Budaya dan peradaban di dunia yang masih bertahan dan dikenal hingga kini pastilah ada medium, wadah atau jendela yang memperkenalkannya ke umat manusia. Kalau tidak dalam bentuk artefak budaya material yang tampak mata, maka wujudnya bisa jadi dalam bentuk budaya non material yang tak tampak mata.
Meskipun budaya dan peradaban Romawi, India, dan Cina, sebagai contoh, sudah berumur ribuan tahun, tetapi karena budaya dan peradaban negeri-negeri itu terekam dengan baik dalam bentuk budaya material dan non material, maka kita masih bisa menyaksikan dan mempelajari peninggalan-peninggalan sejarah dan arkeologis mereka.
Sebaliknya, meskipun sebuah budaya dan masyarakat belum lama muncul—misalnya hanya puluhan tahun saja—tetapi karena tidak meninggalkan jejak budaya material atau non material, maka hampir bisa dipastikan budaya dan masyarakat tersebut tidak dikenal oleh dunia luar, atau bahkan oleh masyarakat penerusnya sendiri.
Budaya material bisa berupa bangunan megah dan legendaris seperti candi Borobudur yang sudah berumur hampir 1300 tahun, Pantheon di Roma yang sudah berumur hampir 2000 tahun, stupa Sanchi di India yang sudah berumur 2300 tahun, dan pagoda Songyue di Cina yang sudah berumur 1500 tahun.
Para ilmuwan beruntung karena bangunan-bangunan itu masih kokoh berdiri. Namun sebagian besar bangunan-bangunan penting di dunia telah roboh diterjang zaman sehingga tidak bisa lagi dipelajari secara seksama, apa lagi ditempati atau digunakan oleh generasi penerusnya. Inilah salah satu kelemahan budaya material. Karena berbentuk fisik, maka tidak bisa diteruskan atau ditransmisikan ke generasi penerus.
Sebaliknya, budaya non material yang tak tampak mata seperti agama, bahasa, dan kebiasaan, bisa lebih tua umurnya karena bisa ditransmisikan dari generasi ke generasi. Hal ini yang membuat agama-agama kuno seperti Yahudi dan Majusi, sebagai contoh, masih bisa ditemukan hidup di zaman sekarang. Ajaran kedua agama itu diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga bersambung tanpa henti.
Kitab suci agama Islam, al-Qur’an, yang ditransmisikan melalui budaya lisan masyarakat Arab Quraisy, dipandang sebagai dokumen sejarah paling otentik karena tersambung melalui hapalan pemeluknya sampai ke Rasulullah SAW. Proses pembukuannya dilakukan kemudian ketika para penghapal al-Qur’an banyak yang meninggal dunia terutama dalam perang.
Dalam tradisi Islam, yang menjadi standar otentisitas al-Qur’an adalah hapalan lisan, bukan tulisan pada media seperti kulit, kertas, dan wadah lainnya. Karena doktrin inilah maka para ulama dan intelektual Islam dengan gampang bisa membantah bila ada dokumen al-Qur’an seperti manuskrip Sana’a yang terkesan berbeda dengan al-Qur’an yang kita dapatkan dewasa ini.
Para Islamolog Barat dan para orientalis menjadikan manuskrip Sana’a sebagai pintu masuk untuk menyerang Islam. Dalam naskah itu ada tulisan yang sudah dihapus dan diganti dengan tulisan baru, mirip seorang anak SD yang menghapus tulisannya di atas kertas lalu menggantinya dengan tulisan baru. Para sarjana Barat itu melakukan scan terhadap tulisan yang sudah dihapus itu dan menemukan bahwa tulisannya berbeda dengan tulisan ayat al-Qur’an penggantinya.
Kata para sarjana Barat itu, tulisan berbeda inilah yang menunjukkan bahwa al-Qur’an yang kita kenal sekarang tidak asli. Bahkan waktu yang belum lama dari zaman Rasulullah SAW sebagai penerima wahyu saja sudah ada perbedaan tulisan, apa lagi sekarang setelah al-Qur’an berumur 1400 tahun, kata mereka. Logika ini terkesan masuk akal.
Tetapi, sekali lagi, yang dijadikan patokan dalam Islam bukan tulisan, tetapi hapalan seperti dicontohkan Rasulullah 14 abad lalu. Tradisi lisan inilah yang juga kemudian menjadi kelebihan agama Islam dibandingkan dengan agama Nasrani dan Yahudi, misalnya. Nabi Isa dan Nabi Musa tidak memberikan perintah hapalan kepada pengikutnya ketika mendapatkan wahyu, berbeda dengan Nabi Muhammad SAW.
Bagi umat Islam, inilah salah satu mukjizat al-Qur’an selain dihapalkan oleh jutaan umat manusia di seluruh dunia. Sementara mukjizat Nabi Musa seperti membelah laut menggunakan tongkat atau mukjizat Nabi Isa yang bisa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang sakit sudah tidak bisa lagi disaksikan, diakses dan dipelajari setelah kedua nabi Allah itu wafat.
Berbeda dengan al-Qur’an, yang merupakan budaya non material yang tak tampak mata, yang ditansmisikan melalui budaya lisan, hingga kini masih bisa dikaji oleh para sarjana di seluruh dunia. Para sarjana itu bisa menemukan nubuah al-Qur’an yang terbukti benar, kandungan ilmu pengetahuannya yang terlalu maju pada zamannya, kandungan sastranya yang tinggi yang tidak bisa disaingi oleh seluruh penyair di jazirah Arab, struktur bahasanya yang sangat ketat dan matematis, struktur wacananya yang sangat rapi, dan banyak lagi mukjizat lainnya.
Jadi, bila ada teori yang menempatkan budaya material di atas budaya non material oleh karena budaya material bersifat kasat mata yang bisa dikaji secara empiris dan positivistik, maka teori budaya Islam justru mengatakan hal yang berbeda. Epistemologi Islam berpendirian sebaliknya. Bahwa budaya non material jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan budaya material. Kasus tarnsmisi al-Qur’an ini menjadi fundamen teoretiknya.
Tidak hanya itu, di dalam al-Qur’an sendiri juga disebutkan berulang kali dalam banyak ayat bahwa hal gaib yang bersifat non material mendapatkan derajat lebih tinggi dibandingkan dengan fakta material. Misalnya, al-Qur’an mengatakan bahwa kehidupan di akhirat (non material karena belum terjadi) jauh lebih baik daripada kehidupan di dunia (material karena sedang dijalani). Tentu saja kehidupan di dunia penting, tetapi derajat dan keutamaannya lebih rendah daripada kehidupan di akhirat.
Seharusnya epistemologi Islam harus berangkat dari cara berpikir al-Qur’an ini dalam memahami dunia dan kehidupan. Karena realitas yang tampak secara fisik ternyata jauh lebih banyak aspek misterinya yang belum diketahui oleh ilmu pengetahuan paling modern sekalipun. Tentu para fisikawan sangat paham masalah ini. ***
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.