Saturday, February 1, 2025

Hypersurealisme Gaza dalam Labirin Amis Darah dan Pembersihan Etnis

Perspektif KBA News, Sabtu, 1 Februari 2025

Buni Yani

Surealisme Gaza melampaui surealisme. Surealisme Gaza adalah realitas dan fakta keras yang melampaui surealisme dalam mimpi dan imajinasi lepas para pelukis dan seniman avant-garde. Surealisme Gaza, kota koloni ilegal Israel dengan horor menghantui setiap detik, melampaui realisme dan surealisme sekaligus. Karenanya, Gaza kini adalah hypersurealisme.

Puing-puing bangunan putih dengan kerangka besi seolah mencakar langit setelah atap dan bagian atasnya tak bersisa akibat ledakan dahsyat bom tentara zionis Israel. Serpihan tembok yang masih berdiri seperti menunggu roboh dengan debu dan pasir di sana-sini memenuhi seantero kota. Kota Gaza seperti kerangka yang belum selesai dibangun.

Tetapi ini bukan “akan” dibangun, tetapi “sudah”. Sudah dibom!

Jalan dipenuhi bongkah-bongkah pecahan tembok, batu-bata, sampah, debu, dan… percikan darah. Keringat terus mengalir akibat udara panas menyengat. Tidak ada kipas angin dan pendingin ruangan. Listrik sudah lama tidak menyala. Air tidak mengalir. Anak-anak kecil mengais apa saja yang bisa dimakan untuk menyambung hidup.

Tentara Israel melakukan blokade, akibatnya warga tidak bisa keluar atau masuk kota. Penduduk Gaza kini terperangkap dalam penjara sureal. Dan… bum bum bum! Bom selama 15 bulan berjatuhan tanpa henti. Yang bisa melarikan diri langsung mengungsi ke bagian selatan kota. Yang tetap bertahan hanya bisa menyerahkan hidup dan mati ke tangan Sang Pencipta.

Ini bukan perang, tetapi pembersihan etnis Arab-Muslim. Israel sedang mewujudkan wawasan Israel Raya yang membentang luas melampaui daratan Palestina. Israel sedang mempersiapkan sesuatu yang besar, sangat besar, yang mungkin akan dituntaskan lintas generasi. Langkah awal dari ide gila dan biadab ini adalah pengusiran bangsa Palestina keluar tanah air. Kalau tidak mau keluar maka matilah kalian, kira-kira begitu ujar kaum zionis itu.

Idenya saja sudah biadab, apa lagi perwujudannya. Rezim zionis Israel sudah kotor sejak dalam pikiran. Kota Gaza yang sudah menjadi penjara terbesar di dunia dihujani bom dengan daya ledak tinggi. Orang-orang tua, wanita hamil, anak kecil, semuanya. Semuanya dibantai Israel.

Tentara-tentara bengis itu kemudian akan mengadakan pesta, dansa-dansi dan bersorak-sorai melihat kematian orang-orang Palestina. Merayakan kematian orang-orang tak berdosa yang telah dibantai dengan pesta pora di luar akal sehat manusia normal. Hanya manusia berhati binatang yang bisa melakukannya.

Tentara zionis Israel menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bahan peledak di kota malang itu. Diperkirakan dibutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk membersihkan puing akibat pengeboman yang ditaksir lebih dari 42 juta ton. Kemungkinan masih ada bom yang tidak meledak yang akan terus menghantui keselamatan Gaza.

Gaza tampak seperti labirin hitam gelap tanpa cahaya. Udara pekat dan pengap. Amis darah menyerbu sudut-sudut kota yang sudah jadi puing tanpa manusia. Gaza seperti lorong tanpa kesudahan. Israel dan para penyokongnya, Barat dengan standar ganda maksimal mereka, kini puas melihat kerusakan dan penderitaan rakyat Palestina.

Pembalasan kecil Hamas karena bangsa Palestina sudah menderita dijajah sejak 1948 dibalas gempuran berkali-kali lipat yang tidak hanya menyasar kelompok perlawanan. Israel secara sengaja mengebom rumah sakit, universitas, rumah penduduk, dan semua yang bisa diluluhlantakkan tanpa pandang bulu, padahal tempat-tempat itu tidak ada kaitannya dengan peperangan atau senjata.

Labirin Gaza adalah lintasan kematian. Rakyat Palestina tidak tahu kapan hidup mereka akan berakhir karena setiap saat bom bisa meledak ketika melintasi jalan raya, menunaikan ibadah, atau sedang tidur. Bila mereka tidak mati karena bom, maka mereka meregang nyawa karena kelaparan atau sakit. Tentara zionis Israel memblokade pasokan makanan dan obat-obatan meskipun untuk tujuan kemanusiaan. Mereka penjahat kemanusiaan yang sebenarnya.

Dalam 15 bulan pembantaian tentara zionis Israel terhadap penduduk Gaza, tercatat hampir 47 ribu jiwa meninggal dunia, termasuk 18 ribu anak-anak tak berdosa. Statistik ini menunjukkan data memilukan. Karena artinya, satu orang untuk setiap 50 pendudk Gaza telah meninggal dunia karena pembantaian biadab tentara zionis.

Lebih 110 ribu orang terluka, atau satu dari 20 penduduk Gaza. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hampir seperempat dari korban yang cedera, atau sekitar 22,5 ribu orang, mengalami cedera permanen yang mengubah hidup mereka untuk selamanya akibat tidak mendapatkan perawatan semestinya.

Menurut UNRWA, badan PBB untuk urusan pengungsi Palestina, setiap hari 10 anak kehilangan satu atau kedua kakinya melalui operasi dan amputasi yang dilakukan dengan sedikit atau tanpa anestesi. Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan hingga akhir tahun 2024 setidaknya telah terjadi 4,5 ribu kasus amputasi.

Selain korban jiwa yang terkonfirmasi oleh petugas kemanusiaan, ribuan orang diduga terkubur di bawah puing bangunan yang runtuh akibat pengeboman. Dengan terbatasnya peralatan untuk memindahkan puing-puing dan menyelamatkan korban yang terjebak di bawah beton, para relawan dan pekerja kemanusiaan hanya mengandalkan tangan telanjang. Sampai sekarang belum ada cara untuk mengetahui berapa banyak orang yang syahid di bawah reruntuhan.

Labirin Gaza lebih sureal daripada lukisan Salvador Dali. Bila lukisan jam meleleh Dali lahir dari imajinasi yang tidak punya dasar fakta dari dunia nyata, maka pemandangan Gaza adalah realitas keras yang bisa diindera. Tetapi realitas ini kelihatan sureal karena melampaui imajinasi orang-orang waras untuk mencernanya.

Sekitar 2,2 juta warga Gaza mengalami rawan makanan yang akut dan satu juta orang tidak punya akses bantuan makanan lembaga PBB, World Food Program, akibat blokade Israel. Menurut Statuta Roma, perjanjian untuk Pengadilan Kriminal Internasional, secara sengaja membuat penduduk kelaparan adalah kejahatan perang bila dilakukan waktu konflik bersenjata.

Rezim biadab Israel secara sistematis memblokade bantuan makanan dan air minum untuk orang-orang yang kelaparan di Gaza. Mereka membatasi pengiriman bantuan dan melakukan serangan terhadap para pekerja kemanusiaan. Ini mengakibatkan warga kelaparan dan sangat bergantung pada bantuan luar.

Tercatat setidaknya delapan bayi meninggal karena hipotermia di tempat pengungsian yang tidak memadai selama musim dingin. Sekitar 1,9 juta orang menjadi pengungsi di dalam negerinya sendiri. Sekitar 80 persen di antaranya terpaksa harus tinggal di tempat penampungan sementara tanpa pakaian yang layak atau perlindungan dari hawa dingin.

Sekitar 110 ribu dari 135 ribu tenda yang dipakai sebagai tempat berlindung di Jalur Gaza sudah usang dan tidak layak pakai.

Dan setelah 15 bulan pengeboman secara biadab tanpa henti, akhirnya tercapai kesepakatan gencatan senjata. Maka mulai hari Senin, 27 Januari 2025 lalu gelombang pengungsi Gaza membanjiri Jalan al-Rasyid yang persis berada di panggir pantai dan Jalan Salahuddin untuk kembali ke kampung halaman mereka yang sudah rata dengan tanah, tinggal puing, dan rangka abstrak.

Pemandangan di Jalan al-Rasyid lebih sureal daripada gambar-gambar mimpi film Akira Kurosawa. Jalan itu dipenuhi oleh puluhan ribu manusia. Otoritas Gaza mengatakan pengungsi yang akan kembali setelah 15 bulan meninggalkan kampung halaman mencapai 300 ribu orang. Mereka harus berjalan sejauh tujuh kilometer dari bagian selatan Gaza.

Mereka membawa apa saja yang bisa dibawa melintasi jalan berlubang yang telah dirusak oleh bom Israel. Ada yang membawa ransel di punggung. Ada yang membawa karung di atas kepala. Anak-anak kecil ada yang berjalan, ada yang digendong orang tua mereka. Ada yang kelelahan dan duduk di pinggir jalan karena tidak kuat lagi berjalan.

Pemandangan di jalan pinggir laut itu begitu dramatis, menyerupai adegan film eksodus Nabi Musa dan umatnya yang lari dari Mesir menuju Kanaan untuk menghindari perbudakan Fir’aun 3500 tahun sebelumnya.

Jalan Salahuddin lebih baik daripada Jalan al-Rasyid. Jalan itu dibuka untuk kendaraan meskipun perusahaan swasta Amerika yang tidak disebutkan namanya diberikan tugas untuk mengecek setiap kendaraan yang lewat. Pihak Israel berkilah rombongan pulang kampung dari pengungsian itu bisa disusupi untuk penyelundupan senjata.

Yang tampak di layar TV justru di atas mobil yang dipenuhi keluarga yang telah 15 bulan mengungsi itu adalah tangki air, kasur lusuh, dan berbagai macam perlengkapan rumah tangga seadanya untuk memulai hidup baru di tengah reruntuhan rumah mereka. Mobil-mobil itu berdesakan untuk lewat, dan penumpang di dalamnya tidak sabar untuk segera mencium rumah mereka dan bersujud syukur.

Allah sedang mengangkat derajat bangsa Palestina dengan memberikan ujian yang sangat berat. Selama 15 bulan dibom bertubi-tubi oleh Israel dalam rencana besar pembersihan etnis Arab-Muslim, ternyata rencana itu jauh dari berhasil. Bangsa Palestina tetap kekar, selalu optimis dan bersyukur, dan tak pernah kehilangan harapan suatu hari kelak Palestina akan merdeka dan setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Saya sering malu melihat diri-sendiri bila berkaca pada bangsa Palestina. Malu karena merasa kurang bersyukur. Bangsa Palestina dalam keadaan sangat sulit dengan masa depan yang tidak menentu pun masih tetap optimis dan tetap semangat menjalani hidup, dan di atas segalanya, mereka menyerahkan segalanya kepada kuasa Allah SWT. Dari sinilah rasa syukur yang besar dan tak henti-hentinya itu muncul. Mereka sangat yakin Allah akan menolong.

Surealisme Gaza melampaui imajinasi orang waras untuk memahaminya. Ia kini hypersurealisme, gabungan realisme dan surealisme sekaligus. Yang juga berarti fakta dan realitas dalam banyak hal bisa lebih fiktif dan dramatis daripada fiksi sendiri. ***


No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.