Friday, November 22, 2024

Ketika Politik Jadi Panglima, maka Musik Jadi Politik

Perspektif KBA News, Sabtu, 23 November 2024

Buni Yani

Ada saatnya kekuasaan seperti gurita raksasa yang menjangkau setiap sudut negeri, memantau semua hal dengan curiga, dan menindas siapa saja yang dianggap berbeda. Kekuasaan seperti ini lahir dari paranoia akut sehingga warga tidak dianggap sebagai mitra untuk dialog dan membangun, tetapi tak lebih daripada potensi ancaman yang setiap saat bisa merebut kekuasaan.

Karenanya tidak ada yang tidak dianggap menjadi urusan politik. Pilihan warna baju dianggap politik, gaya bicara dianggap politik, jenis musik kesukaan dianggap politik, pokoknya semua dianggap politik. Warna baju hitam, kuning, biru dianggap tidak netral – pasti bertujuan politik. Gaya bicara, dengan tempo cepat atau lambat, lalu menambahkan kata tertentu, dianggap mengacu ke suatu kelompok. Menyetel musik irama tertentu dianggap pemihakan ke salah satu ideologi.

Hidup jadi tegang dan menyiksa. Seolah-olah dunia hanya terdiri dari politik yang membosankan. Hidup jadi sempit sesempit cara pandang rezim. Hidup jadi kering tanpa makna.

Rezim mengerahkan intel ke seluruh sudut negeri untuk memata-matai rakyat. Kamera cctv hidup 24 jam untuk memantau pergerakan para aktivis yang dilabeli subversif dan provokator. Koran dipantau dengan ketat. Percakapan di media sosial tidak boleh nyerempet-nyerempet apa lagi menyenggol rezim. Keadaan lebih buruk daripada negeri panoptikonnya Michel Foucault.

Orang selalu mengaitkan keadaan demikian dengan negeri-negeri otoriter seperti Nazi Jerman atau Italia di bawah Mussolini. Seolah-olah yang cinta kekuasaan dan mempertahankannya dengan cara apa pun adalah cuma milik kaum fasis dan otoriter. Seolah-olah politisi yang mengaku kaum demokrat sama sekali tidak punya potensi menjadi serigala di tengah belantara politik. Padahal rumus kekuasaan sama saja di mana pun sepanjang sejarah.

Rezim seperti ini biasanya tidak konsisten. Mereka standar ganda. Mereka melarang seni – seni apa saja termasuk musik – tetapi pada saat bersamaan menggunakan alat yang sama untuk mengedepankan aganda politik mereka. Keputusan politik mereka didasarkan pada ideologi yang belum tentu benar. Ideologi buatan manusia yang gampang goyah dan bisa jadi masih compang-camping di sana-sini.

Ketika Pol Pot dan Khmer Merah berkuasa di Kamboja, mereka melarang semua jenis produk budaya milik kelas menengah dan atas. Mereka melarang musik rock ‘n roll, mereka melarang profesi guru dan dokter, mereka melarang semua yang berbau anti komunisme. Pol Pot ingin mencipta ulang negeri Kamboja sesuai visi politiknya. Lalu semua capaian kebudayaan dan peradaban dihapuskan, dan harus mulai dari “tahun nol” Kamboja.

Dimulailah tahun-tahun penindasan yang mengerikan. Semua kelas menengah – guru, dokter, seniman – dimobilisasi meninggalkan pekerjaan mereka di kota untuk pindah ke desa, membuka lahan baru jadi petani, pekerjaan yang bukan habitus kelas menengah. Pol Pot sudah kepincut Marxisme dan Maoisme sejak belajar komunisme di Paris, dan dengan hati yang mantap bertekad membangun Kamboja walau harus dengan tangan besi.

Sebagai negara protektorat Prancis, aspirasi budaya dan intelektual orang Kamboja tidak jauh dari Prancis. Elit kamboja fasih berbahasa Prancis, banyak di antara mereka yang kuliah di Sorbonne. Raja Norodom Sihanouk sangat fasih mengungkapkan pikirannya dalam Bahasa Prancis. Dia tamat sekolah militer di Prancis dan dikenal sebagai pemain saksofon jazz.

Semua yang melekat dalam diri Raja Sihanouk adalah representasi kelas borjuis, elitnya elit, yang dilawan oleh Pol Pot: berpendidikan Prancis, penyuka dan pemain jazz, bergelimang harta, dan didewakan dalam tradisi dan budaya Buddha Kamboja. Bagi Pol Pot, sesuai ajaran komunisme, maka masyarakat yang adil adalah yang sama rata sama rasa. Karenanya, kelas menengah dan atas harus dihapuskan dan digantikan dengan kelas proletar petani.

Dalam film dokumenter yang melibatkan Linda Saphan, seorang seniman Kamboja, berjudul “Don't Think I've Forgotten: Cambodia's Lost Rock and Roll”, digambarkan bagaimana hidupnya kota Phnom Penh sebelum Khmer Merah dan Pol Pot berkuasa. Negeri mayoritas penganut Buddha di Asia Tenggara yang penuh senyum itu dalam sekejap berubah menjadi neraka begitu Pol Pot naik tampuk kekuasaan.

Dalam film ini digambarkan bagaimana menderitanya para penyanyi dan artis musik ketika mereka dipaksa menjadi petani penggarap sawah. Ada yang menyembunyikan identitas sebagai penyanyi karena kalau ketahuan, jiwanya terancam. Kaki tangan Pol Pot besar kemungkinan tidak akan membiarkannya hidup.

Film dokumenter ini menggambarkan dengan cukup detail tragedi budaya yang dialami Kamboja akibat kesalahan Pol Pot menjadikan politik sabagai panglima. Sekarang film dokumenter ini bisa ditonton di Youtube secara gratis. Sekitar tahun 2015 ketika film ini baru dirancang, saya sempat bertemu Linda Saphan di Guangju, Korea Selatan dalam sebuah konferensi musik pop Asia.

Namun tentu saja Kamboja bukanlah satu-satunya negara yang pernah mengalami tahun-tahun kegelapan akibat terlalu mendewakan politik yang mengancam perjalanan bangsa secara keseluruhan. Orde Lama, dengan cara yang agak berbeda, juga pernah terjebak menjadikan politik sebagai panglima.

Orde Lama melarang musik “ngak-ngik-ngok” – istilah peyoratif Orde Lama untuk musik rock ‘n roll – karena dianggap musik bising produk nekolim yang anti revolusi. Grup band Koes Bersaudara sempat ditangkap lalu ditahan oleh rezim akibat menyanyikan lagu-lagu rock ‘n roll. Bagi Orde Lama, seni, termasuk seni musik, haruslah punya misi untuk menyampaikan pesan ideologis.

Itu sebabnya dalam lagu “Bersukaria” berirama lenso yang digagas rezim waktu itu, rezim dengan halus mencoba memoles keadaan ekonomi yang morat-marit dengan narasi bahwa negeri dalam keadaan baik karenanya pantas warga berdansa dan bersukaria. “Siapa bilang bapak dari Blitar. Bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar. Indonesia banyak makanan.“ Begitulah bunyi syair lagu politik Orda Lama itu.

Namun seperti dipotret oleh koran-koran waktu itu, lagu ini tidak cukup kuat untuk menutupi keadaan ekonomi sebenarnya. Di akhir kekuasaan Orde Lama, inflasi mencapai 600 persen yang membuat harga-harga membubung tinggi, sementara rakyat tidak mempunyai daya beli.

Begitu rezim berganti dari Orde Lama ke Orde Baru, kebijakan budaya pun berubah. Orde Baru membebaskan semua produk budaya Barat masuk Indonesia, mulai dari film, musik, majalah, dan lain-lainnya. Dalam suasana baru, kini Jakarta, khususnya di kalangan kelas menengah, banjir produk budaya dari Amerika.

Kebijakan baru yang bertolak belakang dengan kebijakan Orda Lama ini kemungkinan didorong oleh dua hal. Pertama, untuk menunjukkan ke Amerika bahwa Orde Baru pro Barat. Dengan sinyal ini rezim baru berusaha meyakinkan Amerika bahwa politik dan ideologi Indonesia sudah berubah total karenanya bantuan haruslah dipermudah. Terbukti akhirnya AS memberikan bantuan pembangunan ekonomi ke Indonesia.

Kedua, Orde Baru sengaja meliberalisasi budaya Barat masuk Indonesia sebagai strategi untuk meninabobokkan anak muda. Dengan anak muda hidup dalam pergaulan dansa-dansi, hidup foya-foya dan apolitis, ini akan sangat menguntungkan rezim. Kondisi ini sengaja diciptakan untuk membuat anak muda tidak kritis, dan bila sudah tidak kritis, maka tidak akan ada lagi yang melakukan demonstrasi mengeritik rezim.

Apa pun itu, yang jelas bahwa kebijakan Orde Baru yang apolitis terhadap budaya, tidak menjadikan musik sebagai sesuatu yang politis, adalah langkah politik juga. Karena dengan mengambil langkah demikian Orde Baru mempunyai tujuan politik juga yang sudah dikalkulasi dengan matang. Pergantian kebijakan dari politik sebagai panglima ke pembangunan ekonomi sebagai panglima adalah peralihan fokus saja.

Menjelang 100 tahun umur negara-bangsa ini pada 2045 nanti, kiranya kita bisa lebih dewasa meletakkan budaya pada tempatnya. Kalaupun harus memakai medium budaya untuk menyampaikan gagasan politik, maka haruslah gagasan politik yang tinggi berupa nilai-nilai. Bukan pesan politik partisan untuk kepentingan jangka pendek.

Produk budaya, termasuk musik, haruslah mampu menciptakan narasi cerdas dan menggetarkan yang bisa mengajak anak bangsa berpikir lalu terpacu berbuat kebaikan untuk masyarakat dan negerinya. Bukan produk budaya yang dijadikan alat tunggangan untuk kepentingan sempit dan partisan.

Bila itu yang terjadi, maka publik sedang terlibat untuk mencegah politisasi sempit budaya ke level rendah yang tak punyai nilai. Karena, seperti sejarah telah tunjukkan kepada kita, politisasi segenap ruang publik – atau yang dikenal sebagai menjadikan politik sebagai panglima – bukanlah pilihan yang tepat dan cerdas.

Karena bila politik jadi panglima, maka budaya, termasuk musik di dalamnya, otomatis menjadi politik. Disorientasi ini akan mengacaukan semua hal dan membahayakan kehidupan bangsa. Cukuplah sejarah memberikan pelajaran kepada kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. ***


No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.