Buni Yani
Nihil novi sub sole (tidak ada yang baru di bawah matahari), demikian ungkapan mashur dalam Bahasa Latin yang ternyata diambil dari kitab Eklesiastes 1: 9. Ungkapan lain di dalam Bahasa Prancis yang tidak kalah terkenal adalah l'histoire se répète (sejarah berulang).
Dua ungkapan ini menyiratkan bahwa perjalanan sejarah umat manusia di muka bumi dari zaman ke zaman tidak jauh berbeda. Aktor boleh berganti tetapi cerita besar atau plotnya tetap sama, atau setidaknya punya kemiripan.
Cerita 2000 tahun lalu kini masih bisa disaksikan di sekitar kita dengan plot minor yang sedikit berubah di sana-sini tetapi moral ceritanya tetap sama. Bahwa di sepanjang sejarah, karakter dan tipe manusia di segala bangsa kurang-lebih sama. Ada pahlawan, ada pengkhianat. Ada orang yang kuat iman, ada yang gampang silau oleh imbalan materi.
Itu yang terjadi dengan penulis sejarah Flavius Yosefus, seorang Yahudi yang dulunya menentang kekuasaan Romawi, namun kemudian menjadi pendukung kekaisaran Romawi, pemuja kaisar, lalu menulis sejarah untuk kepentingan kekuasaan. Di zaman modern ini karya Yosefus menjadi teks sejarah rujukan berbagai hal yang terjadi pada zaman kekaisaran Romawi kuno dengan segala kontroversinya.
Yosefus menulis berbagai macam topik kejadian sejarah pada awal-awal tahun Masehi. Ini membuat karyanya jadi referensi untuk mengetahui perkembangan agama Kristen di awal-awal berdirinya, bagaimana agama Yahudi yang dianggap induk dari agama Kristen merespons berdirinya agama Kristen, dan hal-hal lain yang luput dari catatan sejarah pada waktu itu.
Yosefus adalah penulis sejarah resmi kekaisaran Romawi. Sebagai penulis sejarah resmi rezim waktu itu, kaisar memberikan imbalan dan jaminan kehidupan yang layak sehingga Yosefus bisa konsentrasi menekuni pekerjaannya. Hal ini menjadikan karya Yosefus bisa bias, sangat muskil untuk menulis hal-hal yang berkenaan dengan kekaisaran Romawi secara kritis.
Apa yang terjadi dengan Yosefus bukanlah hal baru bagi kita di tanah air. Dokumen-dokumen dan naskah kuno dalam bentuk lontar dan prasasti kuno yang ditulis oleh pujangga istana cenderung memberikan pujian secara berlebihan kepada raja yang dilayani. Penulis sejarah macam begini tidak jauh beda dengan para buzzer di masa kini.
Misalnya, ketika terjadi peperangan, untuk menunjukkan kebesaran dan kemegahan sang raja yang dilayani, maka si pujangga akan melipatgandakan jumlah bala tentara kerajaan dalam tulisannya. Sementara musuh kerajaan digambarkan kecil dan tidak sebanding. Namun para sejarawan dan arkeolog yang kritis akan mengecek informasi yang tersaji, apakah mungkin jumlah bala tentara yang akan berperang jumlahnya puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu seperti tertulis, misalnya.
Pujangga istana bisa jadi tidak bermaksud menjadi buzzer yang tugasnya memuja-muji raja dan melebih-lebihkan fakta sejarah. Dia hanya tidak sengaja dan tidak sadar melakukannya karena sudah kadung mencintai dan mengagumi raja yang dilayaninya. Dia sudah terkooptasi secara mental. Atau dalam bahasa Antonio Gramsci, si pujangga adalah korban “hegemoni” yang wilayahnya bukan lagi hard power tetapi soft power.
Si pujangga telah tertundukkan secara intelektual. Bahkan cara berpikirnya saja sudah mengikuti cara berpikir sang raja.
Hal yang sama terjadi dengan Flavius Yosefus dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Dia dengan sadar dan sengaja pindah dari kubu Yahudi ke kubu Romawi karena alasan kekuasaan, keselamatan dan imbalan materi duniawi lainnya. Yosefus mendapatkan imbalan dan fasilitas dari kaisar Flavius Vespasianus. Dia mendapatkan bekas rumah kaisar, tanah yang telah ditaklukkan di Yudea, dan uang pensiun.
Orang dengan gampang mengaitkan perpindahan “ideologi” dari melawan Romawi menjadi pendukung Romawi ini dengan banyaknya imbalan yang didapatkan oleh Yosefus. Tidak cuma itu, Yosefus pun mendapatkan posisi terhormat di sekitar kaisar. Secara sosial dan budaya, Yosefus menduduki strata elit dalam struktur sosial Romawi kuno. Siapa yang tidak tergiur!
Terlahir sebagai seorang Yahudi, nama Ibrani Yosefus adalah Yosef ben Mattityahu – atau Yusuf bin Matias. Yosefus adalah pemimpin militer Yahudi yang melawan kekuasaan Romawi di provinsi Yudea.
Lahir di Yerusalem, ayah Yosefus adalah seorang pendeta Yahudi. Sebagai seorang jenderal, Yosefus memimpin perang melawan tentara Romawi di Galilea pada tahun 67 Masehi. Namun setelah pengepungan selama enam pekan, akhirnya Yosefus dan tentaranya menyerah kalah ke tentara Romawi di bawah komando Flavius Vespasianus.
Vespasianus kemudian menjadikan Yosefus budak dan diberikan tugas yang berguna untuk kekaisaran Romawi. Yosefus dicatat sejarah sebagai seorang penerjemah kekaisaran Romawi dan lambat laun menjadi penulis sejarah. Ketika Vespasianus menjadi kaisar Romawi pada tahun 69 Masehi, Yosefus diberikan kebebasan, tidak lagi menjadi budak.
Namun Yosefus bukannya senang mendapatkan predikat barunya menjadi orang bebas lalu kembali ke Yerusalem, dia malah tetap menjadi pelayan kaisar. Setelah mendapatkan kewarganegaraan Romawi, Yosefus kemudian mengambil nama keluarga kaisar sebagai namanya sendiri sehingga dia dikenal sebagai Flavius Yosefus.
Sampai di sini dengan jelas terlihat bahwa proses perubahan identitas Yosefus dari musuh Romawi menjadi pelayan kaisar tidaklah dilakukan dengan kekerasan, namun dilakukan secara sukarela dan sadar oleh Yosefus sendiri.
Yosefus kini jadi ordal kekaisaran Romawi. Di samping menjadi teman dekat anak kaisar Vespasianus bernama Titus, dia juga berperan sebagai penasihat dan penerjemahnya dalam perang dan pengepungan Yerusalem yang terjadi pada tahun 70 Masehi. Yosefus memberikan informasi-informasi intelijen penting bagi Titus yang kemudian mampu menundukkan kota Yerusalem.
Perang ini dicatat dalam sejarah sebagai perang brutal yang menghancurkan kota dan Bait Suci Kedua kaum Yahudi. Serdadu Romawi membantai ribuan kaum Yahudi setelah benteng Yodfat jatuh. Yang lolos dari pembantaian kemudian banyak yang melakukan bunuh diri. Perang Yerusalem yang memakan begitu banyak korban, terutama hancurnya kuil Yahudi, Bait Suci Kedua, adalah kiamat kecil bagi keberlangsungan ras dan budaya Yahudi.
Atas pengalaman langsung dalam perang ini, Yosefus kemudian menulis buku sejarah terkenal berjudul Perang Yahudi yang ditulis sekitar tahun 75 Masehi. Buku ini menceritakan tentang “pemberontakan” kaum Yahudi terhadap kekaisaran Romawi. Pemberontakan! Jadi Yosefus memframing perlawanan bangsanya, bangsa Yahudi, sebagai pemberontakan. Sebuah sikap yang dianggap pengkhianatan oleh orang-orang Yahudi yang berusaha lepas dari kekuasaan Romawi.
Di samping menulis Perang Yahudi, Yosefus juga menulis buku Sejarah Kuno Orang Yahudi (Antiquities of the Jews) sekitar tahun 94 Masehi. Bila buku Perang Yahudi melihat kejadian dari sudut pandang Romawi, maka buku kedua ini melihat persoalan dari sudut pandang Yahudi. Diperkirakan buku kedua ini ditulis untuk pembaca berkebangsaan Yunani dan Romawi.
Melihat kisah hidup Flavius Yosefus sekitar 2000 tahun kemudian, mungkin kita akan bertanya seperti banyak orang sebelumnya: apakah layak karya-karyanya dijadikan rujukan bila pribadi Yosefus penuh masalah, yang bahkan dianggap pengkhianat oleh bangsanya sendiri? Apakah kita bisa mempercayai catatan seseorang yang kredibilitasnya bermasalah?
Dalam Islam, persoalan seperti ini sangat jelas acuannya. Yaitu seseorang yang bisa dipercayai ceritanya dalam menyampaikan Hadits (cerita) adalah orang yang mempunyai kriteria tersendiri yaitu: adil, tidak melakukan dosa besar atau kecil, dan terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadiannya.
Seorang perokok tidak bisa jadi perawi (penyampai) Hadits karena merokok hukumnya makruh dan tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagaimana kalau dia dicap pengkhianat oleh bangsanya sendiri karena membelot ke kubu musuh? Pertanyaan ini harus diajukan untuk mempertajam pemahaman kita bahwa kredibilitas itu sangatlah penting terutama dalam hal penyampaian informasi yang benar.
Apakah penilaian Yosefus bahwa bangsanya, yaitu kaum Yahudi, “memberontak” melawan bangsa Romawi yang menguasai mereka bisa dipercaya? Apakah penilaian ini tidak terlepas dari posisi Yosefus yang sudah mendukung kaisar Romawi? Atau jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bangsa Yahudi memberontak karena mendapatkan ketidakadilan dari penjajah Romawi? Misalnya karena pajak yang tinggi dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya? Dan mengapa pula Yosefus memimpin pemberontakan sebelum membelot menudukung Romawi kalau tidak ada penyebabnya?
Sejarawan modern kini menjadikan karya Yosefus yang bermasalah ini sebagai acuan untuk memahami kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya pada masa-masa awal Kekristenan berdiri tanpa melihat komplikasi yang bisa ditimbulkan oleh penilaian Yosefus dalam tulisannya. Para sarjana ini seolah lupa bahwa seorang sarjana boleh salah tetapi tidak pernah boleh berbohong.Orang seperti Flavius Yosefus banyak hidup di antara kita kini. Melihat mereka, kita seperti menonton film lama diputar kembali. Déjà vu. ***
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.