Friday, November 1, 2024

Incompatibilidade de Gênios: Tentang Satire, Budaya dan Perubahan Sosial

Perspektif KBA News, Sabtu, 2 November 2024


Buni Yani


Budaya punya cara dalam merespons peristiwa di dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan ideal, proyeksi, atau standar nilai yang seharusnya berlaku. Budaya kemudian akan memproduksi satire, sarkasme atau candaan untuk menyindir peristiwa atau perilaku yang dianggap menyimpang.


Satire, sarkasme atau candaan ini punya banyak bentuk. Bisa berupa karya sastra seperti puisi, prosa, atau drama. Para seniman panggung akan menampilkan karya mereka di hadapan penonton untuk memantik kesadaran bahwa sedang terjadi penyimpangan di dalam masyarakat yang mesti diperbaiki bersama. Kritik atas penyimpangan ini juga bisa dituangkan ke dalam bentuk lagu lalu dinyanyikan di hadapan penonton.


Terbukti bahwa kritik yang dikemas dalam bentuk lagu jauh lebih efektif dibandingkan dengan bentuk karya seni lainnya. Hal ini karena lagu yang mempunyai irama musik sangat efektif menyampaikan pesan. Masyarakat suka musik, dan menyampaikan kritik lewat musik dianggap bukan perkara seserius menulis pamflet atau manifesto politik. Berkat teknologi komunikasi, rekaman lagu bisa menjangkau khalayak yang sangat luas bila disiarkan lewat radio dan tv, atau disebarkan lewat platform internet.


Di Filipina, ketika gerakan nasionalisme budaya sedang marak-maraknya berlangsung pada dekade 1970-an, seniman musik berlomba menulis lagu dalam Bahasa Tagalog. Pada dekade sebelumnya, yaitu pada 1960-an, lagu berbahasa Inggris dianggap lebih prestisius, lebih berkelas, dan dianggap sebagai standar intelektualitas. Perubahan semangat zaman ini tidak datang secara tiba-tiba. Pada dekade 1950-an sejumlah intelektual sudah mulai menulis kritik budaya agar Filipina mempunyai jati diri bangsa yang bisa melepaskan diri dari pengaruh penjajah Amerika dan Spanyol.


Ada seniman yang membuat lagu satire bagaimana orang Filipina tidak cocok berbahasa Inggris. Orang Filipina digambarkan melapalkan kata Bahasa Inggris dengan lidah Tagalog yang aneh, lucu, dan jadi bahan tertawaan. Lagu Annie Batungbakal yang ditulis dan dibawakan oleh grup band Hotdog adalah karikatur bagaimana budaya Filipina sangat jauh berubah meniru gaya hidup Amerika.


Seorang perempuan muda bernama Annie Batungbakal yang berasal dari Frisco di Quezon City dikisahkan siang hari bekerja sebagai sales tetapi waktu malam hari menjadi ratu disko. Annie setiap malam ke disko terkenal waktu itu bernama Coco Banana di Manila. Annie Batungbakal ke disko setiap malam dengan harapan kesulitan hidup sehari-harinya bisa ia lupakan. Tetapi ironisnya, masalah perempuan muda ini justru bertambah-tambah karena dia dipecat dari pekerjaannya.


Cerita mengenai Annie Batungbakal adalah cerminan bagaimana budaya Filipina begitu susah memisahkan diri dari pengaruh Amerika yang pernah menjajah Filipina. Lagu ini sangat terkenal sehingga ketika dibawakan pada konser bulan Mei 2011, hampir seisi ballroom di Hotel Dusit Thani Makati itu berjoget. Saya diundang datang ke konser secara langsung oleh pemimpin band Rene Garcia yang saya temui beberapa waktu sebelumnya untuk melakukan wawancara penelitian. Rene Garcia meninggal dunia tujuh tahun kemudian, pada 2018.


Tak tanggung-tanggung konser ini dihadiri pula oleh Presiden Noynoy Aquino. Dua hari setelah konser, harian terkemuka Philippine Daily Inquirer membuat berita heboh di halaman depan bahwa presiden lajang itu rupanya menonton bersama perempuan cantik yang terbang dari kota Cebu di selatan Filipina. Namun sampai Noynoy meninggal pada 2021 lalu, presiden itu tetap lajang. Perlu digarisbawahi di sini bahwa Noynoy Aquino yang lahir pada 1960 berasal dari zaman yang sama dengan grup band Hotdog sehingga tema, musikalitas, dan gaya yang dibawakan oleh Hotdog masih relate dan tidak asing baginya.


Tema merosotnya budaya lokal akibat Amerikanisasi juga bisa kita temukan pada lagu Tu vuò fà l'americano (Kau Ingin Jadi Orang Amerika) karya seniman Italia Renato Carosone. Ditulis dalam Bahasa Napolitano, semacam bahasa daerah di Italia, pada 1956, lagu Tu vuò fà l'americano mengeritik anak-anak muda yang bertingkah ingin seperti orang Amerika. Anak Italia waktu itu, kata lagu ini, sudah keranjingan berpakaian seperti orang Amerika, minum wiski dan soda, mendengarkan musik rock ‘n roll, main baseball, mengucapkan kata “I love you” di dalam Bahasa Inggris waktu berpacaran – pokoknya keranjingan semua hal berbau Amerika – padahal mereka lahir di Napoli.


Amerikanisasi tidak hanya menyerbu negara-negara Asia pada akhir 1950-an dan dekade 1960-an, tetapi juga negara-negara Eropa seperti Italia dan Prancis. Prancis yang dianggap memiliki ketahanan budaya yang tinggi oleh karena berkembangnya kebanggaan nasional memiliki budaya “tinggi“, tak luput dari menjamurnya Amerikanisasi. Lagu rock ‘n roll mewabah, gaya rambut dan berpakaian anak muda Amerika bisa ditemukan di mana-mana. Semua ini terdokumentasi baik dalam majalah anak muda Salut les copains (Hai, Kawan) yang terbit di Paris.


Di Indonesia, kita punya banyak lagu sindiran dan kritik sosial. Dua nama perlu disebut di sini yang kritik sosialnya masih relevan untuk keadaan hari-hari ini. Mereka adalah grup Bimbo dengan lagu Tante Sun dan Iwan Fals/Swami dengan lagu Robot Bernyawa.


Lagu Tante Sun berkisah tentang seorang perempuan karir kelas atas yang sangat sibuk seharian penuh. Pagi olah raga, kemudian main golf. Agak siang ke salon untuk mandi susu. Setelah itu Tante Sun akan mengikuti segala macam rapat sampai malam. Bisnisnya meliputi semua bidang, tipikal konglomerat zaman sekarang. Tante Sun terlibat bisnis zamrud, berlian, kerikil, emas, hingga beton. Cukong, tauke, direktur dan makelar semua di bawah kekuasaan Tante Sun.


Fenomena konglomerasi Tante Sun zaman dulu masih hanya terjadi dalam satu bidang yaitu bidang bisnis. Di zaman sekarang, konglomerasi terjadi dalam bentuk antar bidang. Seorang Tante Sun zaman sekarang tidak hanya kaya dan sukses dalam bidang bisnis, tetapi juga dia menjadi tokoh dalam bidang politik dan punya jabatan politik yang tinggi, serta mempunyai gelar tertinggi seperti doktor dan profesor. Publik menyoroti gelar akademik Tante Sun yang tidak mungkin didapatkan karena sibuk sekali. Mengerjakan disertasi S3 perlu konsentrasi tinggi yang tidak bisa dilakukan oleh orang sesibuk dan seglamor Tante Sun.


Lagu Robot Bernyawa dari Swami/Iwan Fals berkisah tentang kondisi para buruh yang diibaratkan seperti robot oleh karena keharusan mengikuti kehendak majikan. Robot-robot ini bahkan bersuara saja tidak boleh hanya untuk mempertanyakan kondisi yang mereka alami. Bila berani bertanya mengenai hak mereka sebagai buruh, kemungkinan mereka akan dituduh sebagai pengacau yang ancamannya pemecatan atau berurusan dengan hukum.


Untuk cari selamat, akhirnya para buruh mengikuti kehendak majikan. Karena memendam sesuatu yang tidak boleh diucapkan maka para buruh dari strata sosial rendah ini tak ubahnya seperti “robot bernyawa”. Mereka dikendalikan oleh “remote control” sesuai keinginan majikan yang menumpuk kekayaan dari derita dan keringat para buruh. “Jangan bertanya, jangan bertingkah. Robot bernyawa teruslah bekerja. Sapi perahan di zaman modern. Mulut dikunci tak boleh bicara,” demikian di antara isi lagu ini.


Kritik lagu Robot Bernyawa sungguh masih relevan dengan keadaan sekarang ini di mana kondisi buruh semakin tak menentu. Upah yang rendah, jam kerja yang berlebih, dan ancaman pemecatan yang setiap waktu menghantui. Tidak ada yang namanya karyawan tetap, yang ada adalah karyawan kontrak dan sistem outsourcing. Kondisi tidak menentu ini membuat masa depan para buruh menjadi sangat rentan dan bahkan dihantui oleh hari tua yang suram.


Di Brazil, ada lagu samba sangat terkenal berjudul Incompatibilidade de Gênios (Tidak Cocoknya Orang-orang Genius) yang dipopulerkan oleh penyanyi papan atas João Bosco. Lagu ini pertama kali direkam di atas piringan hitam pada 1976 dan aransemennya dikerjakan oleh Luizinho Eça dan melibatkan nama besar lainnya yaitu Radamés Gnattali.


Interpretasi João Bosco atas lagu Incompatibilidade de Gênios dianggap sukses. João menjadikan lagu ini lebih cepat iramanya dibanding aransemen awal. Di antara faktor yang membuat lagu ini sukses di tangan João adalah karena dia mengajak Nelson Faria, gitaris jazz papan atas Brazil, untuk mengisi suara gitar. Nelson Faria dikenal luas secara internasional dan pernah mengajar di banyak sekolah musik seperti Universitas Örebro dan Universitas Malmo di Swedia, Konservatori Amsterdam di Belanda, serta Manhattan School of Music dan Berklee College of Music di AS. Lembaga terakhir ini perlu digarisbawahi bahwa Berklee College of Music yang berlokasi di Boston, AS adalah pencetak banyak musisi jazz kelas dunia.


Lagu Incompatibilidade de Gênios di Indonesia dikenal luas lewat album Collection karya gitaris jazz Amerika Lee Ritenour yang dirilis tahun 1991. Namun Lee Ritenour dalam kolaborasinya dengan João Bosco mengubah judul lagu berbahasa Portugis ini menjadi Latin Lovers. Mungkin tujuannya untuk mendekatkan lagu ke pendengar dengan bahasa yang jauh lebih dimengerti. Meskipun pada kenyataannya João Bosco membawakan lagu ini tetap dalam Bahasa Portugis Brazil, bukan Bahasa Inggris.

 

Sesungguhnya tema lagu ini sangat domestik dan personal yaitu tidak cocoknya sepasang suami-istri dalam banyak hal yang kemudian memutuskan untuk berpisah. Disampaikan dengan cara humor, lagu ini adalah karikatur mengenai tidak cocoknya pasangan suami-istri dengan latar belakang budaya Brazil yang kental. Mungkin itu sebabnya, judulnya, Incompatibilidade de Gênios, atau incompatibility of the geniuses dalam Bahasa Inggris, atau tidak cocoknya orang-orang jenius, dimaksudkan sebagai humor yang hiperbolis bahkan cenderung sarkastis. Mengapa sepasang suami-istri ini mendapat predikat “jenius” dari penulis lagu? Apakah ini sekadar humor atau penulis lagu sebetulnya punya maksud lain?

 

Lagu dimulai dengan fragmen si suami sedang mendengarkan klub Flamengo yang sedang bertanding di radio. Si istri datang, lalu tanpa babibu dia mengganti stasiun radio. Tanpa mempedulikan suaminya, si istri asyik sendiri menyanyi mengikuti stasiun baru yang dia sudah pindahkan. Lalu si suami kemasukan debu ke dalam mata. Bukannya dapat perhatian dan ucapan kasihan, si istri malah mengatakan si suami bisa buta, tanpa empati sama sekali. Si suami sama sekali tidak bisa menghindar dari istrinya, bahkan hanya ke bar untuk membeli minuman saja tidak boleh. Bila berani, maka ini menjadi alasan si istri untuk mogok tidak mau melayani si suami.

 

Pada fragmen lain, si istri mengguna-gunai suaminya agar lengket ke dirinya. Si istri mengambil celana dalam suaminya lalu dibacakan jampi-jampi. Lalu bila debt collector datang, si istri mengajak suaminya untuk duduk menghadapi penagih utang. Akan tetapi jika keadaan berubah membaik, dan penghasilan si suami meningkat, maka si istri tiba-tiba mengajak ibunya untuk tinggal bersama mereka – yang tidak disukai suaminya. Bila si suami minta dimasakkan kacang, si istri sengaja menjadikannya asin. Waktu hari panas, si istri sengaja pakai jaket untuk memancing masalah dan cari gara-gara. Pokoknya semua yang dilakukan si istri hanya untuk memprovokasi si suami agar terjadi pertengkaran.

 

Satire hiperbolis berbentuk humor yang digunakan dalam lagu ini mencapai level maksimal untuk menunjukkan kontras dan perbedaan tajam antara si suami dan istri. Mungkin kejadian semacam ini akan susah kita temukan dalam kehidupan nyata. Penulis lagu sengaja menciptakan dunia rekaan karikaturis untuk menimbulkan efek humor yang tinggi.

 

Namun apakah betul lagu ini sebetulnya ditujukan semata untuk tujuan humor? Mari kita telaah secara seksama judulnya, yaitu “tidak cocoknya orang-orang jenius”. Bahwa dalam dunia nyata, orang-orang pintar, kaum intelektual, dan orang-orang jenius, mirip pasangan suami-istri dalam lagu ini, sukar sekali bersepakat akan suatu hal di antara mereka. Mereka suka berselisih. Mereka cenderung tidak cocok satu sama lain oleh karena ego merasa diri lebih pintar dari orang lain.

 

Sampai di sini kelihatannya lagu Incompatibilidade de Gênios tidak bisa hanya dibaca dan ditafsirkan sebagai humor biasa pertengkaran antar suami-istri. Lagu ini bisa jadi kritik sosial yang lebih luas dan dalam. Yaitu kritik kepada kaum intelektual, kaum cerdik-pandai, agar pintar-pintar membawa diri sehingga ilmu yang mereka miliki bisa digunakan untuk kebaikan masyarakat. Kaum cerdik-pandai harus bisa kerja dalam tim, tidak introvert dan egois, sehingga ilmu mereka yang tinggi itu bisa dijadikan dasar untuk membuat kebijakan yang berguna bagi bangsa.

 

Di Indonesia, kasus rapat yang berakhir dengan tidak ada kesimpulan final karena banyaknya perdebatan dan cekcok yang tidak perlu sering sekali kita temukan. Bila tidak ada kesimpulan final, tidak ada petunjuk teknis untuk menjalankan program kerja, kira-kira bagaimana sebuah organisasi bisa sukses memperjuangkan visi dan misinya? Memang pernyataan visi dan misinya sangat gagah, tetapi the devil is in the details, kata sebuah ungkapan. Setan atau tantangannya ada di perintilan-perintilan kecil yang kebanyakan orang tidak sukai. Visi-misi itu harus diterjemahkan ke dalam program kerja dan program kerja hanya bisa sukses bila rapat-rapatnya menelurkan kesimpulan praktis yang siap dijalankan.


Tantangan orang-orang pintar itu ada di sini, yaitu bagaimana di dalam rapat organisasi yang dihadiri oleh orang dari berbagai macam latar belakang ilmu dan kepintaran yang berbeda, mereka tetap bisa survive. Tantangan orang-orang pintar itu ada dua menghadapi situasi seperti ini. Yaitu, apakah mereka bisa betah bergaul dengan orang-orang dari latar belakang berbeda yang tidak memahami ilmunya, dan kecenderungan untuk merasa dialah yang paling benar pendapat dan perspektifnya di antara orang-orang yang lebih rendah ilmunya.


Jadi, kita bisa panjang-lebar menguraikan makna yang terkandung dalam satire lagu Incompatibilidade de Gênios. Meskipun lagu ini berlatar belakang budaya Brazil, namun nilai yang terkandung bisa relevan dengan budaya lain di dunia. Begitulah cara budaya memperbaiki masyarakat. Dan terkadang pendekatan budaya seperti ini bisa lebih efektif mengubah masyarakat dibandingkan dengan pendekatan ekonomi dan politik.


Mungkin oleh karena hal inilah mengapa dua sarjana terkemuka Amerika yaitu ilmuwan politik Samuel Huntington dan ahli pembangunan Lawrence Harrison menulis buku Culture Matters: How Values Shape Human Progress (2001). Huntington yang mengajar di Universitas Harvard, pemikirannya mengenai “benturan peradaban” sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1990-an. Sementara Lawrence Harrison yang bekerja di Universitas Tufts sangat percaya bahwa budaya mempengaruhi pembangunan di suatu negara. Budaya akan berperan pada apakah suatu bangsa akan cepat mengalami kemajuan atau sebaliknya justru akan terus terbelakang.


Yang menarik sebetulnya perjalanan intelektual Samuel Huntington yang dididik dalam tradisi ilmu politik lalu kemudian memperluas horizon keilmuannya dengan menjadikan budaya sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya dengan bidang politik dan ekonomi. Pergeseran paradigma ini tentu saja sangat penting untuk digarisbawahi bahwa ilmu budaya tidak lagi bisa dianggap berada di pinggiran, kalah pamor oleh ilmu-ilmu lainnya.

 

Di Indonesia, pergeseran paradigma ini perlu terus kita sampaikan ke masyarakat umum, khususnya dunia akademi. Bahwa budaya berperan dalam pembangunan dan perubahan sosial, dan ilmu budaya bisa membantu pemerintah dalam merancang cara yang efektif dan efisien untuk menjalankan program kerja.

 

Dalam sejarah kita bisa belajar banyak bagaimana budaya bisa menjadi faktor utama perubahan sosial atau bahkan revolusi. Dua novel penting mesti disebutkan di sini, yaitu Noli Me Tángere (Jangan Sentuh Aku) karya José Rizal dan Uncle Tom’s Cabin (Kabin Paman Tom) karya Harriet Beecher Stowe. Novel Noli Me Tángere yang terbit pertama kali pada 1886 ikut menyulut revolusi Filipina yang kemudian merdeka dari penjajahan Spanyol pada 1898. Novel ini mengungkap bagaimana busuk dan korupnya penjajah Spanyol. Pastor, pemimpin agama Katolik, yang seharusnya bisa berlaku adil karena digerakkan oleh dorongan moral dan perintah suci dari Tuhan, kata José Rizal, setali tiga uang dengan aparat kolonial yang jahat.

 

Novel ini telah menjadi semacam surat kabar penyebar berita tentang kebusukan penjajah Spanyol ke seluruh rakyat Filipina. José Rizal, seorang dokter, pahlawan terpenting Filipina, mampu mengungkapkan bagaimana eksistensi rakyat Filipina yang telah direndahkan ke taraf bukan manusia oleh penjajah Spanyol. Ini membangkitkan nasionalisme yang kemudian menyulut revolusi. Oleh karena daya dorong dan daya ledak novel yang tinggi dalam membangkitkan nasionalisme, José Rizal dianggap sebagai biang kerok dari banyaknya pemberontakan di Filipina. Akhirnya Rizal dihukum mati pada 1896, meninggalkan puisi terkenal berjudul Ultimo Adios (Selamat Tinggal Terakhir).

 

Di Amerika Serikat, novel Uncle Tom’s Cabin yang terbit pada tahun 1852 dipercayai menyulut perang saudara Amerika akibat dihapuskannya perbudakan. Penulis novel, Harriet Beecher Stowe, menggambarkan bagaimana menderitanya para budak akibat diperlakukan tidak manusiawi oleh para majikan yang bertentangan dengan iman Kristianinya. Novel Uncle Tom’s Cabin mampu meyakinkan bangsa Amerika yang tinggal di sebelah utara bahwa perbudakan adalah tindakan yang salah. Sementara penduduk di bagian selatan Amerika berkeras bahwa penggambaran Stowe mengenai perbudakan di dalam novel ini keliru. Novel ini membuat marah baik penduduk sebelah utara maupun selatan Amerika yang kemudian menyulut perang saudara.

 

Presiden Abraham Lincoln dipercayai mengatakan kalimat ini ke Stowe, “Jadi, Anda perempuan bertubuh kecil yang menulis buku yang menyebabkan perang besar itu!” Meskipun kalimat ini masih kontroversial apakah betul diucapkan oleh Lincoln, namun intinya bahwa kalimat ini setidaknya menunjukkan pengakuan adanya resepsi publik yang luas dan dalam terhadap novel tersebut. Novel yang diakui sebagai penyebab perang saudara yang kemudian mengubah sejarah Amerika selanjutnya.

 

Jadi, pendek kata, novel, puisi, drama, lagu, dan bentuk lain dari produk budaya bisa secara halus mempengaruhi pikiran dan tindak-tanduk masyarakat, dan masyarakat tidak sadar sedang dipengaruhi oleh pikiran dan pendirian tertentu yang ada di dalam karya tersebut. Bila pemerintah bisa menggunakannya untuk tujuan pembangunan, maka akan menjadi alat yang sangat ampuh dalam menciptakan perubahan sosial.

 

Novel, puisi, drama, lagu, dan produk budaya lainnya mampu mengubah mindset masyarakat dalam melihat dunia. Weltanschauung ini menjadi instrumen yang sangat vital dalam menggerakkan perilaku masyarakat. Semakin baik sebuah karya, semakin halus pengaruhnya, semakin dalam kemampuannya menanamkan pesan tertentu ke dalam pikiran masyarakat. Dengan demikian budaya menjadi alat yang sangat digdaya dalam membentuk perilaku masyarakat. Yang pada akhirnya berperan besar dalam menciptakan perubahan sosial yang akan mengubah bangsa dan negara untuk seterusnya. ***


No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.