Thursday, October 29, 2009

KIB Jilid Dua

Buni Yani

Frase ”jilid dua” dalam ”Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua” telah dipakai secara berbeda dari makna sebelumnya oleh media akhir-akhir ini. Para wartawan menggunakan frase tersebut tanpa memperhatikan etimologi dan maknanya dalam rentang sejarah sosial-politik Indonesia mutakhir.

Frase ”jilid dua” awalnya digunakan dengan makna negatif dalam frase ”Orde Baru jilid dua”. Makna peyoratif ini dilekatkan kepada apa saja, baik perorangan, kelompok, maupun partai, yang coba-coba berani membangkitkan paham atau gerakan yang mirip atau sama dengan Orde Baru. Dokumen paling tua yang bisa membuktikan pendapat ini adalah laporan-laporan media serta perbincangan sosial-politik pada sekitar tahun 1999.

Presiden Habibie, misalnya, yang menggantikan Presiden Soeharto, dicap oleh para aktivis penentangnya sebagai ”Orde Baru jilid dua” oleh karena kedekatannya dengan mantan bosnya itu. Siti Hardiyanti Rukmana, atau Mbak Tutut, yang mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) tahun 2002 bersama Jenderal Purnawirawan HR Hartono juga tak bisa menghindar dari cap ”Orde Baru jilid dua”.

Dalam perjalanannya, frase ”jilid dua” yang sebelumnya memiliki makna peyoratif (negatif) lambat laun mengalami rehabilitasi yang kemudian memiliki arti netral, dan lambat laun pula meningkat statusnya menjadi kata yang memiliki makna amelioratif (positif). Entah siapa yang memulai, frase ”jilid dua” digunakan untuk apa saja yang telah dilepaskan dari konteksnya semula.

Kata ”jilid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai dua arti, yaitu: 1) jahitan buku (majalah, dsb), dan 2) penggalan atau bagian buku. Dalam frase ”KIB jilid dua”, kata ”jilid” secara leksikal lebih dekat dengan arti kedua. Kata ”jilid” mengacu pada buku, majalah, dan barang cetakan lainnya. Maka bila kata ”jilid” digunakan untuk mengacu pada sebuah rezim atau pemerintahan, maka kata ”jilid” memiliki dua kemungkinan, yaitu: 1) kata ”jilid” telah mengalami perubahan makna, atau 2) kata ”jilid” digunakan sebagai metafora (kiasan).

Untuk kemungkinan pertama, perubahan makna bisa terjadi bilamana sebuah kata mengalami perluasan, penyempitan, atau pergeseran makna. Perluasan makna terjadi bilamana sebuah kata yang sebelumnya memiliki arti tertentu lalu digunakan juga untuk makna lain yang semakin melebar. Sebaliknya, penyempitan makna terjadi bila sebuah kata yang sebelumnya memiliki arti luas lalu berubah maknanya menjadi makna tertentu saja. Pergeseran makna terjadi bila sebuah kata memiliki arti yang semakin membaik (amelioratif), semakin memburuk (peyoratif), memiliki arti yang sebaliknya dengan arti sebelumnya, terjadi kontronim (kata lama yang memiliki makna sebaliknya dengan makna baru masih digunakan oleh pemakai bahasa), atau sebuah kata sama sekali tidak lagi memiliki makna. Dalam kasus”KIB jilid dua”, frase ini mengalami proses ameliorasi, dan nuansa maknanya berlawanan dengan nuansa sebelumnya.

Kemungkinan kedua, yaitu kata ”jilid” digunakan sebagai metafora (kiasan), tidak mungkin terjadi, oleh karena pers tidak diperkenankan menggunakan gaya bahasa kiasan yang maknanya bisa diterima secara berbeda oleh pembaca yang berbeda. Penggunaan kata yang memiliki arti rancu (ambigu) hanya diperkenankan dalam bahasa puisi dan karya sastra lainnya.

Bila hanya kemungkinan pertama, yaitu terjadinya perubahan makna, yang memungkinkan digunakannya frase ”jilid dua” dalam ”KIB jilid dua”, maka pertanyaannya adalah, apakah diperkenankan wartawan dan editor menggunakan frase ini tanpa mempertimbangkan nuansa awal yang dimilikinya. Tentu, jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam dan subyektif.

Namun, tentu saja, sebebas apa pun wartawan dan editor sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) di meja redaksi menggunakan kata ”jilid dua”, ini tidak berarti mereka bisa sewenang-wenang menggunakannya tanpa mempertimbangkan dampak yang bisa ditimbulkan. Oleh karena frase ”jilid dua”, yang tadinya digunakan untuk merujuk ke sesuatu yang bernuansa negatif, kini telah dikaburkan dan dibaurkan penggunaannya dengan sesuatu yang netral dan positif, maka di sinilah letak persoalannya.

Penggunaan kata ”jilid dua” untuk merujuk pada rezim atau pemerintahan selain Orde Baru sama artinya dengan mengaburkan fakta sejarah dengan sengaja. Si pengguna setidaknya secara perlahan-lahan ingin menyamakan Orde Baru dengan orde atau pemerintahan lainnya. Dan bila Orde Baru sama dengan orde lainnya, maka segala kesalahan yang ditimpakan kepadanya selama 32 tahun berkuasa tidak layak dianggap sebagai kesalahan. Padahal, gerakan reformasi muncul untuk memperbaharui segala ketidakberesan yang ditimbulkan oleh Orde Baru.

Maka, sekali lagi, pertimbangkanlah untuk kembali menggunakan frase ”jilid dua”.

###

1 comment:

Thanks for visiting my blog.