Saturday, December 28, 2024

Murka dan Berkah Tuhan di balik Gempa Lisboa 1755 Berkekuatan 9 SR

Perspektif KBA News, Sabtu, 28 Desember 2024

Buni Yani

Kekaisaran Portugis yang kaya raya dan digdaya secara militer secara perlahan meredup setelah gempa berkekuatan 8,5 sampai 9 pada skala Richter meluluh-lantakkan kota Lisboa yang cantik, salah satu kota yang menjadi kebanggaan Eropa pada abad ke-18. Inilah gempa yang menulis ulang jalannya sejarah karena dampaknya yang maha dahsyat bagi Portugis dan dunia.

Portugis yang kuat secara militer karena menguasai teknologi perhubungan laut dengan kapal-kapal yang besar menjadi pelopor kolonialisme Eropa setelah Vasco da Gama menemukan jalur laut menuju Afrika dan India. Da Gama melakukan perjalanan pertamanya ke dunia baru selama dua tahun, mulai 1497 hingga 1499.

Vasco da Gama dan penerusnya lambat laun menemukan komoditi yang menjadi kesukaan bangsa Eropa pada waktu itu yaitu rempah-rempah yang tumbuh di Asia. Maka dimulailah era penguasaan perdagangan rempah-rempah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, dan disusul dengan penguasaan wilayah yang dikenal sebagai kolonialisme. Penguasaan wilayah diperlukan untuk menguasai pasokan rempah-rempah.

Ketika gempa terjadi pada 1 November 1755, yang bertepatan dengan perayaan Dia de Todos os Santos (Hari Semua Orang Suci) bagi penganut agama Katolik, umur penjelajahan vasco da Gama sudah lebih 250 tahun, yang menyebabkan Portugis menjadi kekaisaran yang kaya raya dan digdaya secara militer. Wilayah jajahannya sudah tersebar di Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Di Afrika, wilayah jajahan Portugis meliputi negara-negara Guinea Bissau, Mozambique, São Tomé e Príncipe, Tanjung Hijau (Cape Verde), dan Angola; di Asia meliputi Makau (Cina), Malaka (Malaysia), Goa (India), Timor Leste, dan wilayah atau pulau-pulau Indonesia; dan di Amerika Latin meliputi negara Brazil yang luasnya sekitar setengah dari benua Amerika bagian Selatan. Kini wilayah Portugis di luar negara Portugis yang masih tersisa hanya tinggal kepulauan Azores dan Madeira.

Sampai dengan tahun 1755, inilah gempa bumi ketiga paling dahsyat yang pernah terjadi di Portugis. Sebelumnya gempa serupa juga terjadi pada tahun 1332 dan 1531, namun tidak menjadi catatan sejarah penting Portugis. Gempa 1755 yang menewaskan sekitar 30 ribu hingga 40 ribu jiwa dan meluluhlantakkan kota Lisboa ini menjadi gempa yang menjadi sorotan sejarawan karena sejumlah faktor yang menyertainya. Bahkan menurut catatan sejarah, pada 1969 juga kembali gempa besar terjadi, tetapi tidak menonjol seperti gempa 1755.

Gempa 1755 menjadi penanda sejarah penting bagi historiagrafi Portugis karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena gempa ini: 1) mengakibatkan perubahan sosial dan budaya tidak hanya di Portugis tetapi juga di Eropa secara umum; 2) terjadinya krisis iman Katolik bagi pemeluknya; 3) menjadi penyebab awal kemunduran kolonialisme Kekaisaran Portugis serta pemantik peristiwa-pertistiwa besar dunia lainnya; dan 4) munculnya saintisme, buah dari Abad Pencerahan Eropa, yang kemudian di antaranya mempelajari gempa bumi secara ilmiah.

***

Gempa bumi Lisboa 1775 menyebabkan terjadinya perubahan sosial, atau setidaknya pemahaman filosofis mengenai fenomena alam dan sosial, baik di Portugis maupun Eropa secara umum. Perdebatan filosofis antara dua raksasa budaya Eropa pada waktu itu, yaitu Voltaire dan Rousseau di Prancis, menyeruak ke publik. Penyair dan filsuf Voltaire menerbitkan Poemes sur le Desasstre de Lisbonne (Puisi-puisi mengenai Bencana Lisboa) pada Mei 1756, atau enam bulan setelah gempa terjadi.

Voltaire dalam puisinya meragukan ajaran agama, khususnya iman Katolik, yang berpendapat bahwa semua hal di dunia ini baik adanya. Dia menolak pendapat yang mencoba mendamaikan kebaikan Tuhan dengan fakta munculnya penderitaan manusia yang diakibatkan oleh bencana Lisboa. Bagaimana manusia bisa memahami keadilan Tuhan bila Tuhan sendiri pada saat yang sama menurunkan bencana? Ini semacam evaluasi, keraguan, dan gugatan filosofis atas fakta eksistensial penderitaan warga Lisboa.

Filsuf Rousseau menanggapi puisi Voltaire dalam bentuk surat – yang kemudian dikenal sebagai “surat Rousseau mengenai takdir Tuhan” – dan membela ajaran konservatif agama yang mengajarkan optimisme dan kepercayaan akan kebaikan Tuhan. Kata Rousseau, tidak mungkin Tuhan mengirim bencana, dan penyebab bencana bukanlah manusia, tetapi kondisi sosiallah yang menyebabkannya. Surat Rousseau ini terekam dalam buku Lettre de J.J. Rousseau à Monsieur de Voltaire (Surat J.J. Rousseau ke Tuan Voltaire) yang sudah ditulis pada Agustus 1756 tetapi terbit tahun 1759.

***

Pemeluk Katolik yang taat mempertanyakan iman Katolik mereka karena apa maksud Tuhan di balik bencana maha dahsyat gempa bumi berkekuatan sekitar 8,5 hingga 9 pada skala Richter itu. Tokoh-tokoh agama mengatakan gempa ini adalah bentuk kutukan dan kemarahan Tuhan kepada umat Katolik dan bangsa Portugis. Bila perdebatan Voltaire dan Rousseau didasarkan pada persoalan filosofis, maka bagi umat Katolik ini adalah masalah teologis yang menggoyang iman.

Fakta bahwa bencana maha dahsyat ini terjadi pada perayaan Dia de Todos os Santos pada 1 November sangatlah sulit dipercayai oleh iman Katolik banyak warga Lisboa. Di negara-negara penganut Katolik, perayaan ini dilakukan untuk memperingati dan memberikan penghormatan kepada semua orang suci dan martir baik yang dikenal maupun tidak.

Pada perayaan 1 November 1755, hampir semua warga Lisboa menuju gereja untuk melakukan peribadatan. Mereka meninggalkan rumah dengan lilin masih menyala. Jemaat gereja berdoa untuk para santo dan martir yang dipercayai sedang bersama Yesus di surga. Dalam Bahasa Latin, perayaan ini dekenal sebagai Festum Omnium Sanctorum.

Namun pada jam 9.40 pagi, ketika hampir semua orang sedang berdoa di gereja, tiba-tiba gempa maha dahsyat berkekuatan antara 8,5 hingga 9 pada skala Richter mengguncang Lisboa dan kota-kota lain di Portugis selama 10 menit. Energi yang dikeluarkan gempa ini sebesar 475 megaton TNT, atau sama dengan 32 ribu bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, atau tiga kali lebih dahsyat daripada ledakan Gunung Krakatau. Titik episentrum berada di tengah laut sekitar 200 kilometer dari Lisboa.

Tiba-tiba lonceng gereja bergoyang dan berbunyi sendiri. Menyadari apa yang sedang terjadi, orang-orang berteriak keluar gereja mencari selamat. Dalam sekejap kota Lisboa rata dengan tanah. Lilin-lilin yang masih menyala jatuh dan membakar benda-benda di sekelilingnya. Ini kemudian menimbulkan kebakaran hebat.

Tidak lama berselang setelah gempa, tsunami yang sangat besar menghantam kota dan menenggelamkan banyak orang. Kota yang telah rata dengan tanah kini disapu oleh banjir tsunami. Tetapi tak cukup dengan itu, pukulan ketiga datang. Kebakaran besar akibat lilin-lilin yang berjatuhan meghanguskan seluruh kota selama enam hari. Lisboa kini porak poranda, tinggal puing dan jelaga hitam.

Pukulan demi pukulan bencana dalam waktu bersamaan ini betul-betul mengoyak eksistensi dan iman Katolik warga. Di hari besar umat Katolik yang mendoakan orang-orang suci tetapi tiga bencana secara bersamaan menghantam. Sangat sulit untuk memahami bagaimana kebakaran bisa terjadi setelah tsunami dan banjir merendam kota. Apakah air yang masuk ke rumah-rumah tidak cukup dan tidak kuat memadamkan api yang timbul akibat jatuhnya lilin?

Raja José yang berkuasa kala itu selamat dari bencana karena berada di luar kota tetapi mengalami pukulan mental yang luar biasa. Dia depresi melihat kota indah dan negerinya hancur. GDP seluruh negeri tinggal hanya separuh, dan dia lumpuh secara mental. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk membangun kembali kehancuran yang dia saksikan di depan mata.

Raja malang itu tidak pernah lagi berani tidur di dalam bangunan sampai ajal menjemput. Dia mendirikan kemah di tanah lapang dan tidur di sana. Sang raja mengidap klaustrofobia.

***

Gempa bumi ini disebut-sebut sebagai penyebab awal rangkaian kemerosotan kekuasaan Kekaisaran Portugis yang tersebar di empat benua. Krisis dimulai dari lumpuhnya mental raja José yang tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali negerinya yang sudah hancur berkeping.

Kesempatan ini digunakan oleh menteri Marquês de Pombal untuk mempromosikan dirinya ke tampuk kekuasaan. Dia mengumpulkan segala sumber daya untuk membangun kembali Lisboa yang sudah tinggal puing. Dia mengerahkan militer dan menugaskan para insinyur untuk membuat rancangan pembangunan kembali.

Kerugian yang diderita Portugis sangatlah besar. Emas yang diangkut dari daerah jajahan di Brazil diberitakan amblas seketika akibat gempa, banjir tsunami, dan kebakaran besar itu. Gudang penyimpanan bernama Casa da India (Gedung India) yang menyimpan batu permata dari Brazil dengan nilai 1,5 persen dari GDP Portugis waktu itu lenyap. Ekonomi dan kekuasaan kekaisaran Portugis melemah. Inilah yang menyebabkan musuh dan daerah jajahan mulai berani bangkit melawan.

Daerah jajahan Portugis di Goa (India) lambat laun dikuasai oleh Inggris pada 1799-1815. Terjadi pemberontakan di Brazil pada 1788 yang dipimpin oleh Tiradentes, meskipun ia tertangkap dan dieksekusi empat tahun kemudian di tempat umum. Pada 1815 Brazil mendapatkan status yang sama dengan penjajah Portugis, dan akhirnya merdeka dari Portugis pada tahun 1822.

Tidak cuma itu. Gempa Lisboa 1755 juga disebut mempengaruhi perdagangan antara Portugis dan Inggris yang kemudian mempercepat terjadinya Revolusi Amerika 1776. Revolusi Prancis 1789 yang menyusul Revolusi Amerika adalah rentetan dari rangkaian sejarah besar ini.

Memudarnya kekuasaan Portugis di daerah jajahan dan pengaruhnya pada sejarah dunia secara langsung atau tidak disebabkan oleh gempa Lisboa. Namun tentu saja hipotesis ini memerlukan studi lanjutan dengan bukti-bukti yang valid.

***

Gempa Lisboa memicu munculnya saintisme atau sikap yang percaya dan bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memahami dunia. Pelopornya siapa lagi kalau bukan menteri Marquês de Pombal yang dengan gigih membangkitkan semangat orang yang selamat dari bencana untuk membangun kembali kota yang telah porak poranda.

Pombal punya agenda politik dengan inisiatifnya ini yaitu untuk menggantikan peran Raja José yang lumpuh secara mental, yang kemudian membuatnya memerintah selama 22 tahun. Namun sejarah kemudian mencatat Pombal mempunyai kontribusi besar sebagai pelopor rekonstruksi kota dan pengurangan risiko bencana.

Pombal memerintahkan dikumpulkannya bukti dari banyak sumber mengenai gempa tersebut yang berasal dari catatan dan pengakuan orang-orang yang terdampak. Dari catatan ini dilakukan analisis mengenai karakteristik gempa dan akibatnya. Setelah dilakukan analisis, tim Pombal membuat kesimpulan.

Kesimpulan ini dijadikan rujukan untuk pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya di Lisboa. Salah satu temuan penting dari usaha ini adalah inovasi teknologi yang dikenal sebagai “kerangkeng Pombal” (gaiola pombalina) dalam konstruksi bangunan. Kerangkeng Pombal yang terbuat dari kayu ini berfungsi sebagai tulang bangunan yang berguna untuk membuat bangunan semakin kokoh berdiri dan menjadikannya tahan gempa.

Pendekatan Pombal terhadap bencana Lisboa yang mengedepankan saintisme adalah buah dari Abad Pencerahan Eropa yang memisahkan diri dari pengaruh gereja yang kuat. Abad Pencerahan yang berlangsung pada abad ke-17 dan 18 merupakan gerakan intelektual yang mengedepankan rasionalisme dan empirisme. Di antara kejadian yang mengawali munculnya Abad Pencerahan adalah terbitnya buku René Descartes Discours de la Méthode (Uraian mengenai Metode) pada 1637 dan buku Isaac Newton Principia Mathematica (Prinsip Matematika) pada 1687.

Pombal bersentuhan dengan ide-ide Abad Pencerahan setelah tinggal di Inggris dan Austria yang membuatnya sadar bahwa Portugis jauh tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan. Kini Pombal dikenal sebagai orang pertama yang melakukan studi mengenai gempa yang melahirkan ilmu seismologi. Akibat jerih payahnya ini Lisboa mendapat predikat sebagai kota pertama di dunia yang memiliki bangunan tahan gempa.

***

Melakukan refleksi atas gempa maha dahsyat Lisboa 1755 mau tidak mau mengantarkan kita ke kesimpulan yang tidak bisa tunggal. Bahwa, pertama, sebagai orang beragama, kita diajarkan untuk percaya bahwa apa pun kejadian di atas dunia ini pasti ada sebab-akibatnya. Pasti atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Tidak selembar pun daun jatuh tidak atas pengetahuan, kehendak, dan kekuasaan Tuhan.

Maka atas kepercayaan ini, orang beragama pasti percaya bahwa bencana maha dahsyat di Lisboa tahun 1755 itu pastilah atas kehendak Tuhan, dan orang beragama pasti percaya bahwa itu adalah bentuk hukuman Tuhan atas dosa-dosa yang diperbuat penduduk di sana. Mempercayai sebaliknya, menganggap bencana itu sebagai fenomena alam semata, adalah bentuk pengingkaran atas kuasa dan kehendak Tuhan.

Bagaimana kalangan sekuler dan ateis bisa menjelaskan kenapa gempa itu harus terjadi pada tanggal 1 November 1755? Kenapa bergeraknya lempeng bumi yang mengakibatkan gempa besar harus terjadi pada tanggal itu, bukan pada tanggal 1 Desember atau tahun 1776, misalnya? Apakah ini terjadi secara acak saja atau sudah direncanakan oleh Tuhan? Ini masalah gaib yang hanya Tuhan yang tahu. Ilmu pengetahuan modern sama sekali belum bisa memahami masalah ini.

Kedua, di balik hukuman dan murka Tuhan itu, ternyata ada berkah dan hikmah di baliknya. Yaitu, Tuhan ingin memberikan pelajaran kepada hambaNya agar mereka kembali ke jalan yang benar, berbuat baik di atas bumi, dan hanya menyembah Tuhan yang satu.

Tidak hanya itu, dengan hukuman seperti terjadi di Lisboa, Tuhan sedang menurunkan berkah berupa ujian yang baik yang kemudian melahirkan ilmu seismologi, perencanaan kota, dan ilmu bangunan modern. Di balik dosa dan hukuman yang diderita oleh warga Lisboa, yang juga dipercayai demikian adanya oleh umat Katolik di sana, ternyata pada saat yang sama melahirkan berkah yang membuat nama kota itu tak berhenti mendapat pujian hingga kini di banyak buku ilmiah.

Bahwa Lisboa menjadi eksemplar dari praksis rasionalisme dan empirisme Abad Pencerahan Eropa, yang menjadikannya harum semerbak di kalangan akademia. Sementara bagian-bagian Eropa lain cuma masih bisa berwacana mengenai perwujudan rasionalisme dan empirisme, Lisboa dan Portugis melangkah lebih maju karena mampu mewujudkannya menjadi bangunan tahan gempa dan tata kota modern yang kasat mata.

Jadi, di balik murka Tuhan, karena Dia begitu sangat menyayangi hambaNya, dalam kemaharahanNya pun Dia menyisipkan berkah kepada hambaNya. Wallahu a’lam. ***

Saturday, December 21, 2024

Pengemis Pincang dari Matraman dan Konsep Aglomerasi yang Mengambang

Perspektif KBA News, Sabtu, 21 Desember 2024

Buni Yani

Jakarta yang sudah berubah status tidak lagi menjadi ibu kota tetapi hanya daerah khusus sangat susah disebut sebagai kota modern dalam visi dan cita-cita para planolog sekolahan. Jakarta adalah desa biasa. Yaitu tempat warga di gang-gang kecil ngerumpi, meludah sembarangan, dan membuang sampah secara serampangan tanpa merasa bersalah. Jakarta adalah desa biasa, cuma ukurannya saja yang super besar.

Kota modern dalam visi perencana kota adalah kota yang tidak hanya infrastrukturnya modern, tetapi juga perilaku warganya menunjukkan sikap lebih rasional dan disiplin, yang tentu berbeda dengan orang desa. Tetapi Jakarta bukanlah kota seperti itu. Jakarta adalah desa, desa yang sangat besar, yang kini wilayahnya telah ditabalkan menjadi aglomerasi meniru Paris.

Para pembuat undang-undang menggunakan nomenklatur “aglomerasi” untuk menyebut bagian-bagian kota serta perluasannya yang kini sudah menjadi megacity. Tetapi jelas bukan meniru Paris dalam hal keindahan, kedisiplinan, dan hal-hal yang menunjukkan dunia modern seperti ditulis dalam buku terkenal filsuf Sekolah Frankfurt Walter Benjamin, Das Passagen Werk (The Arcade Project).

Karenanya, di sinilah sumber masalahnya. Bahwa meniru yang baik-baik tentu bagus, bahkan wajib hukumnya. Tetapi bila hanya meniru konsep aglomerasi yaitu kawasan inti Paris yang diperluas ke lingkar luar pertama, kedua, dan seterusnya, maka ini tidak lebih hanya meniru konsep ruang atau spasial – bukan mengambil intisari dan pelajaran, misalnya, dari dampak modernitas Paris seperti dikritik oleh penyair Charles Baudelaire dalam karyanya Les Fleurs du Mal (Bunga-bunga Busuk).

Pada abad ke-19 kota Paris sudah menjadi ibu kota dunia sebelum kota New York menggantikannya. Paris tumbuh menjadi kota modern. Pameran berskala internasional diadakan secara berkala. Gedung dan bangunan berukuran gigantik dibangun. Taman-taman yang indah menghiasi kota yang menjadi standar kecantikan ruang urban dunia modern.

Walter Benjamin, filsuf Sekolah Kritis Frankfurt itu, tidak bisa menolak pesona dan daya tarik Paris. Ia lalu datang mengkaji kota yang indah dan modern itu, Paris yang menjadi kebanggaan Eropa, juga dunia. Paris ibarat lampu bagi anai-anai di malam gelap gulita. Paris diserbu manusia dari segala penjuru, tempat berkumpulnya para filsuf, intelektual, dan seniman. Dari sinilah asal-muasal karya Walter Benjamin yang monumental itu.

Tetapi, sebagian kalangan melihat Jakarta jauh dari visi modernitas Paris, Paris-nya Walter Benjamin dan Charles Baudelaire, Paris yang di kemudian hari tumbuh menjadi kota besar, lalu menelurkan konsep aglomerasi. Jakarta tidak seperti itu.

Jakarta masih berkutat dengan sampah yang baunya semriwing ke mana-mana. Jakarta masih berperang melawan dirinya sendiri agar lampu merah tidak dilanggar, trotoar tidak dilalui sepeda motor dan jadi tempat berjualan, dan jalur sepeda tidak dijadikan tempat parkir. Jakarta masih berjuang mengatasi kemiskinan yang akut di mana pengemis dan gelandangan menyabung nyawa setiap hari agar bisa bertahan hidup.

Jakarta kini adalah Matraman di waktu gerimis tebal yang pengemisnya tetap beroperasi. Ketika para pedagang kaki lima menutup barang dagangan seadanya agar segera dapat berjualan setelah gerimis mereda. Matraman adalah ketika bunyi sirine tanda kereta api akan lewat tetapi para pengendara sepeda motor dan mobil masih keras kepala melintasi rel padahal palang kayu sudah diturunkan.

Mau tak mau Matraman adalah antitesis Paris – padahal dia sudah disebut sebagai aglomerasi! Dan bisa jadi Matraman akan masuk wilayah aglomerasi inti seperti kawasan Montmartre atau Champs-Élysées yang mashur itu.

Seharusnya pembuat undang-undang dan penggagasnya bisa meniru hal yang lebih esensial dari Paris seandainya mereka terinspirasi oleh kota indah itu. Misalnya, di samping ingin meniru konsep aglomerasi, seharusnya mereka juga memikirkan hal yang lebih mendasar dan penting, hal yang bisa mengubah kehidupan warga Jakarta secara fundamental.

Memang disebutkan dalam undang-undang bahwa konsep aglomerasi yang menyatukan wilayah Jabodetabek plus Cianjur itu di antaranya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi ide ini sangatlah umum, tidak mengatakan apa-apa bila berkaca pada banyak undang-undang dan program pemerintah di masa-masa sebelumnya.

Amanat undang-undang sangat ambisius karena aglomerasi ini di samping bercita-cita melakukan sinkronisasi pembangunan dan tata ruang di kawasan Jabodetabek plus Cianjur, tetapi juga melakukan sinkronisasi dan integrasi pengelolaan transportasi, pengelolaan sampah, pengelolaan lingkungan hidup, penanggulangan banjir, pengelolaan air minum, pengelolaan B-3 dan limbah B3, infrastruktur wilayah, dan energi. Jelas ini bukan pekerjaan kecil, tetapi pekerjaan besar yang memerlukan manajemen handal dengan kedisiplinan tingkat tinggi.

Namun besarnya scope pekerjaan inilah yang menimbulkan keragu-raguan banyak kalangan. Karena selama ini kegagalan ikhtiar dan usaha di mana-mana di tanah air tercinta ini tidak disebabkan oleh kurangnya undang-undang dan peraturan, tetapi sebagian besar oleh perilaku buruk pelaksananya. Ini murni soal mentalitas, bukan soal ketersediaan perangkat hukum.

Jadi, sebelum terlalu jauh membuat macam-macam hal yang terlalu indah tetapi justru membuat publik semakin ragu, sebaiknya para perencana memikirkan untuk mendorong pihak terkait menjalankan undang-undang yang sudah ada sebaik-baiknya, secara profesional, dan murni untuk kepentingan rakyat.

Sayang sekali bila undang-undang yang dibuat dan menghabiskan anggaran besar dan kelak pelaksanaannya pun menghabiskan dana yang lebih besar lagi – yang sumbernya adalah pajak rakyat – hanya akan menjadi monumen kegagalan, karena pelaksananya sama dengan pelaksana banyak undang-undang yang sebelumnya dibuat tapi hasilnya nol. Sayang sekali bila dana publik dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak produktif dan sia-sia.

Jakarta pertama-tama memerlukan inisiatif untuk mengentaskan kemiskinan, mengangkat derajat warganya lewat pendidikan gratis, serta mendisiplinkan seluruh warga dengan contoh langsung dari para pejabat. Hanya dengan hal-hal ini Jakarta bisa berubah secara mendasar. Kota maju dan modern tidak bisa dibangun bila warga yang tinggal di dalamnya masih miskin, isi kepalanya terbelakang, dan berbudaya rendah.

Faktanya sekarang, di Matraman seorang pengemis dengan dua penyangga tubuh masih meminta-minta belas kasihan orang lewat padahal hari sedang mendung dan turun gerimis. Aspal basah, kendaraan wara-wiri lewat di depannya, dan tak seorang pun memberikan koin recehan. Namun begitu, dia selalu duduk di tempat yang sama untuk memohon belas kasihan orang-orang yang lewat.

Pengemis pincang dengan dua penyangga tubuh yang dikepit di ketiaknya itu bukanlah satu-satunya warga yang perlu dientaskan oleh negara. Pemandangan serupa bisa ditemukan di Blok M, Pasar Baru, Pasar Minggu, Tanjung Priok, dan banyak lagi sudut kota. Kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari padahal pajak tak henti-hentinya dinaikkan. Jelas ini semiotika sosial yang mendedahkan suatu perkara yang amat penting. Yaitu, pasti ada yang salah dalam tata kelola kepentingan publik.

Pengemis malang dari Matraman yang masih duduk di pinggir jalan ketika gerimis turun dan aspal basah adalah cerita tentang kemiskinan yang ekstrem. Cerita tentang rezim yang gagal menjalankan amanat undang-undang bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Ini adalah cerita tentang tata kelola yang salah, dan cerita tentang gagalnya sebuah rezim.

Yang terjadi sekarang, para pejabat korupsi dan oligarki menghisap darah rakyat dengan kejam. Kekayaan Indonesia yang berlimpah ini cuma bisa dinikmati oleh segelintir orang yang pintar menipu, menjilat, dan mencuri tanpa mengindahkan akibatnya untuk kemanusiaan. Mereka adalah penjahat yang pertama-tama harus ditarget karena absennya empati mereka kepada sesama manusia, karena berbuat kejahatan yang melampaui akal sehat.

Cita-cita membangun kota dengan konsep aglomerasi yang disahkan lewat undang-undang tentu saja baik dan wajib diapresiasi. Namun cita-cita ini bukan tanpa reserve dan maksum dari kritik. Bahwa aglomerasi seharusnya bukan slogan kosong untuk gagah-gagahan, dan aglomerasi bukan proyek segelintir orang untuk mencairkan anggaran dari pajak milik rakyat.

Karena aglomerasi kelak seharusnya mampu membuat pengemis dengan dua penyangga tubuh di Matraman itu tidak lagi meminta-minta di hari gerimis. Karena aglomerasi Jakarta seharusnya ditujukan untuk warga agar semakin makmur, berbudaya, dan beradab.

Tapi kemungkinan hal itu bisa terwujud sangatlah muskil. Karena memang sejak awal konsepnya masih mengambang. ***

Saturday, December 14, 2024

Elegi Suriah: Halab, Damsyik, dan Kota-kota yang Tersedu

Perspektif KBA News, Sabtu, 14 Desember 2024

Buni Yani

Halab dikenal sebagai kota budaya Suriah. Lidah Barat menyebutnya sebagai Aleppo. Halab, salah satu kota tertua di dunia yang dihuni oleh umat manusia, menyimpan kekayaan spiritual yang luar biasa. Di sinilah tempat lahir penyanyi dan muazzin terkenal Sabri Moudallal yang legendaris itu. Moudallal adalah duta budaya terbaik yang dimiliki Suriah, sosok yang dianggap Barat mewakili dunia Timur secara sempurna.


Damsyik tidak cuma bersejarah karena usianya yang sudah ribuan tahun, tetapi juga di zaman modern ini menjadi pusat pemerintahan. Lidah Barat menyebutnya sebagai Damaskus. Umat Nasrani sangat mengenal Damsyik karena kota inilah tujuan Paulus dari Tarsus dalam perjalanan dari Palestina. Dalam Kisah Para Rasul di Bibel disebutkan bahwa sebelum sampai Damsyik, Paulus berjumpa dengan Yesus tetapi hanya lewat suara, sementara cahaya Yesus menyilaukan matanya yang menjadikannya buta, yang kemudian menyebabkan Paulus dibaptis menjadi seorang Kristen yang taat.

Kota-kota Suriah sudah setua peradaban umat manusia. Yahudi, Kristen dan Islam silih berganti menjadi agama yang mewarnai kehidupan dan peradaban di sana. Tetapi sebelum ketiga agama itu datang, Suriah sudah mendapat pengaruh dari Yunani dan Romawi. Karena beragam pengaruh inilah maka Suriah menjadi negeri yang kaya akan budaya di antaranya dalam bentuk arsitektur, bahasa, makanan, dan musik.

Damsyik atau Dimasyk juga dikenal sebagai negeri Syam. Orang Islam tentu sangat kenal dengan negeri ini karena tertera dalam sirah nabawiyah atau sejarah kenabian Nabi Muhammad SAW. Negeri Syamlah tujuan Nabi Muhammad waktu muda untuk berdagang. Beliau membawa barang dagangan dari kota Mekkah ke Syam milik saudagar kaya Siti Khadijah, yang kelak akan menjadi istrinya.

Di negeri Suriah inilah pula tempat Nabi Muhammad SAW bertemu dengan pendeta Nasrani yang masyhur kala itu bernama Bahirah di sekitar kota Busyra. Nabi waktu itu masih berumur 12 tahun. Beliau dibawa oleh pamannya, Abu Thalib, untuk berdagang ke Syam. Pendeta Bahirah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad kecil seperti tercantum dalam kitab sucinya.

Melihat tanda-tanda kenabian itu, Pendeta Bahirah meminta Abu Thalib membawa kembali Muhammad kecil keponakannya ke Mekkah dan mengurungkan niat masuk Syam untuk berdagang. Ini untuk menghindari agar Muhammad kecil tidak dicelakai oleh orang-orang Yahudi dan Romawi.

Suriah tidak kekurangan pujian karena kemuliaannya sejak dahulu kala. Syam dan Palestina dipercayai mendapatkan berkah dari Allah SWT sesuai dengan bunyi ayat 71 Surah al-Anbiya (21) pada al-Qur’an. Para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud sebagai negeri yang diberkati dalam ayat ini adalah Syam dan Palestina.

Syam dan Palestina yang dikenal lebih subur dari wilayah sekitarnya di Timur Tengah diberkati oleh Allah SWT karena dua wilayah ini merupakan tempat kelahiran dan tempat diutusnya 12 nabi. Mereka adalah Luth, Ishak, Ya’kub, Ayub, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa, Zakaria, Yahya, dan Isa AS. Syam dan Palestina akan selalu menarik sejarawan karena begitu banyaknya kejadian penting di dua negeri ini yang kemudian mempengaruhi peradaban umat manusia.

SSebagai peminat antropologi musik, saya mengenal kota Halab lewat suara Sabri Moudallal yang merdu. Tahun 2002 saya membeli sejumlah CD di sebuah toko musik lumayan besar di Washington, DC. Pada sebuah counter yang diberi label “World Music”, di sana ada dipajang rekaman Moudallal bersama musik dari berbagai negara.

Album CD Sabri Moudallal yang dipajang itu berjudul “Chants d’Alep” (Nyanyian dari Aleppo) dan dirilis oleh Institut du Monde Arabe (Lembaga Dunia Arab) pada tahun 1999 di Paris, sebuah lembaga yang didirikan oleh pemerintah Prancis bersama 18 negara Arab.

Musik Moudallal dianggap unik dan penting karena mempunyai corak musik Arab yang hanya hidup di kota Halab. Pengetahuan musiknya berkaitan dengan kemampuan melantunkan azan untuk shalat. Para muazzinlah yang menurunkan kemampaun jenis musik ini ke para yunior mereka.

Tradisi ini tentu sudah langka dibandingkan dengan musik Arab modern pada umumnya. Bahkan kini musik Arab di antaranya sudah ada yang meniru orkestra Barat, band dengan genre hip hop, pop, jazz, dan macam-macam jenis musik yang sudah tidak menunjukkan karakter Arab yang khas.

Hal inilah yang menyebabkan Sabri Moudallal menjadi istimewa, meskipun ia jelas bukan musisi yang lahir dari bangku sekolah. Moudallal dikenal mempunyai suara yang merdu. Dia menguasai musik yang ia bawakan, dan sebagai seorang seniman panggung, dia mampu memukau penonton.

Kemampuan musik Moudallal murni berasal dari proses belajar lewat mendengar. Karena tidak ada kriteria definitif sebagai tolok ukur dalam skema budaya musik Halab ini, maka sulit bagi kebanyakan orang untuk memahami dan menguasai esensi musiknya. Dalam tradisi musik Halab, seseorang yang berbakat musik, meskipun hanya belajar lewat proses mendengar saja, maka dia harus menguasai apa yang disebut sebagai tarab, atau emosi. Dan Sabri Moudallal dianggap musisi yang tidak ada duanya dalam urusan ini!

Institut du Monde Arabe menyebutkan lagu-lagu yang dibawakan oleh Moudallal masih terikat dengan pakem wasla (washlah) – suatu istilah dalam musik Arab yang mempunyai pengertian jamak. Wasla ini, kata Institut, dewasa ini hanya bisa ditemukan di Halab, tidak ditemukan di tempat mana pun di negara-negara Arab Timur Tengah.

Ketika pertama kali mendengarkan album Moudallal ini dulu, saya cukup terkejut mendengar suara azan pada lagu ke-13 berjudul “Ya Hadi” / “Toi qui Conduis” (Wahai Engkau yang Memberi Petunjuk). Tidak cuma itu, lagu terakhir pada album ini adalah shalawat Nabi berjudul “Tala’a al-Badru ‘Alayna” / “Tel la Pleine Lune, Il Apparut…” (Bulan Purnama Telah Terbit kepada Kita) yang sangat populer di Indonesia dan negara-negara Islam. Baru setelah membaca katalog yang disertakan pada album, saya mulai mengerti. Moudallal memang pertama kali adalah seorang muazzin, baru kemudian melantunkan lagu-lagu baik yang bercorak keagamaan maupun tidak.

Christian Poché, seorang etnomusikolog yang mewakili Institut du Monde Arabe, menulis katalog pada album CD ini, dan menyebut Moudallal sebagai “premier muezzin d’Alep” (muazzin utama dari Aleppo). Karena jauh sebelum Moudallal diundang ke berbagai negara dengan lagu-lagu yang dia nyanyikan, Moudallal dikenal di Halab sebagai seorang muazzin. Di samping itu, Moudallal dan grupnya juga manggung di berbagai acara pernikahan untuk menghidupkan suasana penuh kegembiraan.

Nama Moudallal melambung sejak dia dan grupnya, Muazzin Halab, diundang pentas di Paris pada tahun 1975. Undangan setelah itu datang dari Hongkong, Jenewa, Berlin, Tunis dan Heraklion yang membuat namanya populer di dunia internasional. Meskipun begitu, Moudallal tidak berubah. Dia tetap hidup sederhana, menjalani profesi utamanya sebagai muazzin.

Penampilan “muazzin utama” selalu rapi dan enak dipandang mata. Ciri khasnya selalu mengenakan topi fez Suriah tinggi berwarna merah dalam setiap kesempatan pentas baik di acara konser maupun acara pernikahan. Fez sendiri artinya topi, artefak budaya peninggalan Daulah Utsmaniyah yang berkuasa di Suriah selama lebih dari 400 tahun.

Topi fez pernah dilarang di Turki setelah kekhalifahan Utsmaniyah runtuh. Kemal Attaturk yang anti Islam, yang kemudian berkuasa setelah itu, menganggap topi fez sebagai simbol Islam yang harus dilarang. Attaturk mendirikan negara sekuler Turki dan memberangus segala macam simbol yang berkaitan dengan Islam.

Sabri Moudallal, muazzin utama itu, mungkin punya pesan khusus kepada umat Islam sedunia mengapa dia selalu mengenakan topi fez panjang berwarna merah setiap kali tampil di hadapan khalayak. Lahir di kota Halab pada tahun 1918 dan meninggal dunia pada tahun 2006, Moudallal baru saja berumur empat tahun ketika Daulah Utsmaniyah jatuh di Turki. Usia balita yang belum tahu apa-apa, apa lagi mengenai politik.

Moudallal kelihatannya ingin berbicara tidak hanya lewat musiknya yang merdu, tetapi juga lewat semiotika yang gampang dibaca khalayak. Topi fez, topi peninggalan Daulah Utsmaniyah yang berbicara. Berbicara kepada dirinya, juga khalayak.

Topi fez Sabri Moudallal tidak hanya memunculkan kembali memori tentang sejarah kelam jatuhnya Daulah Utsmaniyah yang membuat umat Islam sedunia tercerai-berai, tetapi juga sejarah yang sedang berlangsung di bawah kendali keluarga al-Assad yang telah memerintah selama 53 tahun.

Topi fez Moudallal mau tak mau adalah katalisator sejarah par excellence. Ia seolah-olah berbicara mengenai Suriah yang tidak kunjung damai, Suriah yang penuh konflik, dan Suriah yang penuh penderitaan. Dan topi fez ini juga seolah-olah ingin bercerita mengenai jatuhnya Basyar al-Assad secara tiba-tiba akibat serangan tentara pemberontak.

Basyar al-Assad yang mewarisi tahta ayahnya, Hafiz al-Assad, memerintah dengan tangan besi dan membantai musuh-musuh politiknya secara kejam. Sejak naik ke tampuk kekuasaan secara bengis, Suriah tak henti dirundung malang. Berkecamuk perang saudara yang membuat ratusan ribu orang terbunuh dan mengungsi.

Basyar al-Assad memang telah jatuh kini dan pergi mencari suaka ke Moskwa, tetapi masa depan Suriah masih di atas awang-awang – belum pasti. Rakyat yang lelah dan menderita menunggu apakah penguasa mendatang akan mampu membawa kedamaian dan kemakmuran untuk negeri yang mereka cintai.

Suriah kini tak henti berurai air mata. Banyak bangunan dan peninggalan budaya penting rusak akibat perang. Kemarahan dan kebencian bersimaharajalela. Dan dalam keadaan demikian, berbicara mengenai peninggalan budaya menjadi topik yang terlalu mewah dan absurd.

Halab, Damsyik, Hims, dan kota-kota lain menangis tersedu. Air mata sudah terkuras habis, dan tidak ada lagi yang bisa mengalir. Nyanyian Moudallal kini berubah menjadi elegi – lagu yang sendu. Lagu yang pilu. ***

Saturday, December 7, 2024

Ternyata Agama Majusi Persia Kuno Masih Hidup, dan Ada Pemeluknya

Perspektif KBA News, Sabtu, 7 Desember 2024

Buni Yani

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba muncul video di akun Youtube saya yang menampilkan ibadah penganut agama Majusi di Singapura. Kelihatannya algoritma Youtube menghubungkan saya dengan video terakhir ini setelah membaca histori video-video yang saya tonton sebelumnya. Melihat video ini melintas, saya langsung menontonnya karena penasaran.

Saya memang berlangganan sejumlah kanal berita dan dokumenter yang sangat bermanfaat untuk kepentingan studi sejarah, politik, ekonomi, dan banyak bidang lainnya. Kemunculan video ini membuat saya sangat terkejut karena melawan pemahaman saya dan banyak orang selama ini mengenai agama Majusi kuno.

Kini agama Majusi dipercayai memiliki sekitar 100 ribu hingga 200 ribu pengikut di seluruh dunia. Konsentrasi terbesar ada di India, Iran, dan Amerika.


Agama Majusi bagi umat Islam bukanlah agama yang asing karena disebutkan baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Pada Surah al-Hajj (22) ayat 17 Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi`in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.”

Sedangkan dalam Hadits, Nabi Besar Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah setiap anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan ternak yang dilahirkan, ia dilahirkan dalam keadaan sehat. Apakah engkau lihat hewan itu terputus telinganya?” (HR Bukhari dan Muslim).

Waktu saya kecil di Lombok, bapak saya yang orang awam sering menyinggung soal kaum Majusi ini dalam obrolan keluarga. Saya yakin almarhum bapak mendapatkan informasi dari guru mengajinya, dan saya yakin pula guru mengajinya mendapatkan informasi yang sama dari gurunya atau langsung membaca dari al-Qur’an atau Hadits.

Orang Islam pada umumnya melihat pemeluk agama Majusi – yang di Barat dikenal sebagai Zoroastrianisme – adalah penyembah api. Tetapi penganut Majusi di Singapura yang saya tonton di video itu membantah pendapat ini. Kata dia, orang Majusi menyembah Tuhan yang esa bernama Ahura Mazda.

Saya mencoba mencari tahu mengenai klaim penganut Majusi di Singapura itu. Ternyata memang betul. Dari berbagai sumber di internet disebutkan bahwa agama Majusi atau Zoroastrianisme mengaku sebagai agama monoteistik (tauhid) pertama di dunia, mendahului monotesime Yahudi dan Islam. Agama Majusi memang sudah berumur 3500 tahun, yang lahir sekitar tahun 1500 sebelum Masehi, bertepatan dengan kekuasaan Korus (Cyrus) yang Agung di zaman Persia kuno.

Berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan bahwa agama Majusi adalah penyembah api, penganut agama Majusi modern mengatakan bahwa yang mereka sembah adalah Ahura Mazda yang disimbolkan dengan api. Api, atau “atar” di dalam bahasa agama Majusi, adalah simbol kemurnian, cahaya dan kehadiran Tuhan.

Kuil Zoroaster di Yazd, Iran yang dikenal sebagai kuil api mempunyai bejana api yang terus menyala selama 24 jam sehari dan tujuh hari selama sepekan. Dikenal dalam Bahasa Parsi sebagai Ātaškade-ye Yazd yang berarti Kuil Api Yazd, tempat ibadah ini dipercayai telah menyimpan api di dalam bejana pemujaan itu sejak tahun 470 Masehi, atau sudah lebih 1550 tahun tanpa mati sedetik pun. Karena suci dan istimewanya api simbol Ahura Mazda ini, maka kuil ini juga dikenal sebagai Ātaš-e Bahrām-e Yazd atau Api Kemenangan Yazd.

Api suci ini dijaga oleh seorang pendeta yang disebut Hirbod secara bergantian. Untuk mempertahankan api di dalam bejana terus menyala, sang pendeta memasukkan kayu kering beberapa kali dalam sehari yang kebanyakan diambil dari pohon aprikot dan almond. Pendeta yang bertugas wajib mengenakan penutup muka agar tidak mengotori api suci yang dijaganya. Tidak cuma itu, sambil menjaga api, si pendeta juga melakukan ritual keagamaan Majusi. Ini tak lain untuk memuliakan dan mensakralkan api di dalam bejana yang merupakan wujud dari Ahura Mazda.

Harus diingat bahwa tidak semua orang bisa menjaga api dan memasukkan kayu ke dalam bejana yang terbuat dari perunggu itu kalau bukan seorang Hirbod!

Pengunjung kuil tidak diperbolehkan mendekat ke bejana api. Bejana api dipagari menggunakan kaca yang membuat pengunjung hanya bisa melihat api dari balik kaca. Aturan ini tidaklah mengherankan karena kuil api Yazd adalah kuil api satu-satunya yang ada di Iran dan apinya dipercayai sebagai api suci dengan kualitas terbaik. Bejana api diletakkan di tengah ruangan, tidak kena sinar matahari, dan letaknya ditinggikan dari permukaan lantai.

Yang menarik, kuil api Yazd baru dibangun pada tahun 1934 tetapi api di dalam bejana dipercayai sudah berumur lebih dari 1550 tahun. Bagaimana penjelasannya?

Dipercayai oleh penganut agama Majusi bahwa api berasal dari kuil api Pars Karyan pada zaman Syah Sassania Iran yang kemudian dibawa ke Aqda, dan bermukim di sana selama 700 tahun. Dari Aqda api dipindahkan pada tahun 1173 ke kuil Nahid-e Pars di sekitar daerah Ardakan, dan berada di sana selama 300 tahun. Api dari Ardakan dipindah kembali ke rumah seorang pendeta Majusi di Yazd sebelum akhirnya menempati tempat sekarang ini di kuil api Yazd.

Patung seukuran dada Maneckji Limji Hataria, orang yang sangat berjasa mengumpulkan dana untuk pembangunan kuil ini pada tahun 1934 diletakkan di sekitar kuil. Pada patung ditemukan simbol ilahiah agama Majusi berupa matahari dan bulan. Kuil api Yazd dibuka untuk turis dan pemeluk bukan Majusi pada tahun 1960-an.

Kuil api Yazd di Iran adalah salah satu dari sembilan kuil api agama Majusi yang disucikan, sedangkan delapan sisa lainnya berada di India. Fakta terakhir ini sangat menarik, mengapa kuil api kebanyakan ada di India dan bukan di Iran modern? Menurut catatan sejarah, setelah Islam masuk Iran pada abad ke-7, para pemeluk Majusi yang tidak mau pindah agama menyingkir ke pedalaman dan terpencil Iran atau bermigrasi ke India.

Ada yang berpendapat bahwa pemujaan terhadap api ini bermula dari kebiasaan primitif di padang rumput Asia Tengah untuk mempertahankan api tetap menyala di waktu musim dingin atau musim salju. Tujuannya tidak lain yaitu untuk menghangatkan tubuh. Karena bila tidak ada api, maka sudah pasti mereka tidak akan bisa bertahan melawan suhu dingin yang mematikan. Biasanya pendapat seperti ini dikeluarkan oleh sarjana modern yang hanya percaya pada ilmu yang punya basis data dan fakta.

Seiring berjalannya waktu, kebiasaan primitif ini dilanjutkan oleh bangsa Persia kuno dan menganggap api mempunyai zat ketuhanan yang suci dan mempunyai kekuatan. Mereka mulai menyebut api sebagai Atas Yazata (Tuhan Api). Mereka memberikan sesajian kepada api dengan harapan timbal balik api memberikan pertolongan yang terus-menerus kepada mereka.

Pertanyaan penting setelah melihat fakta-fakta ini adalah, apakah bantahan para penganut agama Majusi di zaman modern ini punya dasar historis dan teologis, atau sebetulnya tidak lebih dari usaha pemeluknya untuk melakukan revisi ajaran agama mereka agar sesuai dengan semangat zaman monoteisme kita sekarang? Pertanyaan ini kita titip ke para ahli agar mereka bisa memberikan jawaban sesuai dengan temuan ilmiah mereka.

Di Barat, nama Zoroaster dikenal di antaranya melalui karya seorang filolog ateis anti Tuhan bernama Friedrich Nietzsche. Sarjana berkebangsaan Jerman ini menulis empat volume buku selama dua tahun mulai 1883 hingga 1885 berjudul Also Sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen (Demikianlah Sabda Zarathustra: Buku untuk Semua dan Bukan Siapa pun). Nietzsche dikenal luas dengan ungkapan “Got ist tot” (Tuhan sudah mati) yang menyebabkannya dikenal sebagai filsuf ateis anti Tuhan.

Buku filsafat ini ditulis dalam bentuk fiksi yang tokoh utamanya adalah Zarathustra atau Zoroaster. Isinya mencakup berbagai macam tema, di antaranya, hasrat akan kekuasaan (will to power), übermensch (manusia super), pengulangan abadi, kritik atas agama, kematian Tuhan, dan nihilisme. Pada tiap-tiap tema atau bagian yang dibahas, pada bagian akhirnya ditutup dengan kalimat “Demikianlah sabda Zarathustra” – yang kemudian dijadikan judul buku.

Di tanah air, sebagian kecil nukilan buku ini pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dimuat di majalah sastra Horison. Seingat saya itu terjadi pada awal tahun 1990-an. Saya ingat betul waktu itu saya berulang-ulang membaca terjemahan Also Sprach Zarathustra. Bagaimana tidak, karena nama Nietzsche sangatlah populer di Indonesia setelah dibahas di banyak buku filsafat dan sastra. Namun sebelum itu, yaitu di tahun 1970-an, HB Jassin juga pernah menerjemahkan sebagian isi dari karya ini lalu dijadikan buku.

Buku Nietzsche adalah karya fiksi yang tokoh utamanya adalah Zarathustra yang berbicara mengenai berbagai macam hal, bukan buku yang berbicara secara khusus mengenai agama Majusi. Kelihatannya pengaruh ilmu filologi yang ditekuninya, yang membawanya ke naskah-naskah kuno, inilah faktor yang menginspirasi Nietzsche meminjam tokoh protagonis dari zaman Persia kuno itu.

Bagi seorang Muslim, agama Majusi jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam bila membaca dua Hadits berikut ini. Pertama, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Qadariyah adalah Majusinya umat ini. Jika mereka sakit jangan jenguk mereka. Jika mereka mati jangan hadiri pemakaman mereka” (HR Abu Dawud). Kedua, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Cukur kumis, dan panjangkan jenggot, karena yang demikian merupakan sikap permusuhan terhadap penyembah api (Majusi)” (Hadits Sahih Muslim).

Berdasarkan dua Hadits ini, sangat susah bagi orang Islam untuk bisa menerima bahwa agama Majusi adalah agama monoteisme, lebih-lebih untuk mengamini pendapat bahwa Zoroaster adalah seorang nabi. Karena sumber informasi paling valid dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan Hadits.

Jadi, usaha para pemeluk agama Majusi sekarang ini dalam membantah bahwa mereka bukan penyembah api tetapi mereka adalah penyembah Tuhan yang satu sangatlah meragukan ditinjau dari perspektif agama Islam. Bila ini benar, maka memang kelihatannya sudah terjadi perubahan besar dalam ajaran agama Majusi. Yaitu transformasi dari ajaran agama Majusi kuno yang menyembah api ke ajaran Majusi modern yang menyembah Tuhan yang esa bernama Ahura Mazda.

Fakta ini bisa menjadi data bagi para peneliti kebudayaan untuk menimbang secara cermat otentisitas pengakuan para pemeluk agama Majusi modern. Semoga topik penelitian ini menarik minat para sarjana dari berbagai macam bidang. ***

Friday, November 29, 2024

Nama-nama “Mabuk Agama” di Dunia: Piknikmu Kurang Jauh, Bro!

Perspektif KBA News, Sabtu, 30 November 2024


Buni Yani

Sejak 10 atau 12 tahun terakhir ini muncul kelompok yang menyebarkan kebencian secara masif kepada orang-orang beragama, yang tidak terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kelompok ini diorganisir secara rapi yang melibatkan pendanaan dari kelompok yang sudah tidak asing lagi, dan juga mendapatkan dukungan politik dari kalangan yang tidak perlu lagi disebutkan karena sudah sangat jelas siapa-siapa saja mereka.

Sikap ini jelas sangat nista dan terkutuk karena Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang tercantum pada sila pertama Pancasila. Tidak cuma itu, pada batang tubuh konstitusi ditegaskan kembali bahwa warga negara Indonesia bebas menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.

Karenanya, setiap usaha untuk melakukan pelabelan buruk terhadap kelompok agama tertentu mesti diproses secara hukum karena melanggar konstitusi. Konstitusi harus ditegakkan, dan Undang-Undang serta aturan di bawahnya harus dijalankan untuk menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan pada relnya.

Kelompok pembenci agama ini sangat tidak senang melihat kesalihan dipertunjukkan di ruang publik. Mereka sangat benci melihat umat Islam menggunakan ekspresi yang berbau Arab. Mereka terganggu mendengar kata-kata masya Allah, alhamdulillah, insya Allah, dan banyak lagi ungkapan lainnya yang sudah sangat lazim dipakai umat Islam sejak berabad-abad yang lalu.

Mereka benci sekali melihat celana cingkrang, baju koko, baju gamis, jilbab, niqab, dan tanda hitam di kening bekas sujud. Mereka akan menghina secara terang-terangan bila umat Islam melakukan tablig akbar, pengajian di tempat umum, pawai takbiran malam lebaran, dan banyak lagi kegiatan yang juga sudah dianggap sebagai tradisi turun-temurun.

Mereka melabeli umat Islam yang menjalankan agamanya sebagai “mabuk agama” – istilah peyoratif yang mengandung unsur kebencian bila dilihat secara budaya. Kata “mabuk” mempunyai arti “tidak sadar” akibat keracunan oleh unsur atau zat beracun. Bila menjalankan agama sebagai wujud dari kesalihan dianggap akibat dari keracunan ajaran agama jelas ini penistaan. Karena ajaran agama Islam bukan racun, tetapi petunjuk kepada pemeluknya menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Seharusnya labelisasi dan stigmatisasi demikian tidak perlu terjadi bila kelompok pembenci ini cukup literasi, membaca sejarah dengan benar, lalu memahami secara bijak hikmah di balik ajaran yang dibencinya itu. Karena dalam sepanjang lintasan sejarah, kita akan bisa menemukan istilah-istilah berbau agama hampir di semua tempat di seluruh dunia. Istilah berbau agama ini bisa kita temukan pada nama tempat, nama manusia, nama makanan, nama upacara dan tradisi, dan banyak lagi.

Nama-nama tempat dan manusia di Eropa dan Amerika sampai hari ini masih banyak yang berbau agama. Di Prancis, negeri yang terkenal dengan kebijakan anti Islam-nya, nama-nama kota dan tempat masih berbau Katolik. Ada kota bernama Saint Etienne, dan di pinggir kota Paris, ada kawasan namanya Saint-Denis. Kata “saint” berarti orang suci atau dalam Bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai Santo dan Santa, istilah yang sangat berbau agama Katolik.

Nama-nama orang Prancis juga masih sangat kental berbau agama Kristen. Filsuf eksistensialis ateis terkenal, Jean-Paul Sartre, dalam namanya terkandung dua tokoh penting agama Katolik, yaitu Jean (John, Johannes, Yahya) dan Paul (Paulus). Pada nama intelektual besar Michel Foucault terdapat nama malaikat Mikail (Michael) yang jelas sangat Katolik dan Kristen. Pada nama sosiolog dan filsuf Pierre Bourdieu terdapat nama salah satu dari 12 murid Yesus, yaitu Pierre (Peter).

Nama-nama tempat dan manusia di Spanyol, Italia dan Portugal yang mayoritas Katolik sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Katolik. Di Rusia, yang mayoritas memeluk agama Kristen Ortodoks juga sama. Salah satu kota besar dan terpenting Rusia bernama Sankt-Peterburg (Saint Petersburg).

Nama-nama tempat di Amerika masih banyak sekali berbau Katolik. Kita akan menemukan nama-nama Saint Louis, Santa Fe, San Diego, Santa Barbara, dan San Francisco. Nama-nama orang Amerika pun masih sangat kental berbau Kristen. Pada nama Presiden Abraham Lincoln terdapat nama salah satu nabi Kristen, yaitu Nabi Abraham (Ibrahim). Pada nama salah satu founding father Amerika Benjamin Franklin terdapat nama salah satu nama anak Nabi Ya’kub (Jacob) yaitu Benjamin (Bunyamin).

Amerika Latin yang mayoritas Katolik karena pernah dijajah oleh Spanyol dan Portugis lebih-lebih lagi. Hampir semua bidang dan nama terkait dengan agama Katolik. Ada negara bernama El Salvador yang berarti “juru selamat” (the savior) yang diatributkan ke Yesus Kristus. Kota terbesar dan terpadat Brazil bernama São Paulo (Santo Paulus), nama yang dipercayai sebagai rasul dan murid Yesus.

Di Bangkok, Thailand, ada taman kota bernama Lumpini Park. Kata ini besar kemungkinan berasal dari kata Lumbini yang merupakan tempat kelahiran Buddha Gautama. Kata ini sangat terkenal dalam ajaran agama Buddha yang bahkan bisa ditemukan sampai Hyderabad, India dan Sumatra Utara, juga dijadikan nama taman. Nama bandar udara Suvarnabhumi di Bangkok diambil dari teks agama Buddha yang berarti “negeri emas”.

Lebih dua tahun tinggal di kota kecil Athens di Ohio, AS, saya menyaksikan sendiri warga masih banyak yang pergi ke gereja. Suatu ketika ada orang di jalan memberikan khotbah agama Kristen yang anti aborsi. Pasca tragedi 911, dua bulan kemudian yaitu bulan November 2001 saya berada di “ground zero” di kota New York. Dari lokasi gedung WTC yang sudah rata dengan tanah sampai ke Wall Street menuju ke Battery Park, saya menyaksikan sendiri banyak orang berpidato, berkhotbah, dan mengajak kembali ke Tuhan.

Sudah jadi pemandangan umum di New York orang-orang Yahudi berjenggot panjang, mengenakan kippah, dan atribut Yahudi lainnya berjalan di jalan raya. Pastor Katolik juga sama, mereka juga masih mengenakan baju kepastorannya bahkan setelah keluar dari gereja. Tidak ada warga Amerika berkomentar negatif terhadap pemandangan unik ini. Mereka menganggapnya manifestasi biasa saja dari “e pluribus unum” atau bhinneka tunggal ika.

Pertanyaannya, apakah orang-orang yang menunjukkan identitas keagamaannya secara spontan ini bisa disebut mabuk agama? Apakah negara-negara yang masih menggunakan nama-nama dari kitab suci sebagai ciri kebudayaan dan identitas bisa disebut sudah diracuni oleh kitab suci mereka?

Karena budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi sambung-menyambung sehingga nilai-nilai penting dan ciri khasnya tetap utuh, maka mengubah satu nilai atau kebiasaan bukanlah perkara gampang dan sederhana. Suatu tradisi akan dipertahankan bila dianggap masih mengandung relevansi dengan semangat zaman kekinian. Itulah sebabnya kebiasaan yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun akan tetap bisa ditemukan wujudnya.

Suatu kebiasaan umum saja akan susah dihilangkan, apa lagi bila berhubungan dengan nilai-nilai agama yang dianggap sakral dan berasal dari Tuhan. Inilah yang menjelaskan mengapa nama-nama dan kebiasaan yang kental sekali bernuansa keagamaan masih dipertahankan. Meskipun, misalnya, di suatu masyarakat ajaran agama tersebut sudah tidak lagi dijalankan.

Contohnya, meskipun banyak sekali orang Belanda jadi ateis dan tidak lagi beribadah ke gereja, namun ritual hari Natal tetap dirayakan. Mungkin mereka sudah tidak lagi menjiwai perayaan Natal sebagai tradisi keagamaan yang mengandung ritual dan pemujaan ke Tuhan, tetapi hanya sebatas sebagai tradisi yang berulang dari tahun ke tahun.

Sedangkal apa pun proses penghayatan dan penjiwaan warga masyarakat tersebut, namun kegiatan kasat matalah yang paling diingat dan mempunyai pengaruh ke masyarakat luas. Kita akan menemukan hampir di setiap rumah dan tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan ada pohon Natal yang dihias lampu.

Pertanyaan tadi kembali kita ajukan, apakah kaum ateis yang nama dirinya berasal dari kitab suci dan merayakan Natal ini sebagai mabuk agama?

Kalau dijawab ya, maka jelas si penjawab tidak mengerti proses budaya yang sedang berlangsung. Tetapi kalau dijawab tidak, maka kelompok agama lainnya, termasuk kaum muslimin di Indonesia, juga tidak bisa disebut mabuk agama. Orang ateis yang merayakan “ritual” keagamaan saja tidak bisa disebut mabuk agama, apa lagi orang-orang Islam yang secara sadar dan mengerti apa yang mereka lakukan.

Negara Pancasila ini terlalu indah untuk dirusak oleh kelompok pembenci agama yang entah menamakan diri kaum ateis, liberal, atau sekuler. Orang Islam yang mendalami agama dan menjalankan agamanya dengan baik pasti tidak akan nyolek-nyolek kepercayaan orang lain karena itu dilarang dalam Islam. Lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku), begitu kitab suci al-Qur’an mengajarkan.

Para pendiri bangsa memiliki visi yang jauh ke depan, memimpikan sebuah negara yang akan diisi oleh manusia dari berbagai macam latar belakang. Kemajemukan adalah hukum alam dan pasti akan menjadi ciri negara modern seperti Indonesia. Atas dasar inilah maka mereka merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, dan menempatkan aspek ketuhanan atau agama sebagai sila pertama atau yang terpenting.

Hanya dengan berketuhanan atau dengan memiliki landasan agama, baru kemudian orang bisa mempunyai kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya sampai sila kelima. Kita harus akui bahwa para pendiri bangsa adalah orang-orang yang sangat visioner, bisa melihat bangsa ini akan menjadi seperti apa di masa depan.

Jadi tidak ada yang mabuk agama, mereka, saudara sebangsa kita itu, hanyalah menjalankan agamanya dengan benar. Kalaupun mereka memang mabuk agama, jelas itu lebih baik daripada mabuk miras dan narkoba. Lebih baik daripada mabuk kebiasaan korupsi dan perbuatan-perbuatan terkutuk lainnya. ***


Friday, November 22, 2024

Ketika Politik Jadi Panglima, maka Musik Jadi Politik

Perspektif KBA News, Sabtu, 23 November 2024

Buni Yani

Ada saatnya kekuasaan seperti gurita raksasa yang menjangkau setiap sudut negeri, memantau semua hal dengan curiga, dan menindas siapa saja yang dianggap berbeda. Kekuasaan seperti ini lahir dari paranoia akut sehingga warga tidak dianggap sebagai mitra untuk dialog dan membangun, tetapi tak lebih daripada potensi ancaman yang setiap saat bisa merebut kekuasaan.

Karenanya tidak ada yang tidak dianggap menjadi urusan politik. Pilihan warna baju dianggap politik, gaya bicara dianggap politik, jenis musik kesukaan dianggap politik, pokoknya semua dianggap politik. Warna baju hitam, kuning, biru dianggap tidak netral – pasti bertujuan politik. Gaya bicara, dengan tempo cepat atau lambat, lalu menambahkan kata tertentu, dianggap mengacu ke suatu kelompok. Menyetel musik irama tertentu dianggap pemihakan ke salah satu ideologi.

Hidup jadi tegang dan menyiksa. Seolah-olah dunia hanya terdiri dari politik yang membosankan. Hidup jadi sempit sesempit cara pandang rezim. Hidup jadi kering tanpa makna.

Rezim mengerahkan intel ke seluruh sudut negeri untuk memata-matai rakyat. Kamera cctv hidup 24 jam untuk memantau pergerakan para aktivis yang dilabeli subversif dan provokator. Koran dipantau dengan ketat. Percakapan di media sosial tidak boleh nyerempet-nyerempet apa lagi menyenggol rezim. Keadaan lebih buruk daripada negeri panoptikonnya Michel Foucault.

Orang selalu mengaitkan keadaan demikian dengan negeri-negeri otoriter seperti Nazi Jerman atau Italia di bawah Mussolini. Seolah-olah yang cinta kekuasaan dan mempertahankannya dengan cara apa pun adalah cuma milik kaum fasis dan otoriter. Seolah-olah politisi yang mengaku kaum demokrat sama sekali tidak punya potensi menjadi serigala di tengah belantara politik. Padahal rumus kekuasaan sama saja di mana pun sepanjang sejarah.

Rezim seperti ini biasanya tidak konsisten. Mereka standar ganda. Mereka melarang seni – seni apa saja termasuk musik – tetapi pada saat bersamaan menggunakan alat yang sama untuk mengedepankan aganda politik mereka. Keputusan politik mereka didasarkan pada ideologi yang belum tentu benar. Ideologi buatan manusia yang gampang goyah dan bisa jadi masih compang-camping di sana-sini.

Ketika Pol Pot dan Khmer Merah berkuasa di Kamboja, mereka melarang semua jenis produk budaya milik kelas menengah dan atas. Mereka melarang musik rock ‘n roll, mereka melarang profesi guru dan dokter, mereka melarang semua yang berbau anti komunisme. Pol Pot ingin mencipta ulang negeri Kamboja sesuai visi politiknya. Lalu semua capaian kebudayaan dan peradaban dihapuskan, dan harus mulai dari “tahun nol” Kamboja.

Dimulailah tahun-tahun penindasan yang mengerikan. Semua kelas menengah – guru, dokter, seniman – dimobilisasi meninggalkan pekerjaan mereka di kota untuk pindah ke desa, membuka lahan baru jadi petani, pekerjaan yang bukan habitus kelas menengah. Pol Pot sudah kepincut Marxisme dan Maoisme sejak belajar komunisme di Paris, dan dengan hati yang mantap bertekad membangun Kamboja walau harus dengan tangan besi.

Sebagai negara protektorat Prancis, aspirasi budaya dan intelektual orang Kamboja tidak jauh dari Prancis. Elit kamboja fasih berbahasa Prancis, banyak di antara mereka yang kuliah di Sorbonne. Raja Norodom Sihanouk sangat fasih mengungkapkan pikirannya dalam Bahasa Prancis. Dia tamat sekolah militer di Prancis dan dikenal sebagai pemain saksofon jazz.

Semua yang melekat dalam diri Raja Sihanouk adalah representasi kelas borjuis, elitnya elit, yang dilawan oleh Pol Pot: berpendidikan Prancis, penyuka dan pemain jazz, bergelimang harta, dan didewakan dalam tradisi dan budaya Buddha Kamboja. Bagi Pol Pot, sesuai ajaran komunisme, maka masyarakat yang adil adalah yang sama rata sama rasa. Karenanya, kelas menengah dan atas harus dihapuskan dan digantikan dengan kelas proletar petani.

Dalam film dokumenter yang melibatkan Linda Saphan, seorang seniman Kamboja, berjudul “Don't Think I've Forgotten: Cambodia's Lost Rock and Roll”, digambarkan bagaimana hidupnya kota Phnom Penh sebelum Khmer Merah dan Pol Pot berkuasa. Negeri mayoritas penganut Buddha di Asia Tenggara yang penuh senyum itu dalam sekejap berubah menjadi neraka begitu Pol Pot naik tampuk kekuasaan.

Dalam film ini digambarkan bagaimana menderitanya para penyanyi dan artis musik ketika mereka dipaksa menjadi petani penggarap sawah. Ada yang menyembunyikan identitas sebagai penyanyi karena kalau ketahuan, jiwanya terancam. Kaki tangan Pol Pot besar kemungkinan tidak akan membiarkannya hidup.

Film dokumenter ini menggambarkan dengan cukup detail tragedi budaya yang dialami Kamboja akibat kesalahan Pol Pot menjadikan politik sabagai panglima. Sekarang film dokumenter ini bisa ditonton di Youtube secara gratis. Sekitar tahun 2015 ketika film ini baru dirancang, saya sempat bertemu Linda Saphan di Guangju, Korea Selatan dalam sebuah konferensi musik pop Asia.

Namun tentu saja Kamboja bukanlah satu-satunya negara yang pernah mengalami tahun-tahun kegelapan akibat terlalu mendewakan politik yang mengancam perjalanan bangsa secara keseluruhan. Orde Lama, dengan cara yang agak berbeda, juga pernah terjebak menjadikan politik sebagai panglima.

Orde Lama melarang musik “ngak-ngik-ngok” – istilah peyoratif Orde Lama untuk musik rock ‘n roll – karena dianggap musik bising produk nekolim yang anti revolusi. Grup band Koes Bersaudara sempat ditangkap lalu ditahan oleh rezim akibat menyanyikan lagu-lagu rock ‘n roll. Bagi Orde Lama, seni, termasuk seni musik, haruslah punya misi untuk menyampaikan pesan ideologis.

Itu sebabnya dalam lagu “Bersukaria” berirama lenso yang digagas rezim waktu itu, rezim dengan halus mencoba memoles keadaan ekonomi yang morat-marit dengan narasi bahwa negeri dalam keadaan baik karenanya pantas warga berdansa dan bersukaria. “Siapa bilang bapak dari Blitar. Bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar. Indonesia banyak makanan.“ Begitulah bunyi syair lagu politik Orda Lama itu.

Namun seperti dipotret oleh koran-koran waktu itu, lagu ini tidak cukup kuat untuk menutupi keadaan ekonomi sebenarnya. Di akhir kekuasaan Orde Lama, inflasi mencapai 600 persen yang membuat harga-harga membubung tinggi, sementara rakyat tidak mempunyai daya beli.

Begitu rezim berganti dari Orde Lama ke Orde Baru, kebijakan budaya pun berubah. Orde Baru membebaskan semua produk budaya Barat masuk Indonesia, mulai dari film, musik, majalah, dan lain-lainnya. Dalam suasana baru, kini Jakarta, khususnya di kalangan kelas menengah, banjir produk budaya dari Amerika.

Kebijakan baru yang bertolak belakang dengan kebijakan Orda Lama ini kemungkinan didorong oleh dua hal. Pertama, untuk menunjukkan ke Amerika bahwa Orde Baru pro Barat. Dengan sinyal ini rezim baru berusaha meyakinkan Amerika bahwa politik dan ideologi Indonesia sudah berubah total karenanya bantuan haruslah dipermudah. Terbukti akhirnya AS memberikan bantuan pembangunan ekonomi ke Indonesia.

Kedua, Orde Baru sengaja meliberalisasi budaya Barat masuk Indonesia sebagai strategi untuk meninabobokkan anak muda. Dengan anak muda hidup dalam pergaulan dansa-dansi, hidup foya-foya dan apolitis, ini akan sangat menguntungkan rezim. Kondisi ini sengaja diciptakan untuk membuat anak muda tidak kritis, dan bila sudah tidak kritis, maka tidak akan ada lagi yang melakukan demonstrasi mengeritik rezim.

Apa pun itu, yang jelas bahwa kebijakan Orde Baru yang apolitis terhadap budaya, tidak menjadikan musik sebagai sesuatu yang politis, adalah langkah politik juga. Karena dengan mengambil langkah demikian Orde Baru mempunyai tujuan politik juga yang sudah dikalkulasi dengan matang. Pergantian kebijakan dari politik sebagai panglima ke pembangunan ekonomi sebagai panglima adalah peralihan fokus saja.

Menjelang 100 tahun umur negara-bangsa ini pada 2045 nanti, kiranya kita bisa lebih dewasa meletakkan budaya pada tempatnya. Kalaupun harus memakai medium budaya untuk menyampaikan gagasan politik, maka haruslah gagasan politik yang tinggi berupa nilai-nilai. Bukan pesan politik partisan untuk kepentingan jangka pendek.

Produk budaya, termasuk musik, haruslah mampu menciptakan narasi cerdas dan menggetarkan yang bisa mengajak anak bangsa berpikir lalu terpacu berbuat kebaikan untuk masyarakat dan negerinya. Bukan produk budaya yang dijadikan alat tunggangan untuk kepentingan sempit dan partisan.

Bila itu yang terjadi, maka publik sedang terlibat untuk mencegah politisasi sempit budaya ke level rendah yang tak punyai nilai. Karena, seperti sejarah telah tunjukkan kepada kita, politisasi segenap ruang publik – atau yang dikenal sebagai menjadikan politik sebagai panglima – bukanlah pilihan yang tepat dan cerdas.

Karena bila politik jadi panglima, maka budaya, termasuk musik di dalamnya, otomatis menjadi politik. Disorientasi ini akan mengacaukan semua hal dan membahayakan kehidupan bangsa. Cukuplah sejarah memberikan pelajaran kepada kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. ***


Saturday, November 16, 2024

Pidato Kekalahan Capres Amerika sebagai Budaya dan Keadaban Publik

Perspektif KBA News, Sabtu, 16 November 2024

 

Buni Yani


Tidak gampang mengakui kekalahan dalam kontestasi, itulah yang terjadi di berbagai bangsa dan negara di dunia. Selalu ada cara untuk mendeligitimasi presiden atau perdana menteri terpilih. Karena pihak sini lebih baik, lebih berhak, dan pasti menang, sedang pihak sana lebih buruk, tidak berhak, dan harus kalah.

 

Sikap demikian tentu saja tidak terpuji dan harus dihindari. Inti dari demokrasi, sama seperti pertandingan olahraga, adalah sportivitas. Yang menang mesti menghormati yang kalah, dan yang kalah mesti menerima kekalahan. Yang menang belum tentu akan menang di pertandingan selanjutnya, sementara yang kalah bisa berlatih lebih keras agar bisa memperbaiki prestasi di masa mendatang.

 

Tidak ada yang rumit dan mesti didramatisir. Kalah-menang adalah hal biasa. Kemenangan bukanlah puncak dari segalanya yang kemudian memabukkan dan bikin lupa daratan, dan kekalahan pun bukanlah kiamat atau akhir dari dunia. Bukan. Karena pertandingan adalah pertandingan dan pertandingan bukanlah tujuan tetapi hanya alat.

 

Alat untuk apa? Yaitu alat untuk menggembleng mental para pemain, alat untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang jujur, lurus, dan taat pada aturan pertandingan. Alat untuk mendidik si wasit agar berlaku adil dan jujur dalam memimpin pertandingan. Alat untuk mendidik penonton agar mereka ikhlas menerima apa saja hasil pertandingan.

 

Jadi pertandingan bukanlah tujuan, tetapi hanya alat untuk mendidik kita menjadi manusia yang punya integritas, menghargai prestasi dan meritokrasi, serta menaati nilai-nilai luhur yang menjadi fundamen kontestasi. Hanya dengan memahami filosofi ini dengan baik baru kemudian kita bisa legawa dan ikhlas menerima apa pun hasil pertandingan.

 

Filosofi pertandingan sama sekali tidak rumit. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah diajarkan sejak kita kecil, dan hampir semua budaya mengajarkan nilai-nilai baik yang sama. Kita diajarkan orang tua untuk berlaku adil kepada siapa saja, kita diajarkan untuk menaati aturan di sekolah, di rumah, dan di jalan. Kita diajarkan untuk menerima hasil lomba dan pertandingan dengan jiwa sportivitas yang tinggi.

 

Pertanyaannya, bila nilai-nilai luhur tentang keadilan, kebenaran, meritokrasi dan sportivitas sudah diajarkan sejak kita kecil, lalu dari mana asal-muasal perilaku menyimpang yang secara diametral melawan nilai-nilai tersebut setelah kita tumbuh besar dan dewasa? Yang menyebabkan kita melawan hasil pertandingan, berlaku tidak jujur dan tidak adil, serta melawan nilai-nilai sportivitas?

 

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak tunggal dan tidak sederhana. Suatu perilaku menyimpang tidak atau jarang sekali berdiri sendiri, namun hampir selalu terkait dengan kejadian lain yang memicu penyimpangan tersebut. Penyimpangan nilai ini bisa jadi dipicu oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak sana sehingga pihak sini bereaksi dengan kadar yang sama atau bahkan lebih keras.

 

Para sarjana ahli konflik berpendapat bahwa kekerasan, begitu juga keadilan, seperti cermin. Dia bisa memantul ke mana-mana ke seluruh masyarakat. Bila sumbernya baik dan adil, maka pantulannya juga akan baik dan adil. Sebaliknya, bila sumbernya buruk dan penuh ketidakadilan, hal yang sama juga akan memantul ke tengah masyarakat. Ada reaksi karena ada aksi. Jarang sekali, atau bahkan tidak mungkin, suatu perilaku menyimpang muncul begitu saja. Perilaku menyimpang dipercayai muncul sebagian besar karena ada pemicunya.

 

Melihat pola pencerminan atau “mirroring” yang terjadi di dalam masyarakat ini, maka bisa dipastikan hampir semua perilaku mempunyai proses yang sama. Satu orang atau sekelompok orang melakukan penyimpangan, maka akan ditiru oleh satu atau sekelompok orang lainnya. Atau, bisa juga satu atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sebagai reaksi atas penyimpangan satu atau sekelompok orang lainnya.

 

Bila hukum sosiologi ini berlaku secara umum, maka dengan gampang kita bisa menjelaskan mengapa sekelompok orang menolak hasil pemilihan presiden, gubernur atau bupati – yaitu suatu penyimpangan serius dalam demokrasi. Maka kita bisa katakan bahwa penolakan ini kemungkinan besar merupakan reaksi dari penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok lain. Misalnya, karena terjadinya kecurangan, ketidakadilan dalam penyelenggaran pemilihan, dan praktik-praktik tidak terpuji lainnya.

 

Penolakan atas hasil pemilihan dilakukan karena pihak penolak melihat ada kecurangan dilakukan oleh kontestan lawan atau penyelenggara pemilihan. Kecurangan yang tentu tidak bisa ditolerir baik atas dasar moral ataupun politik. Karenanya, atas dasar kebenaran dan keadilan, maka penolakan ini sah adanya.

 

Namun tentu saja ini adalah gambaran umum yang terjadi di banyak tempat. Tentu ada perkecualian, dan perkecualian itu berasal dari Amerika Serikat.

 

Di AS, pertikaian besar yang diakibatkan oleh pemilihan presiden lalu menimbulkan perpecahan bangsa yang serius hampir tidak pernah terjadi. Kalaupun pernah terjadi, itu tidak berlarut-larut. Kasus pendukung Trump yang tidak menerima hasil pemilihan tahun 2020 lalu berusaha menduduki gedung DPR – Capitol Hill – pada Januari 2021 akhirnya berakhir dengan pengakuan atas kemenangan Biden.

 

Kasus Trump ini kasus yang sangat khusus dalam sejarah Amerika. Yang banyak terjadi justru diadakannya pidato kekalahan oleh calon presiden yang suaranya sudah tidak bisa lagi mengejar suara lawan. Pidato kekalahan ini sekaligus merupakan pernyataan pengakuan kemenangan kepada pihak lawan. Dalam tradisi Amerika, calon presiden yang kalah dalam kontestasi selain membuat pidato kekalahan juga biasanya akan menelepon calon presiden yang menang untuk mengucapkan kata selamat.

 

Baru-baru ini tak lama setelah melihat jumlah suaranya kalah oleh Trump, padahal penghitungan belum selesai dilakukan, capres Kamala Harris dari partai Demokrat langsung mengumumkan kekalahannya lewat pidato yang penuh motivasi kepada para pendukungnya. Kamala mengatakan jangan pernah berhenti berjuang karena kecintaan mereka yang besar kepada Amerika.

 

Kamala tampak tegar. Dia mengumbar senyum kepada pendukungnya. Tidak terlihat sedikit pun kebencian pada raut muka Kamala, padahal publik Amerika tahu bahwa kampanye kedua kandidat penuh berisi pernyataan keras dan saling menjatuhkan. Bahkan Trump sendiri dua kali mengalami percobaan pembunuhan selama kampanye yang entah dilakukan oleh siapa.

 

Kamala seperti mengubur luka yang masih basah dan menganga dengan senyum khasnya. Alih-alih menangis dan meneteskan air mata, dia justru berusaha menghibur pendukungnya dengan isi pidato yang berisi motivasi untuk berjuang kembali. Masih ada waktu, dan bukan tak mungkin pada 2028 mendatang kandidat dari partai Demokrat bisa kembali merebut kekuasaan.

 

Pidato Kamala Harris disampaikan di kampus Howard University di Washington, DC, kampus yang sebagian besar mahasiswanya berkulit hitam di mana Kamala adalah salah satu alumninya. Dibanding kampus lain di Washington, DC, Howard University tidaklah tergolong prestisius. Saya pernah beberapa kali lewat di depan kampus ini, bahkan pernah ikut tes GRE dan TOEFL berbasis komputer di sana pada tahun 2002. Kesan kurang terawat dan fasilitas yang terasa berbeda, itulah yang saya rasakan. Entah sekarang, setelah 22 tahun kemudian, bisa jadi kampus ini sudah jauh berkembang. Apa lagi salah satu alumninya telah menjadi Wakil Presiden Amerika, negara adidaya yang sangat kaya.

 

Kamala menolak untuk runtuh dan takluk. Dia mengobarkan semangat untuk terus berjuang. Tidak ada demo menolak hasil pemilihan, tidak ada orang bakar-bakar ban, tidak ada kerusuhan. Washington, DC tampak normal seperti hari-hari biasa. Gedung Putih masih dihuni Presiden Biden, Capitol Hill tak menunjukkan tanda-tanda abnormal. Semua berjalan seperti biasa.

 

Memang selama pemilihan presiden tahun 2024 ini ada insiden-insiden kecil terjadi, tapi tidak sampai menimbulkan chaos sebesar empat tahun sebelumnya. Orang Amerika mungkin menganggapnya sebagai kembang demokrasi semata yang biasa terjadi dalam urusan politik. Semacam riak kecil yang tidak akan pernah membuat oleng perahu. Amerika diyakini akan semakin kuat dengan dinamika politik seperti ini.

 

Mungkin banyak bangsa di dunia akan merasa iri dengan budaya politik Amerika yang mampu menghadirkan pertunjukan elegan seperti pidato kekalahan ini. Bagi negara-negara yang tergolong banana republic, ini bisa jadi seperti fiksi yang terlalu indah untuk terjadi.

 

Dari mana asal-muasal tradisi unik ini yang menjadikan Amerika sangat berbeda dengan negara-negara lain di dunia?

 

Suatu budaya atau tradisi tertentu tidak jatuh dengan sendirinya dari langit tanpa usaha pendukungnya. Budaya adalah kesadaran kolektif untuk menjalankan suatu perilaku dengan atau tanpa disadari. Budaya adalah kesepakatan bersama untuk menerima perilaku tertentu, baik yang positif maupun negatif, lalu dijadikan standar nilai.

 

Budaya politik Amerika sudah berumur ratusan tahun, dianggap usia yang sudah sangat matang dan akan stabil untuk seterusnya. Di awal-awal kemerdekaan pasca 1776, Amerika mengalami ujian yang tidak ringan. Di abad ke-19, terjadi perang saudara antara Amerika sebelah utara dan selatan. Amerika kenyang dengan pengalaman politik, perbedaan pandangan dan ideologi hingga pertumpahan darah.

 

Di awal terbentuknya Amerika, banyak sikap luhur dan terpuji dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Sikap tanpa pamrih mereka akan terus dikenang oleh generasi berikutnya. Nilai-nilai yang baik yang dicontohkan para pendiri bangsa ini meresap ke dalam relung hati warga, terus hidup dalam memori kolektif, menjadi nilai-nilai luhur yang dipegang teguh, dan mewujud menjadi tindakan nyata dalam perilaku sehari-hari.

 

Mungkin inilah yang terjadi dengan pidato kekalahan yang agung itu, termasuk pidato kekalahan oleh Kamala Harris. Dia muncul dari ketidaksadaran karena begitu halus bersemayam dalam pikiran dan kesadaran publik. Karena nilai yang bagus haruslah menjadi perilaku, dan perilaku yang baik ini haruslah dijadikan keadaban publik. ***