Friday, November 29, 2024

Nama-nama “Mabuk Agama” di Dunia: Piknikmu Kurang Jauh, Bro!

Perspektif KBA News, Sabtu, 30 November 2024


Buni Yani

Sejak 10 atau 12 tahun terakhir ini muncul kelompok yang menyebarkan kebencian secara masif kepada orang-orang beragama, yang tidak terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kelompok ini diorganisir secara rapi yang melibatkan pendanaan dari kelompok yang sudah tidak asing lagi, dan juga mendapatkan dukungan politik dari kalangan yang tidak perlu lagi disebutkan karena sudah sangat jelas siapa-siapa saja mereka.

Sikap ini jelas sangat nista dan terkutuk karena Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang tercantum pada sila pertama Pancasila. Tidak cuma itu, pada batang tubuh konstitusi ditegaskan kembali bahwa warga negara Indonesia bebas menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing.

Karenanya, setiap usaha untuk melakukan pelabelan buruk terhadap kelompok agama tertentu mesti diproses secara hukum karena melanggar konstitusi. Konstitusi harus ditegakkan, dan Undang-Undang serta aturan di bawahnya harus dijalankan untuk menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan pada relnya.

Kelompok pembenci agama ini sangat tidak senang melihat kesalihan dipertunjukkan di ruang publik. Mereka sangat benci melihat umat Islam menggunakan ekspresi yang berbau Arab. Mereka terganggu mendengar kata-kata masya Allah, alhamdulillah, insya Allah, dan banyak lagi ungkapan lainnya yang sudah sangat lazim dipakai umat Islam sejak berabad-abad yang lalu.

Mereka benci sekali melihat celana cingkrang, baju koko, baju gamis, jilbab, niqab, dan tanda hitam di kening bekas sujud. Mereka akan menghina secara terang-terangan bila umat Islam melakukan tablig akbar, pengajian di tempat umum, pawai takbiran malam lebaran, dan banyak lagi kegiatan yang juga sudah dianggap sebagai tradisi turun-temurun.

Mereka melabeli umat Islam yang menjalankan agamanya sebagai “mabuk agama” – istilah peyoratif yang mengandung unsur kebencian bila dilihat secara budaya. Kata “mabuk” mempunyai arti “tidak sadar” akibat keracunan oleh unsur atau zat beracun. Bila menjalankan agama sebagai wujud dari kesalihan dianggap akibat dari keracunan ajaran agama jelas ini penistaan. Karena ajaran agama Islam bukan racun, tetapi petunjuk kepada pemeluknya menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Seharusnya labelisasi dan stigmatisasi demikian tidak perlu terjadi bila kelompok pembenci ini cukup literasi, membaca sejarah dengan benar, lalu memahami secara bijak hikmah di balik ajaran yang dibencinya itu. Karena dalam sepanjang lintasan sejarah, kita akan bisa menemukan istilah-istilah berbau agama hampir di semua tempat di seluruh dunia. Istilah berbau agama ini bisa kita temukan pada nama tempat, nama manusia, nama makanan, nama upacara dan tradisi, dan banyak lagi.

Nama-nama tempat dan manusia di Eropa dan Amerika sampai hari ini masih banyak yang berbau agama. Di Prancis, negeri yang terkenal dengan kebijakan anti Islam-nya, nama-nama kota dan tempat masih berbau Katolik. Ada kota bernama Saint Etienne, dan di pinggir kota Paris, ada kawasan namanya Saint-Denis. Kata “saint” berarti orang suci atau dalam Bahasa Indonesia kita mengenalnya sebagai Santo dan Santa, istilah yang sangat berbau agama Katolik.

Nama-nama orang Prancis juga masih sangat kental berbau agama Kristen. Filsuf eksistensialis ateis terkenal, Jean-Paul Sartre, dalam namanya terkandung dua tokoh penting agama Katolik, yaitu Jean (John, Johannes, Yahya) dan Paul (Paulus). Pada nama intelektual besar Michel Foucault terdapat nama malaikat Mikail (Michael) yang jelas sangat Katolik dan Kristen. Pada nama sosiolog dan filsuf Pierre Bourdieu terdapat nama salah satu dari 12 murid Yesus, yaitu Pierre (Peter).

Nama-nama tempat dan manusia di Spanyol, Italia dan Portugal yang mayoritas Katolik sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Katolik. Di Rusia, yang mayoritas memeluk agama Kristen Ortodoks juga sama. Salah satu kota besar dan terpenting Rusia bernama Sankt-Peterburg (Saint Petersburg).

Nama-nama tempat di Amerika masih banyak sekali berbau Katolik. Kita akan menemukan nama-nama Saint Louis, Santa Fe, San Diego, Santa Barbara, dan San Francisco. Nama-nama orang Amerika pun masih sangat kental berbau Kristen. Pada nama Presiden Abraham Lincoln terdapat nama salah satu nabi Kristen, yaitu Nabi Abraham (Ibrahim). Pada nama salah satu founding father Amerika Benjamin Franklin terdapat nama salah satu nama anak Nabi Ya’kub (Jacob) yaitu Benjamin (Bunyamin).

Amerika Latin yang mayoritas Katolik karena pernah dijajah oleh Spanyol dan Portugis lebih-lebih lagi. Hampir semua bidang dan nama terkait dengan agama Katolik. Ada negara bernama El Salvador yang berarti “juru selamat” (the savior) yang diatributkan ke Yesus Kristus. Kota terbesar dan terpadat Brazil bernama São Paulo (Santo Paulus), nama yang dipercayai sebagai rasul dan murid Yesus.

Di Bangkok, Thailand, ada taman kota bernama Lumpini Park. Kata ini besar kemungkinan berasal dari kata Lumbini yang merupakan tempat kelahiran Buddha Gautama. Kata ini sangat terkenal dalam ajaran agama Buddha yang bahkan bisa ditemukan sampai Hyderabad, India dan Sumatra Utara, juga dijadikan nama taman. Nama bandar udara Suvarnabhumi di Bangkok diambil dari teks agama Buddha yang berarti “negeri emas”.

Lebih dua tahun tinggal di kota kecil Athens di Ohio, AS, saya menyaksikan sendiri warga masih banyak yang pergi ke gereja. Suatu ketika ada orang di jalan memberikan khotbah agama Kristen yang anti aborsi. Pasca tragedi 911, dua bulan kemudian yaitu bulan November 2001 saya berada di “ground zero” di kota New York. Dari lokasi gedung WTC yang sudah rata dengan tanah sampai ke Wall Street menuju ke Battery Park, saya menyaksikan sendiri banyak orang berpidato, berkhotbah, dan mengajak kembali ke Tuhan.

Sudah jadi pemandangan umum di New York orang-orang Yahudi berjenggot panjang, mengenakan kippah, dan atribut Yahudi lainnya berjalan di jalan raya. Pastor Katolik juga sama, mereka juga masih mengenakan baju kepastorannya bahkan setelah keluar dari gereja. Tidak ada warga Amerika berkomentar negatif terhadap pemandangan unik ini. Mereka menganggapnya manifestasi biasa saja dari “e pluribus unum” atau bhinneka tunggal ika.

Pertanyaannya, apakah orang-orang yang menunjukkan identitas keagamaannya secara spontan ini bisa disebut mabuk agama? Apakah negara-negara yang masih menggunakan nama-nama dari kitab suci sebagai ciri kebudayaan dan identitas bisa disebut sudah diracuni oleh kitab suci mereka?

Karena budaya diturunkan dari satu generasi ke generasi sambung-menyambung sehingga nilai-nilai penting dan ciri khasnya tetap utuh, maka mengubah satu nilai atau kebiasaan bukanlah perkara gampang dan sederhana. Suatu tradisi akan dipertahankan bila dianggap masih mengandung relevansi dengan semangat zaman kekinian. Itulah sebabnya kebiasaan yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun akan tetap bisa ditemukan wujudnya.

Suatu kebiasaan umum saja akan susah dihilangkan, apa lagi bila berhubungan dengan nilai-nilai agama yang dianggap sakral dan berasal dari Tuhan. Inilah yang menjelaskan mengapa nama-nama dan kebiasaan yang kental sekali bernuansa keagamaan masih dipertahankan. Meskipun, misalnya, di suatu masyarakat ajaran agama tersebut sudah tidak lagi dijalankan.

Contohnya, meskipun banyak sekali orang Belanda jadi ateis dan tidak lagi beribadah ke gereja, namun ritual hari Natal tetap dirayakan. Mungkin mereka sudah tidak lagi menjiwai perayaan Natal sebagai tradisi keagamaan yang mengandung ritual dan pemujaan ke Tuhan, tetapi hanya sebatas sebagai tradisi yang berulang dari tahun ke tahun.

Sedangkal apa pun proses penghayatan dan penjiwaan warga masyarakat tersebut, namun kegiatan kasat matalah yang paling diingat dan mempunyai pengaruh ke masyarakat luas. Kita akan menemukan hampir di setiap rumah dan tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api dan pusat perbelanjaan ada pohon Natal yang dihias lampu.

Pertanyaan tadi kembali kita ajukan, apakah kaum ateis yang nama dirinya berasal dari kitab suci dan merayakan Natal ini sebagai mabuk agama?

Kalau dijawab ya, maka jelas si penjawab tidak mengerti proses budaya yang sedang berlangsung. Tetapi kalau dijawab tidak, maka kelompok agama lainnya, termasuk kaum muslimin di Indonesia, juga tidak bisa disebut mabuk agama. Orang ateis yang merayakan “ritual” keagamaan saja tidak bisa disebut mabuk agama, apa lagi orang-orang Islam yang secara sadar dan mengerti apa yang mereka lakukan.

Negara Pancasila ini terlalu indah untuk dirusak oleh kelompok pembenci agama yang entah menamakan diri kaum ateis, liberal, atau sekuler. Orang Islam yang mendalami agama dan menjalankan agamanya dengan baik pasti tidak akan nyolek-nyolek kepercayaan orang lain karena itu dilarang dalam Islam. Lakum diinukum waliyadiin (bagimu agamamu, bagiku agamaku), begitu kitab suci al-Qur’an mengajarkan.

Para pendiri bangsa memiliki visi yang jauh ke depan, memimpikan sebuah negara yang akan diisi oleh manusia dari berbagai macam latar belakang. Kemajemukan adalah hukum alam dan pasti akan menjadi ciri negara modern seperti Indonesia. Atas dasar inilah maka mereka merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, dan menempatkan aspek ketuhanan atau agama sebagai sila pertama atau yang terpenting.

Hanya dengan berketuhanan atau dengan memiliki landasan agama, baru kemudian orang bisa mempunyai kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya sampai sila kelima. Kita harus akui bahwa para pendiri bangsa adalah orang-orang yang sangat visioner, bisa melihat bangsa ini akan menjadi seperti apa di masa depan.

Jadi tidak ada yang mabuk agama, mereka, saudara sebangsa kita itu, hanyalah menjalankan agamanya dengan benar. Kalaupun mereka memang mabuk agama, jelas itu lebih baik daripada mabuk miras dan narkoba. Lebih baik daripada mabuk kebiasaan korupsi dan perbuatan-perbuatan terkutuk lainnya. ***


Friday, November 22, 2024

Ketika Politik Jadi Panglima, maka Musik Jadi Politik

Perspektif KBA News, Sabtu, 23 November 2024

Buni Yani

Ada saatnya kekuasaan seperti gurita raksasa yang menjangkau setiap sudut negeri, memantau semua hal dengan curiga, dan menindas siapa saja yang dianggap berbeda. Kekuasaan seperti ini lahir dari paranoia akut sehingga warga tidak dianggap sebagai mitra untuk dialog dan membangun, tetapi tak lebih daripada potensi ancaman yang setiap saat bisa merebut kekuasaan.

Karenanya tidak ada yang tidak dianggap menjadi urusan politik. Pilihan warna baju dianggap politik, gaya bicara dianggap politik, jenis musik kesukaan dianggap politik, pokoknya semua dianggap politik. Warna baju hitam, kuning, biru dianggap tidak netral – pasti bertujuan politik. Gaya bicara, dengan tempo cepat atau lambat, lalu menambahkan kata tertentu, dianggap mengacu ke suatu kelompok. Menyetel musik irama tertentu dianggap pemihakan ke salah satu ideologi.

Hidup jadi tegang dan menyiksa. Seolah-olah dunia hanya terdiri dari politik yang membosankan. Hidup jadi sempit sesempit cara pandang rezim. Hidup jadi kering tanpa makna.

Rezim mengerahkan intel ke seluruh sudut negeri untuk memata-matai rakyat. Kamera cctv hidup 24 jam untuk memantau pergerakan para aktivis yang dilabeli subversif dan provokator. Koran dipantau dengan ketat. Percakapan di media sosial tidak boleh nyerempet-nyerempet apa lagi menyenggol rezim. Keadaan lebih buruk daripada negeri panoptikonnya Michel Foucault.

Orang selalu mengaitkan keadaan demikian dengan negeri-negeri otoriter seperti Nazi Jerman atau Italia di bawah Mussolini. Seolah-olah yang cinta kekuasaan dan mempertahankannya dengan cara apa pun adalah cuma milik kaum fasis dan otoriter. Seolah-olah politisi yang mengaku kaum demokrat sama sekali tidak punya potensi menjadi serigala di tengah belantara politik. Padahal rumus kekuasaan sama saja di mana pun sepanjang sejarah.

Rezim seperti ini biasanya tidak konsisten. Mereka standar ganda. Mereka melarang seni – seni apa saja termasuk musik – tetapi pada saat bersamaan menggunakan alat yang sama untuk mengedepankan aganda politik mereka. Keputusan politik mereka didasarkan pada ideologi yang belum tentu benar. Ideologi buatan manusia yang gampang goyah dan bisa jadi masih compang-camping di sana-sini.

Ketika Pol Pot dan Khmer Merah berkuasa di Kamboja, mereka melarang semua jenis produk budaya milik kelas menengah dan atas. Mereka melarang musik rock ‘n roll, mereka melarang profesi guru dan dokter, mereka melarang semua yang berbau anti komunisme. Pol Pot ingin mencipta ulang negeri Kamboja sesuai visi politiknya. Lalu semua capaian kebudayaan dan peradaban dihapuskan, dan harus mulai dari “tahun nol” Kamboja.

Dimulailah tahun-tahun penindasan yang mengerikan. Semua kelas menengah – guru, dokter, seniman – dimobilisasi meninggalkan pekerjaan mereka di kota untuk pindah ke desa, membuka lahan baru jadi petani, pekerjaan yang bukan habitus kelas menengah. Pol Pot sudah kepincut Marxisme dan Maoisme sejak belajar komunisme di Paris, dan dengan hati yang mantap bertekad membangun Kamboja walau harus dengan tangan besi.

Sebagai negara protektorat Prancis, aspirasi budaya dan intelektual orang Kamboja tidak jauh dari Prancis. Elit kamboja fasih berbahasa Prancis, banyak di antara mereka yang kuliah di Sorbonne. Raja Norodom Sihanouk sangat fasih mengungkapkan pikirannya dalam Bahasa Prancis. Dia tamat sekolah militer di Prancis dan dikenal sebagai pemain saksofon jazz.

Semua yang melekat dalam diri Raja Sihanouk adalah representasi kelas borjuis, elitnya elit, yang dilawan oleh Pol Pot: berpendidikan Prancis, penyuka dan pemain jazz, bergelimang harta, dan didewakan dalam tradisi dan budaya Buddha Kamboja. Bagi Pol Pot, sesuai ajaran komunisme, maka masyarakat yang adil adalah yang sama rata sama rasa. Karenanya, kelas menengah dan atas harus dihapuskan dan digantikan dengan kelas proletar petani.

Dalam film dokumenter yang melibatkan Linda Saphan, seorang seniman Kamboja, berjudul “Don't Think I've Forgotten: Cambodia's Lost Rock and Roll”, digambarkan bagaimana hidupnya kota Phnom Penh sebelum Khmer Merah dan Pol Pot berkuasa. Negeri mayoritas penganut Buddha di Asia Tenggara yang penuh senyum itu dalam sekejap berubah menjadi neraka begitu Pol Pot naik tampuk kekuasaan.

Dalam film ini digambarkan bagaimana menderitanya para penyanyi dan artis musik ketika mereka dipaksa menjadi petani penggarap sawah. Ada yang menyembunyikan identitas sebagai penyanyi karena kalau ketahuan, jiwanya terancam. Kaki tangan Pol Pot besar kemungkinan tidak akan membiarkannya hidup.

Film dokumenter ini menggambarkan dengan cukup detail tragedi budaya yang dialami Kamboja akibat kesalahan Pol Pot menjadikan politik sabagai panglima. Sekarang film dokumenter ini bisa ditonton di Youtube secara gratis. Sekitar tahun 2015 ketika film ini baru dirancang, saya sempat bertemu Linda Saphan di Guangju, Korea Selatan dalam sebuah konferensi musik pop Asia.

Namun tentu saja Kamboja bukanlah satu-satunya negara yang pernah mengalami tahun-tahun kegelapan akibat terlalu mendewakan politik yang mengancam perjalanan bangsa secara keseluruhan. Orde Lama, dengan cara yang agak berbeda, juga pernah terjebak menjadikan politik sebagai panglima.

Orde Lama melarang musik “ngak-ngik-ngok” – istilah peyoratif Orde Lama untuk musik rock ‘n roll – karena dianggap musik bising produk nekolim yang anti revolusi. Grup band Koes Bersaudara sempat ditangkap lalu ditahan oleh rezim akibat menyanyikan lagu-lagu rock ‘n roll. Bagi Orde Lama, seni, termasuk seni musik, haruslah punya misi untuk menyampaikan pesan ideologis.

Itu sebabnya dalam lagu “Bersukaria” berirama lenso yang digagas rezim waktu itu, rezim dengan halus mencoba memoles keadaan ekonomi yang morat-marit dengan narasi bahwa negeri dalam keadaan baik karenanya pantas warga berdansa dan bersukaria. “Siapa bilang bapak dari Blitar. Bapak kita dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar. Indonesia banyak makanan.“ Begitulah bunyi syair lagu politik Orda Lama itu.

Namun seperti dipotret oleh koran-koran waktu itu, lagu ini tidak cukup kuat untuk menutupi keadaan ekonomi sebenarnya. Di akhir kekuasaan Orde Lama, inflasi mencapai 600 persen yang membuat harga-harga membubung tinggi, sementara rakyat tidak mempunyai daya beli.

Begitu rezim berganti dari Orde Lama ke Orde Baru, kebijakan budaya pun berubah. Orde Baru membebaskan semua produk budaya Barat masuk Indonesia, mulai dari film, musik, majalah, dan lain-lainnya. Dalam suasana baru, kini Jakarta, khususnya di kalangan kelas menengah, banjir produk budaya dari Amerika.

Kebijakan baru yang bertolak belakang dengan kebijakan Orda Lama ini kemungkinan didorong oleh dua hal. Pertama, untuk menunjukkan ke Amerika bahwa Orde Baru pro Barat. Dengan sinyal ini rezim baru berusaha meyakinkan Amerika bahwa politik dan ideologi Indonesia sudah berubah total karenanya bantuan haruslah dipermudah. Terbukti akhirnya AS memberikan bantuan pembangunan ekonomi ke Indonesia.

Kedua, Orde Baru sengaja meliberalisasi budaya Barat masuk Indonesia sebagai strategi untuk meninabobokkan anak muda. Dengan anak muda hidup dalam pergaulan dansa-dansi, hidup foya-foya dan apolitis, ini akan sangat menguntungkan rezim. Kondisi ini sengaja diciptakan untuk membuat anak muda tidak kritis, dan bila sudah tidak kritis, maka tidak akan ada lagi yang melakukan demonstrasi mengeritik rezim.

Apa pun itu, yang jelas bahwa kebijakan Orde Baru yang apolitis terhadap budaya, tidak menjadikan musik sebagai sesuatu yang politis, adalah langkah politik juga. Karena dengan mengambil langkah demikian Orde Baru mempunyai tujuan politik juga yang sudah dikalkulasi dengan matang. Pergantian kebijakan dari politik sebagai panglima ke pembangunan ekonomi sebagai panglima adalah peralihan fokus saja.

Menjelang 100 tahun umur negara-bangsa ini pada 2045 nanti, kiranya kita bisa lebih dewasa meletakkan budaya pada tempatnya. Kalaupun harus memakai medium budaya untuk menyampaikan gagasan politik, maka haruslah gagasan politik yang tinggi berupa nilai-nilai. Bukan pesan politik partisan untuk kepentingan jangka pendek.

Produk budaya, termasuk musik, haruslah mampu menciptakan narasi cerdas dan menggetarkan yang bisa mengajak anak bangsa berpikir lalu terpacu berbuat kebaikan untuk masyarakat dan negerinya. Bukan produk budaya yang dijadikan alat tunggangan untuk kepentingan sempit dan partisan.

Bila itu yang terjadi, maka publik sedang terlibat untuk mencegah politisasi sempit budaya ke level rendah yang tak punyai nilai. Karena, seperti sejarah telah tunjukkan kepada kita, politisasi segenap ruang publik – atau yang dikenal sebagai menjadikan politik sebagai panglima – bukanlah pilihan yang tepat dan cerdas.

Karena bila politik jadi panglima, maka budaya, termasuk musik di dalamnya, otomatis menjadi politik. Disorientasi ini akan mengacaukan semua hal dan membahayakan kehidupan bangsa. Cukuplah sejarah memberikan pelajaran kepada kita agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. ***


Saturday, November 16, 2024

Pidato Kekalahan Capres Amerika sebagai Budaya dan Keadaban Publik

Perspektif KBA News, Sabtu, 16 November 2024

 

Buni Yani


Tidak gampang mengakui kekalahan dalam kontestasi, itulah yang terjadi di berbagai bangsa dan negara di dunia. Selalu ada cara untuk mendeligitimasi presiden atau perdana menteri terpilih. Karena pihak sini lebih baik, lebih berhak, dan pasti menang, sedang pihak sana lebih buruk, tidak berhak, dan harus kalah.

 

Sikap demikian tentu saja tidak terpuji dan harus dihindari. Inti dari demokrasi, sama seperti pertandingan olahraga, adalah sportivitas. Yang menang mesti menghormati yang kalah, dan yang kalah mesti menerima kekalahan. Yang menang belum tentu akan menang di pertandingan selanjutnya, sementara yang kalah bisa berlatih lebih keras agar bisa memperbaiki prestasi di masa mendatang.

 

Tidak ada yang rumit dan mesti didramatisir. Kalah-menang adalah hal biasa. Kemenangan bukanlah puncak dari segalanya yang kemudian memabukkan dan bikin lupa daratan, dan kekalahan pun bukanlah kiamat atau akhir dari dunia. Bukan. Karena pertandingan adalah pertandingan dan pertandingan bukanlah tujuan tetapi hanya alat.

 

Alat untuk apa? Yaitu alat untuk menggembleng mental para pemain, alat untuk memanusiakan manusia agar menjadi manusia yang jujur, lurus, dan taat pada aturan pertandingan. Alat untuk mendidik si wasit agar berlaku adil dan jujur dalam memimpin pertandingan. Alat untuk mendidik penonton agar mereka ikhlas menerima apa saja hasil pertandingan.

 

Jadi pertandingan bukanlah tujuan, tetapi hanya alat untuk mendidik kita menjadi manusia yang punya integritas, menghargai prestasi dan meritokrasi, serta menaati nilai-nilai luhur yang menjadi fundamen kontestasi. Hanya dengan memahami filosofi ini dengan baik baru kemudian kita bisa legawa dan ikhlas menerima apa pun hasil pertandingan.

 

Filosofi pertandingan sama sekali tidak rumit. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah diajarkan sejak kita kecil, dan hampir semua budaya mengajarkan nilai-nilai baik yang sama. Kita diajarkan orang tua untuk berlaku adil kepada siapa saja, kita diajarkan untuk menaati aturan di sekolah, di rumah, dan di jalan. Kita diajarkan untuk menerima hasil lomba dan pertandingan dengan jiwa sportivitas yang tinggi.

 

Pertanyaannya, bila nilai-nilai luhur tentang keadilan, kebenaran, meritokrasi dan sportivitas sudah diajarkan sejak kita kecil, lalu dari mana asal-muasal perilaku menyimpang yang secara diametral melawan nilai-nilai tersebut setelah kita tumbuh besar dan dewasa? Yang menyebabkan kita melawan hasil pertandingan, berlaku tidak jujur dan tidak adil, serta melawan nilai-nilai sportivitas?

 

Jawaban untuk pertanyaan ini tidak tunggal dan tidak sederhana. Suatu perilaku menyimpang tidak atau jarang sekali berdiri sendiri, namun hampir selalu terkait dengan kejadian lain yang memicu penyimpangan tersebut. Penyimpangan nilai ini bisa jadi dipicu oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak sana sehingga pihak sini bereaksi dengan kadar yang sama atau bahkan lebih keras.

 

Para sarjana ahli konflik berpendapat bahwa kekerasan, begitu juga keadilan, seperti cermin. Dia bisa memantul ke mana-mana ke seluruh masyarakat. Bila sumbernya baik dan adil, maka pantulannya juga akan baik dan adil. Sebaliknya, bila sumbernya buruk dan penuh ketidakadilan, hal yang sama juga akan memantul ke tengah masyarakat. Ada reaksi karena ada aksi. Jarang sekali, atau bahkan tidak mungkin, suatu perilaku menyimpang muncul begitu saja. Perilaku menyimpang dipercayai muncul sebagian besar karena ada pemicunya.

 

Melihat pola pencerminan atau “mirroring” yang terjadi di dalam masyarakat ini, maka bisa dipastikan hampir semua perilaku mempunyai proses yang sama. Satu orang atau sekelompok orang melakukan penyimpangan, maka akan ditiru oleh satu atau sekelompok orang lainnya. Atau, bisa juga satu atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sebagai reaksi atas penyimpangan satu atau sekelompok orang lainnya.

 

Bila hukum sosiologi ini berlaku secara umum, maka dengan gampang kita bisa menjelaskan mengapa sekelompok orang menolak hasil pemilihan presiden, gubernur atau bupati – yaitu suatu penyimpangan serius dalam demokrasi. Maka kita bisa katakan bahwa penolakan ini kemungkinan besar merupakan reaksi dari penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok lain. Misalnya, karena terjadinya kecurangan, ketidakadilan dalam penyelenggaran pemilihan, dan praktik-praktik tidak terpuji lainnya.

 

Penolakan atas hasil pemilihan dilakukan karena pihak penolak melihat ada kecurangan dilakukan oleh kontestan lawan atau penyelenggara pemilihan. Kecurangan yang tentu tidak bisa ditolerir baik atas dasar moral ataupun politik. Karenanya, atas dasar kebenaran dan keadilan, maka penolakan ini sah adanya.

 

Namun tentu saja ini adalah gambaran umum yang terjadi di banyak tempat. Tentu ada perkecualian, dan perkecualian itu berasal dari Amerika Serikat.

 

Di AS, pertikaian besar yang diakibatkan oleh pemilihan presiden lalu menimbulkan perpecahan bangsa yang serius hampir tidak pernah terjadi. Kalaupun pernah terjadi, itu tidak berlarut-larut. Kasus pendukung Trump yang tidak menerima hasil pemilihan tahun 2020 lalu berusaha menduduki gedung DPR – Capitol Hill – pada Januari 2021 akhirnya berakhir dengan pengakuan atas kemenangan Biden.

 

Kasus Trump ini kasus yang sangat khusus dalam sejarah Amerika. Yang banyak terjadi justru diadakannya pidato kekalahan oleh calon presiden yang suaranya sudah tidak bisa lagi mengejar suara lawan. Pidato kekalahan ini sekaligus merupakan pernyataan pengakuan kemenangan kepada pihak lawan. Dalam tradisi Amerika, calon presiden yang kalah dalam kontestasi selain membuat pidato kekalahan juga biasanya akan menelepon calon presiden yang menang untuk mengucapkan kata selamat.

 

Baru-baru ini tak lama setelah melihat jumlah suaranya kalah oleh Trump, padahal penghitungan belum selesai dilakukan, capres Kamala Harris dari partai Demokrat langsung mengumumkan kekalahannya lewat pidato yang penuh motivasi kepada para pendukungnya. Kamala mengatakan jangan pernah berhenti berjuang karena kecintaan mereka yang besar kepada Amerika.

 

Kamala tampak tegar. Dia mengumbar senyum kepada pendukungnya. Tidak terlihat sedikit pun kebencian pada raut muka Kamala, padahal publik Amerika tahu bahwa kampanye kedua kandidat penuh berisi pernyataan keras dan saling menjatuhkan. Bahkan Trump sendiri dua kali mengalami percobaan pembunuhan selama kampanye yang entah dilakukan oleh siapa.

 

Kamala seperti mengubur luka yang masih basah dan menganga dengan senyum khasnya. Alih-alih menangis dan meneteskan air mata, dia justru berusaha menghibur pendukungnya dengan isi pidato yang berisi motivasi untuk berjuang kembali. Masih ada waktu, dan bukan tak mungkin pada 2028 mendatang kandidat dari partai Demokrat bisa kembali merebut kekuasaan.

 

Pidato Kamala Harris disampaikan di kampus Howard University di Washington, DC, kampus yang sebagian besar mahasiswanya berkulit hitam di mana Kamala adalah salah satu alumninya. Dibanding kampus lain di Washington, DC, Howard University tidaklah tergolong prestisius. Saya pernah beberapa kali lewat di depan kampus ini, bahkan pernah ikut tes GRE dan TOEFL berbasis komputer di sana pada tahun 2002. Kesan kurang terawat dan fasilitas yang terasa berbeda, itulah yang saya rasakan. Entah sekarang, setelah 22 tahun kemudian, bisa jadi kampus ini sudah jauh berkembang. Apa lagi salah satu alumninya telah menjadi Wakil Presiden Amerika, negara adidaya yang sangat kaya.

 

Kamala menolak untuk runtuh dan takluk. Dia mengobarkan semangat untuk terus berjuang. Tidak ada demo menolak hasil pemilihan, tidak ada orang bakar-bakar ban, tidak ada kerusuhan. Washington, DC tampak normal seperti hari-hari biasa. Gedung Putih masih dihuni Presiden Biden, Capitol Hill tak menunjukkan tanda-tanda abnormal. Semua berjalan seperti biasa.

 

Memang selama pemilihan presiden tahun 2024 ini ada insiden-insiden kecil terjadi, tapi tidak sampai menimbulkan chaos sebesar empat tahun sebelumnya. Orang Amerika mungkin menganggapnya sebagai kembang demokrasi semata yang biasa terjadi dalam urusan politik. Semacam riak kecil yang tidak akan pernah membuat oleng perahu. Amerika diyakini akan semakin kuat dengan dinamika politik seperti ini.

 

Mungkin banyak bangsa di dunia akan merasa iri dengan budaya politik Amerika yang mampu menghadirkan pertunjukan elegan seperti pidato kekalahan ini. Bagi negara-negara yang tergolong banana republic, ini bisa jadi seperti fiksi yang terlalu indah untuk terjadi.

 

Dari mana asal-muasal tradisi unik ini yang menjadikan Amerika sangat berbeda dengan negara-negara lain di dunia?

 

Suatu budaya atau tradisi tertentu tidak jatuh dengan sendirinya dari langit tanpa usaha pendukungnya. Budaya adalah kesadaran kolektif untuk menjalankan suatu perilaku dengan atau tanpa disadari. Budaya adalah kesepakatan bersama untuk menerima perilaku tertentu, baik yang positif maupun negatif, lalu dijadikan standar nilai.

 

Budaya politik Amerika sudah berumur ratusan tahun, dianggap usia yang sudah sangat matang dan akan stabil untuk seterusnya. Di awal-awal kemerdekaan pasca 1776, Amerika mengalami ujian yang tidak ringan. Di abad ke-19, terjadi perang saudara antara Amerika sebelah utara dan selatan. Amerika kenyang dengan pengalaman politik, perbedaan pandangan dan ideologi hingga pertumpahan darah.

 

Di awal terbentuknya Amerika, banyak sikap luhur dan terpuji dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Sikap tanpa pamrih mereka akan terus dikenang oleh generasi berikutnya. Nilai-nilai yang baik yang dicontohkan para pendiri bangsa ini meresap ke dalam relung hati warga, terus hidup dalam memori kolektif, menjadi nilai-nilai luhur yang dipegang teguh, dan mewujud menjadi tindakan nyata dalam perilaku sehari-hari.

 

Mungkin inilah yang terjadi dengan pidato kekalahan yang agung itu, termasuk pidato kekalahan oleh Kamala Harris. Dia muncul dari ketidaksadaran karena begitu halus bersemayam dalam pikiran dan kesadaran publik. Karena nilai yang bagus haruslah menjadi perilaku, dan perilaku yang baik ini haruslah dijadikan keadaban publik. ***


Friday, November 8, 2024

Novel Sejarah dan Usaha Mendekatkan Karya dengan Khalayak

Perspektif KBA News -- Sabtu, 9 November 2024


Buni Yani


Apa yang membedakan antara karya fiksi dan non fiksi? Para sarjana sepakat bahwa karya fiksi mempunyai isi dan bentuk yang baik. Sebuah karya fiksi dianggap baik bila isinya mengandung pesan yang bermanfaat bagi masyarakat, dan bentuknya pun haruslah mengandung keindahan. Sementara karya non fiksi di pihak lain hanya fokus pada isi, dan kurang atau bahkan tidak memberikan fokus pada bentuk yang indah.

 

Karya-karya sastra yang memenangkan berbagai macam lomba memiliki dua aspek tadi sehingga mampu “menundukkan” para juri. Karya sastra yang hanya mengandung isi yang baik tapi bentuknya tidak indah maka dia kurang mempunyai aspek sastrawi yang mengandung nilai seni. Untuk apa khalayak membaca karya sastra yang tidak memiliki keindahan, yang hanya fokus pada isi, sementara kelebihan karya sastra adalah pada aspek keindahannya. Kan lebih baik membaca berita atau artikel ilmiah, misalnya, untuk topik yang sama. Kan lebih efisien, tidak bertele-tele. Untuk apa membaca puisi atau cerpen!

 

Di pihak lain, karya sastra yang hanya fokus pada keindahan bahasa tetapi abai terhadap isi atau pesan dianggap “cacat”. Karena karya sastra haruslah membawa pesan yang baik dan bermanfaat, pesan yang mendorong refleksi dan memberikan inspirasi, bahkan kalau bisa mengubah hidup pembacanya.

 

Karya yang tidak memiliki isi yang baik dianggap kurang serius dan dikategorikan karya “pop” yang tidak memiliki bobot. Pada dekade 1980-an banyak sekali muncul novel dengan karakteristik demikian, bahkan ada yang dijadikan film, tetapi kritikus sastra di tanah air tidak memperhitungkannya sebagai karya yang punya nilai tinggi. Hanya sebagai seni belaka tanpa ada bobot. Pembacanya yang rata-rata berpendidikan rendah dan kurang serius dianggap kalangan escapist – yaitu kalangan yang melarikan diri dari masalah nyata yang dihadapi dengan membaca novel.

 

Sudah cukup lama ada tren di antara penulis novel untuk menovelkan kisah nyata, biografi seorang tokoh, atau kejadian sejarah. Langkah ini diambil karena fakta sejarah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat tidak menarik minat banyak orang. Kalaupun ada yang tertarik, maka sangat khusus orangnya, di antaranya adalah para sejarawan, pecinta sejarah, akademisi, dan sejenisnya. Hal ini disebabkan karena fakta sejarah tersebut ditulis dalam bentuk buku sejarah yang kering, disertasi ilmiah, dan berbagai bentuk karya non fiksi lainnya.

 

Hal inilah yang mendorong para penulis untuk menulis fakta sejarah dalam bentuk novel. Mereka berusaha mendekatkan pesan penting sejarah ke pembaca umum. Harus diakui, langkah ini bukanlah langkah yang mudah. Penulis yang berani melakukan novelisasi kejadian sejarah tentu harus paham kejadian sejarahnya secara detail, harus paham pesan sejarah yang mau disampaikan, dan mampu menuliskannya ke dalam bentuk fiksi yang indah. Sehingga karya si novelis langsung mendapatkan dua kriteria karya sastra yang baik, yaitu isi dan bentuk yang baik.

 

Tantangan novelisasi sejarah di antaranya adalah bagaimana penulis mampu menulis karya novel sejarah dengan bahasa yang indah namun tetap mempertahankan akurasi sejarah yang ditulis, tidak melebih-lebihkan atau mengurangi kejadian yang sebenarnya. Penulis harus mampu menjaga jarak dengan tokoh yang ditulisnya, misalnya, meskipun dia mengenal si tokoh secara pribadi. Hal ini untuk menjaga akurasi fakta sejarah yang ditulis, meskipun ditulis dalam bentuk novel. Karena sangat sukar bagi penulis untuk tidak terjatuh menjadi subyektif.

 

Penulis yang menyukai atau mengagumi tokoh yang ditulis cenderung untuk memuji si tokoh secara berlebihan. Dan karya novel menyediakan ruang yang sangat luas untuk itu. Penulis bisa mengembangkan imajinasinya untuk mengglorifikasi si tokoh lewat narasi fiktif – yang tentu akan menurunknnya dari novel sejarah menjadi novel fiktif. Sebaliknya, bila penulis tidak menyukai tokoh yang ditulis, maka terbuka juga ruang yang sangat lebar untuk menulis narasi kebencian.

 

Penulis novel sejarah harus selalu mengingatkan diri sendiri bahwa yang ditulisnya adalah fakta sejarah yang berbentuk novel. Meskipun novel dikategorikan sebagai karya fiksi, namun kali ini dia tidak boleh menuliskan informasi fiktif. Dia hanya boleh menulis fakta yang ada sumber dan referensinya. Harus terpatri dalam kesadaran si penulis bahwa bentuk novel yang dikategorikan sebagai fiksi hanya wadah atau instrumen saja untuk menyampaikan pesan sejarah. Karenanya dia harus disiplin memilih dan memilah mana yang fiksi dan mana yang sejarah, kapan dia boleh mengembangkan imajinasinya dan kapan dia harus berhenti.

 

Pertanyaannya, apakah mungkin seorang penulis novel sejarah berlaku obyektif sementara penulis buku sejarah yang non fiksi saja banyak yang subyektif? Bukankah banyak sekali buku sejarah yang isinya sangat subyektif meskipun karya tersebut berbentuk karya non fiksi seperti artikel jurnal atau disertasi?

 

Pertanyaan ini pelik tapi harus dijawab. Bila yang dimaksud sebagai sikap “subyektif” adalah perbedaan cara pandang atau paradigma, maka jelas ini adalah sikap subyektif yang diperbolehkan dalam dunia akademi. Misalnya, seorang penganut ekonomi pasar ketika membahas sejarah runtuhnya ekonomi sosialis cenderung akan menyalahkan sistem sosialisme. Dia cenderung akan melihat kegagalan disebabkan oleh ideologi dan sistem sosialisme yang dianut.

 

Perbedaan perspektif, cara pandang, atau paradigma seperti ini tentu saja lazim dalam dunia akademi. Subyektivitas ini adalah subyektivitas yang diperbolehkan karena suatu masalah bisa dilihat dari berbagai macam sudut. Maka sejarawan Marxis tentu akan punya pendapat berbeda bila meneropong fakta keruntuhan ekonomi yang sama.

 

Yang tidak boleh, atau mungkin bisa disebut sebagai “subyektivisme yang haram”, adalah bila sikap subyektif tidak didasari oleh landasan ilmiah. Yaitu subyektivisme serampangan dan membabi-buta yang melawan kaidah ilmu pengetahuan yang berlaku umum. Misalnya, bila keruntuhan ekonomi sosialis tadi dianggap sesuatu yang tepat dan seharusnya terjadi oleh seorang penulis karena keluarganya tidak diuntungkan oleh sistem yang ada. Kata dia, keluarganya tidak bisa berusaha karena negara memonopoli semua usaha.

 

Subyektivisme yang terakhir ini tentu saja haram karena menarik persoalan umum menjadi kasus pribadi. Mungkin bila kasus pribadi ini dijadikan contoh kasus yang riil dari fenomena yang jauh lebih besar dan berlaku umum mungkin ceritanya akan lain.

 

Yang hendak dikatakan di sini bahwa menulis novel sejarah punya tantangan sendiri. Karya akan dianggap berhasil bila mampu menyeimbangkan obyektivitas sejarah dengan pemaparan bahasa fiksi yang indah.

 

Di antara penulis yang berani menempuh jalan ini adalah Haidar Musyafa yang menulis Hamka: Sebuah Novel Biografi (2016), Akmal Nasery Basral dengan karya Presiden Prawiranegara (2011), dan terakhir Ady Amar dengan karya Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati (1875-1943): Sebuah Novel Sejarah (2024). Ketiga penulis hebat ini berinisiatif mendekatkan topik berat, perjuangan para tokoh yang mereka tulis, ke khalayak yang lebih luas. Sayang sekali bila generasi muda Indonesia tidak mengenal Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, dan Syekh Ahmad Surkati hanya gara-gara cara penyampaiannya membosankan dan tidak menarik.

 

Semoga usaha ini membuahkan hasil di tengah rendahnya minat baca di tanah air. Namun seandainya pun usaha ini tidak membuahkan hasil yang maksimal dalam memperkenalkan tokoh-tokoh besar tadi, maka bisa ditempuh cara lain yang jauh lebih ringan, populer, dan dianggap lebih mengasyikkan oleh banyak orang terutama generasi muda. Yaitu, jadikan biografi para tokoh itu lagu yang diiringi musik yang menarik. Mungkin ini bisa lebih efektif karena bisa menjangkau khalayak yang lebih luas.

 

Lagu Ibu Kita Kartini mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam memperkenalkan salah satu tokoh nasional ini, sementara lagu Halo-halo Bandung bisa menarik minat generasi muda untuk mempelajari satu episode sejarah yang dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Jadi tidak ada salahnya para penulis novel sejarah juga mempertimbangkan berkolaborasi dengan penulis lagu dan musisi.

 

Karena mendengarkan lagu tentang kebaikan dari tokoh-tokoh bangsa jauh lebih bermanfaat daripada mendengarkan musik dengan tema cinta yang cengeng, perselingkuhan, gaya hidup hedonis, dan topik-topik tidak mendidik lainnya. Bangsa ini sudah lama kehausan akan hal-hal baik yang bisa mendatangkan inspirasi guna membawa perubahan. ***


Friday, November 1, 2024

Incompatibilidade de Gênios: Tentang Satire, Budaya dan Perubahan Sosial

Perspektif KBA News, Sabtu, 2 November 2024


Buni Yani


Budaya punya cara dalam merespons peristiwa di dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan ideal, proyeksi, atau standar nilai yang seharusnya berlaku. Budaya kemudian akan memproduksi satire, sarkasme atau candaan untuk menyindir peristiwa atau perilaku yang dianggap menyimpang.


Satire, sarkasme atau candaan ini punya banyak bentuk. Bisa berupa karya sastra seperti puisi, prosa, atau drama. Para seniman panggung akan menampilkan karya mereka di hadapan penonton untuk memantik kesadaran bahwa sedang terjadi penyimpangan di dalam masyarakat yang mesti diperbaiki bersama. Kritik atas penyimpangan ini juga bisa dituangkan ke dalam bentuk lagu lalu dinyanyikan di hadapan penonton.


Terbukti bahwa kritik yang dikemas dalam bentuk lagu jauh lebih efektif dibandingkan dengan bentuk karya seni lainnya. Hal ini karena lagu yang mempunyai irama musik sangat efektif menyampaikan pesan. Masyarakat suka musik, dan menyampaikan kritik lewat musik dianggap bukan perkara seserius menulis pamflet atau manifesto politik. Berkat teknologi komunikasi, rekaman lagu bisa menjangkau khalayak yang sangat luas bila disiarkan lewat radio dan tv, atau disebarkan lewat platform internet.


Di Filipina, ketika gerakan nasionalisme budaya sedang marak-maraknya berlangsung pada dekade 1970-an, seniman musik berlomba menulis lagu dalam Bahasa Tagalog. Pada dekade sebelumnya, yaitu pada 1960-an, lagu berbahasa Inggris dianggap lebih prestisius, lebih berkelas, dan dianggap sebagai standar intelektualitas. Perubahan semangat zaman ini tidak datang secara tiba-tiba. Pada dekade 1950-an sejumlah intelektual sudah mulai menulis kritik budaya agar Filipina mempunyai jati diri bangsa yang bisa melepaskan diri dari pengaruh penjajah Amerika dan Spanyol.


Ada seniman yang membuat lagu satire bagaimana orang Filipina tidak cocok berbahasa Inggris. Orang Filipina digambarkan melapalkan kata Bahasa Inggris dengan lidah Tagalog yang aneh, lucu, dan jadi bahan tertawaan. Lagu Annie Batungbakal yang ditulis dan dibawakan oleh grup band Hotdog adalah karikatur bagaimana budaya Filipina sangat jauh berubah meniru gaya hidup Amerika.


Seorang perempuan muda bernama Annie Batungbakal yang berasal dari Frisco di Quezon City dikisahkan siang hari bekerja sebagai sales tetapi waktu malam hari menjadi ratu disko. Annie setiap malam ke disko terkenal waktu itu bernama Coco Banana di Manila. Annie Batungbakal ke disko setiap malam dengan harapan kesulitan hidup sehari-harinya bisa ia lupakan. Tetapi ironisnya, masalah perempuan muda ini justru bertambah-tambah karena dia dipecat dari pekerjaannya.


Cerita mengenai Annie Batungbakal adalah cerminan bagaimana budaya Filipina begitu susah memisahkan diri dari pengaruh Amerika yang pernah menjajah Filipina. Lagu ini sangat terkenal sehingga ketika dibawakan pada konser bulan Mei 2011, hampir seisi ballroom di Hotel Dusit Thani Makati itu berjoget. Saya diundang datang ke konser secara langsung oleh pemimpin band Rene Garcia yang saya temui beberapa waktu sebelumnya untuk melakukan wawancara penelitian. Rene Garcia meninggal dunia tujuh tahun kemudian, pada 2018.


Tak tanggung-tanggung konser ini dihadiri pula oleh Presiden Noynoy Aquino. Dua hari setelah konser, harian terkemuka Philippine Daily Inquirer membuat berita heboh di halaman depan bahwa presiden lajang itu rupanya menonton bersama perempuan cantik yang terbang dari kota Cebu di selatan Filipina. Namun sampai Noynoy meninggal pada 2021 lalu, presiden itu tetap lajang. Perlu digarisbawahi di sini bahwa Noynoy Aquino yang lahir pada 1960 berasal dari zaman yang sama dengan grup band Hotdog sehingga tema, musikalitas, dan gaya yang dibawakan oleh Hotdog masih relate dan tidak asing baginya.


Tema merosotnya budaya lokal akibat Amerikanisasi juga bisa kita temukan pada lagu Tu vuò fà l'americano (Kau Ingin Jadi Orang Amerika) karya seniman Italia Renato Carosone. Ditulis dalam Bahasa Napolitano, semacam bahasa daerah di Italia, pada 1956, lagu Tu vuò fà l'americano mengeritik anak-anak muda yang bertingkah ingin seperti orang Amerika. Anak Italia waktu itu, kata lagu ini, sudah keranjingan berpakaian seperti orang Amerika, minum wiski dan soda, mendengarkan musik rock ‘n roll, main baseball, mengucapkan kata “I love you” di dalam Bahasa Inggris waktu berpacaran – pokoknya keranjingan semua hal berbau Amerika – padahal mereka lahir di Napoli.


Amerikanisasi tidak hanya menyerbu negara-negara Asia pada akhir 1950-an dan dekade 1960-an, tetapi juga negara-negara Eropa seperti Italia dan Prancis. Prancis yang dianggap memiliki ketahanan budaya yang tinggi oleh karena berkembangnya kebanggaan nasional memiliki budaya “tinggi“, tak luput dari menjamurnya Amerikanisasi. Lagu rock ‘n roll mewabah, gaya rambut dan berpakaian anak muda Amerika bisa ditemukan di mana-mana. Semua ini terdokumentasi baik dalam majalah anak muda Salut les copains (Hai, Kawan) yang terbit di Paris.


Di Indonesia, kita punya banyak lagu sindiran dan kritik sosial. Dua nama perlu disebut di sini yang kritik sosialnya masih relevan untuk keadaan hari-hari ini. Mereka adalah grup Bimbo dengan lagu Tante Sun dan Iwan Fals/Swami dengan lagu Robot Bernyawa.


Lagu Tante Sun berkisah tentang seorang perempuan karir kelas atas yang sangat sibuk seharian penuh. Pagi olah raga, kemudian main golf. Agak siang ke salon untuk mandi susu. Setelah itu Tante Sun akan mengikuti segala macam rapat sampai malam. Bisnisnya meliputi semua bidang, tipikal konglomerat zaman sekarang. Tante Sun terlibat bisnis zamrud, berlian, kerikil, emas, hingga beton. Cukong, tauke, direktur dan makelar semua di bawah kekuasaan Tante Sun.


Fenomena konglomerasi Tante Sun zaman dulu masih hanya terjadi dalam satu bidang yaitu bidang bisnis. Di zaman sekarang, konglomerasi terjadi dalam bentuk antar bidang. Seorang Tante Sun zaman sekarang tidak hanya kaya dan sukses dalam bidang bisnis, tetapi juga dia menjadi tokoh dalam bidang politik dan punya jabatan politik yang tinggi, serta mempunyai gelar tertinggi seperti doktor dan profesor. Publik menyoroti gelar akademik Tante Sun yang tidak mungkin didapatkan karena sibuk sekali. Mengerjakan disertasi S3 perlu konsentrasi tinggi yang tidak bisa dilakukan oleh orang sesibuk dan seglamor Tante Sun.


Lagu Robot Bernyawa dari Swami/Iwan Fals berkisah tentang kondisi para buruh yang diibaratkan seperti robot oleh karena keharusan mengikuti kehendak majikan. Robot-robot ini bahkan bersuara saja tidak boleh hanya untuk mempertanyakan kondisi yang mereka alami. Bila berani bertanya mengenai hak mereka sebagai buruh, kemungkinan mereka akan dituduh sebagai pengacau yang ancamannya pemecatan atau berurusan dengan hukum.


Untuk cari selamat, akhirnya para buruh mengikuti kehendak majikan. Karena memendam sesuatu yang tidak boleh diucapkan maka para buruh dari strata sosial rendah ini tak ubahnya seperti “robot bernyawa”. Mereka dikendalikan oleh “remote control” sesuai keinginan majikan yang menumpuk kekayaan dari derita dan keringat para buruh. “Jangan bertanya, jangan bertingkah. Robot bernyawa teruslah bekerja. Sapi perahan di zaman modern. Mulut dikunci tak boleh bicara,” demikian di antara isi lagu ini.


Kritik lagu Robot Bernyawa sungguh masih relevan dengan keadaan sekarang ini di mana kondisi buruh semakin tak menentu. Upah yang rendah, jam kerja yang berlebih, dan ancaman pemecatan yang setiap waktu menghantui. Tidak ada yang namanya karyawan tetap, yang ada adalah karyawan kontrak dan sistem outsourcing. Kondisi tidak menentu ini membuat masa depan para buruh menjadi sangat rentan dan bahkan dihantui oleh hari tua yang suram.


Di Brazil, ada lagu samba sangat terkenal berjudul Incompatibilidade de Gênios (Tidak Cocoknya Orang-orang Genius) yang dipopulerkan oleh penyanyi papan atas João Bosco. Lagu ini pertama kali direkam di atas piringan hitam pada 1976 dan aransemennya dikerjakan oleh Luizinho Eça dan melibatkan nama besar lainnya yaitu Radamés Gnattali.


Interpretasi João Bosco atas lagu Incompatibilidade de Gênios dianggap sukses. João menjadikan lagu ini lebih cepat iramanya dibanding aransemen awal. Di antara faktor yang membuat lagu ini sukses di tangan João adalah karena dia mengajak Nelson Faria, gitaris jazz papan atas Brazil, untuk mengisi suara gitar. Nelson Faria dikenal luas secara internasional dan pernah mengajar di banyak sekolah musik seperti Universitas Örebro dan Universitas Malmo di Swedia, Konservatori Amsterdam di Belanda, serta Manhattan School of Music dan Berklee College of Music di AS. Lembaga terakhir ini perlu digarisbawahi bahwa Berklee College of Music yang berlokasi di Boston, AS adalah pencetak banyak musisi jazz kelas dunia.


Lagu Incompatibilidade de Gênios di Indonesia dikenal luas lewat album Collection karya gitaris jazz Amerika Lee Ritenour yang dirilis tahun 1991. Namun Lee Ritenour dalam kolaborasinya dengan João Bosco mengubah judul lagu berbahasa Portugis ini menjadi Latin Lovers. Mungkin tujuannya untuk mendekatkan lagu ke pendengar dengan bahasa yang jauh lebih dimengerti. Meskipun pada kenyataannya João Bosco membawakan lagu ini tetap dalam Bahasa Portugis Brazil, bukan Bahasa Inggris.

 

Sesungguhnya tema lagu ini sangat domestik dan personal yaitu tidak cocoknya sepasang suami-istri dalam banyak hal yang kemudian memutuskan untuk berpisah. Disampaikan dengan cara humor, lagu ini adalah karikatur mengenai tidak cocoknya pasangan suami-istri dengan latar belakang budaya Brazil yang kental. Mungkin itu sebabnya, judulnya, Incompatibilidade de Gênios, atau incompatibility of the geniuses dalam Bahasa Inggris, atau tidak cocoknya orang-orang jenius, dimaksudkan sebagai humor yang hiperbolis bahkan cenderung sarkastis. Mengapa sepasang suami-istri ini mendapat predikat “jenius” dari penulis lagu? Apakah ini sekadar humor atau penulis lagu sebetulnya punya maksud lain?

 

Lagu dimulai dengan fragmen si suami sedang mendengarkan klub Flamengo yang sedang bertanding di radio. Si istri datang, lalu tanpa babibu dia mengganti stasiun radio. Tanpa mempedulikan suaminya, si istri asyik sendiri menyanyi mengikuti stasiun baru yang dia sudah pindahkan. Lalu si suami kemasukan debu ke dalam mata. Bukannya dapat perhatian dan ucapan kasihan, si istri malah mengatakan si suami bisa buta, tanpa empati sama sekali. Si suami sama sekali tidak bisa menghindar dari istrinya, bahkan hanya ke bar untuk membeli minuman saja tidak boleh. Bila berani, maka ini menjadi alasan si istri untuk mogok tidak mau melayani si suami.

 

Pada fragmen lain, si istri mengguna-gunai suaminya agar lengket ke dirinya. Si istri mengambil celana dalam suaminya lalu dibacakan jampi-jampi. Lalu bila debt collector datang, si istri mengajak suaminya untuk duduk menghadapi penagih utang. Akan tetapi jika keadaan berubah membaik, dan penghasilan si suami meningkat, maka si istri tiba-tiba mengajak ibunya untuk tinggal bersama mereka – yang tidak disukai suaminya. Bila si suami minta dimasakkan kacang, si istri sengaja menjadikannya asin. Waktu hari panas, si istri sengaja pakai jaket untuk memancing masalah dan cari gara-gara. Pokoknya semua yang dilakukan si istri hanya untuk memprovokasi si suami agar terjadi pertengkaran.

 

Satire hiperbolis berbentuk humor yang digunakan dalam lagu ini mencapai level maksimal untuk menunjukkan kontras dan perbedaan tajam antara si suami dan istri. Mungkin kejadian semacam ini akan susah kita temukan dalam kehidupan nyata. Penulis lagu sengaja menciptakan dunia rekaan karikaturis untuk menimbulkan efek humor yang tinggi.

 

Namun apakah betul lagu ini sebetulnya ditujukan semata untuk tujuan humor? Mari kita telaah secara seksama judulnya, yaitu “tidak cocoknya orang-orang jenius”. Bahwa dalam dunia nyata, orang-orang pintar, kaum intelektual, dan orang-orang jenius, mirip pasangan suami-istri dalam lagu ini, sukar sekali bersepakat akan suatu hal di antara mereka. Mereka suka berselisih. Mereka cenderung tidak cocok satu sama lain oleh karena ego merasa diri lebih pintar dari orang lain.

 

Sampai di sini kelihatannya lagu Incompatibilidade de Gênios tidak bisa hanya dibaca dan ditafsirkan sebagai humor biasa pertengkaran antar suami-istri. Lagu ini bisa jadi kritik sosial yang lebih luas dan dalam. Yaitu kritik kepada kaum intelektual, kaum cerdik-pandai, agar pintar-pintar membawa diri sehingga ilmu yang mereka miliki bisa digunakan untuk kebaikan masyarakat. Kaum cerdik-pandai harus bisa kerja dalam tim, tidak introvert dan egois, sehingga ilmu mereka yang tinggi itu bisa dijadikan dasar untuk membuat kebijakan yang berguna bagi bangsa.

 

Di Indonesia, kasus rapat yang berakhir dengan tidak ada kesimpulan final karena banyaknya perdebatan dan cekcok yang tidak perlu sering sekali kita temukan. Bila tidak ada kesimpulan final, tidak ada petunjuk teknis untuk menjalankan program kerja, kira-kira bagaimana sebuah organisasi bisa sukses memperjuangkan visi dan misinya? Memang pernyataan visi dan misinya sangat gagah, tetapi the devil is in the details, kata sebuah ungkapan. Setan atau tantangannya ada di perintilan-perintilan kecil yang kebanyakan orang tidak sukai. Visi-misi itu harus diterjemahkan ke dalam program kerja dan program kerja hanya bisa sukses bila rapat-rapatnya menelurkan kesimpulan praktis yang siap dijalankan.


Tantangan orang-orang pintar itu ada di sini, yaitu bagaimana di dalam rapat organisasi yang dihadiri oleh orang dari berbagai macam latar belakang ilmu dan kepintaran yang berbeda, mereka tetap bisa survive. Tantangan orang-orang pintar itu ada dua menghadapi situasi seperti ini. Yaitu, apakah mereka bisa betah bergaul dengan orang-orang dari latar belakang berbeda yang tidak memahami ilmunya, dan kecenderungan untuk merasa dialah yang paling benar pendapat dan perspektifnya di antara orang-orang yang lebih rendah ilmunya.


Jadi, kita bisa panjang-lebar menguraikan makna yang terkandung dalam satire lagu Incompatibilidade de Gênios. Meskipun lagu ini berlatar belakang budaya Brazil, namun nilai yang terkandung bisa relevan dengan budaya lain di dunia. Begitulah cara budaya memperbaiki masyarakat. Dan terkadang pendekatan budaya seperti ini bisa lebih efektif mengubah masyarakat dibandingkan dengan pendekatan ekonomi dan politik.


Mungkin oleh karena hal inilah mengapa dua sarjana terkemuka Amerika yaitu ilmuwan politik Samuel Huntington dan ahli pembangunan Lawrence Harrison menulis buku Culture Matters: How Values Shape Human Progress (2001). Huntington yang mengajar di Universitas Harvard, pemikirannya mengenai “benturan peradaban” sangat terkenal di Indonesia pada tahun 1990-an. Sementara Lawrence Harrison yang bekerja di Universitas Tufts sangat percaya bahwa budaya mempengaruhi pembangunan di suatu negara. Budaya akan berperan pada apakah suatu bangsa akan cepat mengalami kemajuan atau sebaliknya justru akan terus terbelakang.


Yang menarik sebetulnya perjalanan intelektual Samuel Huntington yang dididik dalam tradisi ilmu politik lalu kemudian memperluas horizon keilmuannya dengan menjadikan budaya sebagai faktor yang tidak kalah pentingnya dengan bidang politik dan ekonomi. Pergeseran paradigma ini tentu saja sangat penting untuk digarisbawahi bahwa ilmu budaya tidak lagi bisa dianggap berada di pinggiran, kalah pamor oleh ilmu-ilmu lainnya.

 

Di Indonesia, pergeseran paradigma ini perlu terus kita sampaikan ke masyarakat umum, khususnya dunia akademi. Bahwa budaya berperan dalam pembangunan dan perubahan sosial, dan ilmu budaya bisa membantu pemerintah dalam merancang cara yang efektif dan efisien untuk menjalankan program kerja.

 

Dalam sejarah kita bisa belajar banyak bagaimana budaya bisa menjadi faktor utama perubahan sosial atau bahkan revolusi. Dua novel penting mesti disebutkan di sini, yaitu Noli Me Tángere (Jangan Sentuh Aku) karya José Rizal dan Uncle Tom’s Cabin (Kabin Paman Tom) karya Harriet Beecher Stowe. Novel Noli Me Tángere yang terbit pertama kali pada 1886 ikut menyulut revolusi Filipina yang kemudian merdeka dari penjajahan Spanyol pada 1898. Novel ini mengungkap bagaimana busuk dan korupnya penjajah Spanyol. Pastor, pemimpin agama Katolik, yang seharusnya bisa berlaku adil karena digerakkan oleh dorongan moral dan perintah suci dari Tuhan, kata José Rizal, setali tiga uang dengan aparat kolonial yang jahat.

 

Novel ini telah menjadi semacam surat kabar penyebar berita tentang kebusukan penjajah Spanyol ke seluruh rakyat Filipina. José Rizal, seorang dokter, pahlawan terpenting Filipina, mampu mengungkapkan bagaimana eksistensi rakyat Filipina yang telah direndahkan ke taraf bukan manusia oleh penjajah Spanyol. Ini membangkitkan nasionalisme yang kemudian menyulut revolusi. Oleh karena daya dorong dan daya ledak novel yang tinggi dalam membangkitkan nasionalisme, José Rizal dianggap sebagai biang kerok dari banyaknya pemberontakan di Filipina. Akhirnya Rizal dihukum mati pada 1896, meninggalkan puisi terkenal berjudul Ultimo Adios (Selamat Tinggal Terakhir).

 

Di Amerika Serikat, novel Uncle Tom’s Cabin yang terbit pada tahun 1852 dipercayai menyulut perang saudara Amerika akibat dihapuskannya perbudakan. Penulis novel, Harriet Beecher Stowe, menggambarkan bagaimana menderitanya para budak akibat diperlakukan tidak manusiawi oleh para majikan yang bertentangan dengan iman Kristianinya. Novel Uncle Tom’s Cabin mampu meyakinkan bangsa Amerika yang tinggal di sebelah utara bahwa perbudakan adalah tindakan yang salah. Sementara penduduk di bagian selatan Amerika berkeras bahwa penggambaran Stowe mengenai perbudakan di dalam novel ini keliru. Novel ini membuat marah baik penduduk sebelah utara maupun selatan Amerika yang kemudian menyulut perang saudara.

 

Presiden Abraham Lincoln dipercayai mengatakan kalimat ini ke Stowe, “Jadi, Anda perempuan bertubuh kecil yang menulis buku yang menyebabkan perang besar itu!” Meskipun kalimat ini masih kontroversial apakah betul diucapkan oleh Lincoln, namun intinya bahwa kalimat ini setidaknya menunjukkan pengakuan adanya resepsi publik yang luas dan dalam terhadap novel tersebut. Novel yang diakui sebagai penyebab perang saudara yang kemudian mengubah sejarah Amerika selanjutnya.

 

Jadi, pendek kata, novel, puisi, drama, lagu, dan bentuk lain dari produk budaya bisa secara halus mempengaruhi pikiran dan tindak-tanduk masyarakat, dan masyarakat tidak sadar sedang dipengaruhi oleh pikiran dan pendirian tertentu yang ada di dalam karya tersebut. Bila pemerintah bisa menggunakannya untuk tujuan pembangunan, maka akan menjadi alat yang sangat ampuh dalam menciptakan perubahan sosial.

 

Novel, puisi, drama, lagu, dan produk budaya lainnya mampu mengubah mindset masyarakat dalam melihat dunia. Weltanschauung ini menjadi instrumen yang sangat vital dalam menggerakkan perilaku masyarakat. Semakin baik sebuah karya, semakin halus pengaruhnya, semakin dalam kemampuannya menanamkan pesan tertentu ke dalam pikiran masyarakat. Dengan demikian budaya menjadi alat yang sangat digdaya dalam membentuk perilaku masyarakat. Yang pada akhirnya berperan besar dalam menciptakan perubahan sosial yang akan mengubah bangsa dan negara untuk seterusnya. ***