Saturday, December 14, 2024

Elegi Suriah: Halab, Damsyik, dan Kota-kota yang Tersedu

Perspektif KBA News, Sabtu, 14 Desember 2024

Buni Yani

Halab dikenal sebagai kota budaya Suriah. Lidah Barat menyebutnya sebagai Aleppo. Halab, salah satu kota tertua di dunia yang dihuni oleh umat manusia, menyimpan kekayaan spiritual yang luar biasa. Di sinilah tempat lahir penyanyi dan muazzin terkenal Sabri Moudallal yang legendaris itu. Moudallal adalah duta budaya terbaik yang dimiliki Suriah, sosok yang dianggap Barat mewakili dunia Timur secara sempurna.


Damsyik tidak cuma bersejarah karena usianya yang sudah ribuan tahun, tetapi juga di zaman modern ini menjadi pusat pemerintahan. Lidah Barat menyebutnya sebagai Damaskus. Umat Nasrani sangat mengenal Damsyik karena kota inilah tujuan Paulus dari Tarsus dalam perjalanan dari Palestina. Dalam Kisah Para Rasul di Bibel disebutkan bahwa sebelum sampai Damsyik, Paulus berjumpa dengan Yesus tetapi hanya lewat suara, sementara cahaya Yesus menyilaukan matanya yang menjadikannya buta, yang kemudian menyebabkan Paulus dibaptis menjadi seorang Kristen yang taat.

Kota-kota Suriah sudah setua peradaban umat manusia. Yahudi, Kristen dan Islam silih berganti menjadi agama yang mewarnai kehidupan dan peradaban di sana. Tetapi sebelum ketiga agama itu datang, Suriah sudah mendapat pengaruh dari Yunani dan Romawi. Karena beragam pengaruh inilah maka Suriah menjadi negeri yang kaya akan budaya di antaranya dalam bentuk arsitektur, bahasa, makanan, dan musik.

Damsyik atau Dimasyk juga dikenal sebagai negeri Syam. Orang Islam tentu sangat kenal dengan negeri ini karena tertera dalam sirah nabawiyah atau sejarah kenabian Nabi Muhammad SAW. Negeri Syamlah tujuan Nabi Muhammad waktu muda untuk berdagang. Beliau membawa barang dagangan dari kota Mekkah ke Syam milik saudagar kaya Siti Khadijah, yang kelak akan menjadi istrinya.

Di negeri Suriah inilah pula tempat Nabi Muhammad SAW bertemu dengan pendeta Nasrani yang masyhur kala itu bernama Bahirah di sekitar kota Busyra. Nabi waktu itu masih berumur 12 tahun. Beliau dibawa oleh pamannya, Abu Thalib, untuk berdagang ke Syam. Pendeta Bahirah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad kecil seperti tercantum dalam kitab sucinya.

Melihat tanda-tanda kenabian itu, Pendeta Bahirah meminta Abu Thalib membawa kembali Muhammad kecil keponakannya ke Mekkah dan mengurungkan niat masuk Syam untuk berdagang. Ini untuk menghindari agar Muhammad kecil tidak dicelakai oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.

Suriah tidak kekurangan pujian karena kemuliaannya sejak dahulu kala. Syam dan Palestina dipercayai mendapatkan berkah dari Allah SWT sesuai dengan bunyi ayat 71 Surah al-Anbiya (21) pada al-Qur’an. Para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud sebagai negeri yang diberkati dalam ayat ini adalah Syam dan Palestina.

Syam dan Palestina yang dikenal lebih subur dari wilayah sekitarnya di Timur Tengah diberkati oleh Allah SWT karena dua wilayah ini merupakan tempat kelahiran dan tempat diutusnya 12 nabi. Mereka adalah Luth, Ishak, Ya’kub, Ayub, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Zakaria, Yahya, dan Isa AS. Syam dan Palestina akan selalu menarik sejarawan karena begitu banyaknya kejadian penting di dua negeri ini yang kemudian mempengaruhi peradaban umat manusia.

SSebagai peminat antropologi musik, saya mengenal kota Halab lewat suara Sabri Moudallal yang merdu. Tahun 2002 saya membeli sejumlah CD di sebuah toko musik lumayan besar di Washington, DC. Pada sebuah counter yang diberi label “World Music”, di sana ada dipajang rekaman Moudallal bersama musik dari berbagai negara.

Album CD Sabri Moudallal yang dipajang itu berjudul “Chants d’Alep” (Nyanyian dari Aleppo) dan dirilis oleh Institut du Monde Arabe (Lembaga Dunia Arab) pada tahun 1999 di Paris, sebuah lembaga yang didirikan oleh pemerintah Prancis bersama 18 negara Arab.

Musik Moudallal dianggap unik dan penting karena mempunyai corak musik Arab yang hanya hidup di kota Halab. Pengetahuan musiknya berkaitan dengan kemampuan melantunkan azan untuk shalat. Para muazzinlah yang menurunkan kemampaun jenis musik ini ke para yunior mereka.

Tradisi ini tentu sudah langka dibandingkan dengan musik Arab modern pada umumnya. Bahkan kini musik Arab di antaranya sudah ada yang meniru orkestra Barat, band dengan genre hip hop, pop, jazz, dan macam-macam jenis musik yang sudah tidak menunjukkan karakter Arab yang khas.

Hal inilah yang menyebabkan Sabri Moudallal menjadi istimewa, meskipun ia jelas bukan musisi yang lahir dari bangku sekolah. Moudallal dikenal mempunyai suara yang merdu. Dia menguasai musik yang ia bawakan, dan sebagai seorang seniman panggung, dia mampu memukau penonton.

Kemampuan musik Moudallal murni berasal dari proses belajar lewat mendengar. Karena tidak ada kriteria definitif sebagai tolok ukur dalam skema budaya musik Halab ini, maka sulit bagi kebanyakan orang untuk memahami dan menguasai esensi musiknya. Dalam tradisi musik Halab, seseorang yang berbakat musik, meskipun hanya belajar lewat proses mendengar saja, maka dia harus menguasai apa yang disebut sebagai tarab, atau emosi. Dan Sabri Moudallal dianggap musisi yang tidak ada duanya dalam urusan ini!

Institut du Monde Arabe menyebutkan lagu-lagu yang dibawakan oleh Moudallal masih terikat dengan pakem wasla (washlah) – suatu istilah dalam musik Arab yang mempunyai pengertian jamak. Wasla ini, kata Institut, dewasa ini hanya bisa ditemukan di Halab, tidak ditemukan di tempat mana pun di negara-negara Arab Timur Tengah.

Ketika pertama kali mendengarkan album Moudallal ini dulu, saya cukup terkejut mendengar suara azan pada lagu ke-13 berjudul “Ya Hadi” / “Toi qui Conduis” (Wahai Engkau yang Memberi Petunjuk). Tidak cuma itu, lagu terakhir pada album ini adalah shalawat Nabi berjudul “Tala’a al-Badru ‘Alayna” / “Tel la Pleine Lune, Il Apparut…” (Bulan Purnama Telah Terbit kepada Kita) yang sangat populer di Indonesia dan negara-negara Islam. Baru setelah membaca katalog yang disertakan pada album, saya mulai mengerti. Moudallal memang pertama kali adalah seorang muazzin, baru kemudian melantunkan lagu-lagu baik yang bercorak keagamaan maupun tidak.

Christian Poché, seorang etnomusikolog yang mewakili Institut du Monde Arabe, menulis katalog pada album CD ini, dan menyebut Moudallal sebagai “premier muezzin d’Alep” (muazzin utama dari Aleppo). Karena jauh sebelum Moudallal diundang ke berbagai negara dengan lagu-lagu yang dia nyanyikan, Moudallal dikenal di Halab sebagai seorang muazzin. Di samping itu, Moudallal dan grupnya juga manggung di berbagai acara pernikahan untuk menghidupkan suasana penuh kegembiraan.

Nama Moudallal melambung sejak dia dan grupnya, Muazzin Halab, diundang pentas di Paris pada tahun 1975. Undangan setelah itu datang dari Hongkong, Jenewa, Berlin, Tunis dan Heraklion yang membuat namanya populer di dunia internasional. Meskipun begitu, Moudallal tidak berubah. Dia tetap hidup sederhana, menjalani profesi utamanya sebagai muazzin.

Penampilan “muazzin utama” selalu rapi dan enak dipandang mata. Ciri khasnya selalu mengenakan topi fez Suriah tinggi berwarna merah dalam setiap kesempatan pentas baik di acara konser maupun acara pernikahan. Fez sendiri artinya topi, artefak budaya peninggalan Daulah Utsmaniyah yang berkuasa di Suriah selama lebih dari 400 tahun.

Topi fez pernah dilarang di Turki setelah kekhalifahan Utsmaniyah runtuh. Kemal Attaturk yang anti Islam, yang kemudian berkuasa setelah itu, menganggap topi fez sebagai simbol Islam yang harus dilarang. Attaturk mendirikan negara sekuler Turki dan memberangus segala macam simbol yang berkaitan dengan Islam.

Sabri Moudallal, muazzin utama itu, mungkin punya pesan khusus kepada umat Islam sedunia mengapa dia selalu mengenakan topi fez panjang berwarna merah setiap kali tampil di hadapan khalayak. Lahir di kota Halab pada tahun 1918 dan meninggal dunia pada tahun 2006, Moudallal baru saja berumur empat tahun ketika Daulah Utsmaniyah jatuh di Turki. Usia balita yang belum tahu apa-apa, apa lagi mengenai politik.

Moudallal kelihatannya ingin berbicara tidak hanya lewat musiknya yang merdu, tetapi juga lewat semiotika yang gampang dibaca khalayak. Topi fez, topi peninggalan Daulah Utsmaniyah yang berbicara. Berbicara kepada dirinya, juga khalayak.

Topi fez Sabri Moudallal tidak hanya memunculkan kembali memori tentang sejarah kelam jatuhnya Daulah Utsmaniyah yang membuat umat Islam sedunia tercerai-berai, tetapi juga sejarah yang sedang berlangsung di bawah kendali keluarga al-Assad yang telah memerintah selama 53 tahun.

Topi fez Moudallal mau tak mau adalah katalisator sejarah par excellence. Ia seolah-olah berbicara mengenai Suriah yang tidak kunjung damai, Suriah yang penuh konflik, dan Suriah yang penuh penderitaan. Dan topi fez ini juga seolah-olah ingin bercerita mengenai jatuhnya Basyar al-Assad secara tiba-tiba akibat serangan tentara pemberontak.

Basyar al-Assad yang mewarisi tahta ayahnya, Hafiz al-Assad, memerintah dengan tangan besi dan membantai musuh-musuh politiknya secara kejam. Sejak naik ke tampuk kekuasaan secara bengis, Suriah tak henti dirundung malang. Berkecamuk perang saudara yang membuat ratusan ribu orang terbunuh dan mengungsi.

Basyar al-Assad memang telah jatuh kini dan pergi mencari suaka ke Moskwa, tetapi masa depan Suriah masih di atas awang-awang – belum pasti. Rakyat yang lelah dan menderita menunggu apakah penguasa mendatang akan mampu membawa kedamaian dan kemakmuran untuk negeri yang mereka cintai.

Suriah kini tak henti berurai air mata. Banyak bangunan dan peninggalan budaya penting rusak akibat perang. Kemarahan dan kebencian bersimaharajalela. Dan dalam keadaan demikian, berbicara mengenai peninggalan budaya menjadi topik yang terlalu mewah dan absurd.

Halab, Damsyik, Hims, dan kota-kota lain menangis tersedu. Air mata sudah terkuras habis, dan tidak ada lagi yang bisa mengalir. Nyanyian Moudallal kini berubah menjadi elegi – lagu yang sendu. Lagu yang pilu. ***

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.