Wednesday, October 14, 2009

Sekolah dan Perilaku Antisosial


Media Indonesia, 19 Oktober 2009, hal. 8


Buni Yani

Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara dan Pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)


Perilaku anti sosial atau anti social behavior semakin hari semakin menjadi gejala umum yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah merambah ke kota-kota kecil bahkan ke pedesaan. Ini terjadi karena banyak sebab, namun media dipercayai memiliki peran penting, di samping minimnya peran keluarga, sekolah, dan lingkungan dalam memberikan pengetahuan yang baik kepada para pelaku. Sekolah diharapkan mengambil peran untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut, atau paling tidak meminimalisasi dampak buruk yang bisa ditimbulkan.


Perilaku anti sosial memiliki definisi longgar, bahkan cenderung masih dalam ranah perdebatan para ahli. Namun sebagian besar akan setuju dengan ciri-ciri perilaku anti sosial yang dikenal umum, seperti mabuk-mabukan di tempat umum, mengebut di jalan raya, dan perilaku yang dianggap menyimpang lainnya. Secara sederhana, perilaku anti sosial bisa digambarkan sebagai ”perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian dan merupakan lawan dari perilaku pro sosial” (Lane 1987; Farrington 1995a; Millon et al. 1998 dalam Millie 2009).


Untuk menghindari kesimpang-siuran batasan dan makna istilah ini, sebuah undang-undang di Inggris memasukkan perilaku-perilaku berikut sebagai perilaku anti sosial, yakni: membuang sampah secara sembarangan, vandalisme, gangguan yang terkait dengan kendaraan, tingkah laku yang mengganggu, suara-suara ribut atau berisik, tingkah laku kasar dan suka gaduh, meninggalkan kendaraan secara sembarangan, minum dan meminta-minta di jalanan, penyalahgunaan dan penjualan narkoba, masalah-masalah yang terkait dengan binatang, panggilan telepon bohongan, serta pelacuran dan tindakan seksual lainnya (Millie 2009).


Literatur media di Amerika mendefinisikan perilaku anti sosial sebagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh media, seperti meniru adegan kekerasan, meniru kata-kata kasar, dan meniru perilaku konsumtif (Dominic et al. 2002). Lawannya adalah perilaku pro sosial, yakni pengaruh positif yang ditimbulkan media. Untuk yang terakhir ini, kajian media banyak menemukan bahwa setelah anak-anak usia sekolah menonton beberapa program televisi, mereka lalu menjadi tambah rajin belajar, prestasi di sekolah semakin meningkat, pintar menahan godaan, serta sikap-sikap terpuji lainnya.


Menilik undang-undang di Inggris tersebut, ada banyak perilaku di Indonesia yang bisa dianggap dalam kategori perilaku anti sosial, seperti penggunaaan knalpot racing (balapan) di jalan umum yang menimbulkan suara bising sehingga mengganggu banyak orang, membuang sampah secara sembarangan yang potensial menimbulkan penyakit dan banjir di musim hujan, meminta-minta di jalan (termasuk sumbangan dan kotak amal) yang menimbulkan kemacetan, dan lain-lainnya.


Untuk meningkatkan standar keadaban publik, perlu kiranya pemerintah bersama DPR untuk memikirkan sebuah peraturan dan undang-undang yang relevan untuk menjamin hak-hak dasar warga dalam mendapatkan ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah inti sari dari demokrasi adalah adanya jaminan dari negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara berdasarkan persamaan hukum. Pada titik tertentu, perilaku anti sosial merupakan lawan terhadap demokrasi yang terjatuh menjadi anarkisme sosial. Setiap orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Realitas ini merupakan anomali demokrasi yang serius, dan karena terjadinya di ruang publik, maka negara harus mengambil peran demi terjaminnya hak-hak warga secara keseluruhan.


Penggunaan knalpot racing di ruang publik sungguh tidak masuk akal. Karena tidak ada aturan dan batasan yang jelas, knalpot racing diproduksi dan dijual secara massal, dan dipergunakan secara sembarangan di jalan-jalan umum. Mestinya, untuk menggunakan standar keadaban publik yang biasa-biasa saja, karena namanya knalpot racing, maka pengendara yang menggunakannya hanya diperkenankan mengendarai kendaraannya di arena balapan. Tapi kenyataannya sebaliknya. Motor dengan knalpot racing dengan suara meraung-raung bisa masuk kompleks perumahan di tengah malam buta. Gangguan yang ditimbulkan pun tidak kecil. Tidur para penghuni menjadi terganggu, dan yang lebih buruk lagi, bayi-bayi terjaga dan menangis terkejut akibat suara bising yang ditimbulkan.


Perilaku anti sosial bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa ada batasan usia, namun karena ”penyimpangan” ini dikategorikan sebagai ”penyimpangan” ringan dari tatanan sosial yang umum diterima bersama, maka secara umum perilaku anti sosial identik dengan anak-anak muda usia sekolah. Oleh karena perilaku anti sosial identik dengan anak-anak usia sekolah, maka lembaga-lembaga pendidikan memiliki peran yang tidak kecil untuk memberikan sumbangan agar perilaku ini tidak membesar sehingga merong-rong bangunan sosial yang telah ada. Contoh paling kasat mata untuk ini adalah penggunaan knalpot racing dan menjamurnya peminta amal yang semakin hari semakin mengganggu kehidupan sosial kita. Kedua kasus ini terjadi di jalan raya yang mengganggu kepentingan umum. Oleh karena lemahnya penegakan hukum dan kontrol sosial, maka kedua kasus tersebut telah dianggap sebagai perilaku lazim yang normal oleh masyarakat umum. Tentu ini kabar tidak baik yang harus diperbaiki oleh lembaga-lembaga sosial dan negara.


Perilaku anti sosial, dengan demikian, tidak saja memiliki dampak sosial, namun juga politis. Dampak sosial bisa dilihat dari adanya keberterimaan terhadap perilaku ini sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat padahal perilaku ini merupakan perilaku tidak standar yang tidak patut ditiru. Sementara dampak politisnya bisa mewujud dalam bentuk anarkisme, sebuah ancaman serius bagi demokrasi. Bukan tidak mungkin perilaku anti sosial yang tadinya dianggap kecil dan ringan lambat laun menjadi perilaku kolektif yang kemudian merongrong fondasi demokrasi. Dilihat dari anasir politis ini, bukan dampak langsung penggunaan knalpot racing yang sungguh-sungguh mengancam prinsip-prinsip umum demokrasi, namun gagasan bahwa semua orang harus tunduk pada aturan bersama berdasarkan prinsip demokrasilah yang lebih serius dan filosofis.


Adakah yang bisa dilakukan lembaga pendidikan untuk meminimalisasi perilaku anti sosial ini? Pendidikan dan contoh sejak usia dini mengenai mana perilaku standar dan menyimpang di sekolah akan sangat membantu. Kegiatan-kegiatan sekolah yang bermanfaat serta contoh-contoh perilaku positif dan pro sosial lainnya, yang terintegrasi dengan kurikulum yang baik, paling tidak akan menjadi langkah awal yang baik untuk menjadikan manusia Indonesia yang penuh tanggung jawab di masa-masa mendatang. Siswa akan belajar dari sekeliling mereka mengenai banyak hal. Contoh nyata dan suasana belajar-mengajar yang mendukung akan menjadikan siswa relatif lebih mudah untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang didapatkan di kelas. Teori tentang mana perilaku yang standar dan mana yang menyimpang adalah salah satu komponen saja dari beberapa komponen dalam proses belajar-mengajar. Teori tanpa contoh, tindakan nyata, dan suasana belajar-mengajar yang kondusif hanya akan membuat siswa mencerna nilai-nilai yang diajarkan setengah matang. Contoh nyata jauh lebih kuat dibandingkan kata-kata.


Sekolah diharapkan menjadi tempat mempelajari, menjiwai dan mempraktikkan segala hal baik yang menguntungkan dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Mempercayai ini, artinya kita memberikan mandat penuh kepada sekolah, guru, kurikulum, dan sistem pendidikan yang dijalankan. Konsekwensinya, pemerintah dan masyarakat sudah seyogyanya bertekad memperbaiki pendidikan di Tanah Air yang selama ini dilihat secara sebelah mata. Khusus untuk pemerintah, ia harus konsisten menjalankan amanat undang-undang untuk memenuhi target 20 persen anggaran pendidikan, di samping menciptakan kondisi yang kondusif untuk memajukan pendidikan di Tanah Air.


Bila segala ikhtiar ini telah dipenuhi, perilaku anti sosial, yang mungkin banyak disebabkan oleh kurang optimalnya fungsi pendidikan, bisa diminimalisasi. Dengan demikian, sekolah kembali ke fungsinya semula untuk mencetak manusia yang lengkap, yang memahami nilai-nilai secara baik, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, perilaku anti sosial dan hubungannya dengan pendidikan, masyarakat umum dan pemerintah, bukan hanya merupakan panggilan moral untuk diatasi segera, namun juga merupakan panggilan politik. Absennya keinginan politik untuk mengubah kondisi ini hanya akan memperburuk kondisi yang sudah ada. Semoga bangsa ini memberikan prioritas yang tinggi pada pendidikan, karena hanya pendidikanlah yang mampu menjadikan manusia Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.



1 comment:

  1. Abang buku2 tentang prososial yang dikarang oleh millie apakah judulnya....saya membutuhkan info untuk penelitian saya ..terimakasih

    ReplyDelete

Thanks for visiting my blog.