Perspektif KBA News, Sabtu, 12 Oktober 2024
Buni Yani
Hidayat namanya. Ketika sampai di Amerika dulu, dia terperanjat campur bahagia campur bangga melihat kemajuan negeri Paman Sam. Amerika dan kampungnya ibarat langit dan bumi. Hidayat, anak kampung yang belajar ke kota, beruntung mendapatkan beasiswa Fulbright. Lahir di desa kecil Jawa Barat, melanjutkan ke universitas di Bandung yang jaraknya sekitar 6o kilometer dari kampungnya.
Abahnya, seorang ajengan kampung, memberikannya nama Hidayat agar kelak si anak pintar ini mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Doa abah terkabul. Dalam perjalanan hidup selanjutnya memang Hidayatlah anak sang ajengan yang paling pintar, cepat menangkap pelajaran, dan fasih dalam bicara. Meskipun tentu saja si anak pintar ini mendapat “petunjuk” yang lain, jalan yang berbeda dengan ayahnya yang mendalami agama Islam.
Beasiswa yang diterima Hidayat untuk belajar kesusasteraan Inggris amat menyenangkan hatinya. Tidak hanya prestisius, tetapi juga pintu untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan Barat yang selama ini dia tekuni. Bayangkan, selama ini dia amat menyukai matakuliah Sejarah Pemikiran Modern yang diampu oleh seorang profesor tamatan Roma yang juga seorang pastor Jesuit. Nama-nama besar seperti Plato, Sokrates, Heidegger, Foucault, juga Habermas sudah tidak asing lagi bagi Hidayat. Melalui merekalah pintu menuju Barat modern akan terbuka lebar.
Melihat profilnya, maka otomatis Hidayat adalah seorang oksidentalis, yaitu orang Timur yang mempelajari kebudayaan dan hal-ihwal mengenai dunia Barat. Oksidentalis adalah lawan kata dari orientalis, yaitu orang Barat yang mempelajari kebudayaan dan hal-ihwal mengenai dunia Timur. Namun sikap jiwa oksidentalis dibandingkan dengan orientalis ibarat langit dan bumi. Ada kesenjangan yang amat besar yang tidak bisa dibandingkan. Jangankan disandingkan, dibandingkan saja tidak bisa. Dalam dunia sepakbola, ibarat membandingkan Persib Bandung dengan Manchester United.
Oksidentalis seperti Hidayat dan kebanyakan sarjana dari dunia Timur datang belajar ke Barat dengan rasa penuh kagum sehingga apa pun yang berasal dari Barat dianggap modern, lebih superior, dan tentu saja dijadikan standar kebenaran dan kepatutan. Mereka datang ke Barat tidak dengan nalar kritis untuk membandingkan Barat dan dunia di mana mereka dibesarkan. Barat adalah prototipe dan eksemplar modernitas. Tak ada alternatif lain. Sementara Timur sebaliknya harus belajar dari Barat karena Timur terbelakang, miskin, dan bodoh. Standar yang digunakan sebagai tolok ukur murni bersifat bendawi dan duniawi, yang menyebabkan Barat terlihat gemerlap berkilau.
Di lain pihak, orientalis mempelajari dunia Timur dengan sikap eksploitatif yang kejam, dan tak jarang dengan dagu mendongak penuh kesombongan, mereka meremehkan kemanusiaan obyek studi mereka. Bagi orientalis, dunia Timur yang terbelakang, miskin, dan bodoh harus dikuasai, dijajah, dan diperbudak demi interes ekonomi dan politik. Dunia Timur itu inferior dalam semua bidang, karenanya harus diajari agar menjadi berbudaya dan beradab. Orientalisme mempunyai motif imperialisme dan kolonialisme yang jahat. Orientalis mempelajari Timur murni dengan niat untuk menjajah dan menguasai. Tak ada belas kasihan.
Karenanya, bisa kita saksikan dewasa ini bagaimana Paris yang angkuh yang sangat tidak bersahabat dengan Islam. Burqa dilarang, jilbab tidak diperbolehkan di sekolah-sekolah. Padahal jalan-jalan yang lebar, gedung-gedung mentereng, dan taman-taman yang indah di kota cantik dan megah ini adalah hasil dari penjarahan dari negara-negara Islam jajahannya di Afrika Utara. Di Louvre, artefak-artefak bersejarah berumur ratusan bahkan ribuan tahun dipamerkan sebagai simbol penguasaan Prancis atas daerah jajahannya – entah dimiliki dengan cara halal atau dengan paksaan dan kekerasan. Tidak hanya Afrika Utara yang dijarah Prancis. Bahkan artefak Hukum Hammurabi yang berasal dari Mesopotamia kuno pun menjadi koleksi Louvre.
Hal yang sama terjadi pada Amsterdam. Jalan-jalan yang licin dan rapi, kanal-kanal pemecah banjir, perpustakaan, taman, universitas, dan gedung-gedung megah, semuanya adalah hasil dari perampokan dan penindasan terhadap pribumi Hindia Belanda sejak zaman VOC berdagang menggunakan senjata. Sisa-sisa kejayaan maskapai dagang Belanda itu masih bisa ditemukan kini di gedung bernama Bushuis yang digunakan sebagai kampus oleh Universiteit van Amsterdam. VOC mendatangkan kekayaan berlimpah bagi Belanda. Belanda menjadi negara terkaya di Eropa akibat monopoli dagang rempah-rempah dan semua hasil bumi Hindia Belanda. Saking kayanya, Belanda menemukan inovasi memperdagangkan saham perusahaan, dan jadilah Belanda negara pertama tempat berdirinya bursa saham dunia. Dalam soal-soal ekonomi, Kerajaan Inggris pun belajar ke Belanda pada saat itu.
Singkat kata, oksidentalisme dan orientalisme sangat berbeda dalam teori dan praktik. Oksidentalisme seperti ini mau tak mau kelihatan ganjil dan tak berkelas. Kekaguman terhadap Barat dipicu oleh rasa inferior yang ditanamkan sejak bangku kuliah. Karena dosen-dosen Hidayat yang belajar ke Amerika, Eropa dan Australia juga mengajarkan kekaguman yang sama kepada para mahasiswa. Kekaguman akan hal-hal bendawi yang mereka saksikan ketika belajar di negeri-negeri itu.
Terkadang Hidayat berpikir, bisakah lingkaran setan oksidentalisme dengan trajektori demikian dirombak menuju arah lain yang lebih akademik? Misalnya, sebuah oksidentalisme kritis yang bertumpu pada penemuan kejanggalan-kejanggalan budaya Barat yang ditopang oleh “kepercayaan-kepercayaan aneh” yang tidak bisa lagi dipertahankan secara ilmiah.
Sesungguhnya sudah lama Hidayat menemukan “kejanggalan” dalam ajaran agama Kristen yang dia pelajari pada matakuliah Sejarah Pemikiran Modern. Buku-buku favoritnya sejak semester VII dan sejak menjadi aktivis masjid kampus adalah buku-buku kristologi yang ditulis oleh sarjana-sarjana Kristen Barat. Awalnya dia sangat tertarik membandingkan antara ajaran agama Islam dan Kristen, berusaha mencari titik temu dan memahami di mana letak perbedaan kedua agama. Dia intensif membaca buku-buku karangan ahli Bible Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Buku favoritnya berjudul Paul and Jesus: How the Apostle Transformed Christianity yang ditulis oleh James D. Tabor, seorang sarjana Bible yang mengajar di University of North Carolina, AS.
Setiap kali Hidayat membicarakan isi buku ini, dia selalu sangat berhati-hati karena takut menyinggung perasaan kawan-kawannya yang beragama Kristen. Itu di Indonesia, di mana nilai-nilai agama masih dihormati dan dipegang teguh oleh pemeluknya. Di Amerika, tempat liberalisme menjadi praktik sehari-hari, tidak ada yang terlalu peduli dengan hal-ihwal mengenai agama. Kecuali para sarjana dan mahasiswa yang mempelajari agama sebagai bidang studi, tentu saja.
Hidayat menemukan kristologi sebagai pintu masuk menuju oksidentalisme dengan wajah baru. Bukan yang mengagung-agungkan Barat dengan rasa rendah diri, tetapi sikap kritis sebagai sarjana kebudayaan Barat yang berani membongkar peran Paulus secara historis dalam kemunculan dan berdirinya agama Kristen, misalnya, topik sensitif yang dianggap bisa mengancam eksistensi Kristianitas. Atau untuk membicarakan otentisitas Bible sebagai kitab suci, yang konsepnya sangat jauh bahkan berbanding terbalik dengan al-Qur’an.
Bisa jadi Hidayat sedang memikirkan mazhab baru oksidentalisme. Tetapi dia takut untuk menamakannya sebagai Neo Oksidentalisme. Karena dia anak ajengan yang terbiasa berbicara pelan, sopan, dan berhati-hati dalam setiap tindak-tanduk. ***
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.