Saturday, January 25, 2025

Oligarki Global, Kapitalisme Gombal, dan Jeritan Palsu Kaum Demokrat

Perspektif KBA News, Sabtu, 25 Januari 2025

Buni Yani

Lawakan ketoprak kalah lucu oleh lelucon para politisi partai Demokrat Amerika Serikat. Presiden Joe Biden, dalam pidato perpisahannya meninggalkan Gedung Putih yang digantikan oleh presiden terpilih Donald Trump, mengecam semakin berkuasanya para oligark di negeri Paman Sam.

Biden lupa atau pura-pura tidak tahu atau malah sama sekali tidak punya wawasan bahwa lahirnya oligarki atau penumpukan modal dan kekuasaan adalah konsekuensi logis dari kapitalisme, dan kapitalisme adalah ibu kandung dari demokrasi. Jadi Biden menangisi sesuatu yang tidak perlu ditangisi. Komplain Biden ibarat memprotes cabe yang rasanya pedas. Tidak perlu dan bikin geli.

Dengan nada penuh kekhawatiran Biden memberikan peringatan akan besarnya bahaya oligarki di Amerika yang tidak hanya cukup menguasai ekonomi tetapi juga telah merambah bidang politik. “Saat ini oligarki sedang terbentuk di Amerika dengan kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh ekstrem yang benar-benar mengancam seluruh demokrasi kita, hak-hak dasar dan kebebasan kita,” kata Biden pada pidato terakhirnya beberapa hari sebelum meninggalkan Gedung Putih.

Namun Biden setidaknya dalam hati kecil mengakui bahwa partainya, yaitu partai Demokrat yang dikenal sebagai pengusung liberalisme tanpa batas serta kapitalisme murni, mengatakan oligarki yang sedang tumbuh di Amerika sekarang adalah buah hasil dari pekerjaan mereka-mereka juga. Kata Biden, oligarki sekarang adalah dampak “dari semua yang telah kita lakukan bersama”. Benih oligarki sudah ditanam, dan akan tumbuh serta berkembang dalam beberapa dekade mendatang, tambah Biden.

Tidak cuma itu, Biden juga mengkhawatirkan kompleks industri teknologi yang sangat kaya dengan topangan kapital super besar dapat memiliki kekuasaan yang tidak terkendali atas warga Amerika. Bisa jadi yang disindir kali ini oleh Biden adalah orang-orang terkaya di dunia seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg yang merapat ke Presiden Trump.

Sebagai orang terkaya di dunia dengan kekayaan sekitar 427,5 miliar dolar AS, Elon Musk dikabarkan menempati posisi penting dalam pemerintahan Trump dan berkantor di Gedung Putih. Kabar ini santer terdengar dan ditulis oleh media Amerika meskipun sampai sekarang posisi apa yang dijabat Elon belumlah jelas. Jumlah kenaikan kekayaan Elon cukup besar setelah Trump menang. Sebelumnya jumlah kekayaannya berkisar di angka 300 miliar dolar.

Elon tidak hanya akan berpengaruh di dalam negeri Amerika tetapi dia juga disebut-sebut akan memiliki pengaruh pada politik Eropa. Peran baru Elon dalam politik Amerika tidaklah mengejutkan karena dia membentuk organisasi bernama The America PAC (Political Action Committee) yang membiayai kampanye Trump dalam pilpres baru lalu. Organisasi ini melibatkan para pebisnis bidang teknologi yang kemudian mengumpulkan 277 juta dolar untuk kampanye Trump.

Hubungan Elon dan Trump sudah berlangsung lama. Hubungan ini mungkin juga disebabkan oleh karena mereka berasal dari almamater yang sama yaitu Sekolah Bisnis Wharton, Universitas Pennsylvania. Elon alumni tahun 1997, sementara Trump alumni tahun 1968 – jaraknya terpisah 29 tahun – dan kini mereka sama-sama menjadi pengusaha sukses Amerika.

Elon Musk dikabarkan bukanlah satu-satunya pengusaha yang akan diberikan jabatan oleh Trump dalam pemerintahannya, namun juga terdapat nama-nama pengusaha besar lainnya. Jika digabungkan kekayaan para pengusaha itu maka total aset mereka mencapai 383 miliar dolar AS – jumlah yang lebih besar daripada PDB 172 negara. Angka ini adalah taksiran sebelum kekayaan Elon meningkat tajam setelah kemenangan Trump. Sekarang tentu jumlah kekayaan para pebisnis itu sudah pasti meningkat pesat.

Tidak cuma Presiden Joe Biden dari partai Demokrat yang mengeritik semakin berkuasanya oligarki di Amerika. Bulan Desember 2024 lalu politisi Demokrat Bernie Sanders membuat pidato yang menjadi perbincangan publik Amerika yang berisi keprihatinan yang sama dengan Biden. Pidato Biden bagi sebagian kalangan di Amerika dianggap sebagai satu rangkaian dengan pidato Sanders.

Pidato Sanders, seorang politisi berdarah Yahudi, adalah pidato terakhirnya sebelum mengakhiri masa jabatan di senat Amerika. Sanders berbicara kepada konstituen yang memilihnya dan menjadi bentuk pertanggungjawaban ke publik.

Bernie Sanders memberikan peringatan kepada Amerika yang “dengan cepat” menjadi negara oligarki yang dipimpin oleh para triliuner untuk memperkaya diri mereka sendiri. “Kita sedang bergerak cepat menuju bentuk masyarakat oligarki,” kata Sanders.

Sanders mengeluhkan “masyarakat oligarki” yang muncul sekarang tidak pernah terjadi dalam sejarah Amerika sebelumnya. Dia mengatakan kini di Amerika ada begitu sedikit orang super kaya yang kekayaannya begitu fantastis. Tidak cuma itu, orang-orang kaya ini juga sekarang memiliki kekuasaan baik secara langsung atau tidak yang mengendalikan politik.

“Belum pernah terjadi begitu banyak konsentrasi kepemilikan, sektor demi sektor, kekuatan Wall Street,” kata Sanders. “Orang-orang di atas memiliki kekuatan politik sebesar itu. Kita tidak bisa keliling dunia dan berkata, ‘Oh, tahukah Anda, di Rusia Putin punya oligarki.’ Nah, oligarki juga ada di sini,” kata Sanders.

Bagi Sanders, yang tampak dalam kutipan pidatonya itu, bahwa sekarang Amerika tidak lebih baik daripada Rusia di bawah Putin yang telah berkembang menjadi negeri oligarki yang dalam. Yang menggabungkan kekuasaan ekonomi dan politik menjadi satu di tangan segelintir elit – elit yang sangat dekat dengan Putin, dan harus mendukung kekuasaan Putin tanpa syarat.

Sanders mengecam pengaruh orang-orang kaya pada pemilu lalu dengan mengatakan bahwa “miliarder menghabiskan banyak uang untuk memilih kandidat mereka”. Lanjutnya, “Pada tahun 2024, hanya 150 keluarga miliarder yang menghabiskan hampir 2 miliar dolar untuk membeli kandidat.”

Keprihatinan Biden dan Sanders dirasakan oleh banyak warga dan simpatisan Demokrat. Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Amerika telah terperosok menjadi negara dengan kesenjangan yang sangat besar. Sedikit orang menguasai sumber daya yang sangat besar, sementara di banyak tempat banyak warga tidak punya asuransi kesehatan serta untuk bisa makan terpaksa harus menunggu kupon jatah ransum dari pemerintah.

Gerakan melawan kesenjangan yang meminggirkan mayoritas warga ini sudah lama muncul. Pada tahun 2011, misalnya, muncul gerakan bernama “Occupy Wall Street” selama hampir dua bulan di Kota New York yang dilakukan oleh kelompok kiri. Namun setiap kali ada gerakan atau opini yang berpihak pada orang miskin maka para pembela kapitalisme dan demokrasi liberal akan memberikan label kepada mereka sebagai “kaum sosialis”.

Kaum yang menamakan diri kelompok 99% ini – nama yang diambil dari mayoritas orang miskin dan menderita, yang dikontraskan dengan kaum 1% kelompok super kaya – mengecam dengan keras lebarnya jurang kaya-miskin yang terjadi di Amerika. Ketidakadilan ini bersifat struktural akibat kebijakan yang dibuat oleh negara. Sementara kelompok super kaya 1% semakin kaya, di pihak lain kelompok 99% kaum miskin semakin miskin dari hari ke hari.

Patut disayangkan, karena kaum kiri yang menginisiasi gerakan “Occupy Wall Street” itu tidak langsung membongkar dan menyerang sumber kesenjangan, maka gerakan mereka seperti tak berbekas. Terkesan aktivisme mereka hanya untuk mendapatkan liputan media tanpa mengubah secara mendasar bangunan yang memunculkan kesenjangan. Yang lebih ironis, setelah dua bulan berdemonstrasi dengan nama yang gagah, “Duduki Wall Street”, sebuah nama yang menjadi simbol pusat finansial dan kapitalisme global, gerakan itu hilang secara perlahan.

Mestinya mereka tidak hanya menyerang kapitalisme tetapi juga mengusulkan dibubarkannya demokrasi yang menjadi anak kandung kapitalisme. Anak kandung ini dalam perjalanannya memperkuat posisi kapitalisme melalui kebijakan yang berpihak ke kaum 1%. Bahkan tidak jarang anak kandung ini jauh lebih digdaya dan berkuasa daripada induknya.

Tapi itu tidak terjadi. Para aktivis memandang demokrasi merupakan entitas yang terpisah dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kapitalisme. Fokus mereka menyerang sistem ekonomi dan sama sekali tidak menyerang sistem politik yang memperkuat kedudukan sistem ekonomi yang melahirkan kesenjangan yang lebar.

Para aktivis yang mulai sadar bahwa kapitalisme ternyata cuma ideologi gombal yang melahirkan ketidakadilan ekonomi, paling tidak mereka turun ke jalan untuk mengubah keadaan dan memantik kesadaran publik dengan retorika ketidakadilan dan yel-yel yang heroik. Mereka jauh lebih nyata tindakannya daripada politisi Demokrat yang hanya bisa omon-omon dan omon-omon mereka pun sangat palsu dan dangkal.

Jangan-jangan kaum Demokrat cuma iri saja ke partai Republik yang kini penuh diisi pengusaha-pengusaha super kaya seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg. Mungkin lain cerita bila para pengusaha kaya itu mendukung partai mereka. Dugaan ini sangat kuat muncul bila kita memperhatikan secara seksama isi kritik mereka ke oligarki.

Tidak ada hujan tidak ada angin, kok tiba-tiba komplain dengan munculnya oligarki. Seperti orang yang komplain bahwa cabe itu pedas. Pretlah! ***

Saturday, January 18, 2025

Ambiguitas Penulis Sejarah Romawi Kuno Flavius Yosefus

Perspektif KBA News, Sabtu, 18 Januari 2025

Buni Yani

Nihil novi sub sole (tidak ada yang baru di bawah matahari), demikian ungkapan mashur dalam Bahasa Latin yang ternyata diambil dari kitab Eklesiastes 1: 9. Ungkapan lain di dalam Bahasa Prancis yang tidak kalah terkenal adalah l'histoire se répète (sejarah berulang).

Dua ungkapan ini menyiratkan bahwa perjalanan sejarah umat manusia di muka bumi dari zaman ke zaman tidak jauh berbeda. Aktor boleh berganti tetapi cerita besar atau plotnya tetap sama, atau setidaknya punya kemiripan.

Cerita 2000 tahun lalu kini masih bisa disaksikan di sekitar kita dengan plot minor yang sedikit berubah di sana-sini tetapi moral ceritanya tetap sama. Bahwa di sepanjang sejarah, karakter dan tipe manusia di segala bangsa kurang-lebih sama. Ada pahlawan, ada pengkhianat. Ada orang yang kuat iman, ada yang gampang silau oleh imbalan materi.

Itu yang terjadi dengan penulis sejarah Flavius Yosefus, seorang Yahudi yang dulunya menentang kekuasaan Romawi, namun kemudian menjadi pendukung kekaisaran Romawi, pemuja kaisar, lalu menulis sejarah untuk kepentingan kekuasaan. Di zaman modern ini karya Yosefus menjadi teks sejarah rujukan berbagai hal yang terjadi pada zaman kekaisaran Romawi kuno dengan segala kontroversinya.

Yosefus menulis berbagai macam topik kejadian sejarah pada awal-awal tahun Masehi. Ini membuat karyanya jadi referensi untuk mengetahui perkembangan agama Kristen di awal-awal berdirinya, bagaimana agama Yahudi yang dianggap induk dari agama Kristen merespons berdirinya agama Kristen, dan hal-hal lain yang luput dari catatan sejarah pada waktu itu.

Yosefus adalah penulis sejarah resmi kekaisaran Romawi. Sebagai penulis sejarah resmi rezim waktu itu, kaisar memberikan imbalan dan jaminan kehidupan yang layak sehingga Yosefus bisa konsentrasi menekuni pekerjaannya. Hal ini menjadikan karya Yosefus bisa bias, sangat muskil untuk menulis hal-hal yang berkenaan dengan kekaisaran Romawi secara kritis.

Apa yang terjadi dengan Yosefus bukanlah hal baru bagi kita di tanah air. Dokumen-dokumen dan naskah kuno dalam bentuk lontar dan prasasti kuno yang ditulis oleh pujangga istana cenderung memberikan pujian secara berlebihan kepada raja yang dilayani. Penulis sejarah macam begini tidak jauh beda dengan para buzzer di masa kini.

Misalnya, ketika terjadi peperangan, untuk menunjukkan kebesaran dan kemegahan sang raja yang dilayani, maka si pujangga akan melipatgandakan jumlah bala tentara kerajaan dalam tulisannya. Sementara musuh kerajaan digambarkan kecil dan tidak sebanding. Namun para sejarawan dan arkeolog yang kritis akan mengecek informasi yang tersaji, apakah mungkin jumlah bala tentara yang akan berperang jumlahnya puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu seperti tertulis, misalnya.

Pujangga istana bisa jadi tidak bermaksud menjadi buzzer yang tugasnya memuja-muji raja dan melebih-lebihkan fakta sejarah. Dia hanya tidak sengaja dan tidak sadar melakukannya karena sudah kadung mencintai dan mengagumi raja yang dilayaninya. Dia sudah terkooptasi secara mental. Atau dalam bahasa Antonio Gramsci, si pujangga adalah korban “hegemoni” yang wilayahnya bukan lagi hard power tetapi soft power.

Si pujangga telah tertundukkan secara intelektual. Bahkan cara berpikirnya saja sudah mengikuti cara berpikir sang raja.

Hal yang sama terjadi dengan Flavius Yosefus dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Dia dengan sadar dan sengaja pindah dari kubu Yahudi ke kubu Romawi karena alasan kekuasaan, keselamatan dan imbalan materi duniawi lainnya. Yosefus mendapatkan imbalan dan fasilitas dari kaisar Flavius Vespasianus. Dia mendapatkan bekas rumah kaisar, tanah yang telah ditaklukkan di Yudea, dan uang pensiun.

Orang dengan gampang mengaitkan perpindahan “ideologi” dari melawan Romawi menjadi pendukung Romawi ini dengan banyaknya imbalan yang didapatkan oleh Yosefus. Tidak cuma itu, Yosefus pun mendapatkan posisi terhormat di sekitar kaisar. Secara sosial dan budaya, Yosefus menduduki strata elit dalam struktur sosial Romawi kuno. Siapa yang tidak tergiur!

Terlahir sebagai seorang Yahudi, nama Ibrani Yosefus adalah Yosef ben Mattityahu – atau Yusuf bin Matias. Yosefus adalah pemimpin militer Yahudi yang melawan kekuasaan Romawi di provinsi Yudea.

Lahir di Yerusalem, ayah Yosefus adalah seorang pendeta Yahudi. Sebagai seorang jenderal, Yosefus memimpin perang melawan tentara Romawi di Galilea pada tahun 67 Masehi. Namun setelah pengepungan selama enam pekan, akhirnya Yosefus dan tentaranya menyerah kalah ke tentara Romawi di bawah komando Flavius Vespasianus.

Vespasianus kemudian menjadikan Yosefus budak dan diberikan tugas yang berguna untuk kekaisaran Romawi. Yosefus dicatat sejarah sebagai seorang penerjemah kekaisaran Romawi dan lambat laun menjadi penulis sejarah. Ketika Vespasianus menjadi kaisar Romawi pada tahun 69 Masehi, Yosefus diberikan kebebasan, tidak lagi menjadi budak.

Namun Yosefus bukannya senang mendapatkan predikat barunya menjadi orang bebas lalu kembali ke Yerusalem, dia malah tetap menjadi pelayan kaisar. Setelah mendapatkan kewarganegaraan Romawi, Yosefus kemudian mengambil nama keluarga kaisar sebagai namanya sendiri sehingga dia dikenal sebagai Flavius Yosefus.

Sampai di sini dengan jelas terlihat bahwa proses perubahan identitas Yosefus dari musuh Romawi menjadi pelayan kaisar tidaklah dilakukan dengan kekerasan, namun dilakukan secara sukarela dan sadar oleh Yosefus sendiri.

Yosefus kini jadi ordal kekaisaran Romawi. Di samping menjadi teman dekat anak kaisar Vespasianus bernama Titus, dia juga berperan sebagai penasihat dan penerjemahnya dalam perang dan pengepungan Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 Masehi. Yosefus memberikan informasi-informasi intelijen penting bagi Titus yang kemudian mampu menundukkan kota Yerusalem.

Perang ini dicatat dalam sejarah sebagai perang brutal yang menghancurkan kota dan Bait Suci Kedua kaum Yahudi. Serdadu Romawi membantai ribuan kaum Yahudi setelah benteng Yodfat jatuh. Yang lolos dari pembantaian kemudian banyak yang melakukan bunuh diri. Perang Yerusalem yang memakan begitu banyak korban, terutama hancurnya kuil Yahudi, Bait Suci Kedua, adalah kiamat kecil bagi keberlangsungan ras dan budaya Yahudi.

Atas pengalaman langsung dalam perang ini, Yosefus kemudian menulis buku sejarah terkenal berjudul Perang Yahudi yang ditulis sekitar tahun 75 Masehi. Buku ini menceritakan tentang “pemberontakan” kaum Yahudi terhadap kekaisaran Romawi. Pemberontakan! Jadi Yosefus memframing perlawanan bangsanya, bangsa Yahudi, sebagai pemberontakan. Sebuah sikap yang dianggap pengkhianatan oleh orang-orang Yahudi yang berusaha lepas dari kekuasaan Romawi.

Di samping menulis Perang Yahudi, Yosefus juga menulis buku Sejarah Kuno Orang Yahudi (Antiquities of the Jews) sekitar tahun 94 Masehi. Bila buku Perang Yahudi melihat kejadian dari sudut pandang Romawi, maka buku kedua ini melihat persoalan dari sudut pandang Yahudi. Diperkirakan buku kedua ini ditulis untuk pembaca berkebangsaan Yunani dan Romawi.

Melihat kisah hidup Flavius Yosefus sekitar 2000 tahun kemudian, mungkin kita akan bertanya seperti banyak orang sebelumnya: apakah layak karya-karyanya dijadikan rujukan bila pribadi Yosefus penuh masalah, yang bahkan dianggap pengkhianat oleh bangsanya sendiri? Apakah kita bisa mempercayai catatan seseorang yang kredibilitasnya bermasalah?

Dalam Islam, persoalan seperti ini sangat jelas acuannya. Yaitu seseorang yang bisa dipercayai ceritanya dalam menyampaikan Hadits (cerita) adalah orang yang mempunyai kriteria tersendiri yaitu: adil, tidak melakukan dosa besar atau kecil, dan terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadiannya.

Seorang perokok tidak bisa jadi perawi (penyampai) Hadits karena merokok hukumnya makruh dan tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagaimana kalau dia dicap pengkhianat oleh bangsanya sendiri karena membelot ke kubu musuh? Pertanyaan ini harus diajukan untuk mempertajam pemahaman kita bahwa kredibilitas itu sangatlah penting terutama dalam hal penyampaian informasi yang benar.

Apakah penilaian Yosefus bahwa bangsanya, yaitu kaum Yahudi, “memberontak” melawan bangsa Romawi yang menguasai mereka bisa dipercaya? Apakah penilaian ini tidak terlepas dari posisi Yosefus yang sudah mendukung kaisar Romawi? Atau jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bangsa Yahudi memberontak karena mendapatkan ketidakadilan dari penjajah Romawi? Misalnya karena pajak yang tinggi dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya? Dan mengapa pula Yosefus memimpin pemberontakan sebelum membelot menudukung Romawi kalau tidak ada penyebabnya?

Sejarawan modern kini menjadikan karya Yosefus yang bermasalah ini sebagai acuan untuk memahami kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya pada masa-masa awal Kekristenan berdiri tanpa melihat komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penilaian Yosefus dalam tulisannya. Para sarjana ini seolah lupa bahwa seorang sarjana boleh salah tetapi tidak pernah boleh berbohong.

Orang seperti Flavius Yosefus banyak hidup di antara kita kini. Melihat mereka, kita seperti menonton film lama diputar kembali. Déjà vu. ***

Saturday, January 11, 2025

Microculture Konoha: Wanita yang Memasang Bulu Mata di atas Kereta Api

Perspektif KBA News, Sabtu, 11 Januari 2025

Buni Yani

Sebagai pengguna alat transportasi umum, saya, dan juga mungkin banyak orang, sering menemukan pemandangan yang unik dan aneh di atas bus, angkot atau kereta api. Pemandangan yang seharusnya tidak ditemukan dan tidak terjadi di tempat umum, karena hal ini seharusnya terjadi di tempat pribadi yang orang lain tidak perlu tahu.

Betul, orang lain sangat tidak perlu tahu dan tidak perlu melihatnya. Kalaupun orang lain dipaksa menyaksikannya karena berlangsung di tempat umum, maka orang menjadi kikuk dan ada yang bahkan sampai salah tingkah. Bukan pelakunya yang salah tingkah, tetapi orang yang menyaksikan.

Orang yang menyaksikan tidak bisa menegur karena pelaku tidak melanggar aturan mana pun. Ini soal layak dan tidak layak saja, sebuah pemahaman etiket di tempat umum sehingga khalayak nyaman berada di sana. Tempat umum adalah milik kita bersama, tempat kita melakukan kegiatan yang perlu dijaga kelayakan dan kenyamanannya.

Tetapi sebelum sampai soal ini, terlebih dahulu saya akan menceritakan tentang kasus yang jelas langsung bisa diberi teguran.

Suatu hari yang belum terlalu lama, saya naik kereta api jurusan Bogor-Kota untuk melakukan kegiatan. Di depan saya berdiri adalah tempat duduk khusus untuk penumpang prioritas ibu hamil, penyandang disabilitas dan orang sepuh. Di sana duduk mulai dari kiri, seorang nenek yang sudah lumayan berumur, lalu dua anak kecil, dan terakhir paling kanan seorang ibu yang tidak terlalu tua.

Ibu yang lumayan muda berdiri di samping saya kelihatannya ibu dari dua anak kecil itu. Sementara ibu yang duduk di paling kiri mungkin neneknya. Untuk menenangkan dua anak kecil yang masih sangat aktif itu, si ibu menyetelkan video kartun di hp yang suaranya sangat kencang. Hp dia sandarkan berdiri secara horizontal di jendela kereta api sehingga dua anak itu bisa leluasa menonton. Orang-orang di sekitar mau tak mau mendengar suara kencang dari hp.

Tetapi, penumpang di sekitar, termasuk saya, berusaha memahami pemandangan ini. Meskipun suara film kartun dari hp amat mengganggu, tidak ada yang berusaha menegur keluarga ini. Kadang kita memang harus memasang empati lebih dan berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Mungkin tanpa film kartun di hp, kedua anak kecil akan susah dikendalikan akibat tidak punya perhatian atau konsentrasi. Tentu para orang tua paham masalah ini sehingga memiliki empati berlebih.

Setelah sekian lama dua anak aktif itu tidak bisa diam sambil menonton kartun, salah seorang di antara mereka, yang tubuhnya lebih besar, tiba-tiba merengek minta buang air kecil. Si nenek dengan enteng mengeluarkan botol minuman yang sudah kosong dari dalam tas dan minta si kecil untuk jongkok kencing di depan dia. Saya spontan langsung bilang ke si nenek dan si ibu bahwa sebaiknya mereka turun dan mencari kamar kencil. Tidak boleh pipis di atas kereta api.

Seandainya saya tidak menegur keluarga ini, si anak kecil pasti sudah kencing. Tentu ini pemandangan yang sangat tidak mengenakkan, hal yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tidak punya pemahaman mengenai kenyamanan bersama. Saya katakan ke si nenek yang tidak terima saya tegur bahwa “ibu harus menghormati penumpang lain, harus menjaga tempat umum karena kereta api adalah milik kita bersama”.

Pelan-pelan muka si nenek mulai berubah dan terdiam. Dia tidak lagi mencoba membantah teguran saya.

Saya merasa harus menegur saudara kita ini paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena alasan tadi yaitu tempat umum harus dijaga bersama. Ya kalau air kencing semuanya masuk botol, bagaimana kalau tumpah ke atas lantai kereta api? Pasti akan membuat bau pesing yang menimbulkan ketidaknyamanan. Belum lagi bila air kencing yang mengandung najis tersenggol oleh penumpang lain, maka sudah pasti pakaian mereka tidak bisa dipakai shalat.

Kedua, penumpang seharusnya tidak melihat, maaf, kemaluan di tempat umum meskipun itu kemaluan anak kecil. Untuk hal ini, kita harus menjaga adab dan sopan santun bersama di tempat umum. Pelaku seharusnya paham etika dasar hidup bermasyarakat, tidak bisa berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan kenyamanan orang lain.

Paling tidak saya sudah memberikan nasihat dan mencegah sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Pemandangan seperti ini atau kurang lebih sama merupakan pemandangan sehari-hari di daerah Jabodetabek bila kita berada di tempat umum. Pemandangan yang hampir tidak ada orang yang mempedulikannya. Orang tidak peduli karena malas ribut atau ya sudahlah biarin saja asal tidak mengganggu hidup gue. Sebuah prinsip apatis, menyerah dan oportunis. Yang penting tidak merugikan diri saya! Begitulah kira-kira.

Di tempat umum kita akan sering bertemu orang yang menelepon dengan suara kencang, menyerobot antrean, membuang sampah sembarangan, meludah sembarangan, menaruh tas atau barang lainnya di atas bangku umum yang merupakan hak orang lain, dan hal-hal yang merugikan atau setidaknya mengganggu.

Bila hal-hal ini terjadi, kita bisa langsung tegur kalau kita cukup berani dan peduli mengenai tempat umum dan hak-hak orang lain. Namun ada juga pemandangan yang susah untuk kita intervensi dan komentari karena sama-sekali tidak mengganggu orang lain. Hanya tidak layak saja karena itu merupakan wilayah pribadi yang dipertontonkan di tempat umum.

Hal yang terakhir ini di antaranya adalah bila kita melihat seseorang yang berdandan berlebihan di tempat umum yang membuat orang yang berada di tempat itu jadi salah tingkah, pasangan yang memamerkan kemesraan di tempat umum tanpa sedikit pun mempedulikan orang sekitar, dan orang yang memperhatikan seseorang terus-menerus yang membuat orang yang diperhatikan tidak nyaman dan terganggu.

Hal-hal terakhir ini tentu saja sangat susah bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu orang lain karena memang tidak secara langsung punya akibat atau dampak nyata. Namun di sinilah soalnya. Karena persoalan etika bukanlah persoalan sesuatu yang berdampak secara sosial langsung, namun lebih merupakan soal patut dan tidak patutnya sesuatu dilakukan, yang menunjukkan suatu masyarakat mempunyai budaya dan peradaban yang tinggi atau tidak.

Suatu hari, juga di atas kereta api, tepat di hadapan saya, seorang wanita berumur 30-an tahun tanpa memperhatikan orang di sekelilingnya asyik memasang bulu mata dengan cermin kecil di tangan kiri dan bulu mata di tangan kanan. Sehabis memasang bulu mata, dia mengambil bedak, gincu, dan alat-alat kecantikan lainnya. Dia berdandan seolah berada di kamar pribadi.

Mari kita berbaik sangka atas apa yang saya saksikan. Mungkin dia seorang karyawan sebuah perusahaan yang diwajibkan tampil dengan make-up penuh karena harus bertemu dengan pelanggan. Dan mungkin juga, hari itu, dia bangun terlambat sehingga harus bergegas ke stasiun kereta api dan tidak sempat berdandan di rumah.

Orang di atas gerbong kereta api hanya bisa menebak atas pemandangan yang mereka saksikan. Namun karena pemandangan yang kurang lebih sama hampir bisa kita temukan setiap saat, maka sangat susah juga kita katakan ini sebagai kejadian random yang tidak memiliki dasar sosial-budaya.

Karena kejadian sejenis sering kita temukan, kita bisa katakan bahwa rata-rata pelakunya, atau bisa juga “kita” sebagai anggota masyarakat, memang tidak paham mana yang patut kita pertontonkan di tempat umum dan mana yang tidak.

Seorang ahli etika dan pengembangan kepribadian yang sangat terkenal di kalangan sosialita pada tahun 1990-an mengatakan bahwa seorang wanita sebaiknya tidak berdandan di tempat umum karena bisa mengganggu dan menjadi tontonan orang di sekitarnya. Memoles dan memantaskan diri agar tampil layak adalah dapur kita sendiri yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Atas dasar prinsip inilah maka bila ada orang yang mempertontonkan rahasia dapurnya maka akan kelihatan aneh, mengganggu, dan jadi tontonan.

Karena seringnya kejadian seperti ini bisa kita temukan, kita bisa katakan ini bukanlah kejadian yang bersifat insidental. Namun ini adalah cerminan sosial kita yang merupakan refleksi dari isi pikiran bawah sadar kita. Dengan kata lain, ini adalah wajah budaya dan peradaban kita sebagai bangsa yang tercermin dalam perilaku dan praktik budaya sehari-hari.

Praktik memasang bulu mata di tempat umum adalah microculture yang merupakan serpihan kecil dari macroculture kita sebagai bangsa. Budaya dan tindakan sosial dimulai dari hal-hal kecil yang kemudian membentuk kebiasaan besar suatu masyarakat dan bangsa. Bila sebuah bangsa memiliki “budaya kecil” yang baik, kemungkinan besar “budaya besar”-nya juga akan baik. Atau bisa juga sebaliknya. Bila sebuah bangsa mempunyai “budaya besar” yang baik, kemungkinan “budaya kecil”-nya juga akan terimbas menjadi baik.

“Budaya kecil” kita mengenai etika di tempat umum mengkonfirmasi bahwa kita tidak mempunyai budaya dan keadaban publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. Bagaimana “budaya kecil” bisa tumbuh dan dijiwai oleh masyarakat bila “budaya besar” dalam bentuk hukum yang punya sanksi sudah lama dimatikan oleh para pejabat untuk menghindari hukuman?

Bila hukum dilanggar dan dianggap tidak penting, maka etika otomatis juga mengikuti. Itu sebabnya budaya mundur dari jabatan tidak akan pernah terjadi di negeri ini. Budaya mundur itu wilayahnya etika, lebih tinggi dari hukum bila dilihat dari kaca mata moral. Tidak mungkin orang akan punya moral bila hukum saja tidak dia hormati dan taati.

Dosen melakukan plagiasi dianggap wajar, bahkan kelak dia bisa memegang jabatan di kampusnya, atau mungkin bisa juga menjadi pejabat publik setingkat menteri. Kenyataan ini sungguh menyayat hati karena kampus yang seharusnya menjadi penjaga moral dengan standar tinggi kini memasukkan diri ke dalam lumpur kehinaan.

Belum lagi kasus ijazah palsu bahkan yang dilakukan oleh pejabat dengan posisi paling tinggi yang belum ada titik terangnya hingga kini. Bagaimana mungkin seorang pejabat tertinggi bisa memalsukan ijazah untuk jabatan publik? Bila ijazah sebagai tanda paling dasar kejujuran tanda pernah sekolah dipalsukan, apa lagi hal-hal lain?

Kelak, bila hal-hal besar menyangkut hukum menjadi budaya yang dihormati lalu etika menjadi standar pergaulan sehari-hari, mungkin adegan orang memasang bulu mata di tempat umum tidak lagi kita temukan mengganggu pemandangan. Tidak akan kita temukan lagi orang menyerobot antrean, mengambil hak duduk orang lain, dan berbicara keras di tempat umum.

Budaya bersama di tempat umum adalah cerminan kita sebagai bangsa. Tidak mungkin pejabatnya jadi penjahat dan melanggar hukum tetapi rakyatnya baik dan taat hukum semua. Tidak mungkin. Apa lagi di masyarakat yang patriarkis yang cenderung meniru tindak-tanduk orang yang punya jabatan. Rakyat banyak cenderung meniru apa yang dilakukan oleh para pejabat yang dijadikan panutan dan standar moral.

Microculture mempengaruhi macroculture, begitu juga sebaliknya. Selalu ada dinamika saling mempengaruhi antara tatanan kecil dan tatanan besar. ***


Saturday, January 4, 2025

Disekuilibrium di Zaman Kapitalisme Lanjut dan Disrupsi Teknologi

Perspektif KBA News, Sabtu, 4 Januari 2025

Buni Yani

Tatanan dunia dalam semua bidang kini berubah total. Pemahaman atasnya porak poranda sehingga memerlukan konsep baru yang lebih canggih yang bisa menjelaskan fenomena ini. Inilah gejala yang sama sekali baru dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya karena berubahnya arsitektur ekonomi dan teknologi yang berpengaruh pada tatanan politik, filsafat dan budaya.

Terjadi disekuilibrium atau ketidakseimbangan dalam banyak bidang. Dalam bidang ekonomi, terjadi kesenjangan antara jumlah lulusan universitas dengan ketersediaan lapangan kerja. Tidak cuma itu. Setelah bekerja, para lulusan ini mendapatkan gaji yang sangat kecil padahal biaya yang dikeluarkan untuk kuliah jumlahnya besar.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara-negara ekonomi maju. Di Amerika, sudah lama terjadi lulusan dengan gelar MBA tidak mendapatkan pekerjaan. Sedangkan penyandang gelar PhD terpaksa menganggur karena gelarnya terlalu tinggi untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis dan klerikal, sementara lowongan untuk menjadi peneliti dan dosen di universitas tidak tersedia.

Dalam bidang sosial, terjadi perubahan pola interaksi di dalam masyarakat dan keluarga. Meluasnya telepon pintar yang bisa melakukan banyak hal mulai dari menonton siaran langsung berita internasional, menelepon lewat jaringan internet ke seluruh dunia, dan interaksi tanpa batas di media sosial membuat ruang dan waktu tidak lagi relevan.

Siaran radio dan televisi internasional kini tidak hanya bisa diakses melalui website stasiun radio dan televisi bersangkutan, tetapi juga banyak di antaranya yang sudah melakukan siaran lewat platform video sharing Youtube. Penonton sangat dimudahkan mencari stasiun televisi karena tersedia dalam satu platfrom digital. Banyak di antara televisi-televisi internasional melakukan siaran langsung real time di Youtube.

Dampak dari perkembangan ini sangatlah besar secara sosial dan politik. Ketika perang Ukraina mulai berkecamuk, yang disebut Presiden Putin sebagai “operasi khusus” untuk “melindungi rakyat” Rusia, perang komunikasi dan propaganda antara Rusia dan sekutu (Cina, Iran, Korut) melawan Ukraina dan sekutu (AS, NATO) membanjiri hampir semua platform internet termasuk Youtube. Karena terjadi kondisi komunikasi yang asimetris akibat penguasaan Barat terhadap infrastruktur komunikasi, maka Rusia mulai mencari cara untuk bisa menembus kebuntuan propagandanya.

Rusia lewat jaringan televisi internasionalnya, Rusia Today (RT), melakukan siaran langsung 24 jam lewat Youtube untuk melengkapi siaran di website miliknya. Siaran Bahasa Inggris RT banyak ditonton oleh komunitas internasional dan mampu mengimbangi propaganda Barat. RT membantah dan memberikan perspektif berbeda mengenai perang di Ukraina yang dikecam Barat sebagai kebohongan Rusia.

Barat tidak bisa lagi membendung arus informasi tandingan dari Rusia yang semakin banyak dikonsumsi oleh komunitas internasional. RT memberikan perspektif berbeda mengenai perang yang sedang terjadi. RT menyiarkan dokumenter mengenai sejarah Ukraina dalam kaitannya dengan imperium Rusia di masa lampau, masuknya Barat dan provokasinya ke Ukraina, dan informasi-infromasi meyakinkan lainnya yang membuat Barat gerah.

Selain dalam bidang penyiaran, perkembangan besar juga terjadi dalam komunikasi antarpribadi. Kini masyarakat bisa menelepon menggunakan aplikasi Whatsapp, Telegram atau bahkan Facebook untuk berkomunikasi dengan kawan atau keluarga di mana saja di seluruh dunia yang punya jaringan internet. Tidak diperlukan lagi menelepon menggunakan SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) yang memakan biaya besar. Disrupsi teknologi yang memangkas atau bahkan menghapus biaya secara radikal ini membuat pola komunikasi dan hubungan sosial berubah total.

Perkembangan besar ini, yaitu kemudahan dalam berkomunikasi akibat tersedianya teknologi komunikasi, melahirkan apa yang disebut oleh teoretisi media Marshall McLuhan sebagai “global village” (desa buana) (1964) karena menihilkan jarak dan waktu yang sebelumnya membatasi komunikasi antarbangsa. Munculnya komunitas internasional, meskipun hanya bersifat maya (virtual), telah mengubah wacana dan pemahaman kita akan komunikasi internasional dan komunikasi antarbudaya.

Dalam bidang budaya, komunikasi antarbangsa dengan komunitas internasional yang difasilitasi oleh teknologi komunikasi terbaru ini, mempercepat kesepahaman antarbudaya. Budaya yang berbeda tidak lagi dianggap asing karena para pelaku komunikasi tidak hanya mendapatkan exposure mengenai budaya lain, tetapi juga menjadi bagian dari proses komunikasi tersebut.

Kini pemilik akun Facebook dengan gampang mendapatkan kawan dari seluruh dunia dan menjadi komunitas atau jaringan tertentu yang dia inginkan. Seorang dosen atau peneliti dengan gampang mendapatkan kawan dari universitas di luar negeri, bertukar informasi, dan juga mungkin bisa melakukan kerja sama dalam proyek penelitian.

Namun ini adalah cerita-cerita baik mengenai disrupsi teknologi yang digerakkan oleh kapitalisme lanjut. Cerita sebaliknya tentu tidak kalah banyak, terutama dalam bidang budaya, yang membuat kehidupan seniman musik berubah banyak.

Seniman musik di seluruh dunia mengalami tantangan besar karena file sharing di internet membuat industri musik hampir mati total. Kini musik dengan gampang dibajak dan disebarkan di internet yang membuat industri musik, khususnya industri rekaman, gulung tikar. Netizen mengunggah file musik mereka dalam bentuk pseudo video di Youtube dengan harapan pemilik akun mendapatkan penghasilan melalui skema monetisasi karena ditonton banyak orang.

File video ini bisa dikonversi menjadi file audio seperti MP3. File audio ini juga bisa disebarkan lewat platform file sharing lainnya. Dengan arsitektur dunia digital seperti ini, maka industri rekaman musik yang memproduksi CD langsung sekarat dan tak pernah bangkit lagi.

Perkembangan baru ini sangat menyulitkan para musisi karena mereka tidak bisa lagi mendapatkan penghasilan dari hasil rekaman baik dalam bentuk penjualan lagu langsung atau royalti. Mereka akhirnya memperbanyak show, mengisi acara, dan main di kafe-kafe. Di Manila, Tokyo dan Seoul, misalnya, di mana budaya kafe dan live music menjamur, perkembangan ini cukup membantu para musisi. Hal berbeda terjadi di Jakarta di mana budaya kafe dan live music masih dalam tahap perkembangan awal.

Khusus musisi-musisi jazz sekolahan yang tamat dari perguruan tinggi, mereka belajar di bangku kuliah selama bertahun-tahun. Namun setelah tamat, mereka kesulitan mendapatkan tempat mentas. Ini terjadi di Amerika. Kalaupun dapat tempat mentas di suatu kafe atau pub, penghasilan mereka tergolong kecil, sekitar 70 dolar untuk sekali main. Jumlah ini tergolong kecil jika melihat biaya hidup seperti membayar apartemen, listrik, air, makanan, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.

Kesenjangan antara sumber daya atau modal yang dikeluarkan dengan pemasukan yang didapatkan ini tentu secara ekonomi tidak sehat. Bagaimana para musisi akan menekuni profesi mereka bila tidak bisa mendapatkan imbalan yang memadai untuk menopang hidup? Inilah di antara persoalan musisi jazz di Amerika sekarang. Kondisi ini membuat mereka memperkirakan dengan perasaan yang pesimis bahwa suatu saat nanti jazz akan mati.

Disekuilibrium ini nyata adanya di Amerika. Hal yang tidak terjadi di masa-masa sebelumnya.

Melihat fakta-fakta sosial, ekonomi, politik dan budaya ini, para pemikir Marxis yakin bahwa ketidakseimbangan ini adalah bagian inheren dari kapitalisme lanjut. Mereka berpendapat bahwa kapitalisme akan mati dengan sendirinya karena adanya kontradiksi internal. Kematian kapitalisme adalah kematian alami karena sistem yang dibangunnya suatu ketika akan mengalami ketidakseimbangan yang menghasilkan implosi atau ledakan dari dalam.

Istilah kapitalisme lanjut (Spätkapitalismus) pertama kali diperkenalkan oleh ekonom dan sejarawan Jerman Werner Sombart dalam bukunya Der Moderne Kapitalismus (Kapitalisme Modern) yang membagi tahap-tahap kapitalisme ke dalam empat tahapan, yaitu: 1) masyarakat kapitalis pertama yang berlangsung mulai dari awal abad pertengahan sampai tahun 1500; 2) kapitalisme awal, mulai tahun 1500 hingga 1800; 3) masa kejayaan kapitalisme (Hochkapitalismus) yang berlangsung mulai tahun 1800 sampai Perang Dunia I; dan 4) kapitalisme lanjut (Spätkapitalismus) yang berlangsung mulai Perang Dunia I hingga sekarang.

Buku yang terbit tahun 1902 hingga 1927 ini adalah magnum opus Sombart. Kelak Sekolah Kritis Frankfurt mempopulerkan istilah kapitalisme lanjut dan kemudian mendunia setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi late capitalism. Kini istilah kapitalisme lanjut digunakan dengan berbagai makna oleh penulis yang berbeda-beda.

Bisa jadi apa yang sedang berlangsung sekarang bukan cuma disekuilibrium tetapi juga pada saat yang sama munculnya ekuilibrium baru dengan tatanan yang baru. Di satu sisi kapitalisme lanjut, yang menopang munculnya penyebaran teknologi ke seluruh dunia, memunculkan ketidakseimbangan yang berakibat negatif pada berbagai bidang, namun di sisi lain kapitalisme lanjut juga membawa keseimbangan baru yang positif.

Baik Marxisme maupun kapitalisme kelihatannya tidak sepenuhnya mampu memahami dan membaca jalannya sejarah dengan baik. Karena sejarah tidak berjalan seperti yang mereka teorikan. Bila Marxisme percaya kapitalisme akan mati dengan sendirinya, namun sebaliknya kapitalisme percaya bahwa justru Marxisme/sosialisme yang tidak akan bisa bertahan hidup.

Bubarnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin ternyata bukan “akhir sejarah” seperti dipercayai oleh ilmuwan politik Francis Fukuyama (1992), namun hanya sekadar disekuilibrium atau keseimbangan baru dalam perjalanan sejarah yang panjang. Kebangkitan Cina yang menjadi rival utama Amerika membuktikan bahwa sistem politik komunis ternyata bisa bersanding dengan sistem ekonomi pasar yang membuat ekonomi dan teknologi Cina tumbuh dengan pesat. ***