Perspektif KBA News, Sabtu, 26 Oktober 2024
Buni Yani
Membayangkan dunia kebintangan Indonesia seperti dalam teori-teori budaya pop modern sepertinya tidak sepenuhnya cocok seratus persen. Bahkan dalam banyak kasus, bila dilebarkan ke dunia kebintangan di Asia Tenggara, khususnya Filipina, misalnya, maka teori-teori tersebut banyak tidak akuratnya.
Dalam banyak kasus seorang bintang digambarkan hidup di dunia mimpi yang gemerlap, tidak menyentuh tanah, dan dia membangun sebuah persona sedemikian rupa sehingga fans atau para penggemar akan tetap tersihir dengan imaji tertentu. Seorang bintang harus eksklusif, berbeda tajam – kalau bisa sekontras langit dan bumi – dengan para penggemar. Dengan begitu para penggemar akan membangun imaji dalam benak mereka mengenai bintang yang dikagumi – persona yang mereka tidak miliki, dan hanya dimiliki oleh sang bintang pujaan.
Di sini berlaku teori “distinction” dari sosiolog dan pemikir Prancis Pierre Bourdieu. Bahwa kelas tertentu dalam masyarakat sengaja membuat “perbedaan” dengan orang kebanyakan untuk menunjukkan dan mengukuhkan dia berasal dari kelas sosial tertentu yang eksklusif. Ini misalnya ditunjukkan dengan selera musik yang berbeda, selera baju yang berbeda, selera makanan yang berbeda, atau mungkin juga bahasa dan gaya bicara yang berbeda untuk menunjukkan dia berasal dari kelas tertentu – kelas yang berbeda dengan orang kebanyakan, atau the popular.
Dalam kasus kebintangan (stardom) dan dunia penggemar (fandom), maka Bourdieu bisa memberikan insight bahwa dalam hal ini si bintang dengan sadar dan sengaja membuat perbedaan untuk memisahkan diri dari imaji, realitas dan eksistensi para penggemar. Sementara di sisi penggemar, tambah jauh perbedaan dirinya dengan si bintang, maka semakin sahih, semakin terkonfirmasi bahwa mereka tak salah pilih bintang yang dikagumi. Karena semua yang tak dimiliki oleh penggemar – yang imaji dan realitasnya ibarat langit dan bumi tadi – ada pada si bintang pujaan.
Dunia kebintangan ini di dunia Barat dipertahankan sampai si bintang meninggal dunia. Rocker, bintang film, atlet, dan pembaca berita TV, sebagai contoh, akan tetap dikenal publik sebagai tokoh atau bintang di bidangnya sampai dia meninggal dunia. Persona yang dibangun para bintang tersebut stabil, tidak berubah dan “membatu” sedemikian rupa sebagai tokoh pada bidang yang mereka tekuni. Kestabilan persona dan citra ini memungkinkan entrepreneur dari bidang lain dalam industri hiburan membuat hall of fame untuk mendaulat sang bintang.
Hall of fame adalah prasasti modern untuk mengukuhkan, menabalkan, dan menubuhkan kebintangan menjadi monumen kasat mata sehingga predikat bintang tak bisa lagi goyah atau ditafsirkan dengan cara lain. Predikat itu membeku dan mengeras. Stabil dan statis.
***
Namun cerita berbeda terjadi di dunia Timur. Dunia kebintangan di Indonesia dan Filipina tidaklah permanen selama sang bintang belum menghembuskan napas terakhir. Ada kemungkinan sang bintang masih bisa memperluas cakupan profesi tidak saja sebagai penyanyi, misalnya. Ini terjadi pada Mike Hanopol, legenda musik rock dari grup Juan Dela Cruz Band, yang tidak saja tetap bermain musik tetapi juga rajin memberikan ceramah di gereja setelah umurnya bertambah tua.
Atau bisa juga sang bintang berpindah profesi secara drastis tidak lagi menekuni profesi lama. Kasus terakhir ini banyak terjadi di Indonesia. Ada rocker dan bintang film yang berpindah profesi menjadi penceramah agama. Nama-nama seperti Hari Moekti dan Derry Sulaiman sudah tidak asing lagi bagi kaum muslimin Indonesia. Mereka diundang berceramah ke seluruh tanah air. Pada suatu hari Jumat beberapa bulan lalu saya secara tidak sengaja shalat Jumat di sebuah masjid di daerah Cawang, Jakarta Timur yang khatibnya Ustadz Derry.
Dari kalangan wanita, ada Peggy Melati Sukma yang dulu menjadi pemain sinetron dan kini menjadi pendakwah. Sama seperti Ustadz Derry, Ustadzah Peggy juga diundang keliling di berbagai majelis di seluruh tanah air. Nama lain, Marissa Haque, bintang film yang meraih Piala Citra pada 1985, kini dikenal sebagai akademisi dan mengajar di sebuah perguruan tinggi di daerah Kemang, Jakarta Selatan.
***
Saya mengenal Marissa waktu sama-sama kuliah S2 di Ohio University, AS. Saya belajar di jurusan Southeast Asian Studies, sementara Mbak Icha, begitu saya memanggilnya, mendapat beasiswa di jurusan Film Studies – jurusan yang masih terkait dengan dunia yang digelutinya waktu itu. Mbak Icha cepat dapat teman di kota kecil Athens, Ohio, tempat kampus berdiri. Tidak saja karena Mbak Icha sudah menjadi bintang film, seleb besar di tanah air, tetapi juga karena kebaikan dan kerendahan hatinya. Saya memanggilnya dengan panggilan “Mbak Icha” paling tidak karena dua hal. Pertama, karena kesuksesan Mbak Icha dalam dunia yang ditekuninya yang tidak saya miliki; dan kedua, karena Mbak Icha usianya terpaut sekitar enam tahun dengan saya. Seusia kakak saya yang paling tua.
Mbak Icha tinggal di apartemen di Mill Street, satu rumah dengan Ann Shoemake, mahasiswa program doktoral yang banyak bergaul dengan mahasiswa Indonesia. Saya beberapa kali ke apartemen Mbak Icha, karena di samping sudah lama kenal Ann Shoemake sejak di Jakarta, akan tetapi juga karena saya cepat akrab dengan Mbak Icha. Banyak hal yang kami obrolkan nyambung. Mungkin itu sebabnya Mbak Icha meminta saya untuk ikut membantunya dalam project film yang ditugaskan di kelasnya.
Ketika Mas Ikang Fawzi menjenguk Mbak Icha di Athens, dia tinggal di rumah Profesor Collins, seorang Indonesianis dan juga menjadi “ibu” dari mahasiswa Indonesia di Ohio. Di rumah yang beralamat di Fairview Drive itu, banyak mahasiswa sempat menumpang, termasuk saya. Saya waktu itu kebetulan tinggal di rumah Bu Collins dan bertemu dengan Mas Ikang. Ada juga waktu itu Mas Ganda Upaya, dosen jurusan Sosiologi UI, tinggal di sana. Setiap kali Mas Ikang mau merokok, dia turun ke kamar Mas Ganda yang ada di basemen. Jadilah kami menyebut kamar Mas Ganda sebagai “kafe basemen“.
Akhir 2001 saya sudah menyelesaikan tesis master, tetapi thesis committee hanya bisa memberikan saya ujian pada bulan Januari 2002. Setelah ujian selesai, saya mendapatkan pekerjaan di Washington, DC sebagai wartawan. Saya langsung Menyusun rencana untuk hijrah ke Washington, DC dan diantar oleh Mas Yojo – mahasiswa Indonesia yang setelah tamat tetap bermukim di Athens – dan eks roommate saya mahasiswa asal Srilanka. Tapi beasiswa saya hanya sampai akhir 2001 dan saya tidak punya bekal untuk boyongan ke Washington, DC.
Akhirnya saya menceritakan masalah saya ini ke Mbak Icha dan tanpa diminta Mbak Icha pun langsung menawarkan saya pinjaman 100 dolar. Saya senang sekali mendapat bantuan demikian. Saya berjanji akan membayar utang ke Mbak Icha begitu saya dapat gaji pertama. Betul, begitu gaji pertama saya terima, yang saya ingat pertama kali adalah kewajiban saya ke Mbak Icha. Saya kirim uang lewat surat biasa lalu dimasukkan ke dalam amplop. Selembar uang seratus dolar itu saya lapisi dengan kertas putih agar tidak terlihat dari luar amplop. Saya kirimi Mbak Icha email bahwa surat akan sampai Athens dalam sekian hari. Saya minta dikabari apabila surat sudah diterima.
Singkat cerita, kami masing-masing sudah berada di Jakarta. Saya pulang ke Jakarta akhir 2002 tetapi karena kesibukan masing-masing komunikasi dengan Mbak Icha tidak terjalin. Jauh hari kemudian saya mendapatkan nomor telepon Mbak Icha. Namun kembali komunikasi terputus karena kesibukannya maju menjadi cawagub Banten pada pilkada 2006. Akhirnya setelah itu selebihnya kami berkawan dan berkomunikasi lewat media sosial.
Mbak Icha mengirim permintaan pertemanan di akun Facebook sekitar sebulan sebelum meninggal dunia. Saya kirim pesan lewat inbox menanyakan kabar yang tidak dijawab sampai Mbak Icha meninggal dunia.
***
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Saya sudah berada di Bogor dengan Ramadhan Pohan dalam perjalanan menuju Sukabumi, 2 Oktober 2024 ketika kabar berpulangnya Mbak Icha kami dapatkan melalui grup WA. Bro Ramadhan juga kenal baik dengan Mbak Icha. Setidaknya mereka pernah bertemu di Washington, DC ketika Bro Ramadhan menjadi koresponden Jawa Pos di Amerika.
Kami saling bertanya, bagaimana, apa perlu balik arah ke Jakarta lalu melayat ke almarhumah? Tapi Sukabumi sudah tinggal sedikit lagi, dan kalaupun kami balik arah ke Jakarta, belum tentu lalu lintas lancar. Hal lain, akan sangat tidak mengenakkan bila kami membatalkan pertemuan di Sukabumi sementara teman janjian sebentar lagi juga akan sampai. Akhirnya kami putuskan tetap menuju Sukabumi.
***
Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Semoga Allah mengampuni semua dosa dan menerima semua amal baik almarhumah. Insya Allah Mbak Icha husnul khatimah. Almarhumah adalah orang baik dan suka membantu orang yang membutuhkan. Allah akan membalas kebaikan almarhumah baik di alam kubur maupun di akhirat kelak.
Publik mengerti mengapa Mas Ikang sangat merasa kehilangan atas kepergian istri tercinta. Karena kepada orang lain saja Mbak Icha sangat tulus membantu, apalagi kepada keluarga sendiri. Mas Ikang dan dua putri tercinta pasti sangat beruntung punya istri dan ibu yang sangat baik hati dan perhatian.
Perubahan Mbak Icha dari ikon dunia film menjadi orang yang cukup religius sangat terasa oleh banyak orang. Tidak hanya mengenakan jilbab, akan tetapi Mbak Icha sering sekali mengutip ayat al-Qur’an. Ayat favorit Mbak Icha berasal dari Surah ar-Rahman yang bunyinya, “Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdzibaan“ (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?) Ayat ini sering sekali dikutip Mbak Icha dalam postingan di media sosial.
Ayat ini diulang sampai 31 kali dalam Surah ar-Rahman. Dalam kaidah tafsir disebutkan bahwa semakin sering suatu ayat diulang, maka ayat tersebut memiliki bobot yang tinggi dan penting yang harus menjadi perhatian. Gaya bahasa repetisi yang digunakan Allah SWT pada surah ini terbukti efektif menjadi perhatian pembaca.
Kelihatan sekali Mbak Icha sudah selesai dengan banyak urusan dunia sehingga dia tak henti-hentinya bersyukur kepada Allah SWT atas limpahan karuniaNya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan?“ Bunyi ayat ini begitu kuat menghunjam ke hati Mbak Icha sehingga dia ulang-ulangi dan resapi isinya. Mbak Icha tak henti-hentinya bersyukur atas limpahan karunia dari Allah SWT, hal yang tidak semua orang bisa lakukan.
Dalam sebuah ayat Allah SWT berfirman bahwa jika manusia bersyukur maka Allah akan menambah nikmatNya. Akan tetapi jika manusia kufur nikmat, maka sesungguhnya azab Allah sangat pedih. La'in syakartum la'azidannakum wa la'in kafartum inna ‘adzabi lasyadiid (QS Ibrahim: 7). Manusia akan bahagia dan tenang jika pandai bersyukur, dan sebaliknya manusia akan jatuh ke dalam hati yang gundah-gulana bila kufur dengan karunia yang didapatkan.
***
Kepulangan Mbak Icha ke rahmatullah dengan sangat tiba-tiba mengejutkan banyak kalangan. Mbak Icha meninggalkan kenangan tentang kebaikan dan kepedulian bagi orang-orang yang sempat mengenalnya. Kontribusi Mbak Icha dan artis-artis lainnya dalam studi kajian budaya dan Islam tentu saja perlu disebutkan. Bahwa mereka membuat trajektori baru dalam bidang ini, yang membuatnya berbeda dengan dunia kebintangan di dunia Barat. Para sarjana bisa belajar banyak dari studi kasus ini dan menelurkan teori alternatif yang berbeda dengan teori yang sudah ada.
Insya Allah Mbak Icha husnul khatimah. Al faatihah. ***