Thursday, October 24, 2024

Ayat Favorit Marissa Haque

Perspektif KBA News, Sabtu, 26 Oktober 2024

 

Buni Yani


Membayangkan dunia kebintangan Indonesia seperti dalam teori-teori budaya pop modern sepertinya tidak sepenuhnya cocok seratus persen. Bahkan dalam banyak kasus, bila dilebarkan ke dunia kebintangan di Asia Tenggara, khususnya Filipina, misalnya, maka teori-teori tersebut banyak tidak akuratnya.

 

Dalam banyak kasus seorang bintang digambarkan hidup di dunia mimpi yang gemerlap, tidak menyentuh tanah, dan dia membangun sebuah persona sedemikian rupa sehingga fans atau para penggemar akan tetap tersihir dengan imaji tertentu. Seorang bintang harus eksklusif, berbeda tajam – kalau bisa sekontras langit dan bumi – dengan para penggemar. Dengan begitu para penggemar akan membangun imaji dalam benak mereka mengenai bintang yang dikagumi – persona yang mereka tidak miliki, dan hanya dimiliki oleh sang bintang pujaan.

 

Di sini berlaku teori “distinction” dari sosiolog dan pemikir Prancis Pierre Bourdieu. Bahwa kelas tertentu dalam masyarakat sengaja membuat “perbedaan” dengan orang kebanyakan untuk menunjukkan dan mengukuhkan dia berasal dari kelas sosial tertentu yang eksklusif. Ini misalnya ditunjukkan dengan selera musik yang berbeda, selera baju yang berbeda, selera makanan yang berbeda, atau mungkin juga bahasa dan gaya bicara yang berbeda untuk menunjukkan dia berasal dari kelas tertentu – kelas yang berbeda dengan orang kebanyakan, atau the popular.

 

Dalam kasus kebintangan (stardom) dan dunia penggemar (fandom), maka Bourdieu bisa memberikan insight bahwa dalam hal ini si bintang dengan sadar dan sengaja membuat perbedaan untuk memisahkan diri dari imaji, realitas dan eksistensi para penggemar. Sementara di sisi penggemar, tambah jauh perbedaan dirinya dengan si bintang, maka semakin sahih, semakin terkonfirmasi bahwa mereka tak salah pilih bintang yang dikagumi. Karena semua yang tak dimiliki oleh penggemar – yang imaji dan realitasnya ibarat langit dan bumi tadi – ada pada si bintang pujaan.

 

Dunia kebintangan ini di dunia Barat dipertahankan sampai si bintang meninggal dunia. Rocker, bintang film, atlet, dan pembaca berita TV, sebagai contoh, akan tetap dikenal publik sebagai tokoh atau bintang di bidangnya sampai dia meninggal dunia. Persona yang dibangun para bintang tersebut stabil, tidak berubah dan “membatu” sedemikian rupa sebagai tokoh pada bidang yang mereka tekuni. Kestabilan persona dan citra ini memungkinkan entrepreneur dari bidang lain dalam industri hiburan membuat hall of fame untuk mendaulat sang bintang.

 

Hall of fame adalah prasasti modern untuk mengukuhkan, menabalkan, dan menubuhkan kebintangan menjadi monumen kasat mata sehingga predikat bintang tak bisa lagi goyah atau ditafsirkan dengan cara lain. Predikat itu membeku dan mengeras. Stabil dan statis.

 

***

 

Namun cerita berbeda terjadi di dunia Timur. Dunia kebintangan di Indonesia dan Filipina tidaklah permanen selama sang bintang belum menghembuskan napas terakhir. Ada kemungkinan sang bintang masih bisa memperluas cakupan profesi tidak saja sebagai penyanyi, misalnya. Ini terjadi pada Mike Hanopol, legenda musik rock dari grup Juan Dela Cruz Band, yang tidak saja tetap bermain musik tetapi juga rajin memberikan ceramah di gereja setelah umurnya bertambah tua.

 

Atau bisa juga sang bintang berpindah profesi secara drastis tidak lagi menekuni profesi lama. Kasus terakhir ini banyak terjadi di Indonesia. Ada rocker dan bintang film yang berpindah profesi menjadi penceramah agama. Nama-nama seperti Hari Moekti dan Derry Sulaiman sudah tidak asing lagi bagi kaum muslimin Indonesia. Mereka diundang berceramah ke seluruh tanah air. Pada suatu hari Jumat beberapa bulan lalu saya secara tidak sengaja shalat Jumat di sebuah masjid di daerah Cawang, Jakarta Timur yang khatibnya Ustadz Derry.

 

Dari kalangan wanita, ada Peggy Melati Sukma yang dulu menjadi pemain sinetron dan kini menjadi pendakwah. Sama seperti Ustadz Derry, Ustadzah Peggy juga diundang keliling di berbagai majelis di seluruh tanah air. Nama lain, Marissa Haque, bintang film yang meraih Piala Citra pada 1985, kini dikenal sebagai akademisi dan mengajar di sebuah perguruan tinggi di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

 

***

 

Saya mengenal Marissa waktu sama-sama kuliah S2 di Ohio University, AS. Saya belajar di jurusan Southeast Asian Studies, sementara Mbak Icha, begitu saya memanggilnya, mendapat beasiswa di jurusan Film Studies – jurusan yang masih terkait dengan dunia yang digelutinya waktu itu. Mbak Icha cepat dapat teman di kota kecil Athens, Ohio, tempat kampus berdiri. Tidak saja karena Mbak Icha sudah menjadi bintang film, seleb besar di tanah air, tetapi juga karena kebaikan dan kerendahan hatinya. Saya memanggilnya dengan panggilan “Mbak Icha” paling tidak karena dua hal. Pertama, karena kesuksesan Mbak Icha dalam dunia yang ditekuninya yang tidak saya miliki; dan kedua, karena Mbak Icha usianya terpaut sekitar enam tahun dengan saya. Seusia kakak saya yang paling tua.

 

Mbak Icha tinggal di apartemen di Mill Street, satu rumah dengan Ann Shoemake, mahasiswa program doktoral yang banyak bergaul dengan mahasiswa Indonesia. Saya beberapa kali ke apartemen Mbak Icha, karena di samping sudah lama kenal Ann Shoemake sejak di Jakarta, akan tetapi juga karena saya cepat akrab dengan Mbak Icha. Banyak hal yang kami obrolkan nyambung. Mungkin itu sebabnya Mbak Icha meminta saya untuk ikut membantunya dalam project film yang ditugaskan di kelasnya.

 

Ketika Mas Ikang Fawzi menjenguk Mbak Icha di Athens, dia tinggal di rumah Profesor Collins, seorang Indonesianis dan juga menjadi “ibu” dari mahasiswa Indonesia di Ohio. Di rumah yang beralamat di Fairview Drive itu, banyak mahasiswa sempat menumpang, termasuk saya. Saya waktu itu kebetulan tinggal di rumah Bu Collins dan bertemu dengan Mas Ikang. Ada juga waktu itu Mas Ganda Upaya, dosen jurusan Sosiologi UI, tinggal di sana. Setiap kali Mas Ikang mau merokok, dia turun ke kamar Mas Ganda yang ada di basemen. Jadilah kami menyebut kamar Mas Ganda sebagai “kafe basemen“.

 

Akhir 2001 saya sudah menyelesaikan tesis master, tetapi thesis committee hanya bisa memberikan saya ujian pada bulan Januari 2002. Setelah ujian selesai, saya mendapatkan pekerjaan di Washington, DC sebagai wartawan. Saya langsung Menyusun rencana untuk hijrah ke Washington, DC dan diantar oleh Mas Yojo – mahasiswa Indonesia yang setelah tamat tetap bermukim di Athens – dan eks roommate saya mahasiswa asal Srilanka. Tapi beasiswa saya hanya sampai akhir 2001 dan saya tidak punya bekal untuk boyongan ke Washington, DC.

 

Akhirnya saya menceritakan masalah saya ini ke Mbak Icha dan tanpa diminta Mbak Icha pun langsung menawarkan saya pinjaman 100 dolar. Saya senang sekali mendapat bantuan demikian. Saya berjanji akan membayar utang ke Mbak Icha begitu saya dapat gaji pertama. Betul, begitu gaji pertama saya terima, yang saya ingat pertama kali adalah kewajiban saya ke Mbak Icha. Saya kirim uang lewat surat biasa lalu dimasukkan ke dalam amplop. Selembar uang seratus dolar itu saya lapisi dengan kertas putih agar tidak terlihat dari luar amplop. Saya kirimi Mbak Icha email bahwa surat akan sampai Athens dalam sekian hari. Saya minta dikabari apabila surat sudah diterima.

 

Singkat cerita, kami masing-masing sudah berada di Jakarta. Saya pulang ke Jakarta akhir 2002 tetapi karena kesibukan masing-masing komunikasi dengan Mbak Icha tidak terjalin. Jauh hari kemudian saya mendapatkan nomor telepon Mbak Icha. Namun kembali komunikasi terputus karena kesibukannya maju menjadi cawagub Banten pada pilkada 2006. Akhirnya setelah itu selebihnya kami berkawan dan berkomunikasi lewat media sosial.

 

Mbak Icha mengirim permintaan pertemanan di akun Facebook sekitar sebulan sebelum meninggal dunia. Saya kirim pesan lewat inbox menanyakan kabar yang tidak dijawab sampai Mbak Icha meninggal dunia.

 

***

 

Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Saya sudah berada di Bogor dengan Ramadhan Pohan dalam perjalanan menuju Sukabumi, 2 Oktober 2024 ketika kabar berpulangnya Mbak Icha kami dapatkan melalui grup WA. Bro Ramadhan juga kenal baik dengan Mbak Icha. Setidaknya mereka pernah bertemu di Washington, DC ketika Bro Ramadhan menjadi koresponden Jawa Pos di Amerika.

 

Kami saling bertanya, bagaimana, apa perlu balik arah ke Jakarta lalu melayat ke almarhumah? Tapi Sukabumi sudah tinggal sedikit lagi, dan kalaupun kami balik arah ke Jakarta, belum tentu lalu lintas lancar. Hal lain, akan sangat tidak mengenakkan bila kami membatalkan pertemuan di Sukabumi sementara teman janjian sebentar lagi juga akan sampai. Akhirnya kami putuskan tetap menuju Sukabumi.

 

***

 

Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Semoga Allah mengampuni semua dosa dan menerima semua amal baik almarhumah. Insya Allah Mbak Icha husnul khatimah. Almarhumah adalah orang baik dan suka membantu orang yang membutuhkan. Allah akan membalas kebaikan almarhumah baik di alam kubur maupun di akhirat kelak.

 

Publik mengerti mengapa Mas Ikang sangat merasa kehilangan atas kepergian istri tercinta. Karena kepada orang lain saja Mbak Icha sangat tulus membantu, apalagi kepada keluarga sendiri. Mas Ikang dan dua putri tercinta pasti sangat beruntung punya istri dan ibu yang sangat baik hati dan perhatian.

 

Perubahan Mbak Icha dari ikon dunia film menjadi orang yang cukup religius sangat terasa oleh banyak orang. Tidak hanya mengenakan jilbab, akan tetapi Mbak Icha sering sekali mengutip ayat al-Qur’an. Ayat favorit Mbak Icha berasal dari Surah ar-Rahman yang bunyinya, “Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdzibaan“ (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?) Ayat ini sering sekali dikutip Mbak Icha dalam postingan di media sosial.

 

Ayat ini diulang sampai 31 kali dalam Surah ar-Rahman. Dalam kaidah tafsir disebutkan bahwa semakin sering suatu ayat diulang, maka ayat tersebut memiliki bobot yang tinggi dan penting yang harus menjadi perhatian. Gaya bahasa repetisi yang digunakan Allah SWT pada surah ini terbukti efektif menjadi perhatian pembaca.

 

Kelihatan sekali Mbak Icha sudah selesai dengan banyak urusan dunia sehingga dia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah SWT atas limpahan karuniaNya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?“ Bunyi ayat ini begitu kuat menghunjam ke hati Mbak Icha sehingga dia ulang-ulangi dan resapi isinya. Mbak Icha tak henti-hentinya bersyukur atas limpahan karunia dari Allah SWT, hal yang tidak semua orang bisa lakukan.

 

Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman bahwa jika manusia bersyukur maka Allah akan menambah nikmatNya. Akan tetapi jika manusia kufur nikmat, maka sesungguhnya azab Allah sangat pedih. La'in syakartum la'azidannakum wa la'in kafartum inna ‘adzabi lasyadiid (QS Ibrahim: 7). Manusia akan bahagia dan tenang jika pandai bersyukur, dan sebaliknya manusia akan jatuh ke dalam hati yang gundah-gulana bila kufur dengan karunia yang didapatkan.

 

***

 

Kepulangan Mbak Icha ke rahmatullah dengan sangat tiba-tiba mengejutkan banyak kalangan. Mbak Icha meninggalkan kenangan tentang kebaikan dan kepedulian bagi orang-orang yang sempat mengenalnya. Kontribusi Mbak Icha dan artis-artis lainnya dalam studi kajian budaya dan Islam tentu saja perlu disebutkan. Bahwa mereka membuat trajektori baru dalam bidang ini, yang membuatnya berbeda dengan dunia kebintangan di dunia Barat. Para sarjana bisa belajar banyak dari studi kasus ini dan menelurkan teori alternatif yang berbeda dengan teori yang sudah ada.

 

Insya Allah Mbak Icha husnul khatimah. Al faatihah. ***


Thursday, October 17, 2024

Puisi Pelantikan

Perspektif KBA News, Sabtu, 19 Oktober 2024

Buni Yani

Politik bukan perkara lunak dan empuk. Saling sikut, saling telikung, saling jegal, saling sandera, bahkan tak jarang berakhir dengan pembunuhan yang sadis dianggap peristiwa politik. Mungkin bukan dianggap peristiwa normal, tetapi paling tidak masyarakat mencoba memahami peristiwa demikian dalam cara berpikir orang politik, peristiwa politik, dan dalam bingkai politik. Politik adalah politik, begitulah adanya. Sejak Ken Arok menyingkirkan Tunggul Ametung dengan tipu muslihat di tanah Jawa sampai pemberontakan PKI dan terbunuhnya enam laskar FPI – motif politik ada di baliknya.

Alhasil, politik kelihatan kejam, tidak manusiawi, dan barbar. Sarjana menjauhinya, santri menganggapnya kotor. Karena politik beroperasi dengan cara demikian, maka politik dianggap tidak sejalan dengan hati nurani manusia yang putih dan suci. Sarjana dilatih untuk jujur mengatakan fakta sebagai fakta, dan tidak boleh berbohong. Santri diajarkan dan menjalani perilaku yang sesuai dengan ajaran Qur’an dan Hadits. Sudah jadi kesepakatan umum bahwa tidak ada titik temu antara ajaran moral yang suci dengan politik yang kotor – dan pertentangan dua hal ini diyakini abadi.

Mungkin atas dasar ini para politikus di Amerika berusaha mengubah citra buruk politik agar terkesan menjadi lebih manusiawi dan beradab. Di antaranya dengan memberikan sentuhan budaya dalam peristiwa politik. Maka diundanglah penyair untuk membacakan puisi mereka dalam pelantikan presiden. Memang tidak dalam semua upacara pelantikan penyair diundang. Tercatat dalam sejarah Amerika hanya empat presiden saja yang melakukannya, dan semuanya presiden dari partai Demokrat.

Presiden John F. Kennedy adalah presiden pertama yang memulai tradisi baca puisi pada pelantikannya tahun 1961 dengan mengundang penyair Robert Frost yang membacakan karya berjudul The Gift Outright (Anugerah Langsung). Presiden Bill Clinton mengundang penyair Maya Angelou pada pelantikannya tahun 1993 yang membacakan puisi berjudul On the Pulse of Morning (Tentang Getaran pada Pagi Hari). Ketika terpilih kembali pada pelantikan tahun 1997 Clinton mengundang penyair Miller Williams yang membacakan puisi berjudul Of History and Hope (Tentang Sejarah dan Harapan).

Pada pelantikan Presiden Barack Obama tahun 2009, penyair Elizabeth Alexander membacakan puisi berjudul Praise Song for the Day (Nyanyian Pujian untuk Hari Ini). Ketika terpilih kembali pada pelantikan Obama tahun 2013, penyair Richard Blanco diundang yang membacakan puisi berjudul One Today (Satu Hari Ini). Presiden terakhir yang mengundang penyair dalam pelantikan adalah Joe Biden. Ketika dilantik tahun 2021 lalu Biden mengundang penyair Amanda Gorman yang membacakan puisi berjudul The Hill We Climb (Bukit yang Kita Daki). Saya ikut menyaksikan Amanda Gorman membacakan puisinya yang disiarkan secara live streaming dari Capitol Hill di Washington, DC.

Selain pembacaan puisi, ada pula konser musik oleh ikon, penyanyi dan grup band terkenal ikut memeriahkan upacara pelantikan. Namun konser musik dalam budaya pop sudah menjadi hal yang lumrah, di antaranya karena aspek hiburannya lebih menonjol. Lagu-lagu yang dibawakan tidak semuanya bertemakan pelantikan presiden, berisikan pesan moral, atau pesan yang punya bobot serius. Alhasil, konser gedebag-gedebug rame-rame ini murni bersifat hiburan semata yang jauh dari permenungan mendalam dalam rangka memberikan semacam tausiyah kepada presiden terpilih.

Karena hal ini maka pembacaan puisi menjadi terkesan serius. Presiden pengundang mendàpat citra sebagai orang yang memahami, atau setidaknya bisa mengapresiasi produk “budaya tinggi.” Dia akan dianggap sebagai orang yang punya inisiatif untuk mendengar petatah-petitih, insight, atau ajaran moral dari sang penyair sebelum memulai tugas kenegaraan. Ini karena penyair dianggap sebagai manusia yang berbeda dengan orang kebanyakan. Penyair secara umum diakui mempunyai kemampuan reflektif yang tinggi, dan mampu pula menuangkan hasil refleksinya ke dalam bahasa yang indah, persuasif, dan tak jarang menggetarkan jiwa pembaca.

Puisi Robert Frost berjudul The Gift Outright (Anugerah Langsung) yang dibacakan pada pelantikan Presiden John F. Kennedy tahun 1961 berisi tentang ajakan untuk mencintai tanah air dan ajakan untuk kembali membuka sejarah bagaimana Amerika terbentuk. “Tanah ini milik kita sebelum tanah air ini memiliki kita. Ibu pertiwi ini menjadi tanah kita lebih dari seratus tahun. Sebelum kita menjadi penghuninya,” demikian Robert Frost membuka bait puisinya.

Isi bait puisi ini tidak saja mencerahkan karena perspektifnya yang baru dalam melihat masalah, namun juga karena bahasanya yang sederhana, prosaik, dan tidak bersayap sehingga langsung menusuk jantung persoalan mengenai pentingnya cinta tanah air, hubbul wathan. Teori ilmu politik mengenai syarat-syarat berdirinya sebuah negara menguraikan bahwa negara hanya bisa terbentuk bila ada wilayah, penduduk, pemerintahan, dan pengakuan negara lain. Empat komponen ini harus ada terlebih dahulu baru kemudian sebuah negara bisa terwujud.

Namun Robert Frost punya cara pandang berbeda mengenai wilayah negara atau tanah air. Dia mengatakan bahwa jauh sebelum Amerika memiliki penduduk yang kemudian menjadi negara Amerika, bangsa Amerika telah memiliki tanah air yang kemudian menjadi negara Amerika. Bahkan sebelum lahir, bangsa Amerika telah memliki tanah Amerika. Rakyat Amerika memiliki tanah air Amerika jauh sebelum negara Amerika memiliki mereka.

Logika alternatif ini yang dikemas dalam retorika puisi prosaik menimbulkan imaji tentang pemilikan tanah air yang berkaitan dengan kecintaan pada tanah air. Kata Frost, ini adalah “anugerah langsung” dari Tuhan yang mestinya melahirkan patriotisme Amerika.

Narasi Frost ini sudah pasti akan ditentang oleh para pembela suku bangsa asli Amerika – orang-orang Indian – yang tersingkir karena kedatangan kulit putih dari Inggris. Bagi mereka, kulit putih yang ganas telah menyingkirkan penduduk asli Amerika secara kejam.

Pembaca Robert Frost tentu paham bahwa puisi The Gift Outright tidaklah berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan karya-karya Frost lainnya. Dalam puisi-puisinya yang lain Robert Frost banyak memberikan insight yang susah untuk ditolak berkaitan dengan tanggung jawab kita sebagai warga negara dan manusia secara umum.

Dalam puisi Stopping by Woods on a Snowy Evening (Berhenti di Pinggir Hutan pada Malam Bersalju), misalnya, Frost mengungkapkan ia terpesona dan terkesima dengan indahnya malam bersalju ketika dia berhenti di pinggir sebuah hutan bersama kuda tunggangannya. Namun dia tidak bisa lama-lama berhenti di sana menikmati keheningan dan kedamaian malam bersalju itu. Karena dia harus pergi – karena ada tugas lain yang harus ditunaikan.

//Hutan itu indah, hitam dan dalam/ Tetapi aku punya janji yang harus ditepati/ Dan bermil-mil harus kutempuh sebelum istirahat/ Dan bermil-mil harus kutempuh sebelum istirahat//. Bait penutup dalam puisi ini menjadi kesimpulan di mana posisi moral si penyair berada dalam menyikapi janji dan tanggung jawab dia sebagai manusia dan warga negara. Bagi Frost, menunaikan janji adalah segalanya sebelum hal-hal lain dikerjakan. Kata pepatah Arab, “Alwa’du dainun” – janji adalah hutang. Dan hutang harus dibayar bagaimanapun caranya.

Saya membayangkan dalam pelantikan Presiden RI suatu hari nanti, para penyair dan ulama diundang lalu mereka diminta oleh presiden terpilih memberikan nasihat. Nasihat sebagai pemandu jalan untuk membawa negeri kita menuju kebaikan bersama.

Nasihat para ulama yang memiliki bobot moral tinggi akan menjadi suluh bagi presiden terpilih. Tanpa panduan moral yang jelas, si presiden bisa tersesat seperti pejalan kaki di hutan bersalju membeku yang sangat berbahaya. Tanpa peta yang akurat, si pejalan kaki hanya bisa berputar-putar dan akhirnya lambat laun mati membeku kedinginan.

Presiden harus sering-sering meminta nasihat kepada orang bijaksana agar tidak salah jalan. Presiden tidak boleh sungkan untuk mendatangai para ulama. Karena dengan begitu, suara moral dari kitab suci atau hasil permenungan yang mendalam bisa mencegah kezaliman dan pada saat yang sama menciptakan keadilan bagi seluruh warga negara.

Bangsa besar ini harus mulai menghormati dan mempertimbangkan soal-soal budaya dan agama menjadi pemandu arah perpolitikan nasional. Ini agar bangsa kita menjadi lebih beradab dan bermoral. Soal-soal politik tidak bisa sepenuhnya diserahkan ke orang politik. Karena hal ini sama saja dengan menyerahkan perdagangan umum ke sindikat kartel.

Maka puisi penyair atau tausiyah ulama dalam pelantikan presiden adalah pernyataan politik. Tetapi politik tingkat tinggi. ***


Saturday, October 12, 2024

Neo Oksidentalisme

Perspektif KBA News, Sabtu, 12 Oktober 2024

 

Buni Yani

 

Hidayat namanya. Ketika sampai di Amerika dulu, dia terperanjat campur bahagia campur bangga melihat kemajuan negeri Paman Sam. Amerika dan kampungnya ibarat langit dan bumi. Hidayat, anak kampung yang belajar ke kota, beruntung mendapatkan beasiswa Fulbright. Lahir di desa kecil Jawa Barat, melanjutkan ke universitas di Bandung yang jaraknya sekitar 6o kilometer dari kampungnya.

 

Abahnya, seorang ajengan kampung, memberikannya nama Hidayat agar kelak si anak pintar ini mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Doa abah terkabul. Dalam perjalanan hidup selanjutnya memang Hidayatlah anak sang ajengan yang paling pintar, cepat menangkap pelajaran, dan fasih dalam bicara. Meskipun tentu saja si anak pintar ini mendapat “petunjuk” yang lain, jalan yang berbeda dengan ayahnya yang mendalami agama Islam.

 

Beasiswa yang diterima Hidayat untuk belajar kesusasteraan Inggris amat menyenangkan hatinya. Tidak hanya prestisius, tetapi juga pintu untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan Barat yang selama ini dia tekuni. Bayangkan, selama ini dia amat menyukai matakuliah Sejarah Pemikiran Modern yang diampu oleh seorang profesor tamatan Roma yang juga seorang pastor Jesuit. Nama-nama besar seperti Plato, Sokrates, Heidegger, Foucault, juga Habermas sudah tidak asing lagi bagi Hidayat. Melalui merekalah pintu menuju Barat modern akan terbuka lebar.

 

Melihat profilnya, maka otomatis Hidayat adalah seorang oksidentalis, yaitu orang Timur yang mempelajari kebudayaan dan hal-ihwal mengenai dunia Barat. Oksidentalis adalah lawan kata dari orientalis, yaitu orang Barat yang mempelajari kebudayaan dan hal-ihwal mengenai dunia Timur. Namun sikap jiwa oksidentalis dibandingkan dengan orientalis ibarat langit dan bumi. Ada kesenjangan yang amat besar yang tidak bisa dibandingkan. Jangankan disandingkan, dibandingkan saja tidak bisa. Dalam dunia sepakbola, ibarat membandingkan Persib Bandung dengan Manchester United.

 

Oksidentalis seperti Hidayat dan kebanyakan sarjana dari dunia Timur datang belajar ke Barat dengan rasa penuh kagum sehingga apa pun yang berasal dari Barat dianggap modern, lebih superior, dan tentu saja dijadikan standar kebenaran dan kepatutan. Mereka datang ke Barat tidak dengan nalar kritis untuk membandingkan Barat dan dunia di mana mereka dibesarkan. Barat adalah prototipe dan eksemplar modernitas. Tak ada alternatif lain. Sementara Timur sebaliknya harus belajar dari Barat karena Timur terbelakang, miskin, dan bodoh. Standar yang digunakan sebagai tolok ukur murni bersifat bendawi dan duniawi, yang menyebabkan Barat terlihat gemerlap berkilau.

 

Di lain pihak, orientalis mempelajari dunia Timur dengan sikap eksploitatif yang kejam, dan tak jarang dengan dagu mendongak penuh kesombongan, mereka meremehkan kemanusiaan obyek studi mereka. Bagi orientalis, dunia Timur yang terbelakang, miskin, dan bodoh harus dikuasai, dijajah, dan diperbudak demi interes ekonomi dan politik. Dunia Timur itu inferior dalam semua bidang, karenanya harus diajari agar menjadi berbudaya dan beradab. Orientalisme mempunyai motif imperialisme dan kolonialisme yang jahat. Orientalis mempelajari Timur murni dengan niat untuk menjajah dan menguasai. Tak ada belas kasihan.

 

Karenanya, bisa kita saksikan dewasa ini bagaimana Paris yang angkuh yang sangat tidak bersahabat dengan Islam. Burqa dilarang, jilbab tidak diperbolehkan di sekolah-sekolah. Padahal jalan-jalan yang lebar, gedung-gedung mentereng, dan taman-taman yang indah di kota cantik dan megah ini adalah hasil dari penjarahan dari negara-negara Islam jajahannya di Afrika Utara. Di Louvre, artefak-artefak bersejarah berumur ratusan bahkan ribuan tahun dipamerkan sebagai simbol penguasaan Prancis atas daerah jajahannya – entah dimiliki dengan cara halal atau dengan paksaan dan kekerasan. Tidak hanya Afrika Utara yang dijarah Prancis. Bahkan artefak Hukum Hammurabi yang berasal dari Mesopotamia kuno pun menjadi koleksi Louvre.

 

Hal yang sama terjadi pada Amsterdam. Jalan-jalan yang licin dan rapi, kanal-kanal pemecah banjir, perpustakaan, taman, universitas, dan gedung-gedung megah, semuanya adalah hasil dari perampokan dan penindasan terhadap pribumi Hindia Belanda sejak zaman VOC berdagang menggunakan senjata. Sisa-sisa kejayaan maskapai dagang Belanda itu masih bisa ditemukan kini di gedung bernama Bushuis yang digunakan sebagai kampus oleh Universiteit van Amsterdam. VOC mendatangkan kekayaan berlimpah bagi Belanda. Belanda menjadi negara terkaya di Eropa akibat monopoli dagang rempah-rempah dan semua hasil bumi Hindia Belanda. Saking kayanya, Belanda menemukan inovasi memperdagangkan saham perusahaan, dan jadilah Belanda negara pertama tempat berdirinya bursa saham dunia. Dalam soal-soal ekonomi, Kerajaan Inggris pun belajar ke Belanda pada saat itu.

 

Singkat kata, oksidentalisme dan orientalisme sangat berbeda dalam teori dan praktik. Oksidentalisme seperti ini mau tak mau kelihatan ganjil dan tak berkelas. Kekaguman  terhadap Barat dipicu oleh rasa inferior yang ditanamkan sejak bangku kuliah. Karena dosen-dosen Hidayat yang belajar ke Amerika, Eropa dan Australia juga mengajarkan kekaguman yang sama kepada para mahasiswa. Kekaguman akan hal-hal bendawi yang mereka saksikan ketika belajar di negeri-negeri itu.

 

Terkadang Hidayat berpikir, bisakah lingkaran setan oksidentalisme dengan trajektori demikian dirombak menuju arah lain yang lebih akademik? Misalnya, sebuah oksidentalisme kritis yang bertumpu pada penemuan kejanggalan-kejanggalan budaya Barat yang ditopang oleh “kepercayaan-kepercayaan aneh” yang tidak bisa lagi dipertahankan secara ilmiah.

 

Sesungguhnya sudah lama Hidayat menemukan “kejanggalan” dalam ajaran agama Kristen yang dia pelajari pada matakuliah Sejarah Pemikiran Modern. Buku-buku favoritnya sejak semester VII dan sejak menjadi aktivis masjid kampus adalah buku-buku kristologi yang ditulis oleh sarjana-sarjana Kristen Barat. Awalnya dia sangat tertarik membandingkan antara ajaran agama Islam dan Kristen, berusaha mencari titik temu dan memahami di mana letak perbedaan kedua agama. Dia intensif membaca buku-buku karangan ahli Bible Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Buku favoritnya berjudul Paul and Jesus: How the Apostle Transformed Christianity yang ditulis oleh James D. Tabor, seorang sarjana Bible yang mengajar di University of North Carolina, AS.

 

Setiap kali Hidayat membicarakan isi buku ini, dia selalu sangat berhati-hati karena takut menyinggung perasaan kawan-kawannya yang beragama Kristen. Itu di Indonesia, di mana nilai-nilai agama masih dihormati dan dipegang teguh oleh pemeluknya. Di Amerika, tempat liberalisme menjadi praktik sehari-hari, tidak ada yang terlalu peduli dengan hal-ihwal mengenai agama. Kecuali para sarjana dan mahasiswa yang mempelajari agama sebagai bidang studi, tentu saja.

 

Hidayat menemukan kristologi sebagai pintu masuk menuju oksidentalisme dengan wajah baru. Bukan yang mengagung-agungkan Barat dengan rasa rendah diri, tetapi sikap kritis sebagai sarjana kebudayaan Barat yang berani membongkar peran Paulus secara historis dalam kemunculan dan berdirinya agama Kristen, misalnya, topik sensitif yang dianggap bisa mengancam eksistensi Kristianitas. Atau untuk membicarakan otentisitas Bible sebagai kitab suci, yang konsepnya sangat jauh bahkan berbanding terbalik dengan al-Qur’an.

 

Bisa jadi Hidayat sedang memikirkan mazhab baru oksidentalisme. Tetapi dia takut untuk menamakannya sebagai Neo Oksidentalisme. Karena dia anak ajengan yang terbiasa berbicara pelan, sopan, dan berhati-hati dalam setiap tindak-tanduk. ***



Tuesday, October 8, 2024

Prasasti Digital

Perspektif KBA News, Sabtu, 5 Oktober 2024


Buni Yani

 

Apa yang kita dapatkan dan temui dewasa ini adalah hasil dari olah kerja dan akal budi di masa lalu yang mengkristal menjadi capaian, atau mungkin juga kegagalan, yang menubuh menjadi budaya dan peradaban kita. Apa yang kita anggap sebagai norma dan kewajaran hari ini adalah hasil dari seleksi perilaku dan tindak-tanduk bangsa di masa lalu, menyejarah, lalu kita menyebutnya sebagai kebudayaan dan peradaban. Tidak semua tindak di masa lalu menjadi budaya dan peradaban. Yang terseleksi menjadi budaya dan peradaban adalah yang mengandung nilai, dan terkadang nilai-nilai ini terekam dalam bentuk prasasti dari mana kita belajar bahwa seperangkat nilai ini mempunyai ciri, batasan-batasan, dan lingkup penggunaannya.

 

Prasasti atau inskripsi adalah medium sederhana untuk merekam catatan sejarah pada kurun waktu tertentu ketika teknologi komunikasi masih bersifat primitif. Prasasti bagi manusia bisa jadi semacam catatan untuk mengglorifikasi diri sendiri agar generasi mendatang mengenal, mengenang dan memuji dirinya. Prasasti seperti ini biasanya dibuat atas titah raja atau orang kuat pada zamannya untuk memuji diri. Penulis atau pemahat prasasti diperintah untuk memenuhi napsu narsistik. Tetapi memang ada prasasti yang sebaliknya, yaitu yang dibuat sekadar untuk mencatat sejumlah informasi penting. Meskipun rumus 5W1H dalam ilmu jurnalisme tidak selalu diterapkan dalam penulisan prasasti, namun informasi sekecil apa pun pasti akan sangat berharga untuk membuka jendela masa lalu.

 

Dua hal penting perlu dicatat menyangkut prasasti. Pertama, bentuknya yang secara teknologi masih sangat sederhana. Pemahat prasasti tidak akan mampu memahat pesan yang panjang karena akan memerlukan usaha yang besar dan tentu saja memerlukan permukaan batu yang luas. Prasasti sejarah yang kita temukan dewasa ini di samping sudah banyak mengalami cacat alam karena tidak bisa melawan ganasnya pengaruh alam dan waktu yang panjang, juga terserak tidak beraturan di sembarang tempat. Sejarawan dan arkeolog harus mensistematiskan temuan prasasti mereka sedemikian rupa agar informasi yang terpahat di atas permukaan batu dan berbagai permukaan keras lainnya menjadi catatan yang bermakna.

 

Kedua, cacat bawaan alam yang dimiliki oleh sebuah prasasti akan susah sekali direkonstruksi agar menjadi sumber informasi untuk memahami masa lalu yang jauh. Memang tidak semua prasasti cacat dalam pengertian tidak bisa bertahan terhadap gempuran waktu dan alam, karena memang ada prasasti yang ditulis di atas permukaan yang kuat dan ditaruh di tempat yang terlindungi. Namun cacat bawaan setiap prasasti adalah dia hadir secara random, tidak memiliki konteks, dan susah dimengerti sampai para ahli melakukan studi dan memberikan tafsir atas aksara yang termaktub di atasnya.

 

Orang modern bisa jadi tidak memerlukan prasasti secara harfiah bendawi kecuali untuk keperluan nostalgia yang biasanya dibuat dalam bentuk barang seni retro. Art shop membuat tiruan prasasti lalu ditawarkan ke konsumen bukan untuk mengembangkan dan menghargai seni. Tidak sepenuhnya. Bagi sarjana kajian budaya kritis, penyediaan prasasti retro sebagai benda seni di banyak art shop tidak lebih merupakan praktik komodifikasi biasa dan normal di zaman kapitalisme lanjut. Jadi orang modern menghadapi paradoks yang tak kunjung bisa diatasinya sendiri. Bahwa mereka berusaha memiliki benda seni yang seolah berasal dari masa lampau padahal dipabrikasi di masa kini atas dasar motif kapitalisme – sesuatu yang dibenci oleh pekerja seni idealis garis keras.

 

Mengapa orang modern masih tertarik untuk memiliki dan mengoleksi barang antik seperti prasasti meski hanya berupa tiruan saja? Bukankah orang modern seharusnya mencukupkan diri saja dengan melihat karya Andy Warhol mengenai Marilyn Monroe, misalnya? Bila tidak bisa melihatnya langsung di Museum of Modern Art di New York, maka karya sejenis bisa direproduksi dengan sangat gampang. Tinggal mengunduh file gambar digital tersebut di internet, dicetak, dibingkai, lalu digantung di dinding. Toh akan sama saja “kualitas“ dan “magnitude“ nilai seni yang dihasilkan dengan tiruan prasasti yang dijual di art shop.

 

Itulah soalnya, paradoks orang modern juga ada di sini. Bahwa orang modern kadang suka cari-cari masalah sendiri. Sudah ada yang gampang tapi cari yang susah. Sudah ada benda dari masa kini tetapi justru mencari benda dari masa lampau. Mungkin orang modern merasa paradoks adalah ciri yang melekat pada modernitas. Semakin paradoks, semakin modern.

 

Atau jangan-jangan sebetulnya kita belum pernah menjadi “modern” seutuhnya seperti dikatakan oleh antropolog Bruno Latour? Latour mengatakan, “Nous n'avons jamais été modernes” (kita tidak pernah menjadi modern) dalam konteks dualisme cara berpikir orang modern. Latour mengeritiknya. Kata dia, untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks di zaman modern ini kita tidak cukup menggunakan cara berpikir orang modern yang suka mengotak-ngotakkan masalah. Seharusnya suatu masalah dilihat dari banyak cara pandang tanpa pengkotak-kotakan. Karenanya, dualisme cara berpikir orang modern harus ditinggalkan agar kita bisa mengatasi kompleksitas dunia modern. Dus, sesungguhnya kita tidak pernah menjadi modern.

 

Paradoks orang modern adalah paradoks kita semua. Paradoks yang tidak bisa kita hindarkan karena dia adalah bagian dari hidup dan cara berpikir kita. Paradoks ini harus direkam, didokumentasikan, dan dijadikan prasasti agar kelak generasi mendatang bisa belajar dari masa lalu. Paradoks modernitas ini bisa melingkupi semua bidang. Dia adalah perjalanan suatu bangsa yang layak jadi bahan kajian untuk meneruskan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Hal-hal ini harus menjadi prasasti. Tetapi tentu saja di zaman ini prasasti tidak mungkin dipahat di atas batu. Cukup prasasti digital. Ketika gabungan angka 0 dan 1 menjadi data tak berhingga. ###