas salah menilai diri. Rakyat banyak sudah lama sekali gerah melihat kezaliman yang diperbuatnya. Jokowi sangat keji dan anti kemanusiaan. Zaman dia berkuasa selama 10 tahun secara zalim, banyak sekali aktivis yang dipenjarakannya. Bahkan enam laskar FPI dibunuh secara brutal.

Apakah Jokowi pernah menyesal dan minta maaf karena itu pelanggaran HAM berat? Tidak. Tapi sekarang ketika Jokowi diminta untuk menunjukkan ijazahnya, dia menolak. Katanya, itu melanggar HAM. Betul-betul tidak masuk akal, keji, dan anti kemanusiaan.

Kezaliman Jokowi menyebar dan menular ke hampir semua orang yang dekat dengannya. Pengacara Jokowi mengatakan produk ilmiah harus disahkan secara hukum baru boleh disebarluaskan atau dipublikasikan. Menurut pendapatnya yang lucu dan aneh itu, kalau sarjana menulis paper dan buku, maka harus ada pengesahan lembaga hukum terlebih dahulu.

Bila kajian naskah menemukan bahwa font Times New Roman di skripsi Jokowi menunjukkan kepalsuan skripsi, maka hal ini tidak boleh disampaikan ke publik. Harus terlebih dahulu disahkan oleh lembaga hukum. Menurutnya, legalitas hukum lebih tinggi daripada kebenaran ilmiah. Tidak ada kebebasan ilmiah. Belum pernah ada pendapat seaneh dan sebodoh ini di seluruh dunia.

Semua ruang berbangsa dan bernegara dirusak oleh Jokowi secara brutal. Benteng pertahanan bangsa yang terakhir, yaitu dunia akademik, dilindas oleh Jokowi dengan dingin. UGM kini dia acak-acak. Kebanggaan kampus besar itu yang telah melahirkan luminari seperti ekonom kerakyatan Mubyarto dan pakar kebudayaan Kuntowijoyo kini tercoreng dengan sangat memalukan.

Jokowi menggertak rakyat dengan memamerkan kedekatannya dengan Hercules, seorang mantan preman yang kini menjadi pemimpin ormas yang dekat dengan kekuasaan. Dengan ini Jokowi memberikan pernyataan terang-benderang bahwa dia tidak cuma masih menguasai sumber daya ekonomi dan politik, tetapi juga dunia bawah tanah yang hitam kelam. Seolah Jokowi ingin mengatakan, kalian mau main terang atau gelap akan saya layani.

Namun semua pertunjukan teater Jokowi sudah kehilangan magis—skenarionya seperti sampah, bahkan aktingnya kini seperti kotoran yang tidak lagi diperlukan. Mimpi mengenai persona dirinya adalah ilusi yang berlebihan. Sebuah pandangan dunia yang didasari oleh megalomania kosong yang tidak membumi, tidak berdasar realitas sebagai basis akal sehat.

Faktanya, semakin banyak orang berani dan menantang Jokowi secara terang-terangan. Aktivis melaporkannya karena ijazah palsu. Bahkan di kota kecil Solo dari mana dia memulai pertunjukan teater politiknya, Jokowi dilaporkan oleh pengacara untuk kepalsuan ijazah SMA-nya. Jokowi jauh dari magisme yang dia khayalkan.

Dalam cara yang agak berbeda, dengan unggah-ungguh budaya Jawa yang tinggi, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mengirim pesan ke Jokowi. Jenderal Gatot memarahi Hercules dengan sangat keras karena Hercules sebelumnya mengata-ngatai secara tidak pantas mantan Wapres Try Sutrisno dan Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso.

Tapi kemarahan Jenderal Gatot ini harus dibaca dengan cara lain. Karena jelas sangat tidak level seorang mantan Panglima TNI mengomentari dan melakukan kontak dengan seorang mantan preman. Kejadian ini harus dianalisa dalam kerangka semiotika sosial berbasis budaya Jawa. Jenderal Gatot sebetulnya sedang mengirim pesan kepada Jokowi bahwa dia dan rakyat Indonesia tidak takut kepada gertakan preman seperti Hercules.

Bahwa purnawirawan TNI, oposisi selama 10 tahun, aktivis, dan rakyat Indonesia sama sekali tidak takut pada Jokowi dan geng Solo yang sudah mengacak-acak Indonesia selama 10 tahun. Pemakzulan Gibran akan terus jalan. Pesan ini, nyata, sebetulnya, ditujukan untuk mengirim tantangan secara terbuka kepada Jokowi yang sudah berlaku kurang ajar kepada bangsa, negara, dan kemanusiaan secara umum.

Jelas postur politik Jokowi semakin lemah dan ringkih. Gempuran kasus ijazah palsu membuatnya oleng dan sangat panik. Drama-drama pencitraan seolah dia baik-baik saja justru semakin menunjukkan kepanikannya. Sinyal lemahnya Jokowi yang menunjukkan posisinya semakin terancam adalah dengan dipulihkannya posisi Letjen Kunto, batal digantikan oleh orangnya Jokowi.

Alhasil, dengan sisa-sisa pencitraan receh Jokowi yang masih tersisa, yang magisnya sudah jadi kotoran, kini sudah menjadi olok-olok dan caci-maki rakyat jelata. Jokowi sudah kehabisan waktu. Dia akan jatuh bersama ditendangnya Gibran anak haram konstitusi yang mendapatkan jabatan dengan cara curang dan licik. Waktunya sudah dekat sekali. ***