Buni Yani
Politik Indonesia bergerak kencang seperti roller coaster tanpa rem. Tetapi pergerakannya tidak enak dipandang mata dan bikin kuping sakit bila dibicarakan. Politik Indonesia tidak seradikal puisi avant-gardist Afrizal Malna berjudul Abad yang Berlari dalam melihat dunia. Politik Indonesia seperti teater yang terlalu banyak suspense tapi tanpa klimaks—membosankan!
Publik politik Indonesia adalah penonton yang berkali-kali dikecewakan oleh para aktor di atas panggung. Suatu ketika seorang pemain menjanjikan lapangan kerja, yang membuat para pencari kerja berharap tinggi agar sekadar bisa mendapatkan penghasilan. Tetapi janji itu tak pernah terwujud karena memang ekonomi yang buruk tidak bisa menciptakan lapangan kerja.
Aktor yang lain menjanjikan akan memberantas korupsi dalam setiap pidatonya yang berapi-api. Tetapi, bila mau menggunakan akal sehat biasa, dia sesungguhnya bisa mulai menangkapi orang-orang di sekelilingnya yang berlumuran korupsi itu. Akhirnya penonton di bawah panggung lama-kelamaan merasa ditipu karena tidak ada yang jadi kenyataan.
Penonton—yang dalam kehidupan nyata bernama rakyat itu—berharap para pemain di atas panggung kekuasaan menjadi contoh yang layak ditiru, bukan sekadar mengobral janji kosong tanpa bukti. Rakyat perlu bukti, bukan janji. Janji yang tidak ditepati akan menjadi hutang untuk selamanya, hal yang sangat dihindari oleh orang-orang beriman.
Hampir sembilan bulan sudah rakyat menunggu gebrakan Presiden Prabowo untuk memperbaiki negeri yang sudah dirusak Jokowi selama 10 tahun. Tetapi semakin ditunggu, Prabowo semakin tidak jelas arahnya. Geng Solo semakin merajalela, seolah ingin mengatakan Prabowo tidak bisa dan tidak akan berani menyingkirkan mereka.
Bukti serangan balik geng Solo begitu nyata. Sejumlah posisi komisaris BUMN diberikan ke pendukung “garis keras” Jokowi yang menimbulkan pertanyaan soal meritokrasi. Dalam drama plot twist yang tak disangka-sangka, Pengadilan Negeri Solo menghentikan perkara ijazah Jokowi dengan alasan tidak berhak menyidangkannya.
Bobby Nasution tidak kunjung diperiksa KPK karena dugaan keterlibaatannya dalam korupsi bawahan kepercayaannya. Kasus ijazah palsu sudah memasuki babak baru karena laporan Jokowi di Polda Metro Jaya naik ke tingkat penyidikan, yang artinya ditemukan unsur pidana di dalamnya. Perkembangan baru ini bermakna dua hal.
Pertama, sebentar lagi akan ada tersangka dari pihak terlapor. Kedua, proses hukum di Bareskrim dianggap sudah selesai, yang artinya ijazah Jokowi sudah final dianggap asli. Perkembangan terbaru ini sama sekali tidak mengejutkan, karena sejak awal kasus ini muncul, publik sudah memprediksi perjalanannya akan mengikuti pola kasus Bambang Tri dan Gus Nur. Yaitu, ijazah Jokowi yang asli sama sekali tidak pernah ditunjukkan oleh polisi dan pengadilan, tetapi mereka berdua jadi terdakwa dan masuk penjara.
Dari semua sinyal buruk di atas, kabar yang paling memukul publik adalah pernyataan orang Prabowo dari Partai Gerindra yang mengatakan bahwa rakyat harus menghormati hasil pemilu. Pernyataan ini dikeluarkan berkaitan dengan tuntutan para purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran anak haram konstitusi. Publik membaca pernyataan orang Gerindra itu sebagai suara Probowo sendiri—pernyataan yang mementahkan tuntutan para purnawirawan TNI.
Apa artinya? Bahwa dalam waktu sekitar enam pekan ini sejak para purnawirawan mengantar surat mereka ke DPR, banyak sekali perkembangan yang tidak diketahui publik di belakang pintu. Entah apa yang terjadi di balik layar gelap kekuasaan sehingga akal waras tidak bekerja. Entah kepentingan dan khianat apa yang membayangi sehingga cita-cita membersihkan Indonesia dari manusia-manusia laknat perusak bangsa selalu kandas sejak awal.
Dalam marah dan putus asa ini, mungkin banyak orang teringat akan bait puisi Afrizal yang terkenal itu: // Dunia berlari, dunia berlari/ Seribu manusia dipacu tak habis mengejar// Dalam pandangan Afrizal, dunia seolah tak pernah kehilangan napas dalam berlari. Berlari. Tetapi dunia seperti itu runtuh di hadapan politik.
Di hadapan realpolitik yang penuh kepentingan itu, dunia tak bergerak—apa lagi berlari. Dunia telah disandera oleh uang, kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Dunia menjadi kubangan yang kotor. Tidak ada yang berlari mengejar kemajuan dan berlomba-lomba menuju kebaikan—fastabikul khairot. Kubangan itu telah diisi oleh pikiran-pikiran sempit mengenai kepentingan pribadi dan kelompok.
Sebagai aktor utama politik nasional kini, Prabowo seharusnya bisa kembali menjadi dirinya seperti semula, sama seperti sebelum menjadi bagian dari kelompok Jokowi dengan masuk kabinet pasca Pemilu 2019. Buku Paradoks Indonesia yang ditulisnya menunjukkan wajah asli Prabowo yang penuh dilingkupi idealisme dan ilmu pengetahuan—yang kini tak bersisa.
Rakyat berspekulasi mengapa Prabowo kelihatan maju-mundur, ragu-ragu, dan bahkan terakhir ini kelihatan ciut nyali melawan Jokowi. Kemungkinannya satu hal, yaitu ada kartu truf Prabowo yang dipegang Jokowi dan geng Solo. Rahasia ini sangatlah besar yang apabila dibuka maka akan menimbulkan guncangan politik. Bila sampai Prabowo berani mengutak-atik mereka, maka kartu truf itu pasti dikeluarkan.
Spekulasi seperti ini sama sekali tidaklah mustahil. Karena Jokowi sudah lama dikenal sebagai politisi hitam yang sangat zalim yang menggunakan hukum sebagai alat sandera. Bawahan-bawahan yang diangkatnya sengaja dia pilih dari mereka yang punya kasus hukum. Mereka disandera dengan kasus hukum itu agar tunduk mengikuti kemauan zalim Jokowi.
Sejahat-jahatnya manusia, tidak ada yang sejahat Jokowi yang telah merusak tatanan administrasi pemerintahan. Sejahat-jahatnya penjahat tidak ada yang menginginkan anaknya sendiri penjadi penjahat mengikuti dirinya. Tetapi Jokowi telah melanggar semua ketidakmungkinan itu. Jokowi menggunakan kesalahan bawahan sebagai senjata, dan mengajak anaknya sendiri dalam kejahatan yang dibuatnya.
Para aktivis saling bertanya di banyak kesempatan: bagaimana cara membuat Prabowo agar bisa siuman kembali? Mengapa dia tidak kunjung sadar bahwa dia sedang berada di bawah kuasa hitam dan perangkap jahat Jokowi? Sejak masuk kabinet Jokowi tahun 2019, para pendukung Prabowo mengatakan itu hanya strategi—yang di kemudian hari terbukti salah dan hanya bualan semata.
Bila itu hanya strategi, dan memang dia berjuang dari dalam, maka seharusnya Prabowo menghentikan semua kriminalisasi terhadap para aktivis dan ulama sejak 2019 sampai 2024. Tetapi itu tidak dilakukan. Penangkapan terus terjadi. Satu per satu orang-orang yang mendukungnya jadi terdakwa dan masuk penjara.
Bila melihat rekam jejak sejak 2019 itu, maka sangat susah memang untuk berharap pada Prabowo untuk menegakkan keadilan—yang kelak di akhirat dia akan ditanya oleh Allah SWT mengenai hal ini, apa yang telah dilakukannya untuk melindungi rakyatnya. Apa yang telah dilakukannya dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan keadilan kepada semua rakyatnya?
Selama Prabowo hanya berbangga dengan hal-hal bersifat duniawai seperti harta dan kekuasaan—dan pada saat yang sama meminggirkan soal-soal mendasar seperti keadilan—maka selama itu dia akan abai pada jeritan rakyat selama lebih 10 tahun ini. Entah apakah sekarang Prabowo punya pendamping spiritual yang bisa dia dengarkan, yang bisa mengingatkannya mengenai soal-soal mendasar mengenai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan.
Melihat perkembangan yang suram ini, tidak mengherankan bila suara-suara tidak puas kepadanya menjelang sembilan bulan pemerintahannya sudah mulai bermunculan di mana-mana. Tentu saja ini sinyal yang tidak baik. Jangan sampai dia terjungkal bersama Gibran. ***
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.