Buni Yani
Jakarta yang sudah berubah status tidak lagi menjadi ibu kota tetapi hanya daerah khusus sangat susah disebut sebagai kota modern dalam visi dan cita-cita para planolog sekolahan. Jakarta adalah desa biasa. Yaitu tempat warga di gang-gang kecil ngerumpi, meludah sembarangan, dan membuang sampah secara serampangan tanpa merasa bersalah. Jakarta adalah desa biasa, cuma ukurannya saja yang super besar.
Kota modern dalam visi perencana kota adalah kota yang tidak hanya infrastrukturnya modern, tetapi juga perilaku warganya menunjukkan sikap lebih rasional dan disiplin, yang tentu berbeda dengan orang desa. Tetapi Jakarta bukanlah kota seperti itu. Jakarta adalah desa, desa yang sangat besar, yang kini wilayahnya telah ditabalkan menjadi aglomerasi meniru Paris.
Para pembuat undang-undang menggunakan nomenklatur “aglomerasi” untuk menyebut bagian-bagian kota serta perluasannya yang kini sudah menjadi megacity. Tetapi jelas bukan meniru Paris dalam hal keindahan, kedisiplinan, dan hal-hal yang menunjukkan dunia modern seperti ditulis dalam buku terkenal filsuf Sekolah Frankfurt Walter Benjamin, Das Passagen Werk (The Arcade Project).
Karenanya, di sinilah sumber masalahnya. Bahwa meniru yang baik-baik tentu bagus, bahkan wajib hukumnya. Tetapi bila hanya meniru konsep aglomerasi yaitu kawasan inti Paris yang diperluas ke lingkar luar pertama, kedua, dan seterusnya, maka ini tidak lebih hanya meniru konsep ruang atau spasial – bukan mengambil intisari dan pelajaran, misalnya, dari dampak modernitas Paris seperti dikritik oleh penyair Charles Baudelaire dalam karyanya Les Fleurs du Mal (Bunga-bunga Busuk).
Pada abad ke-19 kota Paris sudah menjadi ibu kota dunia sebelum kota New York menggantikannya. Paris tumbuh menjadi kota modern. Pameran berskala internasional diadakan secara berkala. Gedung dan bangunan berukuran gigantik dibangun. Taman-taman yang indah menghiasi kota yang menjadi standar kecantikan ruang urban dunia modern.
Walter Benjamin, filsuf Sekolah Kritis Frankfurt itu, tidak bisa menolak pesona dan daya tarik Paris. Ia lalu datang mengkaji kota yang indah dan modern itu, Paris yang menjadi kebanggaan Eropa, juga dunia. Paris ibarat lampu bagi anai-anai di malam gelap gulita. Paris diserbu manusia dari segala penjuru, tempat berkumpulnya para filsuf, intelektual, dan seniman. Dari sinilah asal-muasal karya Walter Benjamin yang monumental itu.
Tetapi, sebagian kalangan melihat Jakarta jauh dari visi modernitas Paris, Paris-nya Walter Benjamin dan Charles Baudelaire, Paris yang di kemudian hari tumbuh menjadi kota besar, lalu menelurkan konsep aglomerasi. Jakarta tidak seperti itu.
Jakarta masih berkutat dengan sampah yang baunya semriwing ke mana-mana. Jakarta masih berperang melawan dirinya sendiri agar lampu merah tidak dilanggar, trotoar tidak dilalui sepeda motor dan jadi tempat berjualan, dan jalur sepeda tidak dijadikan tempat parkir. Jakarta masih berjuang mengatasi kemiskinan yang akut di mana pengemis dan gelandangan menyabung nyawa setiap hari agar bisa bertahan hidup.
Jakarta kini adalah Matraman di waktu gerimis tebal yang pengemisnya tetap beroperasi. Ketika para pedagang kaki lima menutup barang dagangan seadanya agar segera dapat berjualan setelah gerimis mereda. Matraman adalah ketika bunyi sirine tanda kereta api akan lewat tetapi para pengendara sepeda motor dan mobil masih keras kepala melintasi rel padahal palang kayu sudah diturunkan.
Mau tak mau Matraman adalah antitesis Paris – padahal dia sudah disebut sebagai aglomerasi! Dan bisa jadi Matraman akan masuk wilayah aglomerasi inti seperti kawasan Montmartre atau Champs-Élysées yang mashur itu.
Seharusnya pembuat undang-undang dan penggagasnya bisa meniru hal yang lebih esensial dari Paris seandainya mereka terinspirasi oleh kota indah itu. Misalnya, di samping ingin meniru konsep aglomerasi, seharusnya mereka juga memikirkan hal yang lebih mendasar dan penting, hal yang bisa mengubah kehidupan warga Jakarta secara fundamental.
Memang disebutkan dalam undang-undang bahwa konsep aglomerasi yang menyatukan wilayah Jabodetabek plus Cianjur itu di antaranya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi ide ini sangatlah umum, tidak mengatakan apa-apa bila berkaca pada banyak undang-undang dan program pemerintah di masa-masa sebelumnya.
Amanat undang-undang sangat ambisius karena aglomerasi ini di samping bercita-cita melakukan sinkronisasi pembangunan dan tata ruang di kawasan Jabodetabek plus Cianjur, tetapi juga melakukan sinkronisasi dan integrasi pengelolaan transportasi, pengelolaan sampah, pengelolaan lingkungan hidup, penanggulangan banjir, pengelolaan air minum, pengelolaan B-3 dan limbah B3, infrastruktur wilayah, dan energi. Jelas ini bukan pekerjaan kecil, tetapi pekerjaan besar yang memerlukan manajemen handal dengan kedisiplinan tingkat tinggi.
Namun besarnya scope pekerjaan inilah yang menimbulkan keragu-raguan banyak kalangan. Karena selama ini kegagalan ikhtiar dan usaha di mana-mana di tanah air tercinta ini tidak disebabkan oleh kurangnya undang-undang dan peraturan, tetapi sebagian besar oleh perilaku buruk pelaksananya. Ini murni soal mentalitas, bukan soal ketersediaan perangkat hukum.
Jadi, sebelum terlalu jauh membuat macam-macam hal yang terlalu indah tetapi justru membuat publik semakin ragu, sebaiknya para perencana memikirkan untuk mendorong pihak terkait menjalankan undang-undang yang sudah ada sebaik-baiknya, secara profesional, dan murni untuk kepentingan rakyat.
Sayang sekali bila undang-undang yang dibuat dan menghabiskan anggaran besar dan kelak pelaksanaannya pun menghabiskan dana yang lebih besar lagi – yang sumbernya adalah pajak rakyat – hanya akan menjadi monumen kegagalan, karena pelaksananya sama dengan pelaksana banyak undang-undang yang sebelumnya dibuat tapi hasilnya nol. Sayang sekali bila dana publik dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak produktif dan sia-sia.
Jakarta pertama-tama memerlukan inisiatif untuk mengentaskan kemiskinan, mengangkat derajat warganya lewat pendidikan gratis, serta mendisiplinkan seluruh warga dengan contoh langsung dari para pejabat. Hanya dengan hal-hal ini Jakarta bisa berubah secara mendasar. Kota maju dan modern tidak bisa dibangun bila warga yang tinggal di dalamnya masih miskin, isi kepalanya terbelakang, dan berbudaya rendah.
Faktanya sekarang, di Matraman seorang pengemis dengan dua penyangga tubuh masih meminta-minta belas kasihan orang lewat padahal hari sedang mendung dan turun gerimis. Aspal basah, kendaraan wara-wiri lewat di depannya, dan tak seorang pun memberikan koin recehan. Namun begitu, dia selalu duduk di tempat yang sama untuk memohon belas kasihan orang-orang yang lewat.
Pengemis pincang dengan dua penyangga tubuh yang dikepit di ketiaknya itu bukanlah satu-satunya warga yang perlu dientaskan oleh negara. Pemandangan serupa bisa ditemukan di Blok M, Pasar Baru, Pasar Minggu, Tanjung Priok, dan banyak lagi sudut kota. Kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari padahal pajak tak henti-hentinya dinaikkan. Jelas ini semiotika sosial yang mendedahkan suatu perkara yang amat penting. Yaitu, pasti ada yang salah dalam tata kelola kepentingan publik.
Pengemis malang dari Matraman yang masih duduk di pinggir jalan ketika gerimis turun dan aspal basah adalah cerita tentang kemiskinan yang ekstrem. Cerita tentang rezim yang gagal menjalankan amanat undang-undang bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ini adalah cerita tentang tata kelola yang salah, dan cerita tentang gagalnya sebuah rezim.
Yang terjadi sekarang, para pejabat korupsi dan oligarki menghisap darah rakyat dengan kejam. Kekayaan Indonesia yang berlimpah ini cuma bisa dinikmati oleh segelintir orang yang pintar menipu, menjilat, dan mencuri tanpa mengindahkan akibatnya untuk kemanusiaan. Mereka adalah penjahat yang pertama-tama harus ditarget karena absennya empati mereka kepada sesama manusia, karena berbuat kejahatan yang melampaui akal sehat.
Cita-cita membangun kota dengan konsep aglomerasi yang disahkan lewat undang-undang tentu saja baik dan wajib diapresiasi. Namun cita-cita ini bukan tanpa reserve dan maksum dari kritik. Bahwa aglomerasi seharusnya bukan slogan kosong untuk gagah-gagahan, dan aglomerasi bukan proyek segelintir orang untuk mencairkan anggaran dari pajak milik rakyat.
Karena aglomerasi kelak seharusnya mampu membuat pengemis dengan dua penyangga tubuh di Matraman itu tidak lagi meminta-minta di hari gerimis. Karena aglomerasi Jakarta seharusnya ditujukan untuk warga agar semakin makmur, berbudaya, dan beradab.
Tapi kemungkinan hal itu bisa terwujud sangatlah muskil. Karena memang sejak awal konsepnya masih mengambang. ***
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.