Friday, November 8, 2024

Novel Sejarah dan Usaha Mendekatkan Karya dengan Khalayak

Perspektif KBA News -- Sabtu, 9 November 2024


Buni Yani


Apa yang membedakan antara karya fiksi dan non fiksi? Para sarjana sepakat bahwa karya fiksi mempunyai isi dan bentuk yang baik. Sebuah karya fiksi dianggap baik bila isinya mengandung pesan yang bermanfaat bagi masyarakat, dan bentuknya pun haruslah mengandung keindahan. Sementara karya non fiksi di pihak lain hanya fokus pada isi, dan kurang atau bahkan tidak memberikan fokus pada bentuk yang indah.

 

Karya-karya sastra yang memenangkan berbagai macam lomba memiliki dua aspek tadi sehingga mampu “menundukkan” para juri. Karya sastra yang hanya mengandung isi yang baik tapi bentuknya tidak indah maka dia kurang mempunyai aspek sastrawi yang mengandung nilai seni. Untuk apa khalayak membaca karya sastra yang tidak memiliki keindahan, yang hanya fokus pada isi, sementara kelebihan karya sastra adalah pada aspek keindahannya. Kan lebih baik membaca berita atau artikel ilmiah, misalnya, untuk topik yang sama. Kan lebih efisien, tidak bertele-tele. Untuk apa membaca puisi atau cerpen!

 

Di pihak lain, karya sastra yang hanya fokus pada keindahan bahasa tetapi abai terhadap isi atau pesan dianggap “cacat”. Karena karya sastra haruslah membawa pesan yang baik dan bermanfaat, pesan yang mendorong refleksi dan memberikan inspirasi, bahkan kalau bisa mengubah hidup pembacanya.

 

Karya yang tidak memiliki isi yang baik dianggap kurang serius dan dikategorikan karya “pop” yang tidak memiliki bobot. Pada dekade 1980-an banyak sekali muncul novel dengan karakteristik demikian, bahkan ada yang dijadikan film, tetapi kritikus sastra di tanah air tidak memperhitungkannya sebagai karya yang punya nilai tinggi. Hanya sebagai seni belaka tanpa ada bobot. Pembacanya yang rata-rata berpendidikan rendah dan kurang serius dianggap kalangan escapist – yaitu kalangan yang melarikan diri dari masalah nyata yang dihadapi dengan membaca novel.

 

Sudah cukup lama ada tren di antara penulis novel untuk menovelkan kisah nyata, biografi seorang tokoh, atau kejadian sejarah. Langkah ini diambil karena fakta sejarah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat tidak menarik minat banyak orang. Kalaupun ada yang tertarik, maka sangat khusus orangnya, di antaranya adalah para sejarawan, pecinta sejarah, akademisi, dan sejenisnya. Hal ini disebabkan karena fakta sejarah tersebut ditulis dalam bentuk buku sejarah yang kering, disertasi ilmiah, dan berbagai bentuk karya non fiksi lainnya.

 

Hal inilah yang mendorong para penulis untuk menulis fakta sejarah dalam bentuk novel. Mereka berusaha mendekatkan pesan penting sejarah ke pembaca umum. Harus diakui, langkah ini bukanlah langkah yang mudah. Penulis yang berani melakukan novelisasi kejadian sejarah tentu harus paham kejadian sejarahnya secara detail, harus paham pesan sejarah yang mau disampaikan, dan mampu menuliskannya ke dalam bentuk fiksi yang indah. Sehingga karya si novelis langsung mendapatkan dua kriteria karya sastra yang baik, yaitu isi dan bentuk yang baik.

 

Tantangan novelisasi sejarah di antaranya adalah bagaimana penulis mampu menulis karya novel sejarah dengan bahasa yang indah namun tetap mempertahankan akurasi sejarah yang ditulis, tidak melebih-lebihkan atau mengurangi kejadian yang sebenarnya. Penulis harus mampu menjaga jarak dengan tokoh yang ditulisnya, misalnya, meskipun dia mengenal si tokoh secara pribadi. Hal ini untuk menjaga akurasi fakta sejarah yang ditulis, meskipun ditulis dalam bentuk novel. Karena sangat sukar bagi penulis untuk tidak terjatuh menjadi subyektif.

 

Penulis yang menyukai atau mengagumi tokoh yang ditulis cenderung untuk memuji si tokoh secara berlebihan. Dan karya novel menyediakan ruang yang sangat luas untuk itu. Penulis bisa mengembangkan imajinasinya untuk mengglorifikasi si tokoh lewat narasi fiktif – yang tentu akan menurunknnya dari novel sejarah menjadi novel fiktif. Sebaliknya, bila penulis tidak menyukai tokoh yang ditulis, maka terbuka juga ruang yang sangat lebar untuk menulis narasi kebencian.

 

Penulis novel sejarah harus selalu mengingatkan diri sendiri bahwa yang ditulisnya adalah fakta sejarah yang berbentuk novel. Meskipun novel dikategorikan sebagai karya fiksi, namun kali ini dia tidak boleh menuliskan informasi fiktif. Dia hanya boleh menulis fakta yang ada sumber dan referensinya. Harus terpatri dalam kesadaran si penulis bahwa bentuk novel yang dikategorikan sebagai fiksi hanya wadah atau instrumen saja untuk menyampaikan pesan sejarah. Karenanya dia harus disiplin memilih dan memilah mana yang fiksi dan mana yang sejarah, kapan dia boleh mengembangkan imajinasinya dan kapan dia harus berhenti.

 

Pertanyaannya, apakah mungkin seorang penulis novel sejarah berlaku obyektif sementara penulis buku sejarah yang non fiksi saja banyak yang subyektif? Bukankah banyak sekali buku sejarah yang isinya sangat subyektif meskipun karya tersebut berbentuk karya non fiksi seperti artikel jurnal atau disertasi?

 

Pertanyaan ini pelik tapi harus dijawab. Bila yang dimaksud sebagai sikap “subyektif” adalah perbedaan cara pandang atau paradigma, maka jelas ini adalah sikap subyektif yang diperbolehkan dalam dunia akademi. Misalnya, seorang penganut ekonomi pasar ketika membahas sejarah runtuhnya ekonomi sosialis cenderung akan menyalahkan sistem sosialisme. Dia cenderung akan melihat kegagalan disebabkan oleh ideologi dan sistem sosialisme yang dianut.

 

Perbedaan perspektif, cara pandang, atau paradigma seperti ini tentu saja lazim dalam dunia akademi. Subyektivitas ini adalah subyektivitas yang diperbolehkan karena suatu masalah bisa dilihat dari berbagai macam sudut. Maka sejarawan Marxis tentu akan punya pendapat berbeda bila meneropong fakta keruntuhan ekonomi yang sama.

 

Yang tidak boleh, atau mungkin bisa disebut sebagai “subyektivisme yang haram”, adalah bila sikap subyektif tidak didasari oleh landasan ilmiah. Yaitu subyektivisme serampangan dan membabi-buta yang melawan kaidah ilmu pengetahuan yang berlaku umum. Misalnya, bila keruntuhan ekonomi sosialis tadi dianggap sesuatu yang tepat dan seharusnya terjadi oleh seorang penulis karena keluarganya tidak diuntungkan oleh sistem yang ada. Kata dia, keluarganya tidak bisa berusaha karena negara memonopoli semua usaha.

 

Subyektivisme yang terakhir ini tentu saja haram karena menarik persoalan umum menjadi kasus pribadi. Mungkin bila kasus pribadi ini dijadikan contoh kasus yang riil dari fenomena yang jauh lebih besar dan berlaku umum mungkin ceritanya akan lain.

 

Yang hendak dikatakan di sini bahwa menulis novel sejarah punya tantangan sendiri. Karya akan dianggap berhasil bila mampu menyeimbangkan obyektivitas sejarah dengan pemaparan bahasa fiksi yang indah.

 

Di antara penulis yang berani menempuh jalan ini adalah Haidar Musyafa yang menulis Hamka: Sebuah Novel Biografi (2016), Akmal Nasery Basral dengan karya Presiden Prawiranegara (2011), dan terakhir Ady Amar dengan karya Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875-1943): Sebuah Novel Sejarah (2024). Ketiga penulis hebat ini berinisiatif mendekatkan topik berat, perjuangan para tokoh yang mereka tulis, ke khalayak yang lebih luas. Sayang sekali bila generasi muda Indonesia tidak mengenal Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, dan Syekh Ahmad Surkati hanya gara-gara cara penyampaiannya membosankan dan tidak menarik.

 

Semoga usaha ini membuahkan hasil di tengah rendahnya minat baca di tanah air. Namun seandainya pun usaha ini tidak membuahkan hasil yang maksimal dalam memperkenalkan tokoh-tokoh besar tadi, maka bisa ditempuh cara lain yang jauh lebih ringan, populer, dan dianggap lebih mengasyikkan oleh banyak orang terutama generasi muda. Yaitu, jadikan biografi para tokoh itu lagu yang diiringi musik yang menarik. Mungkin ini bisa lebih efektif karena bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.

 

Lagu Ibu Kita Kartini mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam memperkenalkan salah satu tokoh nasional ini, sementara lagu Halo-halo Bandung bisa menarik minat generasi muda untuk mempelajari satu episode sejarah yang dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Jadi tidak ada salahnya para penulis novel sejarah juga mempertimbangkan berkolaborasi dengan penulis lagu dan musisi.

 

Karena mendengarkan lagu tentang kebaikan dari tokoh-tokoh bangsa jauh lebih bermanfaat daripada mendengarkan musik dengan tema cinta yang cengeng, perselingkuhan, gaya hidup hedonis, dan topik-topik tidak mendidik lainnya. Bangsa ini sudah lama kehausan akan hal-hal baik yang bisa mendatangkan inspirasi guna membawa perubahan. ***


No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.