Saturday, July 26, 2025

Pesan Jokowi untuk Prabowo, Sekutu, dan Seteru Politiknya

Perspektif KBA News, Sabtu, 26 Juli 2025

Buni Yani

Kasus ijazah palsu Jokowi semakin menunjukkan tidak netralnya penegak hukum. Jokowi sangat dilindungi dan diistimewakan seperti warga negara kelas satu yang tidak tersentuh hukum. Bahkan kini rakyat melihat Jokowi di atas hukum. Siapa pun yang berani mempertanyakan dosa-dosa Jokowi dan keluarganya pasti akan dikriminalisasi.

Dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Jokowi di Polda Metro Jaya, polisi bergerak cepat menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. Sementara dalam kasus laporan TPUA di Bareskrim, lembaga ini menunjukkan keengganan untuk memeriksa ijazah Jokowi menggunakan teknologi yang seharusnya. Bareskrim dengan segera menyatakan ijazah Jokowi asli dan menghentikan penyelidikan.

Situasi ini membuat rakyat kehilangan harapan dan marah. Mengapa hukum sebagai benteng terakhir semua warga negara dalam mencari keadilan kini semakin jauh bahkan telah dinistakan oleh aparat penegak hukum sendiri. Kondisi ini sangat rentan menimbulkan ledakan kerusuhan karena perasaan ketidakadilan sudah dirasakan sampai masyarakat bawah.

Setelah kasus ijazah palsu Jokowi naik ke tingkat penyidikan, paling tidak ada empat hal penting yang sangat menarik perhatian publik. Pertama, Jokowi tetap ngotot mengatakan Kasmudjo adalah dosen pembimbing akademiknya. Padahal Kasmudjo mengatakan tahun 1980 ketika Jokowi baru masuk UGM, golongan atau kepangkatan akademiknya tidak memungkinkannya untuk menjadi pembimbing akademik.

Kedua, pemeriksaan Jokowi atas laporannya di Polda Metro Jaya tidak dilakukan di Jakarta setelah sebelumnya Jokowi menunda pemeriksaan karena alasan sakit. Tentu ini menimbulkan protes di tengah masyarakat karena Jokowi mendapatkan keistimewaan. Padahal kedudukan Jokowi di hadapan hukum seharusnya tidak lebih dan tidak kurang dengan warga negara yang lain.

Penundaan pemeriksaan dengan alasan sakit sangat sulit diterima akal sehat karena Jokowi sangat aktif wara-wiri mengikuti berbagai macam acara. Belum lama ini dia baru pulang liburan dari Bali dan mengikuti acara PSI di Solo. Tetapi mengapa ketika berurusan dengan hukum, dia mengatakan sedang sakit.

Yang tidak kalah kontroversialnya, mengapa Polda Metro Jaya yang berkantor di Jakarta harus mengikuti kehendak Jokowi agar pemeriksaannya berlangsung di Solo? Ini tentu berkaitan dengan anggaran negara yang digunakan oleh para penyidik yang seharusnya tidak perlu dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Dalam pemeriksaan di Solo itu, penyidik tampak sedang ngobrol-ngobrol biasa di sebuah ruangan yang mirip kafe. Dalam ruangan itu tidak hanya Jokowi dan penyidik yang hadir, tetapi juga banyak orang lain yang duduk di kursi dan meja lain di dalam ruangan itu. Kejadian ini menimbulkan kemarahan publik. Ini sesungguhnya pemeriksaan hukum yang serius atau apa? Mengapa Jokowi begitu diistimewakan oleh kepolisian yang diketuai oleh Litsyo Sigit Prabowo itu?

Ketiga, pada hari Ahad, 26 Juli 2025 Jokowi tampak menghadiri reuni alumni Fakultas Kehutanan angkatan tahun 1980. Tidak hanya hadir, dalam acara itu Jokowi diberikan panggung untuk memberikan pidato yang menyinggung soal politik dan kasus ijazah palsunya. Jokowi mengatakan kembali bahwa Kasmudjo adalah dosen pembimbingnya, meskipun tidak sepesifik mengatakan dosen pembimbing akademik.

Keempat, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo di Solo setelah Prabowo menghadiri acara PSI. Dalam foto yang beredar luas di masyarakat, tampak Prabowo didampingi oleh tiga orang lainnya di satu deretan kursi dan di seberang meja terdapat Jokowi, Iriana dan Gibran. Foto ini ditafsirkan oleh netizen sebagai Prabowo sedang memberikan laporan ke Jokowi, padahal Jokowi bukanlah atasan Prabowo. Atau memang de facto Jokowi masih menjadi atasan Prabowo? Demikian publik bertanya dengan nada getir.

Empat peristiwa ini memberikan clue kira-kira seperti apa dan mau ke mana arah kasus ijazah palsu ini yang sudah menjadi peristiwa hukum dan pidana, dan menarik perhatian rakyat secara nasional. Dari pihak Jokowi, tampak dia semakin panik menghadapi kasus ini. Itu sebabnya dia menggunakan pengaruhnya di pemerintahan Prabowo di banyak institusi yang masih dia kendalikan.

Rakyat membaca Jokowi semakin tertekan secara mental sehingga dia semakin ekstrem memamerkan pengaruh dan kekuasaannya di pemerintahan Prabowo. Jokowi ingin menunjukkan ke publik, terkhusus ke pendukungnya yang rata-rata orang desa tidak berpendidikan korban bansos, bahwa segala sesuatunya berjalan baik dan dia masih berkuasa.

Ini penting dilakukan Jokowi karena dia sangat paham bahwa politik dalam banyak hal selalu berkaitan dengan citra atau kesan, bukan susbstansi dan kebenaran hakiki. Jokowi sedang menciptakan kesan bahwa di masih menjadi penguasa de facto dan masih mampu mengendalikan banyak institusi penting dalam pemerintahan Prabowo.

Dengan gestur politik ini Jokowi mengirim pesan bahwa dinastinya masih berkuasa dan Gibran akan melanjutkan kekuasaannya setelah selama 10 tahun mengacak-acak republik. Dia juga ingin mengatakan bahwa dia serius sedang mempersiapkan Gibran untuk Pilpres 2029 dan menjamin bahwa Gibran pasti menang.

Pesan meyakinkan ini wajib dikirimkan ke para pendukungnya agar semakin loyal. Tidak boleh ada keraguan, tidak boleh ada perubahan pikiran. Semuanya berjalan baik dan normal. Semuanya terkendali di bawah pengaruh Jokowi. Itu sebabnya para pendukung fanatiknya harus tetap on the track dalam mencapai agenda politik dinasti Jokowi.

Sedangkan kepada lawan-lawan politik dan para aktivis yang mempermasalahkan ijazahnya, Jokowi ingin mengatakan bahwa “kalian tidak mungkin menang karena Prabowo berada di pihak saya. Prabowo masih di bawah kontrol saya. Kalian semua akan berakhir di penjara seperti Bambang Tri dan Gus Nur.”

“Apakah kalian begitu bodoh tidak bisa melihat bahwa Prabowo begitu takzim menghadap keluarga saya untuk memberikan laporan? Boleh Prabowo menjadi presiden, tetapi yang berkuasa tetap saya. Tetap yang mengendalikan negara ini adalah keluarga saya. Jadi kalian dalam masalah besar bila terus-menerus berseteru dengan saya dan keluarga saya.”

Semua yang dilakukan Jokowi sekarang adalah untuk kelangsungan dinasti politiknya yang dia ingin wariskan ke Gibran dan Kaesang. Gibran sudah dia dudukkan menjadi wapres dengan cara haram dan penuh kecurangan, sedangkan Kaesang dan partai berlambang gajah itu sedang dia persiapkan untuk misi menyelamatkan dirinya dari serangan yang semakin ganas.

Ini sudah yang kesekian kali publik tidak henti-hentinya mengingatkan Prabowo untuk eling lan waspodo dalam menghadapi Jokowi. Semakin dia membiarkan Jokowi bermanuver dan intensif melakukan konsolidasi, maka akan semakin merugikan tidak saja diri dan pemerintahannya, tetapi juga bangsa dan negara secara umum.

Kecuali memang Prabowo sudah sangat merasa nyaman dengan posisi sekarang. Bahwa pemerintahannya adalah betul Jokowi tiga periode, dia adalah tetap anak buah Jokowi, dan keadilan untuk rakyat bukanlah hal yang penting. Sikap diamnya dan begitu takzimnya ke Jokowi setelah hampir 10 bulan berkuasa menunjukkan itu.

Boleh Prabowo membantah dengan berbagai cara bahwa de facto dia sekarang memang anak buah Jokowi, tetapi fakta tidak bisa bohong. Biarkan fakta berbicara sendiri. ***

Saturday, July 19, 2025

Diplomasi Prabowo di Paris, Dirusak Jokowi di Solo

Perspektif KBA News, Sabtu, 19 Juli 2025

Buni Yani

Lagu Maju Tak Gentar bergema di Champs Ellysées Paris. Rombongan marching band TNI dengan percaya diri melakukan atraksi yang banyak diulas oleh media internasional. Di Prancis sendiri hampir semua media besar mengulas penampilan spektakuler TNI itu. Tak kurang dari Le Monde, Le Figaro, BFM TV, dan France 24 memberikan komentar positif.

Dengan postur tinggi rata-rata 175 cm, para pemain marching band dan juga tentara dalam parade itu terlihat gagah. Gerakan mereka harmonis mengikuti musik yang mengalun. Untuk bisa menghasilkan keserempakan dan keseragaman gerakan tentu tidak mudah. Latihan yang disertai disiplin tinggi, yang menjadi doktrin militer, menjadi keharusan.

Strategi Presiden Prabowo dalam mengambil hati Presiden Macron tidaklah salah. Bila TNI mampu berkoordinasi dengan baik dalam baris-berbaris dengan gerakan yang padu, maka dalam perang mungkin tidak akan jauh kondisinya. Karena baris-berbaris tidak hanya memerlukan kedisiplinan yang tinggi, tetapi juga imajinasi dalam mengatur ritme dan gerak sesuai alunan musik—yang tentu saja diperlukan dalam perang.

Kontingen Indonesia, yang terdiri dari tentara dan pasukan marching band, ini adalah pasukan pertama luar negeri yang diundang ke perayaan Hari Nasional 14 Juli yang dikenal sebagai Hari Bastille. Indonesia menjadi tamu kehormatan dan menjadi pasukan pembuka parade dengan tempat berada di posisi paling depan.

Seperti dikatakan oleh wartawan TV Prancis, kontingen Indonesia berbaris di jalan yang sangat bersejarah dan terkenal di negeri itu. Mungkin ini juga yang membuat kontingen Indonesia di tanah air mendapatkan sorotan dan ulasan yang luas. Padahal penampilan di Paris ini bukanlah penampilan pertama dari tim marching band di luar negeri.

Kontingen yang sama enam bulan sebelumnya memenuhi undangan India dalam merayakan hari kemerdekaan. Namun penampilan di New Delhi itu hampir tidak menarik perhatian media dalam negeri—hal yang jauh berbeda dengan penampilan di Paris. Puja-puji bagi rombongan Indonesia tak henti-hentinya mengalir karena dianggap sukses memperkenalkan Indonesia dengan sangat baik di jantung Eropa—di jantung kota paling prestisius dan berbudaya di dunia.

Bagaimana tidak, kontingen Indonesia melakukan atraksi di depan Presiden Emmanuel Macron dengan latar belakang Arc de Triomphe (Gerbang Kemenangan) yang megah. Gerbang ini dibangun oleh Napoleon Bonaparte pada abad ke-19 untuk mengenang tentaranya setelah memenangkan pertempuran di Austerlitz.

Bertolak dari Arc de Triomphe, peserta parade berjalan sejauh sekitar dua kilometer sampai di Place de la Concorde, tempat yang tidak kalah bersejarahnya. Place de la Concorde artinya kira-kira “alun-alun kerukunan”. Dulu tempat ini bernama Place de la Révolution (alun-alun revolusi) karena di sinilah tempat banyak nama dieksekusi mati ketika revolusi Prancis berkecamuk yang dimulai dengan penyerbuan ke penjara Bastille pada tahun 1789.

Eksekusi dilakukan menggunakan guilotin, yaitu sebuah alat yang berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Guilotin bentuknya memanjang ke atas dengan dua tiang di kiri-kanan yang ditengahnya terdapat pemotong kepala yang sangat tajam yang ditaruh di ujung atas. Korban diikat tangannya dan kepalanya diletakkan di antara dua tiang penyangga pemenggal kepala.

Begitu korban sudah siap dieksekusi, maka petugas melepaskan tali pengikat alat pemenggal kepala yang segera meluncur ke bawah dan tepat mengenai leher korban. Semua korban guilotin kepalanya terpenggal dengan sangat sadis.

Di antara korban yang dieksekusi menggunakan guilotin dalam revolusi Prancis adalah Louis XVI (raja Prancis yang dikenal zalim), Marie Antoinette (istri Louis XVI yang terkenal hidup penuh kemewahan), dan Maximilien Robespierre (tokoh kunci dalam revolusi Prancis).

Tempat kontingen Indonesia menunjukkan kebolehan dipenuhi riwayat revolusi Prancis yang getir. Namun Champs Ellysées, dan Paris secara umum, di abad berikutnya yaitu pada abad ke-19 bertransformasi menjadi “ibu kota dunia” yang keindahan dan modernitasnya tiada tara. Filsuf Sekolah Frankfurt Walter Benjamin menamakan Paris sebagai “ibu kota abad ke-19” di dalam magnum opus-nya Das Passagen Werk (The Arcade Project).

Benjamin terpukau oleh keindahan Paris. Dia lalu melakukan studi atas kemajuan kota indah ini dan fokus pada lorong pertokoan (arcade) yang menjadi daya tarik bagi warga dan turis yang berkunjung ke Paris. Di abad ke-19 pula Paris menyelenggarakan pameran berskala internasional yang menandai apa yang dikenal sebagai belle époque dalam historiografi Prancis.

Paris memang indah. Setiap sudutnya memanjakan mata. Arsitekturnya adalah inspirasi banyak filsuf. Arc de Triomphe yang merupakan arsitektur dari abad ke-19 di zaman Napoleon satu poros atau garis lurus dengan bangunan La Défense yang bergaya modernis dan dibangun pada abad ke-21.

Kawasan Arc de Triomphe, termasuk Champs Ellysées, dikelilingi oleh bangunan-bangunan dari abad ke-18 dan 19, sementara kawasan La Défense dipenuhi oleh bangunan-bangunan kaca modernis. Kota ini sangat terpelihara. Perencanaan kotanya “mengharamkan” bangunan-bangunan bergaya brutalis dan modernis “mengotori” kawasan tua di sekitar Champs Ellysées sehingga dibuatkan kawasan khusus di kawasan La Défense.

Diplomasi Prabowo menggunakan marching band langsung di jantung budaya Eropa mau tidak mau menjadi perhatian dunia. Bukan saja karena penampilan kontingen TNI yang mendapatkan dua jempol, tetapi juga karena prestise Paris yang belum luntur meskipun sudah memasuki abad ke-21.

Di Asia Tenggara, youtuber Malaysia membahas penampilan di Paris itu. TV Vietnam menayangkan atraksi rombongan marching band secara penuh. Mereka ikut bangga. Sebagai sesama bangsa Asia Tenggara, mereka ikut merasa terwakili oleh penampilan spektakuler rombongan yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo itu.

Kini postur Indonesia langsung melompat tinggi, dikenal oleh bangsa-bangsa di dunia. Diplomasi militer dan budaya ini mau tidak mau mengangkat nama Indonesia di panggung dunia. Apa lagi pada saat bersamaan sedang viral aksi “pacu jalur” yang berasal dari Riau, yang rupanya juga mendapat perhatian di Paris.

Namun apakah strategi sentripetal Prabowo ini sudah cukup? Jika Prabowo beranggapan bahwa untuk memecahkan kisruh di dalam negeri dengan melawat ke luar negeri, maka jelas ini adalah anggapan yang keliru. Sebesar apa pun nama baik didapatkan di luar negeri, itu tidak bisa menggantikan keniscayaan pemecahan masalah di dalam negeri.

Presiden Soekarno sudah menunjukkan itu. Kurang apa Bung Karno mengunjungi luar negeri waktu itu, tetapi masalah ekonomi dan kelaparan tidak bisa digantikan dengan pencitraan di luar negeri. Bung Karno bertemu Presiden Kennedy, bintang film Marilyn Monroe, dan banyak lagi tokoh dunia waktu itu. Tetapi semuanya tidak bisa menghilangkan masalah di dalam negeri. Ekonomi ambruk, inflasi menggila, rakyat kelaparan di mana-mana, yang berujung pada hura-hara politik dan pemberontakan PKI pada tahun 1965.

Jika Prabowo merasa bahwa menundukkan Paris lebih penting daripada menuntaskan masalah ijazah palsu Jokowi, pemakzulan Gibran, kasus korupsi geng Solo, dan banyak lagi yang menunjukkan hilangnya keadilan d tengah masyarakat, maka Prabowo jelas salah. Karena revolusi Prancis 1789 dipantik oleh ketidakadilan dan kezaliman yang membuat rakyat memberontak.

Atau jangan-jangan Macron sebetulnya punya pesan tersembunyi kepada Prabowo mengapa dia diajak duduk melihat parade militer di Place de la Concorde, tempat eksekusi mati Raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinette. Mungkin macron ingin mengatakan, “Negeri kami sudah mengalami pahit getirnya revolusi. Maka berlaku adillah kepada rakyatmu.”

Maka rakyat berharap, jangan sampai diplomasi di Paris justru dirusak di Solo. ***

Saturday, July 12, 2025

Geng Solo Menyerang Balik, dan Prabowo pun Tak Bernyali Makzulkan Gibran

Perspektif KBA News, Sabtu, 12 Juli 2025

Buni Yani

Politik Indonesia bergerak kencang seperti roller coaster tanpa rem. Tetapi pergerakannya tidak enak dipandang mata dan bikin kuping sakit bila dibicarakan. Politik Indonesia tidak seradikal puisi avant-gardist Afrizal Malna berjudul Abad yang Berlari dalam melihat dunia. Politik Indonesia seperti teater yang terlalu banyak suspense tapi tanpa klimaks—membosankan!

Publik politik Indonesia adalah penonton yang berkali-kali dikecewakan oleh para aktor di atas panggung. Suatu ketika seorang pemain menjanjikan lapangan kerja, yang membuat para pencari kerja berharap tinggi agar sekadar bisa mendapatkan penghasilan. Tetapi janji itu tak pernah terwujud karena memang ekonomi yang buruk tidak bisa menciptakan lapangan kerja.

Aktor yang lain menjanjikan akan memberantas korupsi dalam setiap pidatonya yang berapi-api. Tetapi, bila mau menggunakan akal sehat biasa, dia sesungguhnya bisa mulai menangkapi orang-orang di sekelilingnya yang berlumuran korupsi itu. Akhirnya penonton di bawah panggung lama-kelamaan merasa ditipu karena tidak ada yang jadi kenyataan.

Penonton—yang dalam kehidupan nyata bernama rakyat itu—berharap para pemain di atas panggung kekuasaan menjadi contoh yang layak ditiru, bukan sekadar mengobral janji kosong tanpa bukti. Rakyat perlu bukti, bukan janji. Janji yang tidak ditepati akan menjadi hutang untuk selamanya, hal yang sangat dihindari oleh orang-orang beriman.

Hampir sembilan bulan sudah rakyat menunggu gebrakan Presiden Prabowo untuk memperbaiki negeri yang sudah dirusak Jokowi selama 10 tahun. Tetapi semakin ditunggu, Prabowo semakin tidak jelas arahnya. Geng Solo semakin merajalela, seolah ingin mengatakan Prabowo tidak bisa dan tidak akan berani menyingkirkan mereka.

Bukti serangan balik geng Solo begitu nyata. Sejumlah posisi komisaris BUMN diberikan ke pendukung “garis keras” Jokowi yang menimbulkan pertanyaan soal meritokrasi. Dalam drama plot twist yang tak disangka-sangka, Pengadilan Negeri Solo menghentikan perkara ijazah Jokowi dengan alasan tidak berhak menyidangkannya.

Bobby Nasution tidak kunjung diperiksa KPK karena dugaan keterlibaatannya dalam korupsi bawahan kepercayaannya. Kasus ijazah palsu sudah memasuki babak baru karena laporan Jokowi di Polda Metro Jaya naik ke tingkat penyidikan, yang artinya ditemukan unsur pidana di dalamnya. Perkembangan baru ini bermakna dua hal.

Pertama, sebentar lagi akan ada tersangka dari pihak terlapor. Kedua, proses hukum di Bareskrim dianggap sudah selesai, yang artinya ijazah Jokowi sudah final dianggap asli. Perkembangan terbaru ini sama sekali tidak mengejutkan, karena sejak awal kasus ini muncul, publik sudah memprediksi perjalanannya akan mengikuti pola kasus Bambang Tri dan Gus Nur. Yaitu, ijazah Jokowi yang asli sama sekali tidak pernah ditunjukkan oleh polisi dan pengadilan, tetapi mereka berdua jadi terdakwa dan masuk penjara.

Dari semua sinyal buruk di atas, kabar yang paling memukul publik adalah pernyataan orang Prabowo dari Partai Gerindra yang mengatakan bahwa rakyat harus menghormati hasil pemilu. Pernyataan ini dikeluarkan berkaitan dengan tuntutan para purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran anak haram konstitusi. Publik membaca pernyataan orang Gerindra itu sebagai suara Probowo sendiri—pernyataan yang mementahkan tuntutan para purnawirawan TNI.

Apa artinya? Bahwa dalam waktu sekitar enam pekan ini sejak para purnawirawan mengantar surat mereka ke DPR, banyak sekali perkembangan yang tidak diketahui publik di belakang pintu. Entah apa yang terjadi di balik layar gelap kekuasaan sehingga akal waras tidak bekerja. Entah kepentingan dan khianat apa yang membayangi sehingga cita-cita membersihkan Indonesia dari manusia-manusia laknat perusak bangsa selalu kandas sejak awal.

Dalam marah dan putus asa ini, mungkin banyak orang teringat akan bait puisi Afrizal yang terkenal itu: // Dunia berlari, dunia berlari/ Seribu manusia dipacu tak habis mengejar// Dalam pandangan Afrizal, dunia seolah tak pernah kehilangan napas dalam berlari. Berlari. Tetapi dunia seperti itu runtuh di hadapan politik.

Di hadapan realpolitik yang penuh kepentingan itu, dunia tak bergerak—apa lagi berlari. Dunia telah disandera oleh uang, kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Dunia menjadi kubangan yang kotor. Tidak ada yang berlari mengejar kemajuan dan berlomba-lomba menuju kebaikan—fastabikul khairot. Kubangan itu telah diisi oleh pikiran-pikiran sempit mengenai kepentingan pribadi dan kelompok.

Sebagai aktor utama politik nasional kini, Prabowo seharusnya bisa kembali menjadi dirinya seperti semula, sama seperti sebelum menjadi bagian dari kelompok Jokowi dengan masuk kabinet pasca Pemilu 2019. Buku Paradoks Indonesia yang ditulisnya menunjukkan wajah asli Prabowo yang penuh dilingkupi idealisme dan ilmu pengetahuan—yang kini tak bersisa.

Rakyat berspekulasi mengapa Prabowo kelihatan maju-mundur, ragu-ragu, dan bahkan terakhir ini kelihatan ciut nyali melawan Jokowi. Kemungkinannya satu hal, yaitu ada kartu truf Prabowo yang dipegang Jokowi dan geng Solo. Rahasia ini sangatlah besar yang apabila dibuka maka akan menimbulkan guncangan politik. Bila sampai Prabowo berani mengutak-atik mereka, maka kartu truf itu pasti dikeluarkan.

Spekulasi seperti ini sama sekali tidaklah mustahil. Karena Jokowi sudah lama dikenal sebagai politisi hitam yang sangat zalim yang menggunakan hukum sebagai alat sandera. Bawahan-bawahan yang diangkatnya sengaja dia pilih dari mereka yang punya kasus hukum. Mereka disandera dengan kasus hukum itu agar tunduk mengikuti kemauan zalim Jokowi.

Sejahat-jahatnya manusia, tidak ada yang sejahat Jokowi yang telah merusak tatanan administrasi pemerintahan. Sejahat-jahatnya penjahat tidak ada yang menginginkan anaknya sendiri penjadi penjahat mengikuti dirinya. Tetapi Jokowi telah melanggar semua ketidakmungkinan itu. Jokowi menggunakan kesalahan bawahan sebagai senjata, dan mengajak anaknya sendiri dalam kejahatan yang dibuatnya.

Para aktivis saling bertanya di banyak kesempatan: bagaimana cara membuat Prabowo agar bisa siuman kembali? Mengapa dia tidak kunjung sadar bahwa dia sedang berada di bawah kuasa hitam dan perangkap jahat Jokowi? Sejak masuk kabinet Jokowi tahun 2019, para pendukung Prabowo mengatakan itu hanya strategi—yang di kemudian hari terbukti salah dan hanya bualan semata.

Bila itu hanya strategi, dan memang dia berjuang dari dalam, maka seharusnya Prabowo menghentikan semua kriminalisasi terhadap para aktivis dan ulama sejak 2019 sampai 2024. Tetapi itu tidak dilakukan. Penangkapan terus terjadi. Satu per satu orang-orang yang mendukungnya jadi terdakwa dan masuk penjara.

Bila melihat rekam jejak sejak 2019 itu, maka sangat susah memang untuk berharap pada Prabowo untuk menegakkan keadilan—yang kelak di akhirat dia akan ditanya oleh Allah SWT mengenai hal ini, apa yang telah dilakukannya untuk melindungi rakyatnya. Apa yang telah dilakukannya dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan keadilan kepada semua rakyatnya?

Selama Prabowo hanya berbangga dengan hal-hal bersifat duniawai seperti harta dan kekuasaan—dan pada saat yang sama meminggirkan soal-soal mendasar seperti keadilan—maka selama itu dia akan abai pada jeritan rakyat selama lebih 10 tahun ini. Entah apakah sekarang Prabowo punya pendamping spiritual yang bisa dia dengarkan, yang bisa mengingatkannya mengenai soal-soal mendasar mengenai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.

Melihat perkembangan yang suram ini, tidak mengherankan bila suara-suara tidak puas kepadanya menjelang sembilan bulan pemerintahannya sudah mulai bermunculan di mana-mana. Tentu saja ini sinyal yang tidak baik. Jangan sampai dia terjungkal bersama Gibran. ***