Belum lama berselang setelah pemerintahan Presiden Prabowo menjalani “fit and proper test” 100 hari kerja, demonstrasi bermunculan di seluruh Indonesia menolak kebijakannya yang dianggap zalim dan masih merupakan representasi kepentingan oligarki peninggalan Jokowi. Mahasiswa menuntut 13 hal dalam demo nasional yang diberi tajuk “Indonesia Gelap”.
Intinya, mahasiswa menyamakan kebijakan efisiensi anggaran Prabowo itu sama dengan—maaf—“shit”. Dalam Bahasa Inggris kata “shit” artinya “tai” atau “kotoran” yang keluar dari anus manusia dan hewan.
Mahasiswa paham bahwa langkah efisiensi anggaran negara ini disebabkan karena keuangan negara dalam keadaan sulit. Keuangan negara dalam keadaan sulit disebabkan oleh salah kelola negara selama 10 tahun Jokowi memerintah. Jokowi menumpuk hutang, membangun infrastruktur yang tidak berguna dan tepat sasaran, dan ada infrastruktur yang hanya dibangun untuk memuaskan ambisi, kegilaan dan megalomania pribadi Jokowi sendiri seperti pembangunan IKN. Padahal para ahli sudah memberikan peringatan bahwa IKN tidak layak berdasarkan hampir semua pertimbangan rasional.
Tidak cuma itu, mahasiswa meneriakkan dalam orasi mereka dengan suara yang menggelegar: Lawan Prabowo! Kini Prabowo tidak punya lagi grace period politik, berharap publik akan memaafkan lagi kesalahan-kesalahannya. Waktunya sudah habis. Oposisi sejak 10 tahun lalu marah, rakyat yang sudah lama menderita marah, dan kini mahasiswa yang sudah lama tidur juga ikut marah.
Selama 100 hari pertama pemerintahannya, para aktivis anti Jokowi selama 10 tahun ini berusaha memahami, memaafkan, dan mencari pembenaran atas apa pun kebijakan Prabowo. Para aktivis ini dulu banyak yang mendukung Prabowo pada Pemilu 2019 karena ketika itu Prabowo dianggap mewakili kemarahan publik pada Jokowi.
Para aktivis selama ini mencoba memahami dan memaafkan komposisi kabinet yang diisi banyak sekali “jongos” Jokowi dan pengangkatan pejabat seperti Miftah, Rafi Ahmad dan Bahlil, di antaranya, yang dinilai cacat moral dan tidak punya kemampuan. Belum lagi pengangkatan para buzzer penjilat Jokowi yang selama ini bertugas memecah-belah bangsa kemudian mengisi jabatan tinggi di beberapa kementerian.
Para aktivis berusaha bersabar dan menarik napas dalam-dalam mengenai ketidakmampuan Gibran “Fufufafa” bin Mulyono anak haram konstitusi. Gibran jelas di bawah standar. Grammar sederhana yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari pun dia tak mampu. Kata “para” tidak pernah mempunyai bentuk repetisi atau pengulangan lalu menjadi kata “para-para“. Karena hal-hal mendasar ini, para aktivis yakin bahwa Gibran, sama dengan Mulyono, ijazahnya tidak hanya bermasalah, misterius dan meragukan, tetapi juga palsu.
Para aktivis berusaha menarik garis tegas antara Prabowo yang dulu mereka pernah dukung dengan Gibran anak haram konstitusi. Mereka masih memaafkan diri-sendiri karena mendukung Prabowo yang digandoli Gibran anak haram konstitusi. Alasannya, yang mereka dukung itu Prabowo yang dulu sempat mereka hormati dan menjadi simbol perlawanan terhadap Jokowi yang zalim. Yang mereka dukung itu Prabowo, bukan Gibran.
Namun teriakan “hidup Jokowi” oleh Prabowo pada acara hari ulang tahun Gerindra baru-baru ini membuat toleransi dan kesabaran publik tak ada yang tersisa. Tidak cuma itu, pada acara itu juga ada nyanyian “terima kasih Jokowi” yang mengangkat kembali Jokowi ke level ketinggian dan kemuliaan setelah habis diganyang OCCRP dengan predikat salah satu presiden terkorup di dunia.
Prabowo dan Gerindra dianggap menjadi mesin pencuci dosa Jokowi selama 10 tahun. Sementara rakyat banyak, mahasiswa dan aktivis mendesak agar Jokowi segera diadili karena kezaliman dan dosa-dosa politiknya selama 10 tahun berkuasa secara bengis, justru Prabowo mengatakan “hidup Jokowi” dan “terima kasih Jokowi”.
Publik melihat sekarang paradoks itu ada dalam diri Prabowo sendiri, bukan lagi pada Indonesia—seperti judul buku yang pernah ditulisnya. Sementara OCCRP, rakyat banyak, mahasiswa, dan aktivis menganggap Jokowi itu penjahat yang harus diseret ke meja hijau, Prabowo justru memuja-mujinya dengan sangat berlebihan dan—maaf—menjijikkan!
Waktu Prabowo telah habis. Dia kini harus menghadapi realpolitik. Dia harus menghadapi hantaman dari berbagai front sekaligus. Front rakyat, front aktivis, dan front mahasiswa kini bersatu membenci langkah-langkah politik dan kebijakan Prabowo. Yang tadinya kebencian itu terfokus ke Jokowi, para begundal dan buzzer, kini kebencian itu sudah menyasar Prabowo sendiri.
Di Yogyakarta, tuntutan mahasiswa pada puncak demo hari Kamis, 20 Februari 2025 bisa jadi di luar prediksi inner circle Prabowo. Para mahasiswa di Kota Gudeg menuntut Prabowo-Gibran mundur, tuntutan paling maju dibandingkan dengan demo di kota-kota lain. Tuntutan mundur ini tinggal menunggu titik ledak sehingga menjadi bola salju yang menggelinding ke kota-kota lain.
Pada Jumat malam, 21 Februari 2025, saat tulisan ini hampir selesai dikerjakan, sebelum terbit pada Sabtu pagi, demonstrasi di Jakarta masih tetap besar dan bahkan berubah ricuh. Demonstrasi di kota-kota lain juga tidak surut, bahkan cenderung membesar. Mengutip pengamat, BBC memberitakan legitimasi Prabowo “sudah oleng” dengan besarnya demo dalam pemerintahannya yang baru saja melewati 100 hari bulan madu.
Apakah perkembangan terbaru ini menunjukkan Jokowi telah berhasil memerangkap Prabowo sehingga tidak bisa keluar lagi, para aktivis percaya itulah yang terjadi. Jokowi telah berhasil menarik Prabowo menjadi sasaran tembak sehingga dia bukan satu-satunya yang akan menjadi obyek kemarahan rakyat. Atau, bahkan Jokowi telah berhasil menarik Prabowo menjadi sasaran amuk massa sehingga dia akan bebas dari semua ancaman pengadilan dan kemarahan rakyat.
Seorang tokoh nasional dan sahabat baik Prabowo selama puluhan tahun mengatakan sekarang Prabowo sudah banyak berubah. Langkah-langkahnya tidak masuk akal dan sepertinya Prabowo berada di bawah pengaruh pembisik anti rakyat, jongos oligarki, dan sekutu Jokowi yang sudah melakukan infiltrasi ke dalam lingkar dalam Prabowo. Tidak tampak Prabowo yang dulu dia kenal ketika berjuang bersama dalam beberapa kali pemilu.
Apa pun itu, Prabowo sudah dengan sadar memilih posisi politiknya. Apakah dia sudah menghitung risiko politiknya, belum tentu. Yang jelas dia sekarang sudah kehabisan waktu, dan maaf pun sudah tak bersisa. Kini Prabowo harus menghadapi realpolitik—politik di lapangan yang kontur dan kedalamannya susah diukur. ***