Friday, October 16, 2009

Menanti Peran Besar SBY

Suara Pembaruan, 20 Oktober 2009, hal. 5

Buni Yani

Perjalanan sebuah bangsa menuju kejayaan dan kemajuan merupakan perpaduan antara usaha kolektif dan keberuntungan sekaligus. Absurditas ini tak terelakkan, karena bila tak memiliki salah satu faktor, kemajuan sebuah bangsa tak lebih hanya menyerupai drama absurd terkenal karya Samuel Beckett, Menanti Godot.

Usaha kolektif bisa saja dimotori oleh seorang pribadi yang kuat sehingga menginsipirasi orang lain untuk ikut mengubah bangsa menuju kemajuan. Namun yang terang adalah kemajuan tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Kemajuan harus diusahakan bersama, karena kompleksitas permasalahan sebuah bangsa tak akan bisa ditangani sendiri. Pribadi kuat tadi berperan memberikan model atau teladan kepada orang banyak, menginsiprasi orang lain untuk berbuat hal-hal baik untuk kemajuan bangsa, serta rela mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok demi bangsa yang dicintai.

Seperti ditulis Andrew Dickson White dalam karyanya Seven Great Statesmen in the Warfare of Humanity with Unreason (1910), di antara yang masuk kategori ini adalah Paolo Sarpi (1552-1623) dari Italia, Hugo Grotius atau Huig de Groot (1583-1645) dari Belanda, Christian Thomasius (1655-1728) dari Jerman, Anne-Robert-Jacques Turgot (1727-1781) dari Perancis, Karl Stein (1757-1831) dari Jerman, Camillo Benso Cavour (1810-1861) dari Italia, dan Otto von Bismarck (1815-1898) dari Jerman.

Faktor lainnya, yaitu keberuntungan, juga tidak kalah penting. Ada bangsa yang lebih beruntung dibandingkan dengan bangsa lain oleh karena faktor geografis di mana bangsa bersangkutan tinggal, kekayaan alam tanah yang didiami, serta faktor-faktor alam yang tak bisa diubah. Puluhan tahun lamanya Jared Diamond, seorang peneliti evolusi satwa burung yang kemudian memperlebar minat kesarjanaannya dengan mempelajari ilmu sosial, mencoba menjawab pertanyaan mengapa sebuah bangsa bisa lebih maju dibandingkan dengan bangsa lainnya di dunia. Dalam bukunya Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies (1997), Diamond menemukan jawaban bahwa lingkungan dan letak geografislah faktor penentunya. Lingkungan dan letak geografis menentukan ketersediaan sarana dan prasarana kehidupan yang memungkinkan sebuah bangsa dalam membangun dan mengejar kemajuan. Ditemukan pula bahwa ras putih Eurasia mampu menaklukkan bangsa-bangsa lain di dunia menggunakan senjata, kuman, dan besi baja -- hal-hal yang tidak dimiliki oleh bangsa yang ditaklukkan.

Keberuntungan lain yang mesti dimiliki oleh sebuah bangsa adalah ”keberuntungan sejarah”, yaitu keberuntungan yang didapatkan karena bangsa bersangkutan pada suatu masa dikaruniai seorang tokoh penuh kharisma yang mampu membawa bangsa tersebut menuju kemajuan. Sebagai contoh, apa jadinya bangsa Jerman pada abad ke-19 bila tokoh Otto von Bismarck tidak naik ke tampuk kekuasaan yang mampu menyatukan Jerman yang terpecah-belah sejak zaman Kekaisaran Romawi Kuno. Jiwa kenegarawanan Bismarck mampu mewujudkan cita-cita unifikasi sehingga menjadikan bangsa Jerman menjadi negara terbesar dan terkuat di Eropa pada waktu itu. Hal yang sama juga terjadi dengan negarawan Camillo Benso Cavour yang mampu menyatukan Italia pada abad ke-19. Di bawah kepemimpinan Cavour, bangsa Italia membangun sehingga menjadi bangsa yang maju.

Di Indonesia, mungkin kita bisa bertanya hal yang sama, apa jadinya bangsa Indonesia seandainya Soekarno tidak pernah dilahirkan. Bung Karno memiliki kepribadian penuh kharisma, dianugerahi inteligensia di atas rata-rata, memiliki kemampuan persuasi yang luar biasa, dan yang paling penting adalah kepenuhan semangatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Bisa dipastikan hampir semua pemimpin besar di dunia memiliki jiwa altruisme yang besar. Jiwa dan raga mereka persembahkan untuk orang lain, negara, dan cita-cita yang mungkin dia sendiri tak akan rasakan manfaatnya. Akankah kita mendapatkan keberuntungan lagi untuk memiliki sosok sebesar Soekarno dan tokoh dunia lainnya untuk memajukan Indonesia?

Hari-hari ini, yang paling pantas menjawab pertanyaan ini adalah presiden yang baru saja dipilih oleh rakyat Indonesia melalui proses demokrasi, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Akankah SBY melihat Indonesia secara visioner dengan membayangkan Indonesia akan menjadi seperti apa 100-200 tahun mendatang? Ataukah hanya mementingkan soal remeh-temeh pribadi dan kelompok dalam lima tahun mendatang saja?

SBY akan dikenang dalam sejarah Indonesia dan dunia bila ia mampu memperkuat fondasi demokrasi yang telah diperjuangkan dalam 10 tahun terakhir ini, dan mengikrarkan masa transisi demokrasi telah usai, dengan memberikan ruang bagi demokrasi untuk tumbuh dan mengakar di Tanah Air. Salah satu hal yang bisa dilakukan SBY adalah memberikan ruang institusi demokrasi tumbuh, yaitu dengan memberdayakan berfungsinya parlemen yang bisa mengontrol pemerintahannya. Karena SBY dipilih langsung oleh rakyat, dan koalisi yang dibentuk di parlemen sudah lebih dari 50 persen, maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan yang kuat.

Maka, niat untuk mengajak semua partai bergabung dengan koalisi dan membentuk pemerintahan tidak saja merupakan gagasan paling buruk yang pernah dikenal demokrasi, namun juga menjadi kenyataan teramat menyedihkan yang harus diterima rakyat Indonesia yang telah berlelah-lelah berpartisipasi dalam proses demokrasi dalam beberapa bulan terakhir ini. Hal lainnya, SBY sebaiknya membatalkan niat untuk mengajak partai-partai lawannya yang kalah dalam pilpres untuk masuk kabinet. Langkah ini mesti diambil untuk mendorong partai-partai tersebut menjadi oposisi.

SBY harus diberikan kesempatan untuk merenung secara mendalam, apakah sebetulnya yang ia kehendaki bagi bangsa Indonesia yang ia cintai dalam sisa usianya yang sudah semakin pendek. Bangsa Indonesia punya potensi untuk menjadi negara maju dan besar, namun apakah kita memiliki ”keberuntungan sejarah” dengan menjadikan momen demokrasi kali ini menjadi langkah panting untuk masa depan Indonesia. Dan dalam hari-hari ini, hanya SBY-lah satu-satunya tokoh yang memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan besar dalam proses memajukan Indonesia melalui demokrasi.

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.