Saturday, June 21, 2025

Pemakzulan Gibran Harus Dipercepat, Kasus Ijazah Palsu Jalan Terus

Perspektif KBA News, Sabtu, 21 Juni 2025

Buni Yani

Publik dan pemangku kepentingan rakyat harus menentukan skala prioritas yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara. Prioritas pertama sekarang ini adalah DPR dan MPR agar segera memproses pemakzulan Gibran yang diusulkan oleh para purnawirawan TNI yang didukung rakyat.

Gibran jelas sama sekali tidak ada gunanya bagi bangsa dan negara. Sebaliknya, dia adalah simbol kehinaan sebuah bangsa karena proses kenaikannya menjadi pejabat melalui cara curang yang memalukan. Tidak cuma itu, Gibran juga tidak punya kapasitas. Kemampuannya nol dan ijazah SMA-nya dipertanyakan publik. Yang paling parah, caci-maki serta kata-kata kotornya sangat merendahkan bangsa melalui akun Fufufafa yang diyakini miliknya.

Gibran adalah kanker sekaligus parasit bagi bangsa yang sedang bersiap menyambut seabad kemerdekaan nanti pada 2045. Gibran jelas bukan cerminan Indonesia masa depan yang bisa jadi panutan orang muda. Dia bukan manusia yang lahir dari proses tahap demi tahap dalam meniti karir. Dia melawan doktrin meritokrasi dalam manajemen modern, yaitu pemberian ganjaran berdasarkan kemampuan.

Gibran merusak semua itu. Tiba-tiba bapaknya, yang memerintah selama 10 tahun dengan penuh kezaliman, mengubah UU Pemilu agar si anak haram konstitusi ini bisa ikut kontestasi. Jokowi dan Gibran mengembalikan Indonesia ke zaman jahiliyah dengan menghapus semua capaian peradaban dalam bidang politik dan tata negara. Mereka berdua bersekongkol menggerus bangsa ke titik nadir.

Sudah habis kritik dan nasihat diberikan ke dua orang ini sejak sebelum Pemilu 2024, namun tak ada satu pun yang bisa menyentuh hati sanubari mereka. Sudah tidak terbilang sindiran dilontarkan kepada mereka, namun sampai kini mereka tidak berubah. Sudah tak terhitung caci-maki di media sosial yang secara telak menurunkan marwah keduanya, tetapi nyatanya mereka memang tak punya kehormatan.

Jokowi jelas sedang merencanakan sesuatu yang besar, mempersiapkan Gibran menjadi presiden pada 2029 atau lebih cepat dari itu. Prabowo tidak perlu menaati janji mundur dari jabatan dan digantikan oleh Gibran setelah dua tahun. Para purnawirawan TNI mengendus janji tidak sehat ini yang membuat mereka bereaksi. Karena Gibran bukanlah orang yang tepat yang boleh menggantikan posisi Prabowo. Karena Gibran adalah simbol kehinaan bangsa bagi para patriot pembela negara itu.

Rakyat sudah tidak sabar mendapatkan wakil presiden baru yang cakap, memiliki wawasan, cerdas secara intelektual, punya akhlak yang baik yang bisa ditiru rakyat—yang kesemuanya adalah antitesis dari diri Gibran. Rakyat mendukung sepenuhnya desakan para purnawirawan TNI karena memang masuk akal dan tujuannya untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari kehancuran.

Jokowi dan keluarga adalah cobaan berat bagi bangsa Indonesia. Menantunya yang menjadi Gubernur Sumatera Utara, yang bersekongkol dengan Mendagri Tito Karnavian, baru saja membuat gaduh mengutak-atik kepemilikan empat pulau milik Aceh. Untunglah Presiden Prabowo bergerak cepat memadamkan kebakaran kemarahan rakyat Aceh akibat ulah geng Solo yang sekarang menjadi sorotan rakyat.

Sudah tidak ada maaf bagi keluarga Jokowi perusak bangsa dan negara yang selama 10 tahun lebih ini bercokol secara kejam melakukan penganiayaan kepada rakyat. Dosa Jokowi dan keluarga sudah tidak terhitung banyaknya. Mulai dari korupsi, sehingga Jokowi dinobatkan menjadi salah satu manusia paling korup di dunia versi OCCRP, sampai melakukan kriminalisasi, pemenjaraan, dan pembunuhan terhadap sesama manusia yang tidak bersalah.

Kekejaman dan kebiadaban Jokowi dan keluarganya harus segera dihentikan agar bangsa dan negara bisa memulai hidup baru setelah lebih 10 tahun hidup dalam ketakutan. Hidup baru bangsa besar ini bisa dimulai dari bersih-bersih semua residu Jokowi. Residu Jokowi paling berbahaya adalah Gibran yang akan menjadi presiden bila sesuatu terjadi dengan Prabowo. Ini tidak bisa dibiarkan.

Residu kedua tentu saja adalah Jokowi sendiri yang dari hari ke hari menunjukkan perilaku aneh dan penuh teka-teki sejak kasus ijazah palsunya meledak dan diperkarakan rakyat. Beberapa kali dia tampil di hadapan wartawan dengan muka sembab, mata mengecil, muka dengan tanda putih, rambut menipis, seolah dia sedang sakit.

Namun penampilan Jokowi yang berulang kali di depan wartawan dengan menunjukkan dirinya sedang sakit menjadikan rakyat curiga dan bertanya-tanya. Betulkah Jokowi sakit? Atau sesungguhnya dia sedang berakting sakit, mempersiapkan diri bila nanti jadi tersangka, maka dia tidak bisa ditahan? Apa saja tentu bisa dilakukan Jokowi yang punya reputasi sangat lihai dalam berdusta.

Karena logikanya, kalau Jokowi memang betul-betul sakit, maka dia akan malu keluar rumah dan fokus untuk penyembuhan. Yang terjadi justru Jokowi memamerkan sakit kulitnya ke khalayak berulang kali. Bila langkah ini ditempuh oleh Jokowi untuk menarik simpati rakyat, agar rakyat kasihan kepadanya, pasti dia salah. Rakyat malah senang melihat Jokowi tidak berdaya akibat kezalimannya selama ini.

Residu ketiga yang harus disingkirkan tentu saja adalah semua anggota geng Solo yang masih merecoki pemerintahan Prabowo dan menghalanginya untuk membangun satu per satu batu-bata Indonesia baru. Selama geng Solo masih berada di dalam kabinet, maka selama itu pemerintahan Prabowo akan mendapatkan gangguan. Raja Ampat, empat pulau Aceh, kasus Letjen Kunto adalah di antara kasus-kasus yang menunjukkan geng Solo melakukan insubordinasi kepada Prabowo.

Semakin Prabowo tidak menunjukkan bahwa dia memegang kendali penuh atas pemerintahan, maka semakin berani dan ngelunjak Jokowi dan geng Solo. Semakin Prabowo menggunakan “budaya tinggi” untuk menegur Jokowi dan kawanannya, maka semakin muka badak mereka. Mereka tidak bisa disindir dengan bahasa halus dan bersayap. Mereka harus diemprot dengan kata yang apa adanya.

Tak ada kemuliaan pada Jokowi dan geng Solo. Prabowo harus mulai beradaptasi menggunakan cara dan budaya mereka untuk mengubah dan memotong pengaruh mereka. Tetapi ini hanya bisa terjadi bila Prabowo menunjukkan sikap yakin dan tidak ragu-ragu, bahwa Jokowi dan geng Solo adalah residu toxic yang akan mengganggu pemerintahannya.

Jangan sampai Prabowo kehilangan momentum. Sekarang rakyat sedang mendukung semua langkahnya melenyapkan Gibran dan Jokowi yang sudah terlalu lama mempermalukan bangsa besar ini. Bila Prabowo terus tidak responsif dengan tuntutan rakyat ini, maka pelan-pelan cinta rakyat akan berubah menjadi benci.

Karenanya, pemakzulan Gibran harus dipercepat, pengadilan terhadap Jokowi—termasuk ijazah palsu—harus segera dilakukan, dan bersih-bersih geng Solo menjadi kewajiban. Prabowo harus berani dan yakin, karena dia mendapatkan dukungan rakyat secara penuh. ***

Wednesday, June 18, 2025

Jokowi, Geng Solo, dan Delirium Kosong dari Negeri Kutukan

Perspektif KBA News, Sabtu, 14 Juni 2025

Buni Yani

Jokowi terlalu tinggi menilai diri. Tetapi mungkin juga dia tidak terlalu salah bila merasa begitu. Karena memang dia bisa meninggikan diri dengan cara menipu dan berdusta—dan publik yang dia kencingi kepalanya habis-habisan tidak tahu bila sedang berhadapan dengan pendusta. Jokowi tahu itu dan memang ahlinya.


Jokowi terlalu tinggi menilai diri, dan dari sinilah awal bencana itu datang. Karena mungkin Jokowi tidak pernah mendengar dan belajar dari ungkapan “Anda bisa membohongi beberapa orang sepanjang waktu, dan Anda juga bisa membohongi semua orang untuk jangka waktu tertentu, tetapi Anda tidak bisa membohongi semua orang sepanjang waktu”.

Ungkapan yang dipercayai berasal dari mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln itu sangat menohok menggambarkan kebodohan Jokowi. Jokowi yang menganggap semua orang bodoh seperti dirinya tidak tahu kalau kebohongan dibatasi oleh ruang dan waktu. Kebohongan tidak bisa melawan keterbatasannya sendiri. Kebohongan mustahil bisa menundukkan hukum alam yang berpihak pada kebenaran.

Seharusnya Jokowi puas dengan pencapaiannya sebagai Walikota Solo, atau lebih rendah dari itu, yaitu menjadi pengusaha mebel saja. Tetapi Jokowi merasa sudah bisa menipu dunia, karenanya dia sangat percaya diri masuk DKI Jakarta dengan mobil Esemka yang penuh dusta. Jakarta terpesona dan tersihir dengan tampang lugu plonga-plongo kampungannya yang penuh berisi kebohongan.

Pendek cerita, Jokowi menundukkan Jakarta dengan mudah. Dari sana dia tambah percaya diri dan melaju jadi presiden. Kebohongan melalui pencitraan murahan Jokowi menyihir profesor, penyair, wartawan, pengusaha, dan bahkan juga para ulama. Jokowi tak terbendung. Dia melaju dan percaya diri bahwa kebohongan adalah aset berharga yang akan mengangkat derajat diri, keluarga, dan kroninya.

Jokowi dan kebohongan sudah bersifat asosiatif sekaligus substitutif. Bersifat asosiatif karena Jokowi adalah kebohongan dan kebohongan adalah Jokowi. Jokowi dan kebohongan di benak masyarakat bersifat substitutif, atau bisa saling menggantikan satu sama lain. Dalam grammar kekinian di media sosial, netizen menggantikan secara bergantian ide, konsep, atau kata kebohongan dengan Jokowi.

Tetapi malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Alam bekerja dengan caranya sendiri dalam merespons setiap napas Jokowi, termul, dan begundalnya. Alam mencatat setiap sepak terjang gerombolan yang dikenal sebagai geng Solo itu. Tidak ada satu pun yang luput. Bahkan kelak di akhirat mereka akan menyesal karena kaki, tangan, dan anggota tubuh mereka berbicara dan bersaksi sendiri di hadapan Tuhan.

Keruntuhan Jokowi bersama kebohongannya akhirnya datang juga. Namun dia tidak bisa menerimanya begitu saja dan melawannya dengan berbagai cara. Jokowi hidup dalam angan-angan kosong. Dia tidak bisa membedakan antara fakta dan khayalan. Waktu berlaku kebohongannya sudah lama habis karena rakyat mengendus dusta tanpa henti itu. Ironisnya, Jokowi melawan fakta, alam, dan kebenaran.

Jokowi hidup dalam delirium kosong—semacam penyakit mental yang tidak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan. Kadaluwarsa kebohongannya dia coba perbaiki agar kembali ampuh dan mandraguna. Tetapi Jokowi bukanlah pendekar dari Gunung Merapi atau manusia sakti dari Gua Hantu. Dia hanya mantan tukang mebel yang kini sedang menghadapi kutukan rakyat akibat kebohongan dan ketidakmampuannya mendiagnosa perkembangan politik yang berlari kencang.

Jokowi dan geng Solo tidak hanya dipenuhi halusinasi mengenai fakta keras yang mereka harus hadapi. Bahwa waktu mereka telah habis. Bahwa dusta mereka telah kadaluwarsa dan tuah Jokowi tidak mampu lagi menangkis kesadaran rakyat. Fakta baru ini seperti penyakit yang menggerogoti dan pelan tapi pasti mencabik mental mereka.

Mereka memberontak tetapi gagal. Dengan sisa-sisa kekuatan yang masih tersisa di kabinet Prabowo, mereka berusaha melakukan konsolidasi dan manuver receh. Tetapi seluruh mata rakyat tertuju ke gerombolan ini. Rakyat menguliti setiap pergerakan mereka, rakyat berteriak keras pada setiap langkah mereka yang tidak lagi membawa kebaikan untuk bangsa.

Delirium kosong itu pun menghinggapi Tito Karnavian yang memindahkan kepemilikan empat pulau milik Aceh menjadi milik Sumatera Utara. Tito menyeruak dari kegelapan dan menjadi pemecah gelombang—gelombang pemakzulan Gibran, gelombang ijazah palsu, gelombang kasus korupsi geng Solo. Tito kelihatannya ingin menciptakan ribut-ribut pemindahan pulau untuk mengalihkan perhatian publik dari tiga kasus itu.

Ribut-ribut empat pulau milik Aceh terbaca juga oleh publik, yang ternyata menyimpan kandungan gas alam dan mineral yang kaya. Karenanya harus dipindahkan kepemilikannya ke Sumatera Utara yang kini gubernurnya adalah menantu Jokowi. Ini langkah taktis dengan menembakkan satu peluru untuk dua sasaran sekaligus.

Publik tidak berhenti sampai di situ. Spekulasi terakhir ini kelihatannya yang paling tidak mengenakkan. Yaitu Tito ditengarai melakukan semua ini sebagai gerakan pembusukan dari dalam kabinet Prabowo yang tidak kunjung berani menggusur geng Solo. Langkah ini adalah gerakan untuk menghambat pemerintahan Prabowo. Reaksi rakyat Aceh sudah bisa diperkirakan pasti menolak. Reaksi dari daerah yang punya sejarah pernah menuntut merdeka.

Begitupun dengan keributan di Raja Ampat yang seharusnya menjadi wilayah konsrvasi alam karena keindahannya ternyata dijadikan wilayah penambangan nikel—yang lagi-lagi ditengarai melibatkan oligarki dan geng Solo. Fakta-fakta ini menunjukkan semakin terang-benderangnya dugaan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang tidak bisa lagi ditutup-tutupi.

Jokowi, dengan mata sembab dan mengecil, muka aneh, dan rambut yang semakin menipis, muncul di depan media lalu membantah bahwa kapal bernama Jkw Mahakam dan Dewi Iriana itu bukan miliknya. Tetapi karena rakyat sudah kenyang ditipu selama 10 tahun, sudah pasti tidak akan ada lagi yang percaya. Kami tidak bodoh, Jokowi, kata rakyat.

Prabowo sedang beradu cepat dengan Jokowi. Semakin lama Prabowo membiarkan Jokowi melakukan konsolidasi, maka akan semakin runyam masa depan pemerintahannya. Seharusnya Prabowo cukup sensitif dengan tiga fakta mutakhir bahwa kesetiaan orang Jokowi di kabinetnya menciptakan matahari kembar. Kasus ijazah palsu menunjukkan Listyo Sigit masih setia kepada Jokowi, kasus empat pulau Aceh menunjukkan Tito Karnavian masih menjadi sekutu Jokowi, dan kasus Raja Ampat meneguhkan Bahlil masih menjadi orangnya Jokowi.

Rakyat kecewa kepada Presiden Prabowo yang mengatakan tidak akan ada reshuffle dalam waktu dekat karena kabinetnya masih solid dan bekerja seperti yang dia harapkan. Prabowo kelihatannya tidak tahu media sosial mendidih setiap hari mendesak agar Jokowi diadili, Gibran dimakzulkan, menteri-menteri titipan Jokowi diganti, dan semua dugaan korupsi yang melibatkan keluarga Jokowi serta kroninya segera diproses hukum.

Apa yang terjadi dengan Prabowo? Apakah dia belum menemukan kesepakatan dengan Megawati sehingga kelihatan ragu-ragu melawan Jokowi? Apakah dia tidak sayang rakyat yang seratus persen mendukungnya? Perkembangan terbaru ini tentu menimbulkan enigma dan mencuatkan spekulasi buruk mengenai masa depan pemerintahannya.

Respons aneh dan ragu-ragu dari Prabowo ini menjadikan angan-angan Jokowi tambah melambung dan membuncah, bahwa dia akan selamat, dan penjara tidak akan pernah menyentuh diri dan gerombolannya. Bahwa Gibran tak akan tersentuh pemakzulan karena Prabowo terlalu lemah untuk melawan dirinya. Gertakan tiji-tibehnya berhasil, bahwa Gibran tak bisa dimakzulkan karena mereka dipilih satu paket dengan Prabowo dalam pilpres.

Singkat kata, delirium Jokowi bermakna satu hal. Yaitu Prabowo ikut menyumbang di dalamnya. Prabowo tidak berani menghentikannya. Dan dengan kondisi ini, rakyat serasa hidup di negeri kutukan. ***

Saturday, June 7, 2025

Pemakzulan Gibran, Ijazah Palsu dan Kasus Korupsi Lumpuhkan Jokowi

Perspektif KBA News, Sabtu, 7 Juni 2025

Buni Yani

Di ujung harap-harap cemas Kapolri Listyo Sigit akan menyelamatkannya lewat keputusan kontroversial Bareskrim mengenai kontroversi ijazah palsu, tiba-tiba kabar baru yang jauh lebih dahsyat menggodam mental Jokowi yang menjadikannya semakin oleng dan linglung. Kabar baru itu berasal dari DPR dan MPR yang telah menerima surat purnawirawan TNI mengenai pemakzulan Gibran yang dianggap cacat konstitusi dan tidak punya kemampuan.

Melihat perkembangan politik terakhir, DPR dan MPR kelihatannya sudah pasti akan memproses pemakzulan Gibran. Prabowo telah bertemu Megawati yang akan menggantikan posisi Jokowi. Megawati in, Jokowi out. Prabowo merasa perlu mencari sekutu politik baru di parlemen untuk memperkuat posisi tawarnya berkenaan dengan pemakzulan Gibran.

Dua godam kini menghantam Jokowi sekaligus yang membuatnya semakin stres. Belum selesai urusan ijazah palsunya yang sedang bergulir di pengadilan, sekarang dia harus menelan pil pahit pemakzulan anaknya. Dua kasus ini membuat Jokowi kehilangan keseimbangan mental dan dia kelihatan sangat terganggu.

Tetapi sesungguhnya, kalau kita mau jeli, bukan cuma dua kasus itu sekarang yang harus dihadapi Jokowi yang baru tujuh bulan menjadi pensiunan. Kasus lain yang juga sangat penting adalah gencarnya usaha Prabowo dalam memberantas korupsi—korupsi yang terkait dengan keluarga dan kroni Jokowi. Penegak hukum di antaranya sedang mengusut kasus korupsi Sritex, laptop di Kemendikbud, dan judi online.

Tiga kasus ini membuat Jokowi lumpuh. Dia dikabarkan sakit kulit yang disebabkan oleh gangguan psikologis. Pada potongan video yang beredar luas terlihat Jokowi sedang menggaruk-garuk badannya, tumbuhnya bercak hitam di muka dan leher, serta usaha Jokowi menutupi sakit kulitnya dengan jaket hitam berkerah tinggi.

Meskipun telah dibantah oleh ajudannya, namun kabar kepergiannya ke Jepang untuk mengobati sakit kulitnya sangat kuat beredar di lingkaran terbatas yang pernah dekat dengan Jokowi. Rumor ini diyakini sebagai info A1 dan tidak mungkin hoaks. Jadi memang penyakit kulit Jokowi bukanlah penyakit kulit biasa sehingga harus mendapatkan pelayanan medis kelas premium. Itulah yang bisa kita baca dari kejadian ini.

Apa pun yang berkaitan dengan Jokowi kini dianggap sebagai residu yang harus segera disingkirkan. Jokowi seperti najis yang dijauhi, yang hanya para penjilat berkulit muka tebal tidak punya malu yang masih membela dan memujinya. Jokowi dijauhi karena dua hal. Pertama, karena dia dianggap tidak berguna lagi oleh sekutu-sekutu politik lamanya. Kedua, ini memiliki pengertian harfiah, yaitu dia dijauhi karena sedang sakit kulit—mungkin orang takut tertular.

Nasib Jokowi sekarang sangat mengenaskan. Kawan-kawannya mulai menjauh karena menganggap Jokowi sudah menjadi beban. Mengenai kasus ijazah palsu yang sedang bergulir, tak satu pun orang di DPR bersuara—padahal mereka telah lama menjadi sekutu politiknya. Jokowi harus mengurus dan membela dirinya sendiri. Dia melapor ke Polda Metro Jaya dengan langkah gontai dan muka tidak meyakinkan.

Ketika anaknya kini di ujung tanduk pemakzulan, tidak ada suara keras membelanya. Memang ada satu-dua orang yang masih kelihatan bersimpati tetapi itu tak lebih dari sikap pribadi, bukan sikap resmi partai. Hal-hal ini membuat Jokowi kelihatan rungkad secara mengenaskan. Dia harus menjelaskan sendiri dengan muka kuyu dan intonasi kosong bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden itu sepasang—jadi tidak bisa memakzulkan salah satu dari mereka.

Tidak ada yang membantu dan membelanya dengan cara garang seperti dulu waktu 10 tahun berkuasa secara bengis. Jokowi harus menjelaskan sendiri, dengan kerongkongannya sendiri, dengan suara ganjil, bahwa semua warga negara harus tunduk pada aturan—jadi tidak bisa sembarang memakzulkan Gibran.

Tentu saja penjelasan Jokowi yang terakhir ini membuat rakyat tertawa perpingkal-pingkal. Orang tertawa karena beberapa sebab. Pertama, karena sama saja dengan Jokowi memakan beraknya sendiri ketika mengatakan orang harus ikut aturan. Bukannya dulu Jokowi sendiri yang tidak taat aturan ketika menukangi konstitusi agar anaknya bisa jadi wapres?

Orang juga tertawa oleh karena menganggap Jokowi sudah tidak lagi sehat mental dan ingatannya. Bagaimana mungkin Jokowi lupa dengan sikap liciknya mengubah UU Pemilu demi kepentingan sempitnya? Orang tambah tertawa terpingkal-pingkal menyadari bahwa begitu bodohnya Jokowi menganggap publik telah lupa akan kelicikannya, namun kini mencitrakan diri sebagai orang yang taat aturan ketika kepentingan sempitnya terganggu.

Sudahlah Jokowi, kata rakyat. Nikmati hari-hari tuamu dengan caci-maki dan kutukan akibat kezaliman yang kau perbuat selama 10 tahun. Anda mau mencari simpati seperti apa pun, tak akan ada orang waras yang akan mempercayai Anda. Di mata rakyat, Anda adalah pendusta yang konsisten membohongi rakyat selama 10 tahun.

Rakyat tentu saja ingin mencintai mantan pemimpinnya, tetapi orang seperti Jokowi tentu saja tidak pantas dicintai dan dihormati. Justru rakyat sekarang mendesak pemerintahan Prabowo agar segera membenahi penegakan hukum agar bisa menyentuh Jokowi, keluarga dan kroninya. Prabowo tidak boleh ragu-ragu karena rakyat ada di belakangnya.

Rakyat mendesak agar Jokowi segera diadili dan lalu dihukum mati atas kezalimannya. Tidak ada kata maaf kepada Jokowi yang dengan sadar telah mencelakai dan menzalimi rakyat selama 10 tahun. Tidak ada belas kasihan terhadap monster pembunuh sesama manusia yang memerintah lebih kejam daripada binatang.

Itu sebabnya rakyat menyambut baik langkah Prabowo yang telah mengisolasi pergerakan Jokowi dengan membiarkan kasus ijazah palsu, pemakzulan Gibran dan pengusutan kasus korupsi yang melibatan geng Solo. Membiarkan ketiga kasus ini berjalan secara alami saja akan membuat rakyat tenteram karena telah menumbuhkan harapan penegakan hukum yang sudah mati selama 10 tahun Jokowi berkuasa secara zalim.

Sudah sangat tepat Prabowo melakukan serangan balik atas kezaliman Jokowi yang tidak menguntungkannya. Prabowo tidak harus menepati dua tahun memerintah lalu kemudian digantikan oleh Gibran anak haram konstitusi yang sama sekali tidak punya kapasitas. Apa pun perjanjian dengan Jokowi demi mendapatkan dukungan darinya sama sekali tidak perlu ditepati. Karena Prabowo hanya wajib bertanggung jawab ke rakyat, bukan ke Jokowi.

Sudah sangat tepat Prabowo meminjam tangan purnawirawan TNI untuk menyingkirkan Gibran. Karena kalau betul-betul Prabowo memenuhi janjinya menyerahkan kekuasaan ke Gibran yang sama sekali tidak punya isi otak dan ditengarai ijazah SMA-nya bermasalah setelah dua tahun, maka ini akan menjadi tragedi maha dahsyat bagi Indonesia. Indonesia terancam bubar tahun 2030. Kemungkinan akan terjadi huru-hara besar.

Skenario gelap Jokowi menaikkan Gibran setelah dua tahun ini tentu tidak bisa diterima para purnawirawan TNI yang loyalitasnya ke negara tidak perlu diragukan lagi. Jokowi tidak bisa dibiarkan. Dia sudah melampaui batas dan sangat tidak tahu diri. Karenanya para purnawirawan dengan lugas dan lantang menyusun kekuatan dan mendesak agar Gibran segera dimakzulkan.

Apakah Jokowi tahu keadaan ini? Tentu dia tahu. Karena tahu dan tidak bisa melawan itulah makanya dia stres dan gatal-gatal. Penyakit kulitnya berasal dari komplikasi mental yang akut. Tetapi rakyat tidak akan pernah bersimpati ke Jokowi. Dosa-dosanya amat besar dan meliputi hampir semua segi.

Rakyat senang melihat Jokowi yang semakin tidak berdaya secara fisik dan mental. Rakyat senang melihat manusia zalim itu lumpuh secara politik. Rakyat mengucapkan hamdalah sembari beristigfar kepada Allah SWT. ***

Saturday, May 31, 2025

Kuldesak Ijazah Palsu dan Mati Langkah Jokowi

Perspektif KBA News, Sabtu, 31 Mei 2025

Buni Yani

Pengumuman Bareskrim soal keaslian ijazah Jokowi sama sekali tidak memadamkan keraguan publik akan kepalsuan dan kebohongan Jokowi. Sebaliknya publik malah semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali. Sejumlah dokumen yang ditampilkan oleh Bareskrim untuk menopang dan membuktikan keaslian ijazah itu malah menjadi obyek penelitian yang semakin menguatkan kepercayaan publik bahwa ijazah Jokowi memang palsu.

Situasi sekarang sudah menemui jalan buntu atau kuldesak. Jokowi dan Bareskrim berusaha sangat keras meyakinkan publik, tetapi publik malah semakin curiga dengan langkah-langkah tidak alami itu. Dokumen berbicara sendiri mengenai keaslian atau kepalsuannya. Tidak perlu dirias dan didandani. Tidak perlu membujuk apa lagi menggertak orang untuk percaya.

Kuldesak ini membuat Jokowi semakin panik yang menjadikannya mati langkah. Seperti biasa, bila terdesak, Jokowi akan menggunakan jurus survei untuk mempengaruhi opini publik. Jokowi menggunakan tangan pollster untuk meng-counter opini publik yang tak kunjung berubah sejak kasus ijazah palsu meledak kembali.

Sangat besar kemungkinan Jokowilah yang mendanai survei mengenai tingkat kepercayaan publik mengenai ijazahnya. Menurut hasil survei tersebut, sebagian besar responden yang mencapai 66,9%, tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazah. Persoalannya, apakah survei ini bermaksud membalik persepsi publik dengan survei yang tiba-tiba entah dari mana asalnya?

Jika itu tujuannya, sudah bisa dipastikan tujuannya akan gagal. Publik tentu saja tidak sebodoh yang dibayangkan Jokowi dan pollster itu. Survei yang bisa jadi sudah direkayasa metode dan hasilnya itu tidak akan bisa menggiring opini mayoritas masyarakat untuk mempercayai status keaslian/kepalsuan ijazah Jokowi.

Survei tentu saja tidak akan bisa mempengaruhi jalannya kasus hukum Jokowi. Polisi, jaksa dan hakim yang punya integritas tidak akan pernah terpengaruh oleh hasil survei. Karena menemukan kebenaran hukum sama sekali tidak ditentukan oleh berapa banyak orang yang percaya atau tidak. Sebaliknya, kebenaran hukum ditentukan oleh fakta yang tersedia.

Kebenaran tidak ditentukan oleh berapa jumlah orang yang mempercayainya. Untuk menentukan apakah betul matahari terbit di timur, maka murid diajarkan sejak SD untuk mengecek apakah betul memang demikian fakta yang ditemukan. Bila ada guru yang mengajarkan murid-muridnya cara membuktikan apakah betul matahari terbit di timur dengan melakukan polling di kelas berapa siswa yang percaya dan tidak, maka kita sangat merekomendasikan agar guru jenis ini segera dikirim ke barak.

Rekayasa sosial menggunakan metode bandwagon effect dalam kasus ijazah Jokowi ini tidak hanya lucu karena asumsi-asumsi dasar yang digunakannya, tetapi juga sangat merendahkan kapasitas masyarakat. Seolah-olah bila mayoritas anggota masyarakat percaya akan keaslian ijazah Jokowi—entah angka mayoritas dalam survei ini diperoleh dengan cara yang benar dan jujur—maka otomatis anggota masyarakat lainnya langsung akan ikut-ikutan percaya.

Kuldesak ini adalah mimpi buruk Jokowi. Meskipun berusaha sekuat tenaga dengan mengerahkan semua sumber daya, publik sudah menentukan sikap bahwa ijazah Jokowi tidak mungkin asli. Apa pun yang dikatakan dan berkaitan dengan Jokowi sudah dicap sebagai bohong dan palsu. Sebuah sikap yang sangat mengerikan tentu saja.

Kepanikan, kerisauan, dan kekhawatiran Jokowi sangat tampak secara visual. Rambutnya semakin jarang dan rontok. Kulit muka dan lehernya seperti ditumbuhi bercak hitam yang tidak biasa. Fisik Jokowi berubah drastis padahal baru saja enam bulan tidak lagi menjabat. Dia tampak semakin tua dan lelah. Ada aura kekhawatiran tampak di mukanya.

Fakta perubahan penampilan Jokowi ini begitu nyata sehingga segala usaha untuk menutupinya dipastikan akan gagal. Bahkan usaha dari Jokowi sendiri untuk berusaha tampil sealami dan sebaik mungkin, misalnya dengan mencoba tertawa dan tenang, menjadikan publik semakin yakin bahwa Jokowi memang secara psikologis sedang mengalami tekanan besar. Karena semakin Jokowi berusaha tertawa dan tenang, semakin artifisial efek yang ditimbulkannya.

Kini tertawa terkekeh ciri khas Jokowi tidak lagi menjadi simbol pembeda yang dikagumi pemujanya, tetapi sudah berubah menjadi gestur kikuk dan palsu. Netizen yang teliti memperhatikan bahasa tubuh Jokowi bisa mendeteksi bahwa Jokowi tidak bisa lagi setiap saat mampu menguasai tubuhnya sendiri. Jokowi tampak bergerak-gerak tidak alami yang ditengarai sebagai tremor.

Sejumlah pendukung yang dulu sangat mengaguminya sekarang menjadi orang terdepan yang paling tidak percaya mengenai keaslian ijazah Jokowi. Sudah tidak terhitung bukti otentik yang beredar di media sosial yang menunjukkan bahwa ijazah Jokowi memang palsu. Mulai dari font skripsi, foto ijazah, kwitansi pembayaran SPP, transkrip nilai, dan banyak lagi, yang kesemuanya semakin membuat publik yakin bahwa ijazah Jokowi tidak mungkin asli.

Hal-hal ini membuat Jokowi semakin kehilangan akal bagaimana cara melawan opini publik yang tumbuh demikian organik. Tentu saja ketidakpercayaan pada ijazah Jokowi tumbuh secara organik karena muncul dari kesadaran dan proses berpikir yang alami. Muncul dari hasil melihat fakta yang bertubi-tubi memenuhi linimasa media sosial.

Mungkin hal-hal ini pula yang menggerakkan Jokowi untuk mengerahkan lembaga survei. Survei yang hasilnya sangat menguntungkan Jokowi itu tidak saja bertujuan untuk mengubah opini publik mengenai ijazah misterius itu, tetapi juga untuk mengubah suasana hati Jokowi sendiri yang sedang sangat kalut membayangkan kesudahan dari perkara memalukan ini.

Setidaknya Jokowi sedikit merasa tenang dengan hiburan hasil survei itu. Survei yang menjadi tertawaan publik karena basis dan tujuan penyelenggaraannya penuh masalah dan melawan kejujuran. Survei yang seharusnya tidak pernah diadakan karena melawan moralitas khalayak ramai yang sedang berusaha menegakkan kebenaran melalui riset masif yang dilakukan oleh relawan anonim di media sosial.

Organiknya perlawanan terhadap Jokowi didasarkan pada rasionalitas biasa. Menggunakan akal sehat saja, siapa pun bisa menilai bahwa begitu banyaknya kejanggalan pada ijazah Jokowi sudah pasti menyimpan sesuatu yang lain. Sesuatu yang disebut kepalsuan atau ketidakaslian karena melawan logika keaslian yang dipahami awam.

Jokowi bisa jadi tidak pernah mengantisipasi serangan masif dan organik ini karena semua dukungan di media sosial yang pernah dia dapatkan digerakkan dan direkayasa. Jokowi membayar buzzer untuk melakukan pembohongan publik, caci-maki, dan penyesatan terhadap kinerjanya selama 10 tahun.

Mendapatkan fakta ini, Jokowi terdesak. Jokowi sudah berada di ujung jalan buntu yang membuatnya tidak bisa lagi ke mana-mana. ***

Saturday, May 24, 2025

Ijazah Palsu, Parcok, dan Konsolidasi Matahari Kembar

Perspektif KBA News, Sabtu, 24 Mei 2025

Buni Yani

Membayangkan konsekuensi pengumuman Bareskrim Polri mengenai keaslian ijazah UGM Jokowi seperti membayangkan semakin gelapnya Indonesia ditimpa gerhana tak berkesudahan setelah tujuh bulan lebih Presiden Prabowo memerintah. Pengumuman yang sangat menguntungkan Jokowi itu memang sudah diantisipasi publik karena ini hanya memperkuat saja fenomena Parcok yang selama ini telah menjadi rahasia umum.


Pengumuman itu adalah politik tingkat tinggi, perebutan pengaruh, dan unjuk kekuatan melalui simbol-simbol budaya dan unggah-ungguh Jawa. Pengumuman itu jauh melampaui dampak hukum bagi pihak-pihak yang sedang berperkara seperti Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma. Bila harus diringkas dengan kalimat pendek, maka pengumuman itu adalah bunyi terompet pemberitahuan kekalahan Prabowo melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian.

Betul, Prabowo tidak berkutik melawan Jokowi dalam menguasai kepolisian. Prabowo dibuat impoten dan tak bergigi melawan pengaruh Jokowi yang semakin kuat dan mengakar. Prabowo bahkan tidak bisa melakukan penetrasi kecil di tubuh kepolisian yang sudah menjadi sekutu utama Jokowi sejak lama, bahkan setelah tujuh bulan Prabowo berkuasa.

Bagi Jokowi, pengumuman Bareskrim atas keaslian ijazahnya adalah show of force bahwa dia masih digdaya dan masih memegang kendali atas kepolisian. Jokowi sedang melakukan konsolidasi kekuatan sebelum pertempuran yang sebenarnya dengan melakukan tes loyalitas melalui kasus ijazah palsu ini. Seperti diharapkan Jokowi, akhirnya Sigit Listyo sebagai Kapolri menunjukkan loyalitasnya yang tanpa reserve. Seperti diharapkan Jokowi, Sigit tidak mungkin melupakan jasanya yang telah menjadikannya Kapolri yang melompati sekian angkatan.

Mengapa Jokowi melakukan ini, karena Gibran sedang berada di ujung tanduk pemakzulan. Publik menekan Prabowo agar segera mengganti Gibran dengan Wapres yang lebih cakap dan punya kapabilitas. Di bawah inisiasi purnawirawan TNI, publik ikut mendesak agar Gibran diganti karena telah melakukan perbuatan tercela lewat postingan akun Fufufafa di platform Kaskus. Akun Fufufafa diduga kuat milik Gibran.

Jokowi tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut yang membahayakan posisi Gibran, lalu menjadikan dirinya menjadi sasaran tembak melalui kasus ijazah palsu. Dalam hal ini, strategi Jokowi menggunakan kasus ijazah palsu sebagai senjata membalikkan keadaan mempunyai dua keuntungan. Keuntungan pertama, kasus ini akan mengalihkan perhatian publik dari serangan ke Gibran menjadi serangan ke dirinya. Keuntungan kedua, kasus ini adalah tes loyalitas kepolisian di bawah Listyo Sigit yang selama ini menjadi sekutu utamanya.

Tanda-tanda kepolisian masih berada di bawah pengaruh Jokowi bisa dibuktikan dengan banyaknya kejanggalan dalam uji forensik di Bareskrim. Kepolisian de facto belum berada di bawah kontrol Prabowo.

Pemihakan kepolisian kepada Jokowi yang telah diberi nama Parcok oleh publik sangatlah nyata dan tidak bisa ditutupi. Pertama, mungkin tanpa disadari oleh Djuhandhani dari Bareskrim, ia memberikan kesan kurang baik ke Egi Sujana yang tidak datang ke Bareskrim untuk memberikan keterangan. Seharusnya Djuhandhani paham bahwa Egi tidak bisa datang karena sakit. Namun Djuhandhani sama sekali tidak menyebut Egi Sujana sedang sakit, seolah-olah Egi mangkir tanpa alasan yang jelas.

Kedua, Djuhandhani menyebut TPUA tidak terdaftar di AHU Kemenkumham—yang kembali mau tidak mau bisa ditafsirkan bahwa Djuhandhani memang sengaja ingin memberikan kesan negatif terhadap TPUA ke publik. Menurut UU, tidak semua perkumpulan atau organisasi di tengah masyarakat harus berbadan hukum. Begitu juga dengan TPUA.

Dari sini saja kita sudah tahu bahwa secara tidak sadar Bareskrim tidaklah netral. Bareskrim terkesan mengambil jarak dengan TPUA, tetapi sebaliknya begitu takzim ke Jokowi. Untuk hal terakhir ini bisa dilihat dari bahasa tubuh dua penyelidik yang mewawancarai Jokowi selama satu jam untuk 22 pertanyaan. Dari foto yang beredar luas di media sosial, kedua penyelidik seperti tidak percaya diri menghadapi Jokowi. Penyelidik menunjukkan bahasa tubuh seolah-olah sedang menghadap atasan—hal yang seharusnya tidak terjadi.

Absennya imparsialitas Bareskrim sebagai penegak hukum bisa dikenali lebih jauh dari hasil “uji forensik” yang sangat menguntungkan Jokowi. Sampel yang dijadikan pembanding untuk membandingkan ijazah Jokowi cuma tiga ijazah lain. Ini sangat mencurigakan karena publik tidak tahu ijazah siapa saja yang dipakai. Bila ketiga ijazah yang dipakai sebagai pembanding adalah para “alumni” yang selama ini diajak Jokowi untuk reuni—atau sampel dari kolam yang sama—maka sama juga bohong. Seharusnya Bareskrim menyebutkan nama pemilik ketiga ijazah itu.

Tidak cuma itu, Bareskrim juga berani melakukan hal yang sangat fatal dalam konferensi pers yang disaksikan oleh 270 juta rakyat Indonesia itu. Yaitu tidak menampilkan ijazah asli Jokowi yang diklaim telah diuji forensik. Seharusnya Bareskrim menampilkan ijazah Jokowi itu, sama seperti mereka menampilkan alat-alat bukti dalam kasus-kasus lainnya. Publik bertanya-tanya mengapa Bareskrim hanya menampilkan fotokopi ijazah di layar, bukan ijazah asli dalam bentuk fisiknya.

Hal paling penting dari semua kejanggalan di atas adalah Bareskrim tidak menampilkan hasil uji forensiknya. Seharusnya Bareskrim membuka ke publik bagan lengkap mengenai unsur kimia uji karbon ijazah Jokowi yang menunjukkan usia kertas ijazah dan hal-hal lain yang terkait. Begitu juga dengan hasil analisis kandungan kimia berbagai tipe tinta yang dipakai dalam ijazah. Namun itu tidak dilakukan oleh Bareskrim. Publik dipaksa untuk percaya begitu saja terhadap absennya data ilmiah dalam pengujian ini.

Bareskrim menampilkan banyak sekali dokumen untuk mendukung klaimnya bahwa ijazah Jokowi memang asli. Bareskrim menunjukkan ke publik fotokopi daftar alumni, bundel milik Achmad Sumitro, bundel KPU DKI Jakarta, bukti setor SPP Jokowi, dan banyak lagi. Namun mau ratusan bahkan ribuan dokumen yang ditunjukkan ke publik tidak akan pernah berarti apa-apa karena Bareskrim tidak menunjukkan ijazah Jokowi yang diklaim sebagai asli.

Bareskrim dan Polri harus paham bahwa publik tidak meragukan Jokowi pernah kuliah di UGM. Yang diragukan adalah apakah Jokowi punya ijazah yang sah melalui prosedur yang sah. Apakah ijazah Jokowi setelah diuji forensik berasal dari tahun 1985, apakah foto yang dipakai pada ijazah adalah foto Jokowi sendiri—bukan punya Dumatno seperti dicurigai publik, apakah diperkenankan mengenakan kacamata pada foto ijazah pada tahun 1985, apakah banyak kejanggalan pada skripsi Jokowi sudah diteliti dengan seksama, dan banyak lagi pertanyaan yang masih menjadi misteri.

Pendek kata, banyaknya data yang tidak diungkapkan—atau memang sengaja disembunyikan—Bareskrim menimbulkan semakin banyak teka-teki mengenai ijazah Jokowi. Publik curiga bahwa absennya ijazah asli Jokowi dalam konferensi pers itu dan tidak hadirnya data-data saintifik mengenai hasil uji labfor adalah strategi untuk menghindari penelitian terbuka terhadap ijazah Jokowi yang memang bermasalah. Karena di persidangan Gus Nur dan Bambang Tri, juga di persidangan perdata di Solo yang sedang berlangsung, Jokowi sangat menghindar dari menunjukkan ijazahnya secara terbuka.

Lumpuhnya pemerintahan Prabowo dalam menangani dugaan ijazah palsu Jokowi karena ketidakmampuannya menguasai Parcok adalah serial kedua dari tragedi memalukan ini. Seharusnya Prabowo gerak cepat melakukan pergantian besar-besaran di tubuh Polri untuk menghindari macetnya kasus-kasus yang berhubungan dengan Jokowi. Pada reshuffle kabinet mendatang, penyegaran di tubuh Polri harus dilakukan segera di samping mengganti semua menteri titipan Jokowi.

Tanpa itu, Prabowo terkesan seperti bebek lumpuh. Semakin lama Prabowo mengulur-ulur waktu melakukan pembenahan, semakin kuatlah Jokowi, semakin intensiflah dia melakukan konsolidasi, semakin tampaklah matahari kembar itu telah menimbulkan gerhana yang membuat Indonesia semakin gelap. Kondisi ini tidak saja buruk bagi pemerintahan Prabowo, tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan perubahan segera.

Memang tidak sederhana menangani dilema pelik mengenai Jokowi yang sudah berjasa mengantarkan Prabowo menjadi presiden. Tapi soalnya bukan di sana. Prabowo harus sadar bahwa dia hanya berhutang budi ke rakyat, bukan ke Jokowi yang sudah 10 tahun menjadikan Indonesia menjadi negara gagal.

Semoga Prabowo bisa kembali memakai akal sehatnya dalam mengurus negara yang selalu ia cintai. Kini rakyat berharap besar kepadanya untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan Jokowi selama 10 tahun. ***

Sunday, May 18, 2025

Perang Ijazah Palsu Melebar, Jokowi Semakin Panik dan Risau

Perspektif KBA News, Sabtu, 17 Mei 2025

Buni Yani

Rakyat menyayangkan sikap berbelit-belit Jokowi dalam menangani masalah sepele ijazah palsu yang dituduhkan kepadanya dengan cara belok-belok, berkelok-kelok tidak karuan. Sudah tidak terbilang jumlah himbauan agar Jokowi segera menunjukkan ijazahnya. Namun dia memilih langkah yang rumit dan tidak lazim.

Akibat akrobatnya itu, Jokowi disindir, juga dikecam, karena telah membuat kegaduhan nasional yang tidak perlu. Rakyat terperangah, mengapa Jokowi yang dua kali menjabat jadi presiden sama sekali tidak memiliki sikap kenegarawanan yang seharusnya. Jokowi kelihatannya menikmati drama tidak bermutu ini, yang bahkan menimbulkan gesekan horizontal di tengah masyarakat.

Menyusul Jokowi dilaporkan di beberapa tempat, lalu dia juga melaporkan lima nama di Polda Metro Jaya, kasus murahan ini sudah semakin melebar dan tidak terkendali. Seseorang telah menggugat pihak UGM dan bekas dosen Jokowi yang dulu diakui sebagai dosen pembimbing. Dosen sepuh itu bernama Kasmudjo yang sudah berumur 75 tahun.

Dari pihak UGM terdapat sejumlah nama yang digugat di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta. Yaitu Rektor, empat Wakil Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan, dan kepala perpustakaan UGM. Penggugat bernama Komardin yang berprofesi sebagai pengacara dari Makassar itu menuntut UGM untuk membayar ganti rugi sejumlah 1.069 triliun rupiah bila UGM tidak bisa menunjukkan bukti akademik kelulusan Jokowi.

Tak lama setelah beredar rumor Kasmudjo menghilang menyusul pelaporan Komardin, Jokowi mengunjungi kediaman pria sepuh itu. Tidak ada yang tahu apa isi pembicaraan mereka. Beredar spekulasi bahwa Jokowi sedang mengarahkan Kasmudjo menghadapi sidang yang akan dimulai pada 22 Mei 2025. Jokowi diduga menitip pesan apa yang harus dikatakan oleh Kasmudjo di depan hakim nanti.

Sehari setelah Jokowi mendatanginya, Kasmudjo berbicara kepada wartawan bahwa dirinya tidak siap dengan gugatan yang dilayangkan kepadanya. Dia tampak bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kasmudjo kelihatannya tidak menyangka pernyataan Jokowi dulu bahwa dia dosen pembimbingnya akan menyeretnya menjadi pihak tergugat. Bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan, Kasmudjo akhirnya mengatakan telah menyerahkan perkara ini ke Fakultas Kehutanan UGM.

Publik sangat kasihan melihat Kasmudjo yang sudah sepuh itu tidak bisa menjalani masa-masa pensiunnya karena diseret-seret Jokowi ke dalam pusaran kasus tak berujung ini. Sebagian publik mengecam Jokowi karena dianggap sudah melampaui batas. Seharusnya Kasmudjo bisa hidup tenang di usia senjanya, mengisi kegiatan dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan melayani gugatan hukum yang mungkin dia tak pernah sangka sebelumnya.

Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Kasmudjo harus kooperatif bila mendapat panggilan dari pengadilan dan harus bersedia memberikan keterangan sebenar-benarnya sesuai dengan pengetahuannya. Inilah waktu paling dinanti oleh rakyat Indonesia agar Kasmudjo berkata jujur, tidak ada yang ditutup-tutupi.

Di antara pengakuan Kasmudjo yang paling mengejutkan kepada wartawan adalah dia cuma asisten dosen. Bukan dosen pembimbing skripsi, dan bukan pula dosen pembimbing akademik (PA) Jokowi. Tentu pengakuan ini berbanding terbalik dengan pernyataan Jokowi beberapa tahun lalu bahwa Kasmudjo adalah dosen pembimbingnya—entah pembimbing skripsi atau pembimbing akademik.

Di akun X miliknya tertanggal 13 Mei 2025, Jokowi masih mengaku Kasmudjo sebagai dosen pembimbing akademiknya. Namun dalam wawancaranya dengan wartawan, Kasmudjo sama sekali tidak menyinggung bahwa dia dosen pembimbing akademik Jokowi. Dia mengaku hanya pernah menjadi asisten dosen di Fakultas Kehutanan UGM pada 1980-1985, masa yang diakui Jokowi sebagai masa dia kuliah di kampus itu.

Kasus ijazah palsu ini sangat memalukan rakyat Indonesia. Bila Jokowi punya ijazah, mampu menunjukkannya di depan hakim, dan terbukti sah, maka rakyat malu karena Jokowi telah membuat gaduh selama bertahun-tahun. Dia terbukti bukan negarawan dan memilih memenjarakan rakyatnya sendiri daripada menunjukkan ijazahnya secara baik-baik ke publik jauh-jauh hari sebelumnya.

Tetapi rakyat akan lebih malu lagi bila ijazah Jokowi ternyata memang palsu. Bagaimana mungkin negara besar dengan penduduk hampir 300 juta jiwa ini bisa dibohongi secara telak, telanjang, dan mentah-mentah selama 10 tahun? Membayangkan kemungkinan kedua ini yang terjadi ibarat membayangkan runtuh dan bubarnya republik. Pasti ada yang sangat salah selama ini yang ditutup-tutupi para elit.

Rakyat hanya menginginkan para penegak hukum, terutama dalam hal ini kepolisian, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Setelah 10 tahun menjadi alat kepentingan sempit Jokowi, kini sangat susah bagi rakyat untuk percaya pada kepolisian. Karenanya, penanganan kasus ini oleh polisi, terutama dalam uji forensik ijazah Jokowi, diliputi sikap skeptis oleh masyarakat. Bagaimana mungkin lembaga yang selama ini menghamba pada Jokowi akan bisa bersikap obyektif dan adil?

Rakyat tentu tidak bisa disalahkan begitu saja bila muncul kecurigaan dan rasa tidak percaya pada kepolisian. Rakyat masih trauma dengan kasus Kilometer 50, kasus Sambo, dan kasus kopi sianida Jessica, di antaranya, yang diliputi rekayasa demi membela pihak tertentu. Kasus-kasus ini jauh dari kebenaran dan keadilan.

Dari semua perkembangan kasus ijazah palsu ini yang sudah melebar ke berbagai pihak sebagai tergugat, Jokowi kelihatan semakin panik dan risau. Dia tampak semakin cepat tua. Angle kamera dari sudut agak atas memperlihatkan rambutnya sudah kelihatan jarang dan rontok. Mungkin Jokowi sudah mendapat firasat kurang baik sehingga kondisi fisiknya semakin terganggu. Mungkin juga dia mulai sadar bahwa semua aktingnya di depan kamera sudah tidak mempan lagi mengelabui rakyat.

Namun kabar keseriusan Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi dengan tidak melibatkan kepolisian mungkin yang paling merisaukannya. Publik dengan cepat membaca langkah Prabowo memerintahkan TNI untuk menjaga kantor-kantor kejaksaan di seluruh Indonesia sebagai sikap tidak percayanya pada kepolisian.

Bila langkah Prabowo ini menggelinding dan berhasil sebagai program unggulan, maka terbuka kemungkinan untuk memeriksa laporan dugaan korupsi keluarga Jokowi yang sudah dilaporkan ke KPK tetapi tidak kunjung diproses. Skenario ini bukan isapan jempol bila melihat langkah catur Prabowo yang sudah memasuki bulan keenam dalam memerintah.

Kasus laporan hukum yang menimpa Jokowi sudah lumayan merepotkannya. Di samping kasus ijazah palsu, ada pula laporan wanprestasi mobil Esemka yang membuat Jokowi terpilih menjadi Gubernur Jakarta pada 2012. Gugatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Kota Solo oleh seorang warga Solo.

Melihat melebarnya medan pertempuran yang harus dihadapi oleh Jokowi dan keluarga, yang kemudian akan melebar kelak ke kroni-kroninya, kemungkinan besar akhir hayat Jokowi akan berakhir tragis. Tidak sukar untuk melihat ke mana arah kemarahan rakyat yang selama ini menderita akibat kezaliman Jokowi selama 10 tahun.

Mungkin Jokowi sekarang sedang menjalani kutukan ungkapan yang mengatakan, “Mereka yang naik kekuasaan dengan cara tidak wajar, akan jatuh pula dengan tidak wajar.” Jokowi tidak perlu mengeluh, apa lagi memohon belas kasihan kepada siapa pun, karena dia sangat sadar dengan segala kezaliman yang telah dilakukannya. ***

Saturday, May 10, 2025

Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi

Perspektif KBA News, Sabtu, 10 Mei 2025

Buni Yani

Publik, terutama mereka yang pernah menjadi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, tidak sabar dengan kelambanannya memproses hukum Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah memerintah dengan penuh kezaliman selama 10 tahun. Sebulan, dua bulan, bahkan setelah 100 hari pun Jokowi masih pecicilan ke mana-mana yang membuat rakyat marah.

Lazimnya pemerintahan baru di banyak tempat di dunia, seratus hari dianggap sebagai angka yang cukup adil untuk menilai kinerja presiden terpilih. Namun pada bulan keempat pun Jokowi masih seperti presiden periode ketiga. Bulan kelima juga demikian. Banyak menteri kabinet Prabowo sowan ke Solo, menjadikan pemerintahan Prabowo mengalami gerhana gelap, dan publik yang berpikiran waras tidak bisa menerima kejadian ini.

Dugaan matahari kembar bukan lagi isapan jempol. Jokowi dipandang sedang mempersiapkan Gibran menjadi presiden untuk Pemilu 2029—tetapi lebih cepat dari itu lebih baik. Sementara itu di pihak lain, publik melihat Gibran adalah anak kecil yang belum cukup umur, tidak memiliki kemampuan sama sekali bahkan untuk hal-hal sederhana, dan naiknya pun menjadi pejabat publk diperoleh melalui proses penuh kecurangan karena menukangi konstitusi.

Kesabaran publik sudah habis begitu memasuki bulan keenam. Jokowi kelihatan semakin kuat mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara di pihak lain Prabowo semakin lemah di bawah bayang-bayang gerhana yang diciptakan Jokowi. Namun Prabowo menjanjikan akan ada kejutan setelah enam bulan memerintah.

Publik terlanjur tidak percaya. Meniru ucapan Prabowo yang viral, banyak orang mengatakan, ah itu pasti omon-omon belaka. Publik sudah terlanjur kehilangan harapan. Bukankah Prabowo telah mengatakan Jokowi adalah guru politiknya dan berteriak “hidup Jokowi”? Bukankah Prabowo telah berjanji akan melanjutkan program-program gurunya itu?

Namun plot twist tak terduga membuat ternak Jokowi dan geng Solo shock berat. Belum genap enam bulan, gempa politik memang betul-betul terjadi. Janji Prabowo itu memang benar adanya. Tiba-tiba purnawirawan TNI mengajukan delapan tuntutan yang salah satunya adalah mendesak penggantian Gibran anak haram konstitusi. Para purnawirawan meniupkan terompet perlawanan untuk menyelamatkan republik yang sedang sekarat akibat ulah Jokowi.

Delapan tuntutan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh lima jenderal purnawirawan TNI yaitu Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, Hanafi Asnan, dan Try Sutrisno. Di antara kelima nama itu, yang menjadi bintang tentu saja adalah Try Sutrisno. Tidak saja karena senioritas Try di TNI, tetapi juga karena dia pernah menjadi wakil presiden. Tuntutan itu didukung oleh 103 jenderal purnawirawan, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.

Para purnawirawan menyampaikan delapan tuntutan itu dalam sebuah acara pada 17 April 2025, atau tiga hari sebelum Presiden Prabowo merampungkan enam bulan pemerintahannya. Yang menarik, dokumen yang ditandatangani oleh para purnawirawan itu sudah dibuat pada bulan Februari 2025.

Pada saat terjadi serangan ke Gibran, bergulir pula dengan lancar dan menjadi perhatian nasional, kasus ijazah palsu Jokowi yang sudah bertahun-tahun jadi polemik dan hampir dilupakan. Munculnya ahli forensik digital Rismon Sianipar menyuntikkan darah baru pada penelisikan ijazah Jokowi yang punya banyak kejanggalan itu. Hasil penelitian Rismon melengkapi penelitian ahli digital Roy Suryo dan dokter Tifauzia Tyassuma, dan ini semakin meyakinkan publik bahwa ijazah UGM Jokowi memang bermasalah.

Rismon Sianipar dan Roy Suryo dengan sangat meyakinkan menunjukkan hasil penelitian mereka menggunakan aplikasi digital bahwa foto ijazah UGM Jokowi tidak identik dengan foto Jokowi sekarang ini. Kesimpulan mereka, ijazah UGM Jokowi yang beredar luas menggunakan foto diri orang lain. Bahkan foto diri tersebut kelihatan seperti foto yang ditempelkan di atas stempel karena tidak ada warna merah tinta stempel di atasnya.

Ini temuan baru yang tentu saja sangat mengguncang dan membuat heboh politik nasional. Perlawanan buzzer dan ternak Jokowi tenggelam oleh besarnya magnitude dan skala perbincangan publik atas kasus ini. Mereka tidak bisa lagi melawan narasi yang sudah masuk ke dalam kesadaran publik bahwa Jokowi memang pembohong yang ijazahnya palsu. Perlawanan sia-sia ini menunjukkan semakin lemahnya Jokowi dan gerbong di belakangnya.

Dua gempuran dahsyat ini membuat Jokowi dan geng Solo mulai gemetaran dan kelihatan oleng. Dalam sebuah video menanggapi laporannya ke Polda Metro Jaya, suara Jokowi mulai kedengaran was-was dan khawatir. Meskipun dia berusaha tampil tenang dan berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang terzalimi karena telah “dihina sehina-hinanya”, suaranya tak bisa berbohong. Dia kelihatan lelah dan risau.

Bagaimana kita bisa memaknai dua kejadian penting ini menggunakan semiotika sosial sebagai pisau analisis? Apakah ada keterlibatan Prabowo? Apakah dua kejadian itu merupakan perwujudan dari janji Prabowo bahwa akan ada kejutan setelah enam bulan menjabat? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang beredar sekarang ini di banyak grup WA, obrolan santai, dan diskusi serius.

Bahwa Prabowo adalah orang Jawa dari garis bapak dan Minahasa dari garis ibu adalah fakta yang harus kita catat. Prabowo lahir dari keluarga yang heterogen baik dari segi latar belakang agama maupun suku bangsa. Persentuhannya dengan budaya dan pendidikan Eropa sejak SMP menjadikannya berwawasan global—dan menambah pluralitas dalam dirinya.

Prabowo kemudian menikah dengan Titiek Soeharto yang beragama Islam, dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam sejak muda. Di lettingnya, Prabowo dimasukkan ke dalam perwira "hijau" karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam itu. Pergaulannya yang luas membuat Prabowo menjadi orang yang semakin lentur dalam beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru.

Sebagai orang yang lahir dari keluarga setengah Jawa, Prabowo cukup memahami unggah-ungguh Jawa. Dia paham apa itu high-context culture yang melekat dalam budaya Jawa—yaitu suatu tradisi yang menghargai komunikasi dengan simbol dan gestur, bukan bahasa verbal yang terang-terangan. Yaitu suatu budaya yang mensyaratkan pemahaman pada apa yang tersirat di samping pada apa yang tersurat.

Karenanya, bagi mereka yang memahami budaya Jawa dengan baik, pendekatan Prabowo pada kompleksitas hubungannya dengan Jokowi harus dipahami dalam kerangka ini. Prabowo tahu bahwa rakyat menolak Gibran dengan keras, tetapi dia harus mengesampingkan penolakan itu untuk tujuan yang lebih besar. Dia juga harus pintar dan hati-hati menangani tuntutan mengadili Jokowi karena Jokowi telah berjasa mengantarkannya menang pada Pemilu 2024.

Memahami konteks sosial dan budaya ini, maka bagi sebagian orang, teriakan “hidup Jokowi” dan pujian-pujiannya itu memiliki arti sebaliknya. Bukan apa yang terkatakan, tetapi apa yang terjadi dan berlaku di ruang publik secara nyata itulah pesan yang sebenarnya.

Bahwa kemudian Prabowo membatalkan mutasi Letjen Kunto dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) untuk digantikan oleh orangnya Jokowi merupakan sinyal nyata Prabowo sedang melakukan operasi senyap: puji terus, tetapi gergaji kekuatan Jokowi sedikit demi sedikit.

Langkah catur Prabowo yang kemudian tidak mengizinkan mundurnya Hasan Nasbi “kepala babi”—orang yang sejak awal dikenal sebagai orangnya Jokowi—sebagai juru bicara Istana dimaksudkan untuk menimbulkan kesan draw, permainan berimbang. Bahwa dikembalikannya Hasan Nasbi menjadi juru bicara Istana merupakan pertukaran atas dikembalikannya Letjen Kunto ke posisi semula.

Tetapi semua analis tentu paham bahwa posisi juru bicara Istana jelas jauh kalah strategis dibandingkan dengan posisi Pangkogabwilhan. Bila terjadi huru-hara politik, yang akan punya kontribusi menyelamatkan posisi Prabowo secara riil di lapangan bukanlah juru bicara Istana, tetapi Pangkogabwilhan. Sesederhana itu kita membaca langkah bidak permainan catur ini.

Bila naskah delapan tuntutan para purnawirawan sudah dipersiapkan sejak Februari, dan Prabowo dengan begitu meyakinkan berjanji akan ada kejutan setelah enam bulan, maka ini sangat susah dianggap sebagai hal yang terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Kedekatan Prabowo dan Try Sutrisno yang duduk satu meja dalam acara halal-bihalal purnawirawan TNI AD memperkuat analisis bahwa Prabowo menyetujui penggantian Gibran. Bahkan mungkin sudah lama Prabowo berkomunikasi dengan para purnawirawan.

Untuk kasus ijazah palsu pun Prabowo kelihatan membiarkan perkara ini berkembang seperti apa adanya dan membiarkan Jokowi berjuang sendiri. Prabowo tidak kelihatan melindungi Jokowi—hal yang tentu berbanding terbalik dengan puja-puji verbal terhadap “mentor” politiknya itu. Sangat besar kemungkinan inilah yang membuat Jokowi kelihatan khawatir dan risau.

Harapan Jokowi satu-satunya kini terletak pada Kapolri Listyo Sigit, orang dekatnya, yang sedang menangani proses hukum ijazahnya. Penyelidikan sudah berlangsung selama sebulan sejak adanya pengaduan ke Bareskrim. Penyelidikan sudah rampung sekitar 90 persen, dan sisa 10 persen menunggu hasil uji laboratorium forensik Bareskrim.

Drama ini penuh ketegangan. Rakyat hanya akan percaya bila hasil uji forensik menunjukkan ijazah Jokowi memang palsu adanya. Bila dinyatakan asli, rakyat akan menolaknya, rakyat tidak akan percaya. Penyebabnya dua hal. Pertama, karena kepolisian masih di bawah Sigit Listyo yang merupakan orang dekat Jokowi. Kedua, karena kepolisian selama ini punya reputasi buruk dalam merekayasa kasus.

Katakanlah dilakukan uji forensik oleh pihak kedua, selain oleh Bareskrim, lalu ternyata ijazah Jokowi memang asli adanya, ini pun tidak akan memadamkan perlawanan. Jokowi akan dilaporkan kembali karena telah membuat gaduh, karena baru mengeluarkan ijazahnya yang asli setelah bertahun-tahun kemudian.

Alhasil, Jokowi sekarang maju kena mundur kena. Yang jelas rakyat menginginkan Jokowi dihukum seberat-beratnya akibat kezalimannya selama 10 tahun.

Kejatuhan Jokowi begitu nyata. Partai-partai politik yang dulu menjadi sekutunya dan begundal-begundal yang selalu mendampinginya sedang melakukan perhitungan. Sebagian besar mereka sedang menunggu di pinggir gawang untuk melakukan tendangan telak begitu Jokowi sedang sekarat politik. Mereka-mereka yang dulu begitu intensif menjilat Jokowi adalah orang yang paling cepat pindah kubu begitu Jokowi terdesak dan menemui ajal politik.

Semiotika sosial kejatuhan Jokowi sangatlah tidak rumit untuk dibaca bahkan oleh orang awam sekalipun. Zaman informasi yang mempercepat jalannya sejarah tidak berpihak kepadanya. Bahkan kebenaran sekalipun tak akan menolongnya. Karena dia terlanjur menjadi musuh bersama rakyat akibat kezalimannya yang tak termaafkan. ***

Sunday, May 4, 2025

Jokowi Semakin Panik, Merengkuh Apa Saja agar Tidak Hanyut

Perspektif KBA News, Sabtu, 3 Mei 2025

Buni Yani

Sebagai pemain drama politik nasional dengan jabatan sebagai pemeran utama selama 10 tahun, Jokowi jelas sudah hapal dan sangat berpengalaman bermain watak, terutama di depan kamera. Tetapi kali ini Jokowi sangat naif bila menganggap rakyat Indonesia masih bodoh dan masih saja percaya pada dirinya. Rakyat sudah tahu Jokowi seringkali sen kanan tahunya belok kiri.

Setelah melaporkan lima nama ke Polda Metro Jaya terkait ijazah palsu, Jokowi, seperti biasa, seperti yang dia lakukan selama 10 tahun berkuasa, dengan gagah berani dan enteng menghadapi wartawan. Dia mengatakan soal ijazah palsu ini soal ringan saja sambil tertawa terkekeh yang sudah menjadi ciri khasnya. Jokowi mencoba mengecilkan peristiwa ini seolah sama sekali tidak mengganggu keadaan mental apa lagi agenda politiknya.

Jokowi adalah aktor hebat. Bahwa dia menjadi presiden dua periode dengan melibas semua lawan politiknya dan menghindari serangan ijazah palsu serta riwayat silsilah keluarganya merupakan peristiwa langka yang jarang terjadi di dunia. Ini jelas kemampuan yang luar biasa yang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya—yang kali ini memiliki pengertian negatif.

Sebagai aktor hebat, Jokowi sangat pintar bermain peran di depan kamera. Baginya, kamera adalah jendela dunia melalui mana dia bisa berkomunikasi dengan massa anonim, massa luas yang tak berhingga jumlahnya yang dia tak pernah kenal. Baginya, kamera adalah senjata utama bagi agenda politknya, alat untuk menyampaikan pesan dan membangun citra yang dia inginkan.

Jokowi sangat percaya diri bahwa dia telah mempunyai apa yang di dalam kajian budaya pop dikenal sebagai “persona”—yaitu citra unik seorang bintang yang lahir dan dipuja oleh fans karena mempunyai daya pikat dan kharisma di atas panggung. Jokowi merasa dia adalah bintang, bukan dalam budaya pop, tetapi dalam dunia politik. Sebuah dunia yang menurutnya bisa jadi tidak jauh berbeda dengan dunia artis dan kebintangan.

Namun kali ini sangkaan Jokowi jelas tidak tepat mengenai dirinya. Dia sudah lama bukan lagi bintang, dan orang dengan cepat belajar bahwa gerak-gerik Jokowi lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat untuk bangsa. Massa sangat cepat belajar dari janji yang tidak ditepati, kebohongan-kebohongan yang secara telanjang dipertontonkan, banyaknya korupsi, dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman dia berkuasa.

Jokowi jelas salah menilai diri. Rakyat banyak sudah lama sekali gerah melihat kezaliman yang diperbuatnya. Jokowi sangat keji dan anti kemanusiaan. Zaman dia berkuasa selama 10 tahun secara zalim, banyak sekali aktivis yang dipenjarakannya. Bahkan enam laskar FPI dibunuh secara brutal.

Apakah Jokowi pernah menyesal dan minta maaf karena itu pelanggaran HAM berat? Tidak. Tapi sekarang ketika Jokowi diminta untuk menunjukkan ijazahnya, dia menolak. Katanya, itu melanggar HAM. Betul-betul tidak masuk akal, keji, dan anti kemanusiaan.

Kezaliman Jokowi menyebar dan menular ke hampir semua orang yang dekat dengannya. Pengacara Jokowi mengatakan produk ilmiah harus disahkan secara hukum baru boleh disebarluaskan atau dipublikasikan. Menurut pendapatnya yang lucu dan aneh itu, kalau sarjana menulis paper dan buku, maka harus ada pengesahan lembaga hukum terlebih dahulu.

Bila kajian naskah menemukan bahwa font Times New Roman di skripsi Jokowi menunjukkan kepalsuan skripsi, maka hal ini tidak boleh disampaikan ke publik. Harus terlebih dahulu disahkan oleh lembaga hukum. Menurutnya, legalitas hukum lebih tinggi daripada kebenaran ilmiah. Tidak ada kebebasan ilmiah. Belum pernah ada pendapat seaneh dan sebodoh ini di seluruh dunia.

Semua ruang berbangsa dan bernegara dirusak oleh Jokowi secara brutal. Benteng pertahanan bangsa yang terakhir, yaitu dunia akademik, dilindas oleh Jokowi dengan dingin. UGM kini dia acak-acak. Kebanggaan kampus besar itu yang telah melahirkan luminari seperti ekonom kerakyatan Mubyarto dan pakar kebudayaan Kuntowijoyo kini tercoreng dengan sangat memalukan.

Jokowi menggertak rakyat dengan memamerkan kedekatannya dengan Hercules, seorang mantan preman yang kini menjadi pemimpin ormas yang dekat dengan kekuasaan. Dengan ini Jokowi memberikan pernyataan terang-benderang bahwa dia tidak cuma masih menguasai sumber daya ekonomi dan politik, tetapi juga dunia bawah tanah yang hitam kelam. Seolah Jokowi ingin mengatakan, kalian mau main terang atau gelap akan saya layani.

Namun semua pertunjukan teater Jokowi sudah kehilangan magis—skenarionya seperti sampah, bahkan aktingnya kini seperti kotoran yang tidak lagi diperlukan. Mimpi mengenai persona dirinya adalah ilusi yang berlebihan. Sebuah pandangan dunia yang didasari oleh megalomania kosong yang tidak membumi, tidak berdasar realitas sebagai basis akal sehat.

Faktanya, semakin banyak orang berani dan menantang Jokowi secara terang-terangan. Aktivis melaporkannya karena ijazah palsu. Bahkan di kota kecil Solo dari mana dia memulai pertunjukan teater politiknya, Jokowi dilaporkan oleh pengacara untuk kepalsuan ijazah SMA-nya. Jokowi jauh dari magisme yang dia khayalkan.

Dalam cara yang agak berbeda, dengan unggah-ungguh budaya Jawa yang tinggi, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mengirim pesan ke Jokowi. Jenderal Gatot memarahi Hercules dengan sangat keras karena Hercules sebelumnya mengata-ngatai secara tidak pantas mantan Wapres Try Sutrisno dan Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso.

Tapi kemarahan Jenderal Gatot ini harus dibaca dengan cara lain. Karena jelas sangat tidak level seorang mantan Panglima TNI mengomentari dan melakukan kontak dengan seorang mantan preman. Kejadian ini harus dianalisa dalam kerangka semiotika sosial berbasis budaya Jawa. Jenderal Gatot sebetulnya sedang mengirim pesan kepada Jokowi bahwa dia dan rakyat Indonesia tidak takut kepada gertakan preman seperti Hercules.

Bahwa purnawirawan TNI, oposisi selama 10 tahun, aktivis, dan rakyat Indonesia sama sekali tidak takut pada Jokowi dan geng Solo yang sudah mengacak-acak Indonesia selama 10 tahun. Pemakzulan Gibran akan terus jalan. Pesan ini, nyata, sebetulnya, ditujukan untuk mengirim tantangan secara terbuka kepada Jokowi yang sudah berlaku kurang ajar kepada bangsa, negara, dan kemanusiaan secara umum.

Jelas postur politik Jokowi semakin lemah dan ringkih. Gempuran kasus ijazah palsu membuatnya oleng dan sangat panik. Drama-drama pencitraan seolah dia baik-baik saja justru semakin menunjukkan kepanikannya. Sinyal lemahnya Jokowi yang menunjukkan posisinya semakin terancam adalah dengan dipulihkannya posisi Letjen Kunto, batal digantikan oleh orangnya Jokowi.

Alhasil, dengan sisa-sisa pencitraan receh Jokowi yang masih tersisa, yang magisnya sudah jadi kotoran, kini sudah menjadi olok-olok dan caci-maki rakyat jelata. Jokowi sudah kehabisan waktu. Dia akan jatuh bersama ditendangnya Gibran anak haram konstitusi yang mendapatkan jabatan dengan cara curang dan licik. Waktunya sudah dekat sekali. ***

Saturday, April 26, 2025

Efek Jokowi: Teater dalam Gang Mati, Politik Busuk Tumbuh di Mana-mana

Perspektif KBA News, Sabtu, 26 April 2025

Buni Yani

Dramawan dan sutradara kondang Teguh Karya pernah mendirikan Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon di kawasan Kebon Kacang yang tidak jauh dari Hotel Indonesia dan Bundaran HI. Dikabarkan, Teguh Karya pernah mengatakan dia mendirikan pusat kesenian itu meniru komunitas-komunitas teater di Eropa. Waktu itu tahun 1993, sekitar lima tahun sebelum Orde Baru tumbang.

Disebut “Teater dalam Gang” karena letaknya memang dalam gang. Teguh memproyeksikan teater itu akan menjadi alternatif dan oase kebudayaan di Jakarta yang sudah berkembang menjadi metropolitan yang semakin impersonal, minim kebudayaan, dan kurang manusiawi. Namun dalam perjalanannya Teater dalam Gang rintisan Teguh Karya itu tidak berjalan seperti diharapkan.

Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon pelan-pelan tidak pernah kedengaran lagi. Entah apa penyebab pusat kesenian itu tidak tumbuh seperti diharapkan. Bisa jadi karena sumber pendanaan yang tidak stabil, program yang tidak digarap dengan baik, atau hal-hal lain. Entahlah. Publik tidak pernah lagi mendengar kegiatannya. Namun begitu, rintisan membentuk komunitas-komunitas kecil seni dan budaya paling tidak sudah dimulai oleh Teguh.

Nasib Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon adalah cermin dari kondisi seni dan budaya Indonesia pada saat ini. Menyusul gempuran teknologi digital yang tanpa ampun, pelan-pelan halaman sastra, seni dan budaya di koran cetak mulai menghilang karena korannya sendiri tidak lagi terbit. Sementara bagi banyak koran cetak yang masih terbit, keberadaan rubrik seni dan budaya mulai dianggap tidak penting, dikalahkan oleh rubrik lain yang lebih mendatangkan keuntungan finansial.

Rubrik seni dan budaya mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Para penulis puisi, cerpen, dan kritik sastra tidak tahu ke mana lagi harus menerbitkan karya mereka agar dibaca oleh khalayak luas. Para penulis merasa kesepian karena tidak ada lawan dialog. Medium mereka untuk menyampaikan karya dan gagasan semakin terbatas. Mereka berkarya tetapi tidak punya medium untuk berdialog dengan pembaca.

Koran-koran cetak semakin sedikit. Ada yang bertahan hanya dengan melakukan penerbitan daring. Tentu ini kabar menggembirakan. Namun bagi pembaca yang sudah terbiasa memegang kertas koran, penerbitan daring dianggap kurang prestisius. Karya sastra, entah itu puisi atau cerpen, dianggap tidak cukup hanya berbentuk digital.

Dan ini yang lebih penting. Kalaupun karya para penulis itu diterbitkan secara daring, mereka tidak mendapatkan imbalan sebesar bila karya mereka terbit pada koran edisi cetak. Ini membuat para penulis itu semakin sulit hidup bila hanya bergantung pada tulisan mereka.

Ironisnya, ketika nasib seni dan budaya semakin terpuruk dan orang-orang di gang-gang kecil Jakarta semakin jarang membicarakan soal-soal dan kegiatan budaya yang bermakna, pada saat yang sama pembicaraan mengenai politik justru semakin meningkat. Orang-orang sangat bergairah membicarakan bansos yang diikuti kewajiban memilih capres tertentu.

Perubahan orientasi ini tidak saja menyedihkan tetapi juga mengkhawatirkan. Terjadi penurunan kualitas budaya yang sangat besar. Warga dididik bergantung pada capres, cagub atau cawalkot yang memberikan bansos. Bila tidak memilih pemberi bansos maka akan mendapatkan teror atau perlakuan tidak wajar. Bansos menjadi senjata untuk menundukkan orang-orang lemah dan miskin. Cara licik dalam berpolitik dengan membeli suara kaum tak berdaya.

Sepuluh tahun terakhir Indonesia di bawah kekuasaan Jokowi yang zalim menciptakan musim paceklik panjang kebudayaan dan peradaban. Hampir semua segi dirusak oleh Jokowi yang memerintah dengan kebodohan. Politik, ekonomi, hukum, seni, dan budaya rusak—semuanya. Indonesia berada di tepi jurang kehancuran, yang menurut Prabowo bertahun-tahun silam, akan bubar pada tahun 2030.

Dulu para seniman dengan inisiatif sendiri mendirikan komunitas-komunitas kesenian independen, suatu ciri masyarakat sipil yang tumbuh di negara demokrasi. Mereka merayakan kebebasan, mengungkapkan pendapat lewat karya seni. Mereka antusias mengembangkan kebudayaan secara mandiri lewat usaha-usaha yang melibatkan partisipasi warga.

Namun kondisi positif yang mulai tumbuh itu kini seperti patung pasir yang disapu ombak di pinggir pantai. Patung itu kini rata dengan tanah, tak berbekas. Jokowi adalah aktor utama di balik pembinasaan seni dan budaya selama 10 tahun. Dengan kapasitas intelektual yang sangat minim, dan bahkan kini keaslian ijazahnya dipertanyakan oleh massa yang luas, Jokowi bertindak seperti algojo robot tanpa hati yang melakukan penyembelihan terhadap budaya dan kemanusiaan.

Jokowi melibas dengan kejam lawan-lawan politiknya. Para seniman, intelektual, dan penjaga denyut nadi kebudayaan dia persekusi tanpa ampun. Pada saat yang sama, dia membayar buzzer dan preman untuk melakukan intimidasi. Pembungkaman terhadap pikiran yang berbeda terjadi tanpa henti dan dilakukan secara brutal. Jokowi sangat menikmati kekejaman yang dia lakukan kepada siapa pun yang dia anggap lawan. Hatinya lebih dingin dari es, tak tersentuh oleh percikan nilai-nilai kemanusiaan.

Jokowi tidak hanya telah mengkhianati bangsanya, tetapi juga kemanusiaan secara keseluruhan. Karena, mempersekusi satu orang manusia tidak bersalah sama dengan mempersekusi semua manusia. Sebuah analogi dari ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa membunuh satu orang manusia sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan. Tapi, saking kejamnya Jokowi, dia bahkan sama sekali tak merasa bersalah. Dia merasa kekejamannya adalah hal normal.

Efek Jokowi, atau lebih tepatnya efek kemerosotan Jokowi, akan terus menghantui bangsa ini di masa depan. Jokowi seolah telah memasukkan semua produk kebudayaan dan peradaban ke dalam ruang pembantaian. Dia binasakan semua hal yang menyinggung dirinya dan bertentangan dengan kebodohannya. Jokowi sangat bangga dengan ketidaktahuan dan kebodohan yang sudah menjadi napas dan habitusnya.

Jokowi menginginkan semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya. Entah dari mana ego megalomaniak super negatif ini muncul begitu ekstrem. Normalnya, orang bodoh berusaha memperbaiki diri agar menjadi cerdas. Tetapi dalam kasus Jokowi, yang terjadi sebaliknya. Jokowi memaksa agar semua orang turun derajat. Dia memaksa semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya.

Jokowi adalah anomali kemanusiaan dan peradaban. Dia anti pada apa saja yang baik. Dia adalah manusia yang berasal dari kegelapan. Kuasa gelap gulita menguasai pikiran, hati, dan tindak-tanduknya.

Kelak masa-masa Jokowi berkuasa akan dikenang oleh anak-cucu kita sebagai masa-masa kegelapan Indonesia. Jokowi adalah arsitek kegelapan itu. Dia adalah manusia yang diturunkan dari neraka ke bumi, seperti sangat tepat digambarkan oleh seorang akademisi UI. Gelar yang sama sekali tidak berlebihan bila melihat portfolio Jokowi dengan kezaliman yang sempurna dan tiada tara.

Kini, mengembalikan teater ke dalam gang, dan pada saat yang sama menghilangkan politik busuk dari dalamnya, ibarat menegakkan benang basah. Kerusakan sudah paripurna. Republik hanya menunggu bubar dan meninggalkan puing-puing kebodohan yang memalukan. Penanda yang akan menjadi artefak tak termaafkan.

Efek Jokowi jauh melampaui imajinasi orang waras untuk bisa membayangkannya. Karena efek itu telah menjangkiti pikiran-pikiran cemerlang yang kemudian menjadi busuk dan ikut seperti lalat mengerubungi kotoran yang menjijikkan. Jokowi sangat piawai menularkan kebodohan dan kezaliman kepada siapa saja yang mendekatinya. Panggungnya seluas Indonesia. Dia pemain watak dalam tragedi tak berkesudahan selama 10 tahun.

Jokowi harus dihentikan apa pun risiko dan ongkosnya. Karena Jokowi adalah kegelapan itu sendiri yang merusak bangsa, negara, dan kemanusiaan. Menyerah pada kejahatan, kebodohan, dan kezaliman adalah sama dengan menerima keberadaannya. Dan kita yakin bangsa Indonesia tidak serendah dan sepengecut itu. ***

Saturday, April 19, 2025

Soal Ijazah Palsu, Strategi Jokowi Berubah dari Defensif Jadi Ofensif

Perspektif KBA News, Sabtu, 19 April 2025

Buni Yani

Mimpi Jokowi untuk menikmati hari-hari pensiun dengan momong cucu dan menerima ternak-ternaknya yang masih setia buyar sudah. Ledakan ijazah palsunya begitu keras yang membuat perbincangan publik dalam beberapa pekan terakhir tak hendak beranjak. Negeri mayoritas Muslim ini tidak bisa menerima kebohongan dan kepalsuan terus-menerus, karenanya tak ada celah sedikit pun bagi Jokowi untuk bisa menghindar.

Rombongan aktivis dari beberapa daerah dan tim TPUA menggeruduk UGM pada 15 April dan rumah Jokowi pada keesokan harinya. Namun UGM kelihatan melemparkan tanggung jawab sebagai institusi yang terbuka. Ketika menerima tiga perwakilan alumni, tim rektorat UGM beserta orang-orang yang mengaku teman kuliah Jokowi tidak memberikan informasi yang diperlukan untuk menjernihkan masalah.

UGM mengatakan ijazah Jokowi dipegang oleh Jokowi sendiri, dan seharusnya memang demikianlah adanya. Namun tidak memberikan data-data bahwa Jokowi pernah kuliah dan dokumen otentik bukti kelulusannya karena berlindung di balik privasi tidak saja konyol tetapi juga dicurigai sebagai cara halus untuk menghindar dari inti masalah sebenarnya.

UGM terkesan sangat melindungi Jokowi sejak awal. Rektor yang sekarang diangkat oleh Majelis Wali Amanat melalui pemilihan yang diketuai oleh Pratikno, dan Pratikno sendiri adalah operator politik Jokowi par excellence. Informasi minim ini cukup memberikan gambaran mengenai apa yang sedang terjadi di UGM sekarang.

Di Solo, pada 16 April, Jokowi menerima tim TPUA yang terdiri dari tiga orang. Jokowi berkeras tidak mau menunjukkan ijazahnya dengan alasan tidak ada kewajiban untuk melakukan hal demikian. Jokowi hanya bersedia menunjukkan ijazahnya kepada sejumlah wartawan namun tidak boleh difoto dan didokumentasikan. Yang aneh, pihak yang meragukan ijazahnya adalah TPUA, dan sempat diperkarakan di pengadilan di Jakarta, namun justru tidak boleh melihat dokumen akademik itu.

Jokowi menantang agar perkara ini dibawa ke pengadilan dan di sanalah dia akan menunjukkan ijazahnya. Tidak cuma itu, dia mengancam akan memperkarakan pihak-pihak yang meragukan ijazahnya, dan menuduh mereka telah memfitnahnya.

Melihat perkembangan ini, maka dengan gampang kita bisa membaca perubahan strategi Jokowi dalam menutupi aib ijazah palsunya. Jokowi tidak lagi defensif (bertahan), namun sekarang sudah berani melakukan ofensif (menyerang). Pertanyaannya, apa yang menyebabkan Jokowi mengubah strategi dan begitu percaya diri berani menantang para pengacara TPUA secara khusus, dan rakyat Indonesia secara umum?

Hanya satu kemungkinan jawabannya. Yaitu dia sangat percaya diri akan menang karena merasa masih menguasai jaringan penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim. Dulu di pengadilan Jakarta, hakim mengatakan tidak berhak mengadili perkara ijazah Jokowi. Pengadilan Jakarta sengaja membuat perkara ini macet dan menemui jalan buntu demi melindungi Jokowi. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Bila pengadilan Jakarta mengatakan tidak berhak mengadili kasus ijazah palsu Jokowi, itu artinya kasus ini gugur dengan sendirinya sebelum masuk ke pembuktian materil kepalsuan ijazah. Bisa jadi teknik serupa telah direncanakan bila perkara ini kembali disidangkan. Akan dibuat jalan buntu sehingga kasus ini jadi kabur sampai Jokowi mati.

Target Jokowi kalau tidak bisa memenangkan perkara, paling tidak dia bisa mengaburkan fakta sesungguhnya untuk membuat rakyat tetap dalam keragu-raguan abadi dan tidak yakin mengenai duduk perkara ijazahnya. Ini untuk menutupi aib yang tidak bisa dia bantah dengan beredarnya banyak sekali pembuktian oleh ahli forensik digital dan penelusuran swadaya oleh netizen anonim yang jumlahnya sangat banyak.

Jokowi kelihatan semakin lemah, letih, dan panik. Buzzer-buzzer yang dulu sangat ganas menyerang pengeritik Jokowi, yang mentag akun polisi di media sosial sebagai tanda melapor, lalu dengan cepat diproses hukum dan masuk penjara, kini semakin tak terorganisir dan lemah. Besar kemungkinan organisasi mereka kini kocar-kacir setelah sumber pendanaan untuk operasional tidak lagi sebesar dulu, atau bisa jadi sudah tidak ada. Sudah jadi rahasia umum ada dana APBN dulu yang digunakan untuk membayar influencer, nama halus untuk buzzer.

Kepanikan Jokowi untuk menutupi ijazah palsunya begitu nyata. Dia menyewa pengacara yang sesungguhnya sangat tidak diperlukan. Tidak cukup yakin dengan keampuhan para pengacara itu, dia pun mengundang Hercules, seorang preman Tanah Abang yang sangat terkenal di Jakarta. Padahal, soal ijazah palsu ini cuma perlu pembuktian ilmiah. Kehadiran Hercules yang jelas dari dunia yang berbeda sama sekali tidak diperlukan.

Seharusnya Jokowi sangat bangga menunjukkan ijazah dan skripsi UGM-nya karena UGM punya nama besar, sama seperti dia sangat bangga memamerkan bisa shalat waktu kampanye menjelang pemilu dulu. Tapi ini tidak terjadi. Jokowi hanya bersedia menunjukkan ijazahnya ke kalangan terbatas dan itu pun tidak boleh didokumentasikan.

UGM yang sejak lama dikenal sebagai kampus rakyat seharusnya bisa menenteramkan psikologi publik dengan memberikan informasi yang benar dan bisa dipercaya mengenai Jokowi. Alih-alih menjernihkan masalah, UGM justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Sikapnya yang kelihatan partisan dan tidak bermutu dengan kuatnya pemihakan pada Jokowi membuat reputasinya menjadi hancur.

Skripsi Jokowi di perpustakaan UGM dilindungi seperti perlindungan terhadap Injil Barnabas di Vatikan. Tidak semua orang bisa menyentuh apa lagi membacanya. Ini jelas aneh dan sangat mengggelikan. Semua karya ilmiah, baik itu buku, paper, atau skripsi seharusnya terbuka untuk umum dan bisa dibaca oleh siapa saja yang memerlukannya. Hal-hal ini menambah kecurigaan bahwa skripsi Jokowi memang bermasalah.

Publik curiga UGM sedang menyimpan rahasia yang sangat memalukan dan tidak boleh diketahui oleh khalayak ramai. UGM sedang berusaha menjadi mesin cuci dosa-dosa dan keculasan Jokowi sehingga naskah akademik berupa skripsi yang seharusnya terbuka untuk umum namun nyatanya disimpan secara rapat dari sorotan publik. Langkah ini sangat terorganisir dan sistematis yang hanya bisa terjadi bila melibatkan ordal.

Tetapi Jokowi tidak bisa menipu publik lagi bahwa dia seolah sangat tenang. Sebaliknya, semua langkahnya menunjukkan dia sedang panik. Bahwa dia menantang publik untuk menunjukkan dia berani dan jantan, seolah memang dia punya ijazah asli dan sah dari UGM, sama sekali tidak punya efek ke publik. Masyarakat sudah super kenyang dibohongi Jokowi selama 10 tahun.

Kiranya Jokowi sekarang sudah mulai menjalani azab dari Tuhan karena kezaliman yang telah dilakukannya kepada rakyat selama ini. Azab pertama yang dia terima adalah dia dicaci-maki tiap saat oleh rakyat. Cap dan stempel pendusta dalam dirinya seperti ukiran batu yang akan abadi sampai dia mati. Bukan penghormatan yang dia terima, tetapi caci-maki bergemuruh tanpa henti.

Tekanan batin akibat caci maki ini adalah azab yang nyata. Jokowi tidak akan bisa tenang sampai kapan pun. Karena tidak merasa tenang inilah maka Jokowi masih wara-wiri Solo-Jakarta, masih merasa belum cukup usaha untuk melindungi diri dari sergapan para korban selama 10 tahun ini. Jokowi selalu merasa diintai musuh. Dia merasa perlindungan Prabowo, juga Gibran anak haram konstitusi, wajib dia dapatkan agar bisa sedikit tenang. Tetapi ketenangan itu tak kunjung tiba karena serangan semakin bertubi-tubi.

Seharusnya Jokowi sebagai pribadi di bulan Syawal ini akan mendapatkan pengampunan dari seluruh tanah air. Tetapi Jokowi sebagai pribadi kelihatannya tidak pernah berbuat dosa ke rakyat sebagai pribadi. Rakyat sebagai pribadi pun tidak pernah berbuat dosa ke Jokowi sebagai pribadi. Rakyat tidak mengenal Jokowi secara pribadi, begitu pula sebaliknya.

Yang belum tuntas urusannya adalah Jokowi sebagai mantan presiden dan rakyat sebagai korban selama 10 tahun. Jelas rakyat tidak bisa memaafkan Jokowi sampai kapan pun karena Jokowi dengan sadar melakukan kezaliman kepada mereka. Sampai Jokowi masuk kubur, sampai akhirat kelak.

Untuk hal terakhir ini, bahkan rakyat banyak mendoakan Jokowi semoga dia berumur panjang, dan agar dengan umur panjang itu dia sempat mendapatkan azab dan penderitaan yang panjang sejak di dunia. Jokowi jangan cepat-cepat mati, tetapi mulai mendapatkan balasan atas kezaliman yang telah diperbuatnya.

Tentu saja ini adalah doa yang sangat adil bagi pelaku kezaliman yang nyata. Dan Allah maha adil memberikan balasan atas apa yang diperbuat oleh semua hamba-Nya. ***

Saturday, April 12, 2025

Ledakan Ijazah Palsu Tak Terbendung, Jokowi Makin Tersudut

Perspektif KBA News, Sabtu, 12 April 2025

Buni Yani

Setelah bertahun-tahun nasib gugatan atas kepalsuan ijazah Jokowi semakin redup dan mulai dilupakan orang, tiba-tiba dalam beberapa pekan terakhir isu ini kembali meledak dan menjadi perbincangan para pengguna media sosial. Seperti biasa, Jokowi tetap bertahan dan menuduh orang-orang yang mempermasalahkan ijazahnya sebagai pemfitnah yang harus diproses hukum.

Pengacara Jokowi yang mendatangi kediamannya di Solo mengancam publik—publik anonim yang luas yang sedang menguji kesahihan klaim Jokowi secara sepihak tanpa menunjukkan ijazah asli yang dia punya. Publik menertawakan ancaman ini karena dianggap konyol dan tidak masuk akal. Karena bukankah masalah ini sangat sederhana dan tidak perlu harus menyewa pengacara segala. Jokowi cukup menunjukkan ijazahnya di hadapan wartawan dan para penuduh maka kasus ini langsung selesai.

Dua orang telah menjadi korban keengganan Jokowi menunjukkan ijazahnya. Korban pertama adalah Bambang Tri yang sangat yakin Jokowi tidak punya ijazah SMA. Korban kedua adalah Gus Nur dengan kasus yang kurang lebih sama dengan Bambang Tri. Para pengacara yang membela Bambang Tri dan Gus Nur mengatakan selama persidangan kedua terdakwa tersebut Jokowi sama sekali gagal menunjukkan ijazahnya.

Logisnya memang karena Bambang Tri menuduh Jokowi tidak punya ijazah SMA yang asli, maka Jokowi seharusnya menunjukkan ijazahnya. Namun ini tidak pernah terjadi di pengadilan. Bambang Tri malah dituntut dengan perkara lain yang tidak ada kaitannya dengan ijazah palsu yang dia tuduhkan ke Jokowi. Inilah yang membuat perkara ini menjadi aneh dan mengundang kecurigaan bahwa Jokowi memang tidak punya ijazah SMA.

Gugatan sejumlah aktivis di pengadilan Jakarta juga menemui jalan buntu. Para penggugat dan pengacara penggugat sangat kecewa karena hakim yang menyidangkan perkara kelihatan tidak netral dan melindungi Jokowi agar lolos dari jerat hukum. Jokowi yang menjadi obyek gugatan tidak pernah hadir dalam persidangan. Jokowi mengutus seseorang untuk mewakilinya namun sama sekali tidak membawa surat kuasa. Jokowi tidak hadir, dan ijazah yang menjadi obyek perkara tidak pernah ditunjukkan.

Para aktivis yang melakukan gugatan memang sadar bahwa usaha mereka akan sangat susah waktu itu karena Jokowi masih sangat kuat. Jokowi masih menjadi presiden. Sudah menjadi pengetahuan umum selama 10 tahun berkuasa secara zalim, Jokowi menekuk hukum sedemikian rupa untuk kepentingan politik sempitnya.

Semua perangkat dan institusi hukum dia kuasai. Kelompok yang mendukungnya—seperti para begundal dan buzzer—kebal hukum meskipun nyata-nyata melanggar hukum. Sementara kelompok yang dianggap lawan politik, tidak punya salah pun dicari-cari salahnya—dan harus salah—meskipun sesungguhnya sama sekali tidak bersalah. UU ITE dijadikan senjata oleh Jokowi untuk menggasak para aktivis dan menjebloskan mereka ke dalam penjara.

Keculasan Jokowi dalam bidang hukum ini sudah menjadi pengetahuan umum. Jokowi sama sekali tidak mempunyai niat—apa lagi visi besar—untuk menjadikan hukum sebagai alat penegakan hukum dan keadilan. Sebaliknya, Jokowi menjadikan hukum sebagai instrumen politik untuk agenda sempit dia yang penuh kezaliman.

Karena kuatnya Jokowi inilah maka perlawanan para aktivis hampir tak punya efek. Jokowi terus melaju dengan kezalimannya mengangkangi hukum. Jangankan kasus ijazah palsu yang langsung menyasar dirinya, kasus-kasus umum lainnya bila menyangkut kepentingan gerombolannya akan langsung dibuat kandas dengan segala rekayasa. Kondisi ini berlangsung sampai dia turun jabatan.

Namun sekian minggu terakhir ini dunia media sosial kembali digemparkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang forensik digital. Dia mampu menelusuri file video dan gambar dan bisa menentukan apakah sebuah video atau gambar sudah diubah atau masih asli. Dia mampu menemukan bahwa ijazah Jokowi 100 persen palsu.

Dia mendapatkan akses ke skripsi S1 Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM. Dia menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi aneh. Halaman ini dicetak menggunakan font Times New Roman. Skripsi Jokowi selesai dibuat tahun 1985, padahal font Times New Roman baru masuk Microsoft Word pada tahun 1992. Ini tentu aneh dan janggal—yang menghasilkan kesimpulan pasti skripsi Jokowi dibuat pada tahun 1992 atau setelahnya.

Tidak cuma itu, pada lembar pengesahan ini dosen pembimbing dan penguji tidak membubuhkan tanda tangan—hal yang tidak mungkin terjadi di UGM. Foto Jokowi di ijazah mengenakan kacamata, padahal UGM mempunyai peraturan melarang calon wisudawan mengenakan kacamata. Alhasil kejanggalan-kejanggalan ini menimbulkan kecurigaan bahwa ijazah S1 Jokowi memang palsu.

Hal-hal aneh dan janggal ini membuat banyak orang mengaitkannya dengan usaha Jokowi membuat Omnibus Law—salah satu produk UU paling zalim yang dibuatnya—yang berusaha menghapuskan pidana terhadap pemalsu ijazah. Jadi, kata banyak orang dengan penuh curiga, usaha Jokowi untuk melindungi dirinya dari jerat pidana ijazah palsu dia antisipasi dengan perubahan UU.

Publik semakin yakin ijazah Jokowi memang palsu karena ahli forensik digital tersebut mendapatkan teror yang tidak ringan. Kaca mobilnya dipecahkan dan ban disayat sampai kempes sehingga mobil tersebut tidak bisa dipakai. Publik sangat yakin bahwa teror pengecut ini ada kaitannya dengan gencarnya si ahli forensik digital dalam mengungkapkan palsunya ijazah Jokowi—meskipun sejauh ini publik belum punya bukti nyata.

Saya dari dulu sama sekali tidak pernah tertarik dengan urusan ijazah palsu Jokowi. Karena tidak saja isu ini tidak bermutu dan memalukan bila ternyata benar, tetapi juga karena beberapa orang alumni UGM di Fakultas Kehutanan mengatakan Jokowi memang pernah terlihat kuliah di sana. Satu orang pengusaha bidang perkayuan mengatakannya secara langsung kepada saya, sementara dua orang lainnya disampaikan lewat sumber yang bisa dipercaya. Karena alasan inilah maka saya berpikir kemungkinan besar Jokowi memang tamat dari Fakultas Kehutanan UGM.

Namun derasnya informasi dalam beberapa pekan terakhir ini, terutama yang berkaitan dengan pengujian foto ijazah Jokowi menggunakan aplikasi tertentu yang hasilnya foto itu ternyata bukan foto Jokowi tetapi foto orang lain, membuat saya berubah pikiran. Karena dari orang-orang yang bersaksi bahwa Jokowi memang sempat kuliah di Fakultas Kehutanan UGM, tidak ada yang secara sepesifik mengetahui dan berani menjamin Jokowi memang tamat kuliah. Pernah kuliah dan wara-wiri di kampus tidak menjamin seseorang pasti tamat dan punya ijazah.

Jokowi seharusnya membuat masalah jadi sederhana untuk menghentikan ribut-ribut tidak bermutu ini. Yaitu tunjukkan ijazah asli dengan mengundang para penuduh dan wartawan. Sesederhana itu. Semakin Jokowi mengelak, apa lagi dengan menyewa pengacara untuk menggertak publik, maka semakin yakinlah masyarakat memang ijazah Jokowi palsu adanya.

Jokowi harus berani menerima rombongan aktivis yang akan bertandang ke rumahnya di Solo dalam waktu dekat. Mumpung hari baik bulan Syawal, Jokowi harus membuka rumahnya untuk kelompok ini, sama seperti dia sangat bangga menerima ratusan bahkan ribuan warga yang mengunjunginya setiap hari. Jokowi tidak perlu takut kalau memang benar. Kenapa harus menolak tamu yang datang baik-baik untuk klarifikasi ijazah.

Hal yang sama juga berlaku untuk UGM. UGM harus menerima rombongan aktivis yang akan mengklarifikasi ijazah Jokowi. Bila ijazah Jokowi memang palsu, UGM harus bertanggung jawab. UGM harus melaporkan dan memproses hukum semua pihak yang terlibat dalam kejahatan pemalsuan ijazah.

Kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Kita adalah bangsa besar yang tidak tunduk pada kejahatan dan kezaliman terorganisir. Apa lagi cuma teror receh. ***

Saturday, April 5, 2025

Demo RUU TNI Marak, Tercium Bau Jokowi di Baliknya

Perspektif KBA New, Sabtu, 5 April 2025

Buni Yani

Kemunculan dan maraknya demonstrasi RUU TNI yang menjurus ke anti Prabowo akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya besar. Karena skala dan intensitas demo-demo ini jauh lebih besar dibandingkan dengan demo-demo anti Jokowi selama 10 tahun penjahat kemanusiaan itu berkuasa. Keanehan ini memunculkan pertanyaan yang mengundang minat penyelidikan lebih jauh oleh berbagai kalangan.

Demonstrasi dan suara kritis terhadap Prabowo menjelang 100 hari dan enam bulan kekuasaannya banyak terjadi yang sebagian besar mengeritik kekeliruannya melindungi Jokowi yang telah ditahbiskan menjadi penjahat kemanusiaan dan salah satu pemimpin terkorup di dunia versi OCCRP. Jokowi harus segera diseret ke meja hijau karena kejahatannya selama 10 tahun berkuasa secara zalim dan biadab.

Tuntutan ini meluas dan dianggap hal lumrah oleh karena warga negara yang selama ini mendapatkan penzaliman dari Jokowi berhak menuntut keadilan. Baik hukum positif negara maupun hukum agama memberikan dasar yang kuat bagi para korban untuk menuntut Jokowi agar dihukum seberat-beratnya—kalau tidak dihukum mati, maka minimal penjara seumur hidup.

Jokowi tidak bisa lari dari dosa-dosanya menzalimi rakyat. Dia akan dikejar sampai mana pun. Bila negara tidak bisa memberikan keadilan, maka rakyat akan mencari keadilan dengan caranya sendiri. Kejahatan tidak boleh dibiarkan lolos dan dianggap hal normal. Karena ini tidak saja merugikan korban, tetapi juga melecehkan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.

Tuntutan besar mengadili Jokowi ini tidak cukup menarik minat sebagian besar kelompok aktivis. Mereka membiarkan Jokowi berbuat semaunya selama 10 tahun. Ketika aktivis-aktivis Islam dan ulama dikriminalisasi, dijebloskan ke dalam penjara, dan enam laskar FPI dibunuh secara brutal, para aktivis ini juga seolah buta dan tuli. Mereka kelihatan sangat alergi dengan apa saja yang berbau Islam.

Mereka menjadi pembela Jokowi, mendukung persekusi terhadap umat Islam, lalu ikut meneriakkan kampanye “NKRI harga mati”—seolah-olah merekalah kelompok paling Pancasila dan paling mencintai tanah air. Mereka membangun logika bahwa Islam bertentangan dengan ide nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.

Namun, ini yang sangat mengejutkan, ketika Prabowo mengesahkan RUU TNI bersama DPR pada Kamis, 20 Maret 2025, kelompok-kelompok pendukung Jokowi ini tiba-tiba muncul dengan penolakan yang tanpa tedeng aling-aling. Penolakan menjalar dengan cepat dan luas dari Sabang sampai Merauke, setidaknya berlangsung di sekitar 70 kota.

Tidak cuma itu, beberapa jam setelah RUU disahkan DPR, pendemo yang mengenakan penutup wajah yang kelihatannya bukan mahasiswa, menyanyikan lagu Internasionale sambil mengepalkan tangan di depan gerbang utama DPR. Dilihat dari postur dan tampang mereka, kemungkinan besar mereka adalah aktivis yang sudah bukan lagi jadi mahasiswa.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa kira-kira kelompok di balik penolakan RUU TNI yang menyanyikan lagu Internasionale dalam demo itu? Lagu ini adalah lagu yang sangat terkenal yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, yang menjadi lagu pemersatu kaum kiri, pendukung ideologi sosialisme, juga pendukung komunisme.

Besarnya demo anti RUU TNI ini membuat hampir semua kasus sebelumnya menjadi tenggelam. Tuntutan agar Jokowi diadili tak terdengar lagi. Kasus pagar laut, kasus korupsi ratusan triliun di berbagai tempat, termasuk korupsi di Pertamina, dilupakan publik. Ini mengingatkan kita akan teknik komunikasi 10 tahun terakhir khas Jokowi, yaitu untuk menenggelamkan suatu kasus yang sangat sensitif, dimunculkanlah kasus yang lebih besar atau setidaknya sama bobotnya.

Kemunculan penolakan RUU TNI yang masih berlangsung sampai saat ini, dengan intensitas dan skala yang begitu besar, adalah anomali bila melihat demo-demo selama 10 tahun Jokowi berkuasa secara zalim. Maka kita cukup yakin ini demo yang berbeda dan digerakkan oleh kelompok yang berbeda dengan demo-demo dalam 10 tahun terakhir ini.

Ketika umat Islam dan kelompok Islam sedang melaksanakan ibadah puasa, menahan diri untuk melakukan hal-hal yang bisa membatalkan ibadah mereka, sebaliknya penolak RUU TNI justru begitu garang menggalang demonstrasi. Dalam demo tidak terlihat FPI, ormas Islam, dan semua organisasi yang selama ini menjadi sasaran penzaliman Jokowi.

Tidak terlihat pada demo-demo RUU TNI kelompok yang selama ini menuntut Jokowi untuk diadili segera. Bahkan kelompok terakhir ini kelihatan terpecah menjadi dua. Kelompok pertama mendukung RUU TNI dengan alasan untuk menandingi UU Kepolisian yang memberikan kekuasaan terlalu besar kepada polisi. Kelompok kedua cenderung tidak setuju pada RUU TNI namun pasif, tidak melakukan demonstrasi.

Situasi demontrasi RUU TNI sekarang ini mirip sekali dengan demo-demo besar menjelang kejatuhan Soeharto pada 1998. Pelaku dan cara-cara yang digunakan juga sangat mirip. Ada kelompok LSM, dosen, mahasiswa, kelompok kiri—tentu minus PDIP karena PDIP sudah termasuk partai yang mendukung RUU TNI. Ada persebaran demo yang cepat, lalu ada pula keberanian bentrok dengan aparat serta pembakaran dan perusakan fasilitas umum—yang hampir tidak terjadi selama 10 tahun Jokowi berkuasa.

Melihat lonjakan “keberanian” ini, yang tentu saja terasa aneh, maka sejumlah kalangan sangat curiga dengan kelompok pelaku dan agenda sesungguhnya di balik demo RUU TNI. Apakah ada kemungkinan demo RUU TNI ditunggangi oleh kelompok yang selama ini dikenal sebagai anti TNI? Melihat fakta sejarah, PKI adalah kelompok yang paling anti terhadap TNI AD pasca gagalnya pemberontakan G30S/PKI yang kemudian disusul dengan pembantaian berdarah terhadap anggota PKI.

Di satu sisi, RUU TNI yang kembali memberikan peran multi fungsi ke TNI memang seolah mengembalikan Indonesia ke masa pra Reformasi, namun di sisi lain bila kelompok pendemo sama sekali tidak curiga bila mereka sedang ditunggangi oleh kelompok lain juga jelas tidak masuk akal. Menganggap berkumandangnya lagu Internasionale di DPR sebagai hal yang tidak penting tidak saja naif tetapi juga menunjukkan gagalnya membaca situasi.

Apakah kita harus menafikan kemungkinan terlibatnya kelompok kiri dalam penolakan RUU TNI ini? Jelas tidak. Kita tidak boleh menafikannya, karena lagu Internasionale adalah fakta keras yang bisa menjadi bukti permulaan, yang bisa mengantarkan kita ke fakta-fakta lainnya.

Para aktivis mencium ada bau Jokowi di balik demo-demo RUU TNI yang demikian besar di seluruh tanah air. Jokowi dan keluarga adalah pihak yang paling diuntungkan dengan ribut-ribut secara nasional. Tuntutan untuk mengadilinya menjadi tenggelam. Bila demo ini mendelegitimasi Prabowo, Jokowi memetik keuntungan sangat besar. Bila Prabowo jatuh, Gibran akan menggantikannya sesuai bunyi UU.

Gibran sedang dipersiapkan oleh Jokowi untuk menjadi presiden pada Pemilu 2029—atau lebih cepat dari itu. Langkah-langkah Gibran yang meng-copy-paste teknik Jokowi dengan blusukan ke daerah banjir dan bagi-bagi makanan—padahal Wapres punya tugas jauh lebih besar daripada itu—harus dibaca sebagai gerakan politik tersembunyi dalam rangka menggergaji Prabowo.

Melihat cengkeraman Jokowi yang masih kuat di kabinet Prabowo, sangat sulit bagi Jokowi untuk tidak menggunakan sumber daya ini untuk kepentingan Gibran—sama seperti ketika dia menjadi penjahat pengubah konstitusi untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres. Jadi memang bau Jokowi sangat menyengat dalam demo RUU TNI ini. ***