Saturday, July 19, 2025

Diplomasi Prabowo di Paris, Dirusak Jokowi di Solo

Perspektif KBA News, Sabtu, 19 Juli 2025

Buni Yani

Lagu Maju Tak Gentar bergema di Champs Ellysées Paris. Rombongan marching band TNI dengan percaya diri melakukan atraksi yang banyak diulas oleh media internasional. Di Prancis sendiri hampir semua media besar mengulas penampilan spektakuler TNI itu. Tak kurang dari Le Monde, Le Figaro, BFM TV, dan France 24 memberikan komentar positif.

Dengan postur tinggi rata-rata 175 cm, para pemain marching band dan juga tentara dalam parade itu terlihat gagah. Gerakan mereka harmonis mengikuti musik yang mengalun. Untuk bisa menghasilkan keserempakan dan keseragaman gerakan tentu tidak mudah. Latihan yang disertai disiplin tinggi, yang menjadi doktrin militer, menjadi keharusan.

Strategi Presiden Prabowo dalam mengambil hati Presiden Macron tidaklah salah. Bila TNI mampu berkoordinasi dengan baik dalam baris-berbaris dengan gerakan yang padu, maka dalam perang mungkin tidak akan jauh kondisinya. Karena baris-berbaris tidak hanya memerlukan kedisiplinan yang tinggi, tetapi juga imajinasi dalam mengatur ritme dan gerak sesuai alunan musik—yang tentu saja diperlukan dalam perang.

Kontingen Indonesia, yang terdiri dari tentara dan pasukan marching band, ini adalah pasukan pertama luar negeri yang diundang ke perayaan Hari Nasional 14 Juli yang dikenal sebagai Hari Bastille. Indonesia menjadi tamu kehormatan dan menjadi pasukan pembuka parade dengan tempat berada di posisi paling depan.

Seperti dikatakan oleh wartawan TV Prancis, kontingen Indonesia berbaris di jalan yang sangat bersejarah dan terkenal di negeri itu. Mungkin ini juga yang membuat kontingen Indonesia di tanah air mendapatkan sorotan dan ulasan yang luas. Padahal penampilan di Paris ini bukanlah penampilan pertama dari tim marching band di luar negeri.

Kontingen yang sama enam bulan sebelumnya memenuhi undangan India dalam merayakan hari kemerdekaan. Namun penampilan di New Delhi itu hampir tidak menarik perhatian media dalam negeri—hal yang jauh berbeda dengan penampilan di Paris. Puja-puji bagi rombongan Indonesia tak henti-hentinya mengalir karena dianggap sukses memperkenalkan Indonesia dengan sangat baik di jantung Eropa—di jantung kota paling prestisius dan berbudaya di dunia.

Bagaimana tidak, kontingen Indonesia melakukan atraksi di depan Presiden Emmanuel Macron dengan latar belakang Arc de Triomphe (Gerbang Kemenangan) yang megah. Gerbang ini dibangun oleh Napoleon Bonaparte pada abad ke-19 untuk mengenang tentaranya setelah memenangkan pertempuran di Austerlitz.

Bertolak dari Arc de Triomphe, peserta parade berjalan sejauh sekitar dua kilometer sampai di Place de la Concorde, tempat yang tidak kalah bersejarahnya. Place de la Concorde artinya kira-kira “alun-alun kerukunan”. Dulu tempat ini bernama Place de la Révolution (alun-alun revolusi) karena di sinilah tempat banyak nama dieksekusi mati ketika revolusi Prancis berkecamuk yang dimulai dengan penyerbuan ke penjara Bastille pada tahun 1789.

Eksekusi dilakukan menggunakan guilotin, yaitu sebuah alat yang berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Guilotin bentuknya memanjang ke atas dengan dua tiang di kiri-kanan yang ditengahnya terdapat pemotong kepala yang sangat tajam yang ditaruh di ujung atas. Korban diikat tangannya dan kepalanya diletakkan di antara dua tiang penyangga pemenggal kepala.

Begitu korban sudah siap dieksekusi, maka petugas melepaskan tali pengikat alat pemenggal kepala yang segera meluncur ke bawah dan tepat mengenai leher korban. Semua korban guilotin kepalanya terpenggal dengan sangat sadis.

Di antara korban yang dieksekusi menggunakan guilotin dalam revolusi Prancis adalah Louis XVI (raja Prancis yang dikenal zalim), Marie Antoinette (istri Louis XVI yang terkenal hidup penuh kemewahan), dan Maximilien Robespierre (tokoh kunci dalam revolusi Prancis).

Tempat kontingen Indonesia menunjukkan kebolehan dipenuhi riwayat revolusi Prancis yang getir. Namun Champs Ellysées, dan Paris secara umum, di abad berikutnya yaitu pada abad ke-19 bertransformasi menjadi “ibu kota dunia” yang keindahan dan modernitasnya tiada tara. Filsuf Sekolah Frankfurt Walter Benjamin menamakan Paris sebagai “ibu kota abad ke-19” di dalam magnum opus-nya Das Passagen Werk (The Arcade Project).

Benjamin terpukau oleh keindahan Paris. Dia lalu melakukan studi atas kemajuan kota indah ini dan fokus pada lorong pertokoan (arcade) yang menjadi daya tarik bagi warga dan turis yang berkunjung ke Paris. Di abad ke-19 pula Paris menyelenggarakan pameran berskala internasional yang menandai apa yang dikenal sebagai belle époque dalam historiografi Prancis.

Paris memang indah. Setiap sudutnya memanjakan mata. Arsitekturnya adalah inspirasi banyak filsuf. Arc de Triomphe yang merupakan arsitektur dari abad ke-19 di zaman Napoleon satu poros atau garis lurus dengan bangunan La Défense yang bergaya modernis dan dibangun pada abad ke-21.

Kawasan Arc de Triomphe, termasuk Champs Ellysées, dikelilingi oleh bangunan-bangunan dari abad ke-18 dan 19, sementara kawasan La Défense dipenuhi oleh bangunan-bangunan kaca modernis. Kota ini sangat terpelihara. Perencanaan kotanya “mengharamkan” bangunan-bangunan bergaya brutalis dan modernis “mengotori” kawasan tua di sekitar Champs Ellysées sehingga dibuatkan kawasan khusus di kawasan La Défense.

Diplomasi Prabowo menggunakan marching band langsung di jantung budaya Eropa mau tidak mau menjadi perhatian dunia. Bukan saja karena penampilan kontingen TNI yang mendapatkan dua jempol, tetapi juga karena prestise Paris yang belum luntur meskipun sudah memasuki abad ke-21.

Di Asia Tenggara, youtuber Malaysia membahas penampilan di Paris itu. TV Vietnam menayangkan atraksi rombongan marching band secara penuh. Mereka ikut bangga. Sebagai sesama bangsa Asia Tenggara, mereka ikut merasa terwakili oleh penampilan spektakuler rombongan yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo itu.

Kini postur Indonesia langsung melompat tinggi, dikenal oleh bangsa-bangsa di dunia. Diplomasi militer dan budaya ini mau tidak mau mengangkat nama Indonesia di panggung dunia. Apa lagi pada saat bersamaan sedang viral aksi “pacu jalur” yang berasal dari Riau, yang rupanya juga mendapat perhatian di Paris.

Namun apakah strategi sentripetal Prabowo ini sudah cukup? Jika Prabowo beranggapan bahwa untuk memecahkan kisruh di dalam negeri dengan melawat ke luar negeri, maka jelas ini adalah anggapan yang keliru. Sebesar apa pun nama baik didapatkan di luar negeri, itu tidak bisa menggantikan keniscayaan pemecahan masalah di dalam negeri.

Presiden Soekarno sudah menunjukkan itu. Kurang apa Bung Karno mengunjungi luar negeri waktu itu, tetapi masalah ekonomi dan kelaparan tidak bisa digantikan dengan pencitraan di luar negeri. Bung Karno bertemu Presiden Kennedy, bintang film Marilyn Monroe, dan banyak lagi tokoh dunia waktu itu. Tetapi semuanya tidak bisa menghilangkan masalah di dalam negeri. Ekonomi ambruk, inflasi menggila, rakyat kelaparan di mana-mana, yang berujung pada hura-hara politik dan pemberontakan PKI pada tahun 1965.

Jika Prabowo merasa bahwa menundukkan Paris lebih penting daripada menuntaskan masalah ijazah palsu Jokowi, pemakzulan Gibran, kasus korupsi geng Solo, dan banyak lagi yang menunjukkan hilangnya keadilan d tengah masyarakat, maka Prabowo jelas salah. Karena revolusi Prancis 1789 dipantik oleh ketidakadilan dan kezaliman yang membuat rakyat memberontak.

Atau jangan-jangan Macron sebetulnya punya pesan tersembunyi kepada Prabowo mengapa dia diajak duduk melihat parade militer di Place de la Concorde, tempat eksekusi mati Raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinette. Mungkin macron ingin mengatakan, “Negeri kami sudah mengalami pahit getirnya revolusi. Maka berlaku adillah kepada rakyatmu.”

Maka rakyat berharap, jangan sampai diplomasi di Paris justru dirusak di Solo. ***

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.