Waspada Online, 16 November 2009
Buni Yani
Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara dan Pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
Kritik terhadap komposisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II meluas setelah Presiden SBY mengumumkan nama-nama menterinya. Namun kritik ini hilang dengan sendirinya tertimpa isu kriminalisasi KPK, apalagi setelah rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah penegak hukum diperdengarkan secara terbuka di gedung Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, ada baiknya kita mencermati kembali secara seksama komposisi KIB II.
Dilihat dari ukuran, komposisi, dan kompetensi para menteri yang ditunjuk, kabinet Presiden SBY sungguh mengkhawatirkan. Kekhawatiran pertama mengandung kritik substansial yang tak akan bisa dipenuhi oleh SBY, yaitu besarnya jumlah anggota kabinet yang akan mengurus hajat hidup orang banyak dalam waktu lima tahun mendatang. Bukankah organisasi yang besar akan menjadikan sebuah tim lamban bergerak, tidak efisien, dan potensial menghamburkan uang negara? Sebagai perbandingan, kabinet Obama di Amerika Serikat hanya terdiri dari 16 anggota kabinet, sementara kabinet SBY terdiri dari 34 anggota, atau lebih dari dua kali lipat dari jumlah kabinet Obama. Padahal, Amerika memiliki kekayaan jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.
Menggelembungnya jumlah anggota kabinet SBY dilakukan untuk mengakomodasi berbagai macam kepentingan yang telah mengantarakannya menjadi RI-1. Jadi bukan efisiensi betul yang menjadi pertimbangan, tetapi lebih dari itu, politik balas budi menjadi pertimbangan yang utama. Secara administrasi publik, langkah SBY ini amat sukar dipahami oleh karena pemerintahan haruslah didasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
Keraguan kedua adalah masuknya terlalu banyak orang partai politik dalam kabinet SBY. Ini tak terelakkan, karena sebagai pemenang pemilu SBY harus melakukan power sharing dengan partai-partai yang mendukungnya. Dari 34 anggota kabinet, 21 di antaranya berasal dari partai politik, yakni tujuh dari Partai Demokrat, empat dari PKS, tiga dari Partai Golkar, tiga dari PAN, dua dari PKB, dan dua dari PPP. Rasio ini sungguh tak masuk akal untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. Mestinya kaum profesionallah yang lebih dominan, bukan orang partai.
Keraguan ketiga adalah sejumlah anggota kabinet dianggap tidak kompeten. Yang paling banyak menjadi sorotan adalah Menko Perekonomian Hatta Rajasa (PAN). Ia dianggap tidak memiliki latar belakang ekonomi untuk mengkoordinasikan kementerian-kementerian yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Jabatan Menteri Pertahanan yang dipercayakan kepada Purnomo Yusgiantoro juga dinilai tidak tepat, oleh karena Purnomo dianggap orang ekonomi, bukan orang politik ataupun pertahanan. Begitu juga dengan jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang diberikan kepada Darwin Saleh (PD). Jabatan ini kelihatan terlalu dipaksakan oleh karena Darwin tidak memiliki rekam jejak yang memadai untuk mengelola kementerian yang mengurus minyak dan sumber-sumber energi. Maka kesan pengangkatan ini tak lebih dari balas budi SBY kepada Darwin, karena Darwin adalah salah satu tim kampanye yang sering muncul di TV, menjadi tak terelakkan.
Menteri Pertanian Suswono (PKS) yang sebelumnya menjadi anggota DPR juga diragukan kemampuannya oleh karena Suswono tidak memiliki pengalaman mengurusi pertanian. Latar belakang pendidikannya yang dari Magister Manajemen Agribisnis IPB dinilai tidak cukup. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (PAN) tidak memiliki rekam jejak mengurus kehutanan. Menteri Perhubungan Freddy Numberi (PD) dinilai tak lebih hanya mewakili elemen etnis Papua, oleh karena Freddy tak memiliki latar belakang pendidikan maupun pengalaman mengurus perhubungan.
Di samping menteri-menteri di atas, menteri-menteri berikut ini juga dianggap tidak tepat menduduki jabatan mereka oleh karena tidak memiliki latar belakang pendidikan ataupun pengalaman yang memadai untuk mengurus kementerian yang dipercayakan. Mereka adalah: Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (Golkar), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (PKB), Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie (PPP), Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring (PKS), Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata (PKS), Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarief Hasan (PD), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara EE Mangindaan (PD), Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini (PKB), Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Manoarfa (PPP), dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng (PD).
Jero Wacik (PD) yang dianggap tidak terlalu berhasil memimpin Menteri Kebudayaan dan Pariwisata diangkat kembali. Pengesahan UU Perfilman yang penuh kontroversi adalah salah satu yang banyak disorot oleh insan film di Tanah Air.
Posisi-posisi strategis yang akan mengangkat ekonomi rakyat dan mempercepat pembangunan daerah mestinya tidak diberikan kepada orang partai yang profesionalismenya dipertanyakan. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal mestinya dijabat oleh orang yang memahami ekonomi pembangunan secara baik, bagaimana mengatasi kesenjangan Jawa-non-Jawa serta Indonesia Timur-Indonesia Barat. Menteri Negara Koperasi dan UKM mestinya dijadikan departemen strategis untuk memacu pertumbuhan ekonomi kecil dan menengah, karena selama ini UKM-lah yang menjadi sokoguru perekonomian nasional. Mengambil pendirian demikan, artinya kementerian ini harus dijabat oleh orang yang lebih kredibel, bukan orang partai yang hanya paham politik. Begitu juga dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Departemen terakhir ini harus mampu mengatasi pengangguran yang sudah semakin mengkhawatirkan.
Yang tak kalah penting adalah Menteri Komunikasi dan Informatika. Mestinya jabatan ini diberikan kepada seseorang yang paham komunikasi dan teknologi informasi serta dampaknya pada masyarakat. Sang menteri harus paham bagaimana menggunakan teknologi tinggi ini untuk mempercepat pembangunan, mendayagunakan e-government, e-commerce, dan faedah-faedah lain dari teknologi. Di samping paham secara mendalam ilmu IT dan komunikasi, sang menteri harus pula paham keterkaitan antara IT dan komunikasi dengan bidang-bidang lain. Kemampuannya tidak boleh lebih rendah dari menteri terdahulu yang bergelar profesor.
Melihat begitu banyaknya kelemahan kabinet SBY periode kedua ini, tak mengherankan bila skeptisisme merebak di mana-mana yang mempertanyakan apakah program pemerintah untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan ekonomi nasional di tengah krisis global saat ini akan bisa tercapai. Tidak mengherankan karenanya spekulasi pun berkembang bahwa SBY sudah pasti akan melakukan reshuffle kabinet. Ini cukup beralasan karena pada periode lalu SBY melakukan hal yang sama.
Dengan demikian, uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan SBY di rumahnya di Cikeas beberapa hari sebelum menunjuk para pembantunya pantas dicurigai tak lebih dari sekadar akal-akalan pencitraan semata, oleh karena SBY sebetulnya sudah tahu siapa-siapa saja yang akan dia pilih masuk tim kabinetnya. SBY berusaha mencitrakan dirinya berlaku hati-hati dalam memilih para menteri. Namun melihat hasil yang begitu mengecewakan ini, praktis akal-akalan pencitraan sudah pasti tak akan berhasil.
Rasa tidak percaya sebagian besar masyarakat ini haruslah dijadikan pemacu semangat agar seluruh menteri bekerja sebaik-baiknya dan sekeras-kerasnya. Keraguan hanya bisa dilawan dengan bukti nyata.
Untuk rakyat Indonesia, bagaimanapun pesimisnya kita melihat susunan kabinet yang telah dibentuk SBY ini, alangkah baiknya kita bersabar dan memberikan kesempatan kepada ke-34 menteri yang baru saja dilantik untuk menunjukkan kinerja mereka. Waktu 100 hari cukup adil untuk menilai apakah mereka seperti yang kita sangkakan, ataukah kita yag terlalu cerewet dan banyak menuntut.
Untuk para anggota kabinet, selamat bekerja. Seluruh rakyat menanti kiprah Anda memajukan Indonesia.
###
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.