Perspektif KBA News, Sabtu, 5 Oktober 2024
Buni Yani
Apa yang kita dapatkan dan temui dewasa ini adalah hasil dari olah kerja dan akal budi di masa lalu yang mengkristal menjadi capaian, atau mungkin juga kegagalan, yang menubuh menjadi budaya dan peradaban kita. Apa yang kita anggap sebagai norma dan kewajaran hari ini adalah hasil dari seleksi perilaku dan tindak-tanduk bangsa di masa lalu, menyejarah, lalu kita menyebutnya sebagai kebudayaan dan peradaban. Tidak semua tindak di masa lalu menjadi budaya dan peradaban. Yang terseleksi menjadi budaya dan peradaban adalah yang mengandung nilai, dan terkadang nilai-nilai ini terekam dalam bentuk prasasti dari mana kita belajar bahwa seperangkat nilai ini mempunyai ciri, batasan-batasan, dan lingkup penggunaannya.
Prasasti atau inskripsi adalah medium sederhana untuk merekam catatan sejarah pada kurun waktu tertentu ketika teknologi komunikasi masih bersifat primitif. Prasasti bagi manusia bisa jadi semacam catatan untuk mengglorifikasi diri sendiri agar generasi mendatang mengenal, mengenang dan memuji dirinya. Prasasti seperti ini biasanya dibuat atas titah raja atau orang kuat pada zamannya untuk memuji diri. Penulis atau pemahat prasasti diperintah untuk memenuhi napsu narsistik. Tetapi memang ada prasasti yang sebaliknya, yaitu yang dibuat sekadar untuk mencatat sejumlah informasi penting. Meskipun rumus 5W1H dalam ilmu jurnalisme tidak selalu diterapkan dalam penulisan prasasti, namun informasi sekecil apa pun pasti akan sangat berharga untuk membuka jendela masa lalu.
Dua hal penting perlu dicatat menyangkut prasasti. Pertama, bentuknya yang secara teknologi masih sangat sederhana. Pemahat prasasti tidak akan mampu memahat pesan yang panjang karena akan memerlukan usaha yang besar dan tentu saja memerlukan permukaan batu yang luas. Prasasti sejarah yang kita temukan dewasa ini di samping sudah banyak mengalami cacat alam karena tidak bisa melawan ganasnya pengaruh alam dan waktu yang panjang, juga terserak tidak beraturan di sembarang tempat. Sejarawan dan arkeolog harus mensistematiskan temuan prasasti mereka sedemikian rupa agar informasi yang terpahat di atas permukaan batu dan berbagai permukaan keras lainnya menjadi catatan yang bermakna.
Kedua, cacat bawaan alam yang dimiliki oleh sebuah prasasti akan susah sekali direkonstruksi agar menjadi sumber informasi untuk memahami masa lalu yang jauh. Memang tidak semua prasasti cacat dalam pengertian tidak bisa bertahan terhadap gempuran waktu dan alam, karena memang ada prasasti yang ditulis di atas permukaan yang kuat dan ditaruh di tempat yang terlindungi. Namun cacat bawaan setiap prasasti adalah dia hadir secara random, tidak memiliki konteks, dan susah dimengerti sampai para ahli melakukan studi dan memberikan tafsir atas aksara yang termaktub di atasnya.
Orang modern bisa jadi tidak memerlukan prasasti secara harfiah bendawi kecuali untuk keperluan nostalgia yang biasanya dibuat dalam bentuk barang seni retro. Art shop membuat tiruan prasasti lalu ditawarkan ke konsumen bukan untuk mengembangkan dan menghargai seni. Tidak sepenuhnya. Bagi sarjana kajian budaya kritis, penyediaan prasasti retro sebagai benda seni di banyak art shop tidak lebih merupakan praktik komodifikasi biasa dan normal di zaman kapitalisme lanjut. Jadi orang modern menghadapi paradoks yang tak kunjung bisa diatasinya sendiri. Bahwa mereka berusaha memiliki benda seni yang seolah berasal dari masa lampau padahal dipabrikasi di masa kini atas dasar motif kapitalisme – sesuatu yang dibenci oleh pekerja seni idealis garis keras.
Mengapa orang modern masih tertarik untuk memiliki dan mengoleksi barang antik seperti prasasti meski hanya berupa tiruan saja? Bukankah orang modern seharusnya mencukupkan diri saja dengan melihat karya Andy Warhol mengenai Marilyn Monroe, misalnya? Bila tidak bisa melihatnya langsung di Museum of Modern Art di New York, maka karya sejenis bisa direproduksi dengan sangat gampang. Tinggal mengunduh file gambar digital tersebut di internet, dicetak, dibingkai, lalu digantung di dinding. Toh akan sama saja “kualitas“ dan “magnitude“ nilai seni yang dihasilkan dengan tiruan prasasti yang dijual di art shop.
Itulah soalnya, paradoks orang modern juga ada di sini. Bahwa orang modern kadang suka cari-cari masalah sendiri. Sudah ada yang gampang tapi cari yang susah. Sudah ada benda dari masa kini tetapi justru mencari benda dari masa lampau. Mungkin orang modern merasa paradoks adalah ciri yang melekat pada modernitas. Semakin paradoks, semakin modern.
Atau jangan-jangan sebetulnya kita belum pernah menjadi “modern” seutuhnya seperti dikatakan oleh antropolog Bruno Latour? Latour mengatakan, “Nous n'avons jamais été modernes” (kita tidak pernah menjadi modern) dalam konteks dualisme cara berpikir orang modern. Latour mengeritiknya. Kata dia, untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks di zaman modern ini kita tidak cukup menggunakan cara berpikir orang modern yang suka mengotak-ngotakkan masalah. Seharusnya suatu masalah dilihat dari banyak cara pandang tanpa pengkotak-kotakan. Karenanya, dualisme cara berpikir orang modern harus ditinggalkan agar kita bisa mengatasi kompleksitas dunia modern. Dus, sesungguhnya kita tidak pernah menjadi modern.
Paradoks orang modern adalah paradoks kita semua. Paradoks yang tidak bisa kita hindarkan karena dia adalah bagian dari hidup dan cara berpikir kita. Paradoks ini harus direkam, didokumentasikan, dan dijadikan prasasti agar kelak generasi mendatang bisa belajar dari masa lalu. Paradoks modernitas ini bisa melingkupi semua bidang. Dia adalah perjalanan suatu bangsa yang layak jadi bahan kajian untuk meneruskan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Hal-hal ini harus menjadi prasasti. Tetapi tentu saja di zaman ini prasasti tidak mungkin dipahat di atas batu. Cukup prasasti digital. Ketika gabungan angka 0 dan 1 menjadi data tak berhingga. ###
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.