Saturday, October 13, 2007

45 Tahun Sejarah Hitam Junta Myanmar

Jurnal Nasional, 25 Oktober 2007

Buni Yani

Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar pada Faculty of Social Science Swiss German University

Mata dunia kini sedang tertuju pada Myanmar yang sedang bergolak. Prospek demokrasi masih samar, karena junta militer hanya memiliki satu kepentingan, yakni mempertahankan kekuasaan dengan ongkos semahal apa pun.

Demonstrasi di Myanmar mirip people power Filipina tahun 1986 yang digerakkan oleh kalangan agamawan yang suaranya merupakan suara moral yang jauh dari kepentingan ekonomi dan politik. Karena suara moral, maka suara kaum agamawan itu seharusnya menjadi kritik yang tulus bagi penguasa. Namun ini politik, junta militer Myanmar tidak berani mengambil risiko.


Karenanya, junta militer tanpa ragu-ragu memberangus demonstrasi damai dengan kekerasan yang menewaskan belasan demonstran, suatu isyarat akan berulangnya kembali pembantaian berdarah serupa tahun 1988 yang menewaskan sekitar 3000 orang. Demonstrasi dimotori oleh kaum biksu yang dipicu oleh melambungnya harga bahan bakar minyak yang mencapai 500 persen, tentu saja harga tak masuk akal yang harus ditanggung masyarakat di tengah ekonomi rakyat yang morat-marit, sementara di sisi lain ironisnya korupsi dan pasar gelap merajalela di kalangan militer dan pejabat Myanmar.


Dunia internasional masih menunggu ketidakpastian politik yang semakin hari semakin tak menentu ini. Di sebuah negara tertutup yang dipimpin junta militer, apa saja bisa terjadi setiap saat. Untuk mengurangi eskalasi kecaman luar negeri terhadap perkembangan politik di dalam negeri, junta berusaha memblokir arus informasi keluar Myanmar, melarang terbit koran dalam negeri yang tidak sepaham dengan pemerintah, serta tidak memperbolehkan orang asing masuk ke Myanmar. Putusnya jaringan internet untuk berkomunikasi keluar-masuk Myanmar dicurigai disebabkan oleh junta.


Langkah-langkah pengucilan diri dari dunia luar ini bukanlah hal baru dalam sejarah 45 tahun kekuasaan junta. Setelah berhasil melakukan kudeta tahun 1962 di bawah komando Jenderal Ne Win, junta militer segera menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap unsur-unsur luar negeri yang bisa merongrong budaya, bahasa, tradisi dan agama bangsa Myanmar. Segera setelah itu junta mengusir kelompok pedagang imigran Cina dan India yang merupakan penggerak ekonomi negeri itu, dengan alasan hanya sosialismelah yang akan membebaskan ketergantungan ekonomi negara itu dari negara maupun bangsa lain. Terbukti di kemudian hari langkah ini salah total. Tahun 1987 Myanmar oleh PBB dikategorikan salah satu dari 10 negara paling terbelakang di dunia.

Pengusiran imigran India dan Cina merupakan titik balik dari nasionalisme salah kaprah ala junta militer sejak negeri itu dikuasai oleh Inggris. Untuk mengikis anasir-anasir asing, junta merasa harus memutar kembali jarum sejarah yang lebih dahulu ditorehkan bangsa Inggris terhadap bangsa Myanmar. Di bawah kekuasaan Inggris, Myanmar adalah negeri kaum imigran yang didatangkan Inggris dari koloninya seperti India, Malaysia dan Singapura. Tahun 1931, sekitar tujuh persen penduduk Myanmar terdiri dari imigran India yang berasal dari Bengal dan Madras. Yangon sendiri, dikenal sebagai kota kaum imigran, sekitar 2/3 penduduknya tahun 1931 merupakan kaum imigran, 53 persen di antaranya adalah imigran India. (Church 2003:108-121).

Namun di bawah junta, kohesi sosial yang sudah lama terbangun antara imigran dan penduduk asli Myanmar ini dinafikan begitu saja demi ”nation building” bangsa Myanmar yang salah kaprah. Bagi junta, sejarah telah bergerak salah arah sehingga harus diluruskan ke tempat seharusnya.

Hal yang sama terjadi tahun 1990 ketika National League for Democracy (NLD) di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangi lebih dari ¾ total jumlah kursi parlemen. Bagi junta, sekali lagi, ini adalah sejarah yang salah arah. Suu Kyi mestinya tak mampu memenangi pemilu yang dijaga ketat aparat militer. State Law and Order Restoration Council (SLORC), begitu pemerintah Myanmar menamakan diri, sangat yakin akan mampu memenangi pemilu 1990 karena intel-intel junta telah bekerja “sangat baik” untuk mengontrol warga. Karenanya, karena hasil pemilu bertentangan dengan keinginan junta, maka hasilnya dinyatakan batal.

Sejak saat itulah Suu Kyi dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan junta. Meskipun telah berada di dalam penjara, Suu Kyi dan NLD tetap berjuang untuk menegakkan demokrasi di Myanmar meskipun selalu di bawah ancaman moncong senapan junta. Perjuangan tanpa henti ini bukannya tanpa hasil meskipun kekuasaan junta begitu kuat untuk ditumbangkan. Simpati masyarakat internasional mengalir kepada Suu Kyi yang ditahan secara semena-mena dan tanpa belas kasihan.


Begitu buruknya keadaan Myanmar saat ini, negeri ini bagaimanapun juga pernah mengalami saat-saat demokrasi menjadi sistem tata kelola pemerintahan. Demokrasi pernah bersemi mulai tahun 1948 – yakni saat Inggris memberikan kemerdekaan – hingga tahun 1962 – saat sebelum junta militer mulai berkuasa melalui kudeta. Pada tahun-tahun ini pemerintah dipilih rakyat berdasarkan konstitusi negara dan semua pihak tunduk pada hasil pemilu. Ketika Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan pemerintah yang berkuasa mengenai hasil pemilu, pemerintah bisa menerimanya. Pada masa ini militer sempat berkuasa selama 16 bulan (1958-1960) di bawah komando Jenderal Ne Win, namun Ne Win kemudian tunduk pada konstitusi dan mengadakan pemilu tahun 1960. Meskipun partai politik yang disukai militer tidak menang dalam pemilu, militer menerima hasilnya dan kembali ke barak. Tindakan benevolent Jenderal Ne Win ini hanya sebentar saja, karena tahun 1962 ia memimpin kudeta yang menempatkan junta berkuasa hingga hari ini.

Junta berkuasa dengan sangat represif tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Pemberontakan etnis Karen, etnis minoritas terbesar kedua setelah Shan, dihadapi dengan brutalisme tanpa ampun yang telah merenggut ribuan jiwa. Kebebasan berpendapat dibatasi, begitu juga dengan hak-hak sipil lainnya. Semua ini dilakukan junta untuk meredam gerakan prodemokrasi yang kian hari semakin berani ditunjukkan oleh warga. Junta berusaha menyimpan rapat semua rahasia negara yang dianggap bisa membahayakan junta, termasuk tempat penyelenggaraan pemerintahan.

Yang mengejutkan dunia internasional adalah langkah junta memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw, sebuah kota di tengah hutan belantara sekitar 320 kilometer sebelah utara Yangon, pada bulan November 2005. Beberapa teori menyebutkan bahwa langkah pemimpin junta Jenderal Than Shwe ini merupakan respons terhadap semakin gencarnya kampanye militer Amerika menggulingkan pemerintahan yang tidak demokratis seperti Saddam Hussein di Irak dan Taliban di Afganistan. Naypyidaw dianggap daerah yang relatif aman bagi pertahanan militer Myanmar bila tiba-tiba terjadi agresi yang tidak diinginkan.

Dari semua pembicaraan negatif mengenai junta Myanmar, yang patut disayangkan adalah langkah ASEAN menerima keanggotaan Myanmar menjadi anggota organisasi regional ini bersama Laos tahun 1997. ASEAN tahu persis bahwa Myanmar adalah negara otoriter di bawah junta militer, namun para pemimpin ASEAN pada waktu itu bersikukuh bahwa ASEAN menganut prinsip non-interference atau tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Kini terbukti prinsip ini semakin ketinggalan zaman di tengah globalisasi komunikasi dan informasi yang dengan segera bisa mengubah lanskap politik internasional.

Di samping PBB, masyarakat internasional kini menaruh harapan besar pada ASEAN untuk memainkan peran dalam mendorong demokratisasi di Myanmar. Bila ASEAN tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam meyakinkan junta bahwa demokrasi Myanmar akan menopang stabilitas di kawasan, organisasi regional ini semakin hari akan semakin menjadi bahan cemoohan yang menyebut ASEAN sebagai organisasi tempat kongkow-kongkow segelintir diplomat yang kurang kerjaan.
###

Bukti Koeksistensi Islam dan Demokrasi


Jurnal Nasional, 22 Juni 2008


Buni Yani

Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar di Faculty of Social Science, Swiss German University (SGU)

Ada yang menarik dari pernyataan penerima hadiah Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi, yang berasal dari negara Islam Iran. Bahwa, menjadi Muslim sama sekali tidak berarti tidak bisa menjadi pendukung demokrasi yang baik seperti banyak dipercayai oleh para ahli politik dan kebudayaan di dunia, terutama mereka yang berasal dari negara-negara Barat. Bahkan Ebadi dengan lantang dan percaya diri mengatakan, “Islam sejalan dengan demokrasi. Bila Anda membaca Al Quran, Anda akan melihat tak ada satu pun ayat yang bertentangan dengan hak asasi manusia”. Untuk sebagian sarjana, pernyataan mantap Ebadi ini bisa jadi cuma proposisi yang tak memiliki akar empiris. Namun pengalaman pemilu 2004 Indonesia -- negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia -- yang demokratis telah menepis keragu-raguan tersebut. Tak setetes pun darah tumpah dalam pesta demokrasi Indonesia. Semua berjalan lancar sesuai standar demokrasi yang berlaku umum.

Keragu-raguan banyak sarjana Barat terhadap koeksistensi Islam dan demokrasi telah mengakar begitu kuat sejak terjadinya konflik peradaban Timur dan Barat di masa lampau. Sejumlah sarjana Barat percaya bahwa demokrasi adalah khas budaya Barat yang tidak mungkin bisa diterapkan di dunia Timur. Bahkan dalam skala yang lebih luas cakupannya, penulis Inggris Rudyard Kipling (1865-1936) tidak hanya mempertentangkan Islam dan demokrasi, namun juga ia bersikukuh Timur dan Barat tak akan pernah serasi berdampingan sebagai peradaban. Pendirian Kipling ini memiliki dasar yang kuat. Pengalaman hidupnya mengajarkan bahwa kebudayaan Timur dan Barat satu sama lain sangat bertentangan. Kipling yang dilahirkan di Bombay, India – negeri jajahan Inggris waktu itu – melihat betapa Timur dan Barat bagai langit dan bumi. Dalam bait puisinya Ballad of East and West yang mashur, Kipling berujar, “East is East and West is West, and never the twain shall meet” (Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, dan keduanya tak akan pernah bertemu). Meskipun begitu rasis dan diskriminatifnya pandangan Kipling ditilik dari semangat zaman kita kini, Kipling memenangkan hadiah Nobel bidang kesusastraan tahun 1907, dan karya-karyanya menjadi kutipan terkenal dalam berbagai literatur.

Saya memiliki pengalaman bagaimana ketidakpercayaan khas intelektual Barat mengenai kemungkinan tumbuhnya demokrasi di negara Islam. Profesor saya di Ohio University yang pernah menjadi koresponden media di Timur Tengah dan disandera oleh kelompok Islam “fundamentalis” mengatakan, “Islam is not compatible with democracy” (Islam tidak bisa hidup berdampingan dengan demokrasi). Ia mengatakan kalimatnya ini dengan suara bergetar, seolah memendam penderitaan traumatis yang pernah dialaminya. Baginya, Islam dan demokrasi adalah dua hal bertentangan yang tak mungkin bisa disatukan. Islam merujuk ke suatu dunia penuh pemasungan kebebasan, otoritarianisme, dan diskriminasi, sementara demokrasi memperjuangkan yang sebaliknya.

Tentu saja pendapat seperti ini banyak mendapat tentangan, salah satunya adalah Robert Hefner, cendekiawan yang tak asing lagi bagi penelitian Islam di Indonesia yang bekerja sebagai Profesor Antropologi di Boston University. Hefner percaya bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara Islam. Bukunya, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), dengan jelas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia yang ditemukannya melalui penelitian lapangan adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tak memiliki posisi saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, menjalankan politik kesetaraan, dan mendukung partisipasi masyarakat.

Oleh karena keyakinan serupa inilah maka mendiang cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pada tahun 1980-an berinisiatif menerjemahkan terminologi “civil society” menjadi “masyarakat madani”. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, memiliki argumen untuk melakukan transfer epistemik dan semantik yang kelihatannya secara linguistik mengalami deviasi ini. Bagi Cak Nur, apa yang dimaksud dengan “civil society” di negara-negara Barat demokratis dewasa ini pernah dialami dunia Islam pada zaman Nabi Muhammad membangun kota Madinah sebagai kota peradaban Islam. Pada masa itu, demikian Cak Nur, apa yang menjadi roh “civil society” yang kini dikenal di dunia Barat – seperti masyarakat yang penuh partisipasi, setara dan terbuka – berlangsung dengan baik ketika Nabi Muhammad membangun dasar-dasar peradaban Islam. Karenanya, alih-alih menerjemahkan “civil society” menjadi “masyarakat sipil”, Cak Nur lebih memilih menerjemahkannya menjadi “masyarakat madani”.

Hakikat Demokrasi dan Islam
Tapi sebetulnya apakah hakikat demokrasi, dan apakah hakikat Islam, sehingga banyak sarjana Barat menempatkan keduanya dalam posisi berhadap-hadapan? Demokrasi sebagai terminologi politik dilihat sebagai sebuah prosedur pengambilan keputusan politik dengan melibatkan banyak orang. Demokrasi tidak membenarkan kekuasaan terkonsentrasi pada satu orang. Demokrasi adalah karya bersama dalam mencapai kemaslahatan bersama. Jean Baechler (2001), misalnya, menggambarkan hakikat demokrasi dengan bahasa yang lugas seperti berikut ini: “Pelaku kolektiflah yang, dengan mengadopsi prosedur-prosedur yang benar untuk memutuskan, memobilisasi dan bertindak, bisa berperilaku sebagai suatu unit kegiatan ke arah individu-individu dalam kelompok itu” (Baechler 2001:98).

Jadi, kata kunci dari kegiatan berdemokrasi adalah kolektivisme. Hanya dengan bertindak dan memutuskan secara kolektif maka sebuah tindakan maupun keputusan dapat dibenarkan dan dianggap sah. Dalam demokrasi, keputusan adalah keputusan kelompok. Seorang individu tidak diperkenankan bertindak sendiri berdasarkan keputusannya sendiri bila sebuah keputusan telah diambil, meskipun ia tidak menyetujui keputusan tersebut. Ia harus dengan rela hati menerima “kebenaran” keputusan kelompok meskipun keputusan tersebut bukanlah kebenaran yang sejati. Sebagai contoh, banyak kaum demokrat kalangan menengah kota kecewa dengan terpilihnya Megawati sebagai presiden, karena ia dianggap kurang cakap mengurus negara, tingkat intelektualitasnya sangat bisa dipertanyakan, dan bagi sebagian kalangan Muslim, ia dianggap tak layak memimpin negara karena perempuan. Tetapi kekecewaan-kekecewaan individu dan kelompok ini harus dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar.

Demokrasi, karenanya, benar secara prosedural namun belum tentu benar secara substantif. Inilah kelemahan demokrasi yang utama. Di Amerika banyak masyarakat menentang serangan Amerika ke Irak karena tak memiliki legitimasi hukum maupun politik internasional dengan tidak adanya dukungan dari PBB. Namun karena sebagian besar wakil mereka di Kongres menyetujui invasi tersebut, maka “kebenaran” politik yang didapatkan adalah kebenaran yang diciptakan oleh mayoritas itu. Kritik kedua yang juga lazim ditujukan kepada demokrasi adalah sifatnya yang cenderung memenangkan kuantitas dan melecehkan kualitas. Dalam demokrasi, nilai suara yang diberikan oleh Nurcholish Madjid dalam pemilu dihitung satu, sama dengan nilai suara dari seorang pencopet bus kota yang tak memiliki pendidikan. Padahal, kalau kita bicara kualitas, dengan sangat jelas akan kelihatan bahwa nilai suara Nurcholish yang dihitung satu itu pasti lebih berharga dari sejuta pencopet. Apa yang bisa diharapkan dari sejuta pencopet kecuali menimbulkan kemudaratan bagi banyak orang? Sedangkan seorang Nurcholish dengan intelektualitas yang dimilikinya bisa mendorong masyarakatnya untuk memperjuangkan cita-cita bersama ke arah kehidupan yang lebih baik.

Demokrasi bukanlah gagasan dan praksis yang monolitik. Di Amerika, pemahaman demokrasi kaum liberal berbeda dengan pemahaman demokrasi kaum republik. Posisi keduanya yang saling berhadapan ini membuat filsuf Juergen Habermas (1999: 239-252) mengajukan model ketiga yang disebutnya sebagai “deliberative politics”.

Melihat nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi ini, kita mungkin tergoda untuk menarik kesimpulan sementara. Bahwa, pastilah para sarjana Barat yang melihat Islam dan demokrasi tak bisa hidup berdampingan menganggap nilai-nilai Islam berada dalam posisi yang bertentangan secara diametral dengan demokrasi. Apakah demikian adanya?

Islam memiliki pengalaman yang panjang dalam menguji-coba sistem demokrasi. Di zaman Madinah, Nabi Muhammad melibatkan masyarakat dalam berbagai urusan umum/negara. Nabi selalu berunding dengan para sahabat sebelum memutuskan suatu perkara. Kita sangat familiar dengan sabda Nabi “tanyakanlah pada ahlinya”. Sabda ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi, yang oleh pengikutnya pada waktu itu dianggap sebagai utusan Tuhan, sama sekali tak memiliki pretensi untuk seolah-olah mengetahui segalanya. Dengan rendah hati Nabi mengakui keterbatasan-keterbatasan dirinya dan pada saat yang sama merujuk kepada siapa yang paling ahli untuk memecahkan suatu soal. Jadi, keputusan-keputusan politik Nabi adalah keputusan kolektif untuk kemaslahatan bersama.

Contoh yang sangat minim ini kiranya cukup menjadi bukti bahwa ada preseden baik dalam berdemokrasi di dunia Islam. Peradaban Islam pernah mengenal nilai-nilai demokrasi yang dicontohkan oleh Nabi. Bila di zaman Madinah pernah tumbuh suatu peradaban demokrasi yang dikembangkan Islam, mengapa di zaman kontemporer Islam praktik demokrasi itu harus musnah sama sekali dari praktik tata negara dunia Islam?

Sampai titik ini, bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa kelihatannya sikap pesimisme para sarjana Barat tersebut tentang tidak mungkinnya Islam dan demokrasi dipersandingkan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat teknis, yakni karena ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuan mereka tentang Islam. Tak kenal maka tak sayang, seperti kata pepatah. Yang kedua, pesimisme tersebut disebabkan oleh sesuatu yang bersifat ad hominem, dan ini yang lebih buruk. Bukan isu nilai Islam secara lengkap yang menjadi sasaran kritik, tetapi sesuatu di luar itu yang disebabkan oleh persaingan dan pertikaian Islam dan Barat pada masa-masa sebelumnya.

Nilai-nilai Asia
Bila kita lebih seksama melihat diskursus demokrasi di dunia Timur, maka kita akan melihat setidaknya ada dua hal mengapa ada pesimisme dan penentangan mengenai kemungkinan demokrasi tumbuh di wilayah ini. Kelompok pertama adalah mereka yang menentang kemungkinan demokrasi yang didasarkan pada hujjah intelektual, seperti kita lihat serba sedikit sebelumnya, yang sebagian besar adalah para sarjana Barat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap para sarjana Barat tersebut disebabkan oleh peninggalan sejarah masa lalu di mana permusuhan antara Islam dan Kristen yang berpuncak pada Perang Salib tak bisa terkikis begitu saja dari memori kolektif masyarakat Barat. Oleh karena trauma sejarah inilah maka banyak intelektual Barat menulis tentang Islam dengan nada yang sangat miring, bahkan cenderung menjelek-jelekkan. Literatur seperti inilah yang menjadi bacaan yang sangat menyesatkan bagi intelektual Barat generasi berikutnya, yang pada titik tertentu, terjadi hingga saat ini.

Kelompok kedua penentang demokrasi adalah rezim yang menganggap demokrasi bisa menjadi bahaya bagi kelanggengan kekuasaannya. Di Singapura, Lee Kuan Yew pernah berpolemik dengan pers Barat bahwa masyarakat Asia sulit menerima demokrasi karena bertentangan dengan “nilai-nilai Asia”. Lee berpendapat nilai Asia yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok jelas bertentangan satu sama lain dengan nilai Barat yang lebih mengutamakan kepentingan dan kebebasan individu. Tetapi kita sesungguhnya tahu arah pembelaan Lee terhadap “nilai Asia”-nya itu. Rezim developmentalis yang didirikan Lee telah memotong hak-hak sipil untuk mendapatkan kebebasan dan partisipasi yang lebih luas dalam politik. Pembangunan ekonomi bagi Lee lebih penting daripada pembangunan demokrasi dan politik. Kita bisa lihat hingga kini, meskipun Lee sudah mundur menjadi perdana menteri sejak sekitar 17 tahun yang lalu, politik Singapura tak banyak mengalami kemajuan. Pers yang tidak bebas, dominannya partai berkuasa People’s Action Party yang sampai batas tertentu menyerupai sistem partai tunggal, serta terbatasnya ruang untuk berbeda pendapat. Dengan kondisi ini, tak mengherankan bila ada peneliti yang mempertanyakan apakah Singapura cocok dengan sistem demokrasi liberal atau tidak (Bell 2000:175). Belakangan ini muncul optimisme di Asia Tenggara bahwa demokrasi di Singapura akan menemukan momentumnya setelah terjadinya pergantian kekuasaan dari Perdana Menteri Goh Chok Tong ke Lee Hsien Loong. Lee Hsien Loong dilihat lebih progresif daripada Goh dan ayahnya, Lee Kuan Yew.

Tapi sebetulnya tipe kedua penentang demokrasi bukanlah kasus khas Singapura. Di Asia Tenggara, Soeharto dan Mahathir melakukan hal yang kurang lebih sama. Rezim developmentalis Soeharto percaya bahwa untuk melakukan pembangunan ekonomi, stabilitas keamanan diperlukan, dan untuk mendapatkan stabilitas keamanan ini stabilitas politik menjadi keharusan. Stabilitas politik diterjemahkan sebagai tidak diperbolehkannya suara-suara yang berbeda dengan suara negara. Suara yang berbeda harus dibungkam. Mahathir, yang sebelumnya dielu-elukan sebagai bapak pembangunan Malaysia karena keberhasilannya membawa negeri itu menjadi salah satu negara paling makmur di negara-negara Islam, setali tiga uang. Saingan politiknya, Anwar Ibrahim, yang dulu pernah ditimang-timang untuk menggantikannya, dijebloskan ke penjara karena dianggap berada dalam posisi yang berseberangan dengannya.

Pesimisme terhadap Demokrasi di Dunia Islam
Sampai batas tertentu, pesimisme dan penentangan para sarjana Barat terhadap demokrasi di dunia Islam dapat dipahami karena beberapa hal. Pertama, karena mereka sebagian besar tidak mengenal Islam secara baik, dan kedua, karena mereka melihat contoh nyata bahwa sebagian besar negara Islam di dunia, terutama di Timur Tengah, tidak demokratis. Negara monarki seperti Saudi Arabia, misalnya, sangat jauh dari praktik demokrasi dalam menjalankan tata negara sehari-hari. Imbalan politik tidak didasarkan pada prinsip meritokrasi. Seorang pemimpin diangkat tidak didasarkan pada kecakapan dan isi otaknya dalam mengurus negara, melainkan berdasarkan pada garis keturunan. Prinsip manajemen modern tentu saja mengecam praktik bisnis seperti ini. Bagaimana mungkin seorang anak raja yang tidur-tiduran di rumah nanti setelah dewasa otomatis menjadi raja? Ya, kalau dia cakap dan pintar, kalau tidak, bagaimana? Praktik tata negara seperti di Saudi Arabia ini berlaku juga di negara-negara tetangga di Timur Tengah, dengan sedikit perkecualian seperti Turki.

Pasca-serangan teroris 11 September 2001 semakin memperburuk stigma Islam yang tak bisa berdampingan dengan demokrasi. Setelah kejadian naas tersebut, Islam bahkan mendapatkan label baru, yaitu Islam adalah kekerasan itu sendiri yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan politik. Esensi demokrasi yang mempertukarkan kata di ruang debat dalam memecahkan masalah “mengharamkan” kekerasan sebagai metode dalam mencapai tujuan politik. Kekerasan masif dalam serangan teroris itu semakin memperuncing prasangka Barat, dan semakin memperdalam jarak temu antara Islam dan Barat.

Epilog
Islam memiliki modal teologis dalam berdemokrasi, dan Islam juga memiliki eksemplar sejarah dalam menjalankan demokrasi. Dengan dua faktor ini, sudah cukup bekal bagi negara-negara Islam untuk menjalankan demokrasi. Pengalaman Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dalam menjalankan demokrasi telah membuktikan Islam tidak relevan untuk dipertentangkan dengan demokrasi. Islam dan demokrasi adalah dua nomenklatur yang semakin hari menemukan titik pijaknya dalam sejarah peradaban manusia.

Namun demokrasi di dunia Islam di masa yang akan datang hanya akan bisa tumbuh dan menjadi gerakan yang penting bila masyarakat pendukungnya mampu memelihara demokrasi secara baik dan memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakannya secara benar. Faktor-faktor potensial penghambatnya seperti kemiskinan, kebodohan, dan bentuk-bentuk keterbelakangan lainnya harus menjadi prioritas utama untuk diatasi. Bila tidak, demokrasi hanya akan menjadi ilusi bagi mereka yang merindukannya.
###

Friday, October 12, 2007

Filantropi dan Kapitalisme

Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani "Galang", Vol. 2 No. 3 Agustus 2007, yang diterbitkan oleh PIRAC bekerja sama dengan Ford Foundation

Buni Yani[1]

Kata Kunci (Keywords)
philanthropy (filantropi), Corporate Social Responsibility (CSR, tanggung jawab sosial perusahaan), capitalism (kapitalisme)

Abstrak
This study argues that philanthropy and capitalism do not oppose each other. Philanthropic works need capital, while capitalists need to do philanthropic works as an effort to ensure the public that their companies are aware of their social environments. In a glimpse, these two terms seem to contradict each other, as capitalism promotes private rights – that is why it tends to take, while philanthropy promotes the idea of sharing – that is why it tends to give. But in fact this assumption is proven wrong. There have been plenty of philanthropic works performed by the capitalists. The idea of philanthropy practiced by the capitalists is not merely based on pragmatic and professional ground -- that is to promote their companies, but it is also based on a strong theoretical and academic ground – that is, their understanding of system theory advocated by the functionalist. The functionalist believes that social world is a system, that is why there will be no balance if any part of the system does not function. The capitalists share the functionalist view of balancing each part of the society to make it work. The capitalists understand that people’s hostility towards the company will only harm the company’s survival. For this reason companies worldwide today establish what is known as philanthropy and corporate social responsibility (CSR).

Pendahuluan
A business that makes nothing but money is a poor kind of business.”
– Henry Ford, industrialis Amerika (1863-1947)

Secara sekilas, mungkinkah kita bisa memadukan antara filantropi dan kapitalisme sekaligus dalam satu langkah? Padahal filantropi adalah satu hal dan kapitalisme hal lain yang berlawanan? Pertanyaan-pertanyaan ini banyak diajukan berbagai kalangan dalam melihat perkembangan dunia usaha dan hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan dewasa ini. Celakanya, sebagian menjawab tidak mungkin mengawinkan keduanya karena saling bertentangan satu sama lain.

Pesimisme berbagai kalangan ini bukan tanpa alasan. Terminologi filantropi sendiri secara umum dipahami sebagai sifat-sifat dan tindakan kedermawanan sosial yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga tanpa berharap mendapatkan imbalan atas kedermawanan yang dilakukan. Bila seseorang berharap suatu imbalan balik dari apa yang diberikannya maka tindakan kedermawanannya bertentangan dengan makna kedermawanan sosial. Sang dermawan harus ikhlas dalam memberikan sesuatu. Sementara kapitalisme di lain pihak adalah suatu paham yang percaya akan pentingnya kepemilikan pribadi dalam aktivitas ekonomi demi menjamin dan terselenggaranya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
[2] Argumentasi umum yang diberikan para pendukung kapitalisme adalah: bila setiap orang mendahulukan kepentingan pribadi maka kompetisi akan terjadi, dan kompetisi akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Singkat kata, dengan bahasa yang sederhana bisa dikatakan bahwa filantropi adalah memberi, sementara kapitalisme adalah mengambil. Tindakan memberi dalam filantropi dilakukan karena sang filantropis memikirkan orang lain, sementara tindakan mengambil dalam kapitalisme dilakukan karena sang kapitalis hanya memikirkan diri-sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa memadukan dua hal yang saling bertentangan ini?

Apa yang tampak di permukaan dan terlihat secara sekilas ini tidak cukup sahih untuk dijadikan landasan pemahaman. Diperlukan cara pandang lain yang bisa memperkaya pemahaman kita akan pengertian filantropi dan kapitalisme. Kutipan dari Henry Ford, salah satu industrialis terkemuka Amerika abad ke-20, pada awal artikel ini menunjukkan betapa cara berpikir normatif seperti ditunjukkan oleh argumentasi di atas bisa sangat menyesatkan. Dalam kenyataannya, Ford sang kapitalis rela berbagi kepada orang lain demi kesejahteraan bersama. Ford yang sukses luar biasa dengan industri otomotifnya percaya bahwa bisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun lebih dari itu. Dari keuntungan usahanya yang mungkin tak akan habis-habis digunakan keluarga, ia mendirikan Ford Foundation, yayasan sosial yang umum dikenal sebagai pemberi beasiswa di berbagai belahan dunia.

Dalam studi ini perlu dijelaskan bahwa istilah “filantropi” digunakan hampir sama pengertiannya dengan istilah “CSR” (corporate social responsibility) dalam hal strategi perusahaan mendapatkan citra yang baik dan dukungan yang luas dari masyarakat. Pendirian ini sama dengan pendapat guru strategi bisnis Harvard Michael Porter yang melihat filantropi (corporate philanthropy, CP) dan CSR sebagai ujung tombak perusahaan agar menjadi semakin kompetitif di tengah-tengah masyarakat.
[3] Meskipun pendapat Porter ini banyak mendapat kritik dan tentangan dari mereka yang membedakan secara kategoris lingkup kerja dan kemanfaatan filantropi dan CSR dari persepektif strategi manajemen perusahaan[4], studi ini akan tetap menggunakan konsep filantropi dan CSR sebagai dua hal yang identik dan bisa digunakan secara bergantian. Alasan lainnya, karena studi ini mencoba menjelajah kemungkinan koeksistensi dan kemungkinan pertentangan antara gagasan besar filantropi dan kapitalisme, maka perbedaan sejarah, kategori fungsional, dan hal-hal lainnya antara filantropi dan CSR akan diabaikan.

Studi ini akan membahas filantropi dan kaitannya dengan filsafat kapitalisme. Selanjutnya diskusi juga akan dikembangkan untuk melihat rasional dari sebuah tindakan filantropi beserta landasan yang digunakan, baik secara praktis-profesional maupun teoretis-akademis. Namun sebelum sampai pada bagian inti pembahasan dalam studi ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai letak perusahaan dalam sistem sosial dan logika-logika yang melandasinya.

Kapitalisme
[5] dalam Keseluruhan Sistem Sosial
Dengan semakin majunya dunia usaha dewasa ini, semakin maju pula perangkat-perangkat pendukung yang dibentuknya. Perangkat-perangkat pendukung bertugas untuk mempertahankan keberlangsungan perusahaan di tengah sengitnya persaingan bisnis yang semakin tak mengenal ampun. Divisi penelitian dan pengembangan usaha (research and development) yang bisa ditemui di banyak perusahaan berskala besar melakukan penelitian rutin. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa untuk bisa bertahan hidup, perusahaan harus mampu menarik hati para konsumen agar tetap mau membeli produk mereka. Di antara strategi komunikasi yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen adalah kampanye periklanan, kampanye public relations, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
[6] Alat-alat komunikasi ini pada umumnya berusaha membujuk masyarakat untuk membeli terus produk dari perusahaan.

Di samping menggunakan alat-alat komunikasi di atas, perusahaan juga mencoba meyakinkan publik bahwa perusahaan bersangkutan adalah perusahaan yang baik. Tentu banyak cara untuk melakukan ini. Body Shop mengidentifikasikan diri sebagai perusahaan yang ramah lingkungan. Perusahaan ini tidak menggunakan hewan untuk mengetes produk-produknya.
[7] Body Shop berharap masyarakat yang semakin hari semakin sadar akan lingkungan akan membeli produk-produknya. Agar diakui menjadi perusahaan yang baik, kini sudah umum perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Bisnis tidak hanya mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan lingkungan, namun lebih dari itu, perusahaan dituntut untuk memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

Tuntutan tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah gagasan yang hanya melulu memiliki implikasi praktis dan bisnis, namun lebih dari itu ia merupakan gagasan yang memiliki dasar teoretis yang kokoh. Dalam pandangan kaum fungsionalis, masyarakat bekerja sebagai suatu sistem layaknya organ tubuh manusia.
[8] Di tengah-tengah masyarakat terdapat berbagai macam institusi yang terkait satu sama lain. Ada pemerintah, masyarakat sipil, kelompok agama, kelompok kesenian, dan tentu saja ada entitas bisnis. Institusi-institusi ini tersambungkan secara virtual oleh kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan masyarakat. Bagi Fungsionalisme, tiap-tiap bagian dalam masyarakat haruslah berfungsi sebagaimana mestinya demi mempertahankan sistem yang sedang berjalan dan kelangsungannya.

Konsep ’fungsi’ dalam analisis kaum fungsionalis mengacu pada sumbangan tiap bagian kepada keseluruhan. Lebih khusus, fungsi tiap bagian dari masyarakat adalah sumbangan yang diberikannya untuk memenuhi syarat-syarat berfungsinya sistem sosial. Tiap-tiap bagian dalam masyarakat bersifat fungsional, dalam pengertian bagian-bagian itu mempertahankan sistem dan memberikan sumbangan terhadap kelangsungnnya. Dengan demikian, fungsi keluarga adalah untuk menjamin kelanjutan masyarakat dengan melahirkan dan melakukan sosialisasi kepada anggota-anggota baru. Fungsi agama adalah mengintegrasikan sistem sosial dengan menegakkan nilai-nilai yang berlaku umum. (Haralambos dan Holborn, 2004:938)
[9]

Dalam persepektif kaum Fungsionalis, keberadaan institusi bisnis di tengah-tengah masyarakat tentulah memiliki fungsi yang sama dengan institusi-institusi lainnya, yakni menjamin berjalannya sistem dan kelangsungan masyarakat. Namun, dalam hal apakah dan bagaimana institusi bisnis bisa menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat?

Perusahaan-perusahaan bekerja dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa. Perusahaan juga membutuhkan konsumen untuk membeli produk mereka. Di lain pihak, masyarakat membutuhkan layanan penyediaan barang dan jasa oleh perusahaan karena tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi sendiri. Hubungan saling membutuhkan ini terjadi secara alami, tidak direkayasa oleh siapa pun. Hubungan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat pembeli adalah hubungan saling menguntungkan. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari selisih harga, sementara masyarakat mendapatkan keuntungan dari tersedianya barang dan jasa karena mereka tak perlu bersusah payah menyediakannya sendiri. Dengan sekali jalan ke supermarket, semua kebutuhan tersedia di sana.

Namun, keuntungan kelihatannya lebih banyak berpihak kepada perusahaan. Kaum Marxis melihat “dosa” yang dilakukan oleh kaum kapitalis terutama dalam proses produksi, di mana buruh mengalami eksploitasi yang berlebihan. Perusahaan memberikan ongkos buruh yang rendah, jam kerja yang panjang, dan minimnya (terutama di Indonesia) jaminan keselamatan yang memadai. Setelah menekan ongkos produksi serendah-rendahnya, perusahaan lalu menjual produknya dengan harga yang tinggi. Kini yang menjadi korban kaum kapitalis adalah konsumen atau masyarakat umum. “Dosa“ perusahaan berasal dari dua arah, yakni, dari keringat buruh yang tidak dibayarkan sebagaimana mestinya, dan kedua, dari harga tinggi yang harus dibayar masyarakat atas produk-produk yang dibuat perusahaan.

Dalam kondisi seperti ini meluasnya permusuhan terhadap pihak perusahaan menjadi tak terelakkan. Gerakan global menentang praktik kapitalisme yang dianggap telah menyengsarakan miliaran umat manusia kini marak di mana-mana. Secara mikro, perusahaan dalam hal ini harus memikirkan dampak buruk yang potensial terjadi bila sikap tak bersahabat dari masyarakat semakin hari semakin menipis. Perusahaan harus mendefiniskan kembali raison d’ĂȘtre-nya bagi masyarakat dan sistem sosial secara keseluruhan. Bila tidak, sentimen negatif yang muncul hanya akan merugikan pihak perusahaan sendiri. Itulah sebabnya, munculnya gagasan tentang filantropi dan CSR menjadi masuk akal dan tak terhindarkan.

Di sisi lain, yang tak kalah penting menyumbang terhadap dinamika ini adalah teknologi informasi dan komunikasi yang telah mendorong cepatnya informasi tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi menciptakan masyarakat yang semakin cerdas dan peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Masyarakat semakin tahu apa yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka. Di Indonesia, sudah menjadi pemandangan yang lazim demonstrasi untuk menekan perusahaan mengubah suatu kebijakan atau menghentikan operasi yang dianggap merugikan. Masih belum lepas dari ingatan bagaimana masyarakat memprotes operasi perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya yang dianggap telah mencemarkan lingkungan di pantai Buyat, Sulawesi Utara. Para aktivis lingkungan tidak bisa tinggal diam melihat masifnya kerugian yang dianggap disebabkan oleh Newmont. Teknologi informasi dan komunikasi telah mempercepat kesadaran akan lingkungan ini merata di masyarakat. Di Indonesia, munculnya puluhan stasiun televisi yang dibarengi dengan kebebasan pers pasca-1998 mempercepat tumbuhnya kesadaran ini. Hal lainnya, terjangkaunya telepon seluler oleh sebagian masyarakat telah memberikan pengaruh yang besar pada bentuk dan kualitas komunikasi. Komunikasi aktif di antara stakeholders melalui saluran komunikasi yang tersedia ini memungkinkan berbagai macam aspirasi masyarakat dapat dikedepankan ke hadapan perusahaan.

Selanjutnya pada bagian berikut akan dibahas secara lebih khusus pengertian kapitalisme, neoliberalisme dan globalisasi dan hubungannya dengan filantropi. Pembahasan secara khusus ini dianggap perlu untuk memperjelas pemahaman kita mengenai hakikat hubungan antara filantropi dan kapitalisme.

Kapitalisme, Neoliberalisme, dan Globalisasi
Kapitalisme, neoliberalisme, dan globalisasi adalah kata-kata besar yang sarat muatan ideologis yang telah mengisi ruang publik kita secara serentak di berbagai kesempatan. Praktik kapitalisme muncul pada abad ke-19 menyusul Revolusi Industri di Inggris, sedangkan kata kapitalisme sendiri berasal dari konsep Marx mengenai penguasaan alat-alat produksi oleh kelas kapitalis atau borjuasi.
[10] Kata neoliberalisme dan globalisasi relatif baru digunakan. Ada yang memperkirakan kata globalisasi digunakan sejak 1990-an. Meskipun istilah-istilah ini dipakai hampir saling bergantian di berbagai tempat untuk menggambarkan ekonomi politik dunia dewasa ini, namun kata neoliberalisme tidak sepopuler dua kata lainnya. Ketiga kata ini tentu saja memiliki arti yang saling berbeda-beda meskipun ada keterkaitan di antara ketiganya.

Kapitalisme, seperti sempat disinggung secara sekilas sebelumnya, mementingkan kepemilikan pribadi, yang sering diperlawankan dengan paham sosialisme. Neoliberalisme bisa disebut sebagai turunan dari Kapitalisme yang mengedepankan pasar bebas di seluruh dunia.
[11] Perdagangan bebas di seluruh dunia menciptakan situasi di mana setiap kelompok bisnis bisa berdagang di mana saja tanpa ada pembatasan. Situasi inilah yang disebut sebagai globalisasi. Namun globalisasi bukan hanya aktivitas dalam bidang perdagangan. Canggihnya alat komunikasi telah menimbulkan globalisasi budaya. Remaja-remaja usia belasan tahun di Tokyo, New York dan Jakarta meskipun belum pernah saling bertemu, mereka memiliki kesamaan selera dalam mode: rambut pirang, hidung ditindik, celana jeans gombor, dan sama-sama mendengarkan musik R&B – yang dalam beberapa puluh tahun lalu saat ayah-ayah mereka masih seusia mereka hal ini tak mungkin bisa terjadi. Lalu mengapa fenomena ini sekarang bisa terjadi? Jawabnya: MTV. MTV telah menyeragamkan selera remaja-remaja ini. Begitu juga dalam bidang politik. Format politik banyak negara semakin seragam. Demokrasi semakin hari menjadi standar praktik politik di dunia.

Di samping Kapitalisme, Neoliberalisme dan Globalisasi memiliki pengertian yang saling berdekatan dan sering digunakan secara bergantian, ketiga kata ini juga memiliki satu ciri lainnya, yakni, ketiganya oleh kaum Kiri dianggap sebagai penyebab segala bencana kemiskinan di seluruh dunia. Terutama Neoliberalisme, yang mengedepankan perdagangan bebas, telah dituduh memperlebar jurang antara negara kaya dengan negara miskin. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, kata-kata inilah yang sering digunakan aktivis antiglobalisasi untuk menyudutkan praktik neoliberalisme.
[12] Mengapa bisa terjadi demikian? Kritik pedas aktivis antiglobalisasi terutama menyoroti mengenai tidak adilnya praktik perdagangan bebas oleh karena dalam perdagangan bebas negara dengan ekonomi kuat disamakan dengan ekonomi lemah: mereka sama-sama tidak boleh memproteksi barang mereka. Praktik ini dituduh telah menguntungkan negara-negara kaya di Utara, dan menimbulkan keterpurukan bagi negara-negara di Selatan.

Joseph Stiglitz, ekonom Amerika peraih Hadiah Nobel yang juga dikenal sebagai pengeritik globalisasi, secara terang-benderang menyebutkan adanya ketidakadilan yang dibuat oleh lembaga-lembaga perdagangan dunia.
[13] IMF dan World Bank, dua lembaga keuangan dunia yang didukung sepenuhnya oleh Amerika, tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang membantu negara-negara di dunia untuk sembuh dari krisis ekonomi semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi. Sebaliknya, dua lembaga keuangan ini telah menggunakan pengaruhnya untuk tujuan-tujuan politik tertentu yang ditunggangi oleh kepentingan global Amerika. Resep-resep khas IMF dan World Bank yang terangkum dalam kebijakan structural adjustment seperti penghapusan subsidi, penghapusan proteksi, dan lain-lain kebijakan, amat menyengsarakan negara-negara yang sedang dalam “perawatannya“. Akibatnya, negara “pasien“ bukannya cepat sembuh dan sehat, melainkan semakin sekarat, bahkan ada yang tragisnya terus dalam keadaan koma.

Fundamentalisme pasar kaum neoliberal telah menciptakan ketidakseimbangan baru lanskap ekonomi dan politik global. Munculnya terorisme di kalangan sebagian penduduk dunia sebagiannya disebabkan oleh deprivasi ekonomi dan politik yang amat menyengsarakan. Secara ekonomi para teroris ini merasa tak berdaya melawan digdayanya kekuatan modal, dan secara politik suara mereka hampir-hampir tak terdengar. Singkatnya, para teroris menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tak kunjung mendapatkan tempat.

Untuk sejenak menengok ke belakang, sejarah kapitalisme dan korporasi sejak awal memang penuh diwarnai oleh adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya ketika korporasi menjadi perpanjangan tangan dari kolonialisme Eropa di negara-negara jajahan. Memang betul, ketika korporasi mulai muncul di Eropa pada awal abad ke-17, tujuannya bukanlah untuk mencari laba seperti dikenal dewasa ini. Sebagai lembaga nirlaba, korporasi Eropa diberikan tugas mulia untuk membangun fasilitas umum seperti universitas dan rumah sakit. Namun dalam perkembangannya, korporasi menjadi alat penghisap darah yang menindas ketika lambat laun secara perlahan korporasi bergandengan tangan dengan kolonilaisme Eropa di berbagai belahan dunia. Kerajaan Inggris memberikan semacam surat izin kepada korporasi untuk melakukan kegiatan perdagangan dalam upaya pemerintah kolonial memperluas pasar di negeri-negeri jajahan. (Jem Bendell dalam Anton Waspo 2004). Di Indonesia tentu saja kita mengenal VOC yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Belanda. Sejarah kehadiran VOC di Indonesia penuh dengan penghisapan, pemaksaan dan kekejaman yang menorehkan penderitaan selama berabad-abad.

Dewasa ini wajah kejam korporasi dan kapitalisme semakin menampakkan diri sebagai alat pembunuh haus darah yang tak mengenal bahasa, bangsa, maupun warna kulit. Kapitalisme bisa muncul di mana saja karena ia telah mendapatkan legitimasi oleh lembaga-lembaga internasional yang dibentuk oleh negara bangsa-negara bangsa berdaulat. Tidak itu saja, kapitalisme adalah sebuah ideologi, suatu ajaran, yang memiliki perangkat filsafat yang lengkap, yang ditopang oleh argumentasi akademik yang kuat dan memukau. Pasar adalah segalanya. Bahkan pasar adalah tuhan yang sakral karena ia digerakkan oleh invisible hand yang keramat itu. Pasar menentukan arus barang dan jasa, fluktuasi harga, dan tentu saja, kemakmuran untuk seluruh penghuni planet. Para pemuja pasar percaya betul hanya pasarlah yang bisa membawa isi seluruh Bumi menuju kemakmuran.

Tetapi itulah ideologi. Ia akan dianut hatta kenyataan menunjukkan fakta sebaliknya. Kapitalisme yang lalu melahirkan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas hanya membawa kemakmuran bagi negara-negara yang telah mapan berproduksi namun sebaliknya semakin membawa keterpurukan bagi negara-negara miskin yang baru belajar membuat barang dan jasa. Diktum ekonomi laissez-faire hanya melahirkan jurang dan ketimpangan ekonomi yang dalam karena prinsip ini telah menciptakan ketidakadilan dengan mengadu petinju profesional dengan bocah balita dalam satu ring yang sama. Tak cuma itu, kapitalisme pun memunculkan sikap-sikap serakah, mau menang sendiri, dan acuh terhadap lingkungan.

Karenanya, kritik merebak di mana-mana yang menghujat kapitalisme adalah kejahatan itu sendiri yang telah menciptakan kemiskinan, ketimpangan ekonomi Utara-Selatan, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan sosial lainnya. Menanggapi ini, korporasi dan kapitalisme lalu mengembangkan suatu model strategi bisnis yang bertujuan untuk mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Dalam suasana seperti inilah sebagian praktik filantropi lahir.
[14]

Filantropi dan CSR
Filantropi dan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) memiliki spirit yang sama, yaitu memberikan empati kepada orang lain atas nama kemanusiaan. Filantropi adalah perwujudan dari rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang berwujud sumbangan dalam bentuk uang, barang, atau karya lainnya bagi orang yang membutuhkan atau untuk tujuan-tujuan sosial lainnya.
[15] Di samping definisi normatif yang sangat positif ini, tidak sedikit kalangan yang memandang filantropi sebagai bentuk “bayar dosa” terhadap masyarakat oleh karena keburukan-keburukan yang telah dilakukan perusahaan.[16] CSR tidak hanya menyangkut hubungan perusahaan dengan publik di luarnya, namun juga terkait erat dengan tanggung jawab perusahaan dengan karyawannya sendiri, misalnya bagaimana perusahaan memberlakukan peraturan agar para karyawan dapat menyeimbangkan antara dunia kerja dengan keluarga.[17]

Agama-agama besar di dunia memiliki landasan teologis yang kuat mengenai pentingnya arti filantropi atau berbagi kepada orang lain.
[18] Islam mengenal zakat, Hindu mengenal datra datrtva dan daanam parmrarth, Budha mengenal thambun dan thamtaan, dan Kristen mengenal tithing.[19] Tidak cuma agama yang mendorong masyarakat untuk berbagi kepada orang, budaya pun melakukan hal yang sama. Budaya-budaya di Asia, yang terkenal dengan sifat empatinya yang besar kepada sesama, juga demikian. Budaya-budaya di Indonesia terkenal dengan gotong-royong, bangsa Nepal mengenal muthi daan, guthi dan parma, dan lain sebagainya.[20] Budaya filantropi ini, dengan bentuk yang berbeda-beda pada setiap budaya, memiliki kesamaan filosofi dan prinsip dasar, yakni:

- Manusia tidak hidup sendirian di atas dunia ini, melainkan bagian dari masyarakatnya, lingkungan sosial yang lebih luas, serta jagad alam dan spiritual yang mengelilinginya;
- Dengan demikian manusia secara esensial bergantung dalam semua aspek kehidupannya pada orang lain;
- Karenanya ia harus selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan anggota masyarakat lainnya, yang dilandasi oleh spirit persamaan; dan
- Ia harus selalu berusaha sebisa mungkin untuk sejalan, dan melakukan yang sama serta menjadi sama seperti orang-orang lain dalam masyarakat.
[21]

Bagi kalangan aktivis pemantau korporasi, filantropi dan CSR bukanlah bentuk tindakan belas kasihan perusahaan kepada publik oleh karena kebaikan hati perusahaan, tetapi sebaliknya merupakan kondisi sine qua non yang tercipta oleh karena sifat keberadaan perusahaan di tengah publik. Perusahaan dianggap berada di ranah publik dan keberadaannya dalam aktivititas bisnis sehari-hari telah mempengaruhi secara luas dan mendalam kepentingan-kepentingan publik. Operasi bisnis transnasional telah mempengaruhi masyarakat secara global dengan banyak kasus yang timbul di seluruh dunia. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan otomotif dunia harus ikut bertanggung jawab terhadap polusi dan semakin tingginya emisi karbondioksida di seluruh dunia. Emisi karbondioksida ini adalah salah satu unsur yang menimbulkan pemanasan global dan ketidakseimbangan ekologi dunia dewasa ini.

Sudah menjadi sebab-akibat yang logis jika kemudian perusahaan harus ikut bertanggung jawab terhadap segala akibat langsung maupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Perusahaan harus memberikan donasi kepada mereka yang sakit akibat terkena dampak operasi perusahaan; perusahaan harus memikirkan secara mendalam bagaimana mengurangi sehingga dampak buruk yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan menjadi seminimal mungkin; perusahaan harus ikut memikirkan bagaimana cara agar ketidakseimbangan ekologi dunia yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan dikembalikan ke keadaan semula. Tanggung jawab-tanggung jawab ini tidak saja bersifat moral, tetapi juga profesional. Perusahaan harus bersikap gentle dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkannya. Perusahaan tidak bisa cuci tangan begitu saja atau pura-pura tidak tahu dengan segala macam dampak ini lalu melakukan business as usual. Bila ini yang terjadi, maka perusahaan telah mencoreng mukanya sendiri di depan publik yang semakin hari semakin kritis. Kehilangan muka di depan publik dengan semakin merosotnya citra perusahaan merupakan kondisi yang sangat dihindari oleh perusahaan-perusahaan berskala besar. Jika ini yang terjadi, kemungkinan besar tingkat competitiveness perusahaan akan semakin merosot. Karenanya, harus ada strategi untuk melindungi dan menyelamatkan perusahaan dari ancaman opini publik yang buruk.

Sebagiannya, filantropi dan CSR lahir dari penalaran seperti di atas. Logika seperti ini klop dan saling melengkapi dengan praktik kapitalisme global yang memang bertumpu dan sangat percaya pada kekuatan modal.

Cara pandang lain untuk melihat praktik filantropi dan CSR adalah dengan mengandaikan bahwa perusahaan di dalam dirinya telah terbangun praktik etika bisnis yang baik. Tentu asumsi ini bisa keliru oleh karena dewasa ini tidak sedikit perusahaan berskala besar yang mengabaikan etika bisnis demi mendapatkan keuntungan dengan cepat. Penyimpangan seperti ini tentu bisa terjadi di sektor apa pun, entah sektor pemerintah, LSM ataupun institusi publik lainnya.

Filsafat etika pada umumnya membicarakan tentang apa yang baik dan buruk, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, serta kebebasan dan tanggung jawab seseorang baik kepada dirinya maupun masyarakat. Filsafat etika sangat dekat dengan ajaran moral di mana tolok ukur terakhir yang dijadikan patokan dalam pengambilan keputusan adalah hati nurani.

Akan halnya dengan bisnis, dewasa ini korporasi-korporasi dituntut untuk menerapkan standar etika yang tinggi dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Tak mengherankan karenanya di banyak sekolah bisnis di dunia mata kuliah etika bisnis telah dimasukkan dalam kurikulum yang terintegrasi. Asumsinya, berbisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun lebih dari itu, kalangan bisnis harus pula memperhatikan aspek-aspek nonbisnis yang bisa berpengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Kesimpulan
Setidaknya dalam praktik, tidak ada argumentasi yang kuat untuk memperlawankan antara filantropi dan kapitalisme. Justru keduanya saling membutuhkan satu sama lain agar masing-masing terus bisa hidup berdampingan. Seperti ditunjukkan oleh studi ini, filantropi memerlukan kapital agar seseorang bisa berderma. Sebaliknya, kaum kapitalis perlu mengadakan filantropi untuk – tujuan praktisnya – meyakinkan publik bahwa ia mempunyai perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial. Namun sebetulnya tidak cukup memadai hanya melihat filantropi perusahaan dari tujuan praktisnya saja. Harus dilihat juga bahwa banyak kalangan usahawan yang memang memiliki sifat dermawan seperti ditunjukkan oleh industrialis otomotif Henry Ford.
[22]

Harus diakui, memang, kapitalisme memiliki wajah ganda. Di samping mendatangkan berbagai macam akibat buruk kepada miliaran umat manusia, para kapitalis juga sadar betul bahwa tanpa tanggung jawab sosial maka keuntungan hanyalah ilusi yang lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena produk-produk mereka dijauhi oleh konsumen. Namun sebetulnya yang lebih mendasar adalah adanya kesadaran para kaum kapitalis bahwa mereka hidup di suatu dunia di mana orang-orang lain juga tinggal. Dunia yang satu ini oleh para fungsionalis disebut sebagai satu sistem layaknya organ manusia yang saling kait-mengait satu sama lain.

Paradoks filantropi dan kapitalisme, bagaimanapun mustahilnya dua gagasan ini seperti tampak di permukaan, bukanlah praktik dan produk intelektual yang asal jadi begitu saja tanpa ada preseden. Sebegitu bertentangannya kapitalisme dan sosialisme pun dapat dipadukan menjadi suatu gagasan yang bisa dipraktikkan menjadi kenyataan. Anthony Giddens (1998) telah menunjukkan dua ekstrim filsafat ini bisa menjadi satu tanpa saling menghancurkan satu sama lain. Dengan cemerlang Giddens melahirkan Jalan Ketiga yang mashur itu. Kalau Giddens bisa melahirkan Jalan Ketiga, mengapa kapitalisme dan filantropi harus mustahil?


Referensi Dikutip

Dictionary of Beliefs and Religion. 1992. Kent, Great Britain: Wordsworth.

Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising & IMC. New York: McGraw-Hill.

Ford, Henry. 2006. The International Jew (terjemahan). Jakarta: Hikmah-Zaman Baru.

Giddens, Anthony. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge, UK: Polity.

Haralambos dan Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives. London: HarperCollins.

Millet, Fabien Curto. 2005. The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in the 21st Century. Makalah dipresentasikan pada 35th ISC-Symposium at the University of St. Gallen/Switzerland, 19-21 Mei 2005.

Pacific Philanthropy Consortium. 2002. Giving and Fund Raising in Asia. Manila: Asian Development Bank.

Rostgaard, Tine. 2000. The Configuration of Corporate Social Responsibility. Makalah untuk Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of Social Research, Working Paper 3, 2000.

Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books.

The Random House Dictionary of the English Language. 1968. New York: Random House.

Waspo, Anton. 2004. Partisipasi Publik dalam Tata-Kelola Sektor Korporasi. Surakarta: The Business Watch Indonesia.

Wibowo, I dan Francis Wahono (eds.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.

Yani, Buni. Filantropi dan Keadilan Sosial. Opini Republika, 19 Oktober 2004.

Situs Internet:
capitalism.org
importanceofphilosophy.com
isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm
mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.
thebodyshop.com.au
web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html

Endnote
[1] Buni Yani, editor buku Pengantar Memahami Hak Ekosob (2006), Pegangan Ringkas Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan (2006), dan Sejarah Bank Indonesia Periode II: 1959-1966 (2005), juga editor Jurnal Aksi Sosial yang diterbitkan oleh Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial UI-Departemen Sosial. Mengajar Ilmu Komunikasi di Swiss German University di samping menjadi Direktur The Public Sphere Institute. Tamat dari program Master International Studies, Southeast Asian Studies, Ohio University dengan tesis politik pemberitaan konflik sektarian Maluku.
[2] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992. Definisi yang sama juga didapat dari www.capitalism.org: “Capitalism is a social system based on the principle of individual rights” (www.importanceofphilosophy.com).
[3] Lihat http://www.isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm. Pendapat Porter ini banyak mendapat kritik dan tentangan.
[4] Misalnya, lihat http://www.mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.
[5] Selanjutnya istilah-istilah kapitalisme, perusahaan, dan bisnis akan digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama.
[6] Uraian lengkap mengenai strategi komunikasi perusahaan dalam menjual produk, lihat Tom Duncan, Principles of Advertising & IMC, 2005.
[7] Lihat situs Body Shop, www.thebodyshop.com.au.
[8] “Functionalism views society as a system: that is, as a set of interconnected parts which together form a whole” (Haralambos dan Holborn, 2004:936). Di antara tokoh Fungsionalisme adalah Emile Durkheim, Talcott Parson, dan Robert K Merton. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai aliran Fungsionalisme dalam Sosiologi, lihat buku Haralambos dan Holborn, Sociology: Themes and Perspectives, 2004:934-944.
[9] Terjemahan penulis. Berikut adalah teks aslinya: “The concept of ‘function’ in functionalist analysis refers to the contribution of the part to the whole. More specifically, the function of any part of society is the contribution it makes to meeting the functional prerequisites of the social systems. Parts of society are functional so far as they maintain the system and contribute to its survival. Thus a function of the family is to ensure the continuity of society by reproducing and socializing new members. A function of religion is to integrate the social system by reinforcing common values.” (Haralambos dan Holborn, 2004:938)
[10] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992: 87-88.
[11] Lebih jauh mengenai pengertian istilah-istilah ini, lihat http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html.
[12] Lihat Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (2002:24). Stiglitz dalam buku ini lebih banyak menyoroti peran lembaga-lembaga pendukung globalisasi seperti World Bank dan IMF dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang dibuat sehingga semakin memiskinkan negara-negara yang menjadi “pasien”. Di samping Stiglitz, lihat pula I Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, 2003.
[13] Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, khususnya Bab 6 “Unfair Fair Trade Laws and Other Mischief” (2002:166-179).
[14] Praktik filantropi lainnya ada yang didorong oleh keinginan untuk menghindari pajak, dan ada juga yang semata-mata digerakkan oleh tanggung jawab kemanusiaan untuk berbagi kepada sesama manusia.
[15] “Affection for mankind, especially as manifested in donations of money, property, or work to needy persons or to socially useful purposes”. (The Random House Dictionary of the English Language, 1968:996)
[16] Lihat misalnya pendapat yang diutarakan oleh Fabien Curto Millet dari Universitas Oxford dalam makalahnya (yang tak diterbitkan) berjudul “The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in the 21st Century”, yang dipresentasikan dalam 35th ISC-Symposium at the University of St. Gallen/Switzerland, May 19–21, 2005. Millet mengatakan: “CSR is an attempt by people worldwide to manually override values into a system which they perceive sacrifices them all on the altar of productivity… In fact, capitalism today is sick because of its own affluence, thereby providing an additional driving force behind the quest for corporate responsibility.”
[17] Lihat makalah (tidak diterbitkan) oleh Tine Rostgaard, “The Configuration of Corporate Social Responsibility”, Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of Social Research, Working Paper 3, 2000.
[18] Di antara doktrin yang melekat kuat pada agama-agama besar, khususnya Islam, adalah isu keadilan sosial. Keadilan sosial mendapatkan tempat sentral oleh karena tanpa adanya keadilan sosial, sistem sosial akan goyah. Dalam konteks inilah filantropi menjadi sangat relevan. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hubungan antara filantropi dan keadilan sosial, lihat Buni Yani, Filantropi dan Keadilan Sosial, Opini, Republika, 19 Oktober 2004.
[19] Asia Pacific Philanthropy Consortium, Investing in Ourselves: Giving and Fund Raising in Asia, 2002:7-8.
[20] Ibid hal. 8-9.
[21] Ibid hal. 8.
[22] Kebaikan hati dan sifat kedermawanan sosial Ford dapat dibaca dalam pengantar bukunya yang kontroversial, The International Jew (terjemahan), 2006. ###

Tentara Australia di Maluku?

Berpolitik.com, Rabu, 16 Agustus 2000, @00:34 WIB

Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS

Setelah serdadu-serdadu Australia itu berhasil menunjukkan bahwa tentara Indonesia tak berdaya memadamkan kekacauan di Malu ku, mereka lalu berkonvoi dan berbaris keliling kota untuk merebut hati rakyat. Sebagian besar Muslim menolak, hampir seluruh pemeluk Kristen dengan suka cita mengelu-elukan kedatangan “sang pahlawan” pembawa perdamaian. Komandan serdadu lalu bertanya kepada rakyat, apa pendapat mereka tentang pemerintah Indonesia? Apakah mereka masih mempercayai kemampuan Indonesia melindungi dan mengelola warganya? Apakah mereka ingin tetap dalam wilayah Indonesia atau memisahkan diri? Menjawab pertanyaan itu, masyarakat Maluku terpecah lagi menjadi dua, ada yang setuju, ada yang tidak. Komandan serdadu lalu mengajukan pertanyaan pamungkasnya, apa Saudara-saudara sekalian ingin referendum saja?

Mimpi buruk itulah yang pertama kali terbayang ketika Australia kembali dengan high profile berminat “membantu” Indonesia dalam memecahkan sengketa berbau agama di Maluku dan Maluku Utara. Usaha Menteri Pertahanan Australia John Moore melobi Menteri Pertahanan AS William Cohen (The Jakarta Post, 18/7) adalah langkah awal yang patut menjadi perhitungan masyarakat Indonesia untuk melihat apa agenda Australia di balik tawaran itu. Cohen mengakui kemampuan Australia dalam mengelola keamanan di wilayah Asia Tenggara. Mengenai konflik di Maluku, Cohen berkata, “...we believe Australia is closer to the situation. That we look for some leadership on the part of Australia in terms of formulating our own policies in the region (...kami percaya Australia lebih dekat dengan persoalan di sana. Kami mencari sebagian kepemimpinan Australia dalam hal merumuskan kebijakan-kebijakan kami di wilayah ini)” (Reuters, 17/7). Kepercayaan AS terhadap Australia bukanlah tanpa alasan. Masih segar dalam ingatan bagaimana tentara Australia memimpin tentara PBB ketika referendum dilaksanakan di Timtim pada Agustus 1998. Alih-alih menjadi penonton dan fasilitator referendum yang adil, seperti dituduhkan sebagian masyarakat Timtim, tentara Australia malah telah mengotori tangan mereka dengan mendukung masyarakat Timtim prokemerdekaan.

Masyarakat Indonesia dan pemerintahan Abdurrahman Wahid perlu kiranya mempertimbangkan beberapa hal mengenai “niat baik” Australia tersebut untuk “membantu” Indonesia.

Pertama, adagium yang mengatakan bahwa kepentinganlah yang abadi dalam politik kiranya berlaku dalam setiap kebijakan luar negeri pemerintah Australia. Pemerintah Australia tak segan-segan menunjukkan “kemunafikannya” dalam hal Timtim. Di masa pemerintahan sebelumnya, pemerintah Australia mendukung integrasi Timtim ke dalam wilayah Republik Indonesia. Australia ketika itu tergolong berani keluar dari mainstraim ketika PBB tak mengakui integrasi Timtim ke dalam wilayah Indonesia. Tapi di masa Timtim diberikan kesempatan untuk melaksanakan referendum, Australia mulai menunjukkan siapa dia sesungguhnya. Pengalaman tak sedap ini bukan tak mungkin terjadi pada Maluku bila penanganan keamanannya dipercayakan kepada Australia.

Kedua, “niat baik” pemerintah Australia ini haruslah memiliki standar yang jelas. Bila ingin membantu Indonesia dalam memecahkan konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara, harus jelas tujuan dan sasarannya. Pemerintah Indonesia melalui Menlu Alwi Shihab telah berulang kali menegaskan tak akan ada campur tangan tentara asing untuk mengatasi kemelut di Maluku. Campur tangan asing hanya diperbolehkan dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Pernyataan Menlu kiranya menjadi isyarat yang positif untuk membendung menggebu-gebunya “niat baik” Australia tersebut. Namun satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana melaksanakan komitmen untuk tidak membiarkan pasukan asing turut campur dalam konflik Maluku. Diplomasi intensif untuk itu diperlukan. Tidak saja di PBB, AS dan Australia, namun juga di negara-negara yang potensial menjadi sekutu Australia untuk mewujudkan niatnya ini. Karenanya, diplomat-diplomat di setiap Kedutaan Besar RI perlu diberdayakan seoptimal mungkin agar tidak terulang lagi tragedi diplomasi seperti pada kasus Timtim.

Ketiga, segala bentuk “bantuan” dan “niat baik” masyarakat Australia, terutama yang terlembaga dalam bentuk NGO-NGO haruslah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Harus diakui bahwa NGO bukanlah suatu organisasi tanpa kepentingan dan agenda. Pengalaman buruk kasus Timtim mengajarkan bahwa label kemanusiaan yang distempel dalam setiap bantuan organisasi-organisasi internasional, termasuk yang berasal dari Australia, kini harus kembali dipertanyakan. Logika sederhana bisa menjelaskan hal ini. Kenapa lembaga-lembaga itu ribut-ribut mengenai kericuhan di Timtim, sementara pembantaian oleh militer di Aceh dianggap sepi saja oleh mereka? Dengan kenyataan ini, patut menjadi kecurigaan bahwa ada sentimen primordial yang paling dalam yang melibatkan setiap “niat baik” dalam bentuk “bantuan” kemanusiaan itu. Dan sentimen primordial ini yang paling gampang dimanipulasi untuk kepentingan politik.

Keterlibatan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) dalam konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut. Indikasi ke arah itu telah banyak disinyalir, terutama oleh golongan Muslim garis keras. Teori konspirasi ini menyebutkan adanya keterlibatan aktivis RMS di Belanda yang ingin “come back” memanfaatkan suasana politik di Tanah Air yang sedang tidak menentu. Namun cendekiawan seperti George Aditjondro (makalah, 2000) membantah kongkalikong seperti ini. Suara bantahan lain yang lebih keras mengatakan bahwa teori konspirasi seperti ini hanya dipercayai oleh orang yang mengidap paranoia. Bisa jadi kalangan Muslim garis keras mengidap penyakit semacam “paranoia” yang selalu ketakutan setelah begitu lama terpinggirkan dalam setiap wacana ekonomi, sosial dan politik di Tanah Air. Namun kiranya patut menjadi pertimbangan bagaimana aktivisme RMS ini mendapat perhatian pers di Belanda. Koran-koran seperti Rotterdams Dagblad dan Haagsche Courant masih terus memberitakan kegiatan-kegiatan RMS hingga kini, yang bisa ditafsirkan sebagai RMS belum mati dan akan terus berjuang untuk tujuan mereka. Pada tahun 70-an, aktivis-aktivis RMS di Belanda tak segan-segan melakukan teror dan kekerasan dalam bentuk pembajakan kereta api, pembunuhan dan penyanderaan untuk menekan pemerintah Belanda agar bersedia memberikan dukungan kepada mereka, serta menekan pemerintah Indonesia untuk mengakui mereka sebagai negara merdeka (Bartels, 1977:1)

Dengan lanskap sosial-politik seperti ini, di mana indikasi keterlibatan RMS sebagai salah satu biang keladi masalah di Maluku, kecurigaan terhadap setiap organisasi luar negeri yang berlabel kemanusiaan memiliki dasar. Organisasi-organisasi internasional yang berkedok kemanusiaan bisa saja menyerupai RMS yang memiliki agenda tersendiri di Maluku. Sentimen kesamaan agama akan menjadi perekat yang dalam untuk menjalin kerjasama, dan bukan tak mungkin untuk memisahkan diri dari NKRI.

Keempat, asumsi bahwa masyarakat Australia memiliki pandangan yang kritis terhadap setiap gerak langkah pemerintah Indonesia tercermin dalam pemberitaan-pemberitaan persnya. Bila beberapa NGO di Australia memiliki spesifikasi khusus untuk perjuangan kemerdekaan Timtim, maka seolah telah menjadi kesepakatan tak tertulis bagi kalangan pers untuk mengikuti trend serupa. Pers Australia tanpa membicarakan Indonesia, ibarat sayur tanpa garam, hambar dan tak enak rasanya. Dan membicarakan Indonesia tanpa menyinggung Timtim, sama nekatnya dengan mendirikan perusahaan pers untuk tak dibeli. Dan selalu yang menjadi agenda setting pers Australia ketika membicarakan Timtim adalah bentuk simpati mendalam terhadap Timtim karena telah “dicaplok” Indonesia dan tak pernah diakui PBB. Melihat pengalaman buruk ini, cukup beralasan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menangani keterlibatan masyarakat Australia, termasuk persnya, di Maluku.

Kelima, lobi penentu untuk masuknya pasukan asing di Maluku kelihatannya ada di tangan AS, itu sebabnya Menteri Pertahanan Australia John Moore amat “ngebet” membicarakan kondisi di Maluku ketika Menteri Pertahanan AS William Cohen berkunjung ke Australia baru-baru ini. Moore memainkan kartunya setelah mengetahui pemerintah AS memiliki perhatian yang besar terhadap kondisi di Maluku. Juru bicara Deplu AS Philip Reeker secara resmi meminta “pemerintah Indonesia harus mencegah kelompok-kelompok terorganisir yang melakukan serangan dan menghentikan para ekstrimis dari luar Maluku memanas-manasi situasi dan terlibat dalam kekerasan” (editorial Republika, 24/6). Statemen keprihatinan AS ini dimanfaatkan oleh Menhan Australia itu untuk mengintensifkan lobinya agar bisa masuk ke Maluku.

Keenam, langkah Sekjen PBB Kofi Annan menelepon Presiden Abdurrahman Wahid untuk menanyakan keadaan di Maluku bisa ditafsirkan sebagai bagian dari “pengeroyokan” terhadap Indonesia oleh masyarakat internasional dari segala arah, agar membolehkan pasukan asing atau PBB diperkenankan masuk ke Maluku. Sebelumnya terdengar kalangan gereja di Australia menggalang simpati serupa, lalu 24 NGO Jepang, dan bukan tak mungkin hal ini akan menggelinding bagai bola salju bila tak mendapatkan penanganan serius. Sebelumnya hanya terdengar Human Rights Watch yang memberikan laporan secara teratur mengenai perkembangan di Maluku yang disertai rekomendasi-rekomendasi mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengatasi persoalan di daerah itu. Sementara Amnesty International kurang tertarik dengan masalah Maluku dan hanya memberikan sedikit porsi dalam laporan-laporannya, itu pun di bawah topik Timtim.

Kelihatannya Presiden Abdurrahman percaya terhadap Annan bahwa persoalan Maluku tak akan dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Namun seperti dikatakan oleh Abdurrahman sendiri bahwa Annan “akan mencoba meyakinkan bahwa usulan-usulan (untuk pasukan di Maluku) tak akan dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB (will try to ensure that these proposals [for foreign troops in Maluku] will not be put on the agenda of the UN Security Council)” (The Jakarta Post, 18/7). Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa harapan Bapak Presiden itu akan menjadi kenyataan? Basa-basi diplomatik tingkat tinggi selalu sulit untuk ditafsirkan. Seringkali kenyataan di lapangan tak ada sangkut pautnya dengan janji-janji dan basa-basi seperti itu.

Melihat beberapa faktor di atas, sudah cukup alasan untuk mempercayai adanya agenda untuk memasukkan pasukan asing atau internasional ke Maluku. Seperti pengalaman kasus Timtim, pasukan Australia kelihatannya yang paling mungkin untuk direkomendasi PBB, setelah mendapat dukungan AS, untuk beroperasi dan menjadi komando di sana. Bila agenda masuk Maluku ini sudah tercapai, sulit menebak apa yang ada di balik kepala pemerintah Australia dengan sederet pengalaman tak sedap berhubungan dengan negara ini. Bisa jadi mimpi buruk itu benar-benar terjadi.
###

Tafsir Psikoanalisa untuk Gus Dur

Berpolitik.com, Kamis, 09 Nopember 2000, @22:38 WIB

Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS

Bila ada kuis yang menanyakan siapa presiden kita yang paling lucu, mungkin hampir semua akan menjawab secara serentak, yaitu presiden ke-4 Abdurrahman Wahid. Gus Dur tidak saja pintar membuat joke atau lelucon, tetapi juga gemar tertawa. Kepribadian Gus Dur tak berubah walaupun kini ia menjadi pusat perhatian, tidak saja oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat internasional.

Bercanda dan tertawa bukanlah soal etiket atau sopan-santun bergaul baginya. Ia bisa melakukannya di mana saja. Tidak saja di banyak pertemuan tak resmi, melainkan juga di pertemuan seberwibawa DPR. Dan Gus Dur bukannya tidak tahu akan kepribadiannya itu, ia bahkan sangat menyadarinya.

Ketika Universitas Bung Karno (UBK) menganugerahinya gelar Doktro Honoris Causa karena prestasi-prestasinya, dengan berkelakar Gus Dur mengatakan, sebetulnya ia lebih pantas menerima Doktor Humoris Causa.

Bagi lawan-lawan politiknya, kepribadian Gus Dur ini tentu saja bisa menjadi makanan empuk untuk diplintir dan dimanipulasi. Suara miring selalu terdengar mengenai kinerja pemerintahannya yang penuh angka merah. Padahal ia sering tampil penuh guyon, santai, dan serba enteng, seolah tak ada masalah. Ekspresi “gitu aja kok repot” tidak saja banyak ditiru oleh para politisi, tetapi juga oleh para aktivis yang anti kepadanya.

Majalah Tempo pernah memuat cover story yang tak kalah pedas, judulnya Banyak Bercanda Kisruh Bekerja. Dalam artikel yang terdiri dari laporan dan tajuk ini, hampir tak ada pujian bagi prestasi Gus Dur. Isinya penuh kritik, terutama karena ketidakmampuannya memulihkan keadaan negara yang dalam keadaan morat-marit.

Adakah dasar pemikiran yang bisa menjelaskan mengapa orang menyukai humor dan gemar tertawa?

Pendiri psikoanalisa Sigmund Freud pernah menulis suatu naskah berjudul Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905). Dalam tulisannya ini Freud mengatakan bahwa dorongan-dorongan seksual yang kuat dan dirasakan sebagai hal yang memalukan dilepaskan lewat tingkah laku bercanda. Energi instingtual yang tertahan, tersalurkan lewat tawa (Hjelle dan Ziegler 1981:57).

Freud juga percaya bahwa kenikmatan yang didapatkan lewat tawa bergantung pada pengurangan secara seketika ketegangan-ketegangan atau kecemasan dalam diri seseorang. Jadi, ada korelasi antara kenikmatan yang didapatkan lewat tawa dan hilangnya tingkat ketegangan atau kecemasan.

Bahwa Gus Dur merasa tegang dan cemas tentu bisa dipahami, karena ia menakhodai sebuah kapal dengan penumpang 210 juta rakyat Indonesia. Salah memutar kemudi, kapal bisa oleng dan karam. Dan kecemasannya ini telah terbukti dengan “kejam”nya sebagian anggota MPR yang mempertanyakan apakah ia masih mampu mengurus negara pada Sidang Tahunan yang baru lalu.

Namun satu hal yang amat mencolok bila mengikuti pemikiran psikoanalisa ini adalah pembawaan Gus Dur yang amat tegang dan cemas yang berkait dengan dorongan bercandanya yang besar untuk mendapatkan kenikmatan. Atau sederhananya, Gus Dur memerlukan guyon dan lelucon untuk mendapatkan kenikmatan yang bisa mengusir tingkat ketegangan dan kecemasannya.

Sampai titik ini mungkin pertanyaan bisa diajukan, apakah tertawa masih dianggap sehat dalam kondisi seperti ini? Para psikolog bisa berdebat apakah hal ini wajar atau di luar kewajaran, apakah hal ini masih dalam toleransi kriteria sehat atau tidak.

Masih kata psikoanalisa, kecemasan batin seseorang juga bisa berwujud tindakan membela diri (ego defense mechanism) untuk mengatasinya. Pembelaan terhadap diri ini bisa berbentuk meluhurkan sesuatu (sublimation), penekanan terhadapnya (repression), mencari kambing hitam (projection), membalas kemarahan kepada obyek yang lebih lemah dari dirinya (displacement), tindakan membenarkan diri (rationalization), bertindak yang sebaliknya (reaction formation), dan dengan mengarahkan suasana batin kembali ke masa kanak-kanak yang penuh kesenangan (regression) (Hjelle dan Ziegler 1981:47-50).

Ketika interpelasi diajukan oleh para anggota DPR untuk meminta keterangan mengapa Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi dan Menperindag Jusuf Kalla diberhentikan dari jabatan mereka, Gus Dur tetap bertahan membela diri. Alih-alih menjawab pertanyaan sejumlah anggota DPR tersebut, ia justru mengatakan tak ada dalam undang-undang ketentuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Tindakan ini bisa ditafsirkan sebagai strategi pengambinghitaman (projection) Gus Dur terhadap konstitusi untuk keluar dari jerat pemberhentian itu. Yang sinis kepada Gus Dur karena tindakannya ini mengatakan, tidak terlalu sulit untuk menafsirkan undang-undang. Yang diperlukan “hanya” sedikit kemampuan pokrol bambu dan rajin membaca undang-undang. Bila tak tercantum, tinggal bilang inkonstitusional. Yang salah adalah undang-undang, dan selesai.

Tapi, seperti banyak dipercakapkan oleh masyarakat, esensi interpelasi itu adalah suatu “latihan” untuk memberdayakan DPR yang telah sekian lama dibungkam, seperti cita-cita Gus Dur sendiri. Dan dalam sejarah ketatanegeraan kita, mungkin baru pertama kali ini hak interpelasi digunakan.

Pesan interpelasi lainnya adalah untuk mengingatkan presiden agar tidak semaunya sendiri dalam mengurus negara, apalagi jika bertindak berdasarkan bukti yang belum jelas kebenarannya. Tuduhan KKN terhadap kedua menteri itu sampai dilangsungkannya interpelasi tidak juga dibeberkan. Banyak yang berharap mestinya Gus Dur berani memelopori sikap transparan dalam setiap tindakannya karena kini dia adalah tumpuan harapan seluruh rakyat Indonesia untuk keluar dari sikap semena-mena dan ketertutupan rezim Orde Baru.

Tafsir lain pemberhentian kedua menteri ini bisa juga diartikan sebagai tindakan Gus Dur membalas kemarahan kepada obyek yang lebih lemah darinya (displacement) untuk mengatasi kecemasan, akibat dari setiap saat rapornya diperiksa dan dipercakapkan masyarakat. Setelah segala jerih-payahnya untuk mendongkrak kinerja pemerintahannya terutama untuk keluar dari krisis ekonomi tak juga menampakkan hasil, kecemasan itu lalu memakan korban dua menteri itu.

Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Di mata Presiden Gus Dur, kedua menteri itu adalah obyek yang lemah, yang bisa dipersalahkan meskipun dengan alasan yang tidak jelas.

Mungkin siasat yang paling banyak digunakan para politisi dalam menutupi kekurangannya adalah dengan mencari dalih atau pembenaran terhadap dirinya (rationalization). Mereka adalah korban sindrom “anggur masam” yang berasal dari kisah dalam dunia binatang (fabel). Diceritakan bahwa seekor serigala menginginkan anggur, tetapi karena tak bisa dicapai karena pohonnya terlalu tinggi, lalu ia mengatakan anggur itu rasanya masam.

Gus Dur dengan cerdik memanfaatkan celah sensitivitas persoalan pemecatan kedua menteri itu dengan mengatakan bahwa itu tak pantas dibeberkan di muka umum. Yang salah bukanlah dirinya yang tak mau membeberkan alasan pemecatan kedua menteri itu, tetapi persoalan itulah yang dianggap terlalu sensitif. Langkah pembenaran diri seperti ini telah banyak dikritik, termasuk oleh Ketua MPR Amien Rais, karena dianggap sebagai kemunduran reformasi yang menjunjung tinggi transparansi pengelolaan negara.

Di bagian lain pemikirannya, Freud juga merumuskan suatu susunan kejiwaan tiga tahap, yakni id, ego dan superego. Id bisa digambarkan sebagai sifat asli manusia yang terbawa sejak lahir, yang berkecenderungan menyerupai insting hewani tanpa mengindahkan adanya aturan. Ego adalah sifat yang mengorientasikan diri kepada realitas kehidupan dengan berusaha berinteraksi dengan dunia sekeliling. Sementara superego adalah tahap tertinggi sifat manusia yang terdiri dari kualitas-kualitas moral yang diakui secara konvensional (Hjelle dan Ziegler 1981:33-36; Engler 1995:49-53).

Bagian terbesar dari pembentukan ketiga tahap kejiwaan itu ditentukan oleh ketidaksadaran (unconscious), yakni sisi batin yang terdiri dari hasrat-hasrat dan konflik-konflik yang tak diinginkan yang terpendam di bawah sadar. Sedangkan sisanya adalah kesadaran (conscious), yakni bagian batin manusia yang terdiri dari pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang disadari setiap saat.

Banyak pengamat melihat tipe kepemimpinan Gus Dur sebagai jurus “pendekar mabuk” karena banyaknya tindak-tanduknya yang tak terpahami dan menimbulkan kontroversi. Bagi sebagian pendukungnya yang masih menganut kepercayaan tradisional, ini merupakan bagian dari sifat kewaliannya yang tak terjangkau oleh kalangan awam. Tapi bagi pengamat tadi yang menggunakan tolok ukur rasional, mungkin sifat Gus Dur ini, dalam pemikiran psikoanalisa, bisa dikategorikan sebagai mendekati id yang tak taat aturan.

Mungkinkah sifat id ini dikendalikan oleh bawah sadar Gus Dur? Bila ya, konflik-konflik apakah yang ada di bawah sadarnya? Untuk para psikolog, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini kiranya penting, karena Gus menduduki peran sentral dalam membawa negeri ini menuju demokrasi.

Kontroversi dan persaingan politik tak kunjung habis dalam masa pemerintahan Gus Dur yang baru berjalan satu tahun. Hal ini tidak saja disebabkan oleh tingkat kemampuannya dalam mengelola negara, tetapi juga oleh kepribadiannya yang unik yang seringkali dipolitisasi oleh lawan-lawannya.

Pasca-pertemuan Yogya dan ST MPR merupakan babak baru untuk melihat bagaimana kepentingan politik di antara empat serangkai (Gus Dur-Amien-Mega-Akbar) dikelola. Setelah melalui politik “dagang sapi” yang alot, lalu kesepakatan pun dicapai bahwa Gus Dur harus mengakui sejumlah kelemahannya dan “memberikan tugas” pengelolaan administrasi negara sehari-hari kepada wakilnya Megawati.

“Pemberian tugas” ini bagi faksi yang ingin menurunkan Gus Dur merupakan tahap awal untuk mengurangi peran sentralnya, yang bisa ditafsirkan dalam bentuk lain, yakni “pengalihan wewenang.” Tetapi semantik dimanipulasi, dan yang ditonjolkan adalah eufemisme untuk sekadar ewuh-pakewuh kepada Gus Dur.

Kini hal ini terbukti dengan vokalnya kembali suara untuk menuntut Gus Dur turun sejak akhir Oktober lalu. Penabuh genderang perang pertama tentu saja “kawan dan lawan politiknya”, Ketua MPR Amien Rais. Bagai bola salju wacana ini menggelinding. Penerima lemparan bola pertama adalah ekonom Sjahrir, lalu Faisal Basri dari PAN. Sebagian mahasiswa, terutama HMI, antusias mendengar tuntutan mundur itu.

Gus Dur tak kalah sengit menanggapi tuntutan itu. Kalau tidak mau mundur, mau apa, gertaknya. Amien Rais dalam Pertemuan Mahasiswa Indonesia Sedunia di Luar Negeri yang diadakan di Chicago, AS baru-baru ini menyatakan siap mundur bila ada jaminan Gus Dur rela berhenti dari jabatannya.

Kecil kemungkinan Gus Dur rela untuk mundur paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena kepribadian Gus Dur yang keras kepala seperti ditunjukkan oleh teori Psikoanalisa di atas. Alih-alih mengakui kesalahan sendiri, Gus Dur justru mencari kambing hitam. Kedua, karena rupanya Gus Dur sedang mulai menikmati kekuasaannya. Asumsi ini terbukti dengan maraknya KKN gaya baru yang dikembangkan oleh pemerintahan dan kroni-kroninya.

Tindakan Gus Dur ini adalah isyarat buruk bagi pemulihan ekonomi dan perbaikan nilai rupiah. Lalu, apa kabar reformasi? Ia mati suri, kata pengamat Eep Saifulloh Fatah di Pertemuan Chicago. Hidup tidak, mati pun belum jelas.
###

Mengapa Wahid “Gagal”?

Berpolitik.com, Kamis, 21 Juni 2001, @10:22 WIB

Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, Amerika Serikat

Jawaban untuk pertanyan di atas mungkin sederhana tapi mendasar, yakni, karena Presiden Abdurrahman Wahid telah gagal melakukan perubahan dalam diri pribadinya ketika secara resmi menjadi orang nomor satu RI. Formalitas negara sebagai simbol modernitas dianggap Wahid sebagai persoalan sekunder yang remeh.

Perubahan adalah suatu keniscayaan bagi Wahid bila dia ingin searah dalam satu rel simbol modernitas negara. Administrasi, aturan protokoler, dan simbol-simbol negara modern lainnya adalah di antara formalitas ini. Hal-hal ini tidak hanya membutuhkan konsep besar dalam bentuk grand narratives seperti wacana demokrasi dan pluralitas, melainkan juga memerlukan kemampuan teknis yang spesifik. Kesalahan fatal yang dilakukan Wahid setelah menjadi Presiden adalah, alih-alih menyesuaikan diri, ia justru berkecenderungan melakukan “NU-nisasi” di lingkungan Istana.

Dalam bahasa posmodernisme, apa yang dilakukan Wahid merupakan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap kemapanan formalitas lingkungan barunya. Pertanyaannya adalah, sekuat apakah ia sehingga berani melakukan pembongkaran? Apakah Wahid memiliki instrumen yang memadai untuk melakukan hal ini? Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya menjadi jelas setelah terbukti bahwa segala ikhtiar radikalisme pembongkaran ini menjadi bumerang yang balik mematikan dirinya.

Sebuah majalah asing pernah memberitakan bagaimana kyai-kyai NU sowan ke Istana dengan “hanya” mengenakan sandal. Petugas protokoler Istana tak bisa berkutik karena rupanya hal ini mendapat restu dari Presiden sendiri, hal yang tak mungkin di masa-masa sebelumnya. Kebiasaan lama Wahid pun tetap terpelihara untuk “ngobrol ngalor-ngidul” hingga larut malam. Lalu muncullah rumor tentang “tim begadang”. Dikabarkan, “forum-forum” seperti “tim begadang” inilah yang banyak mempengaruhi keputusan Wahid setelah dibisiki orang-orang dekatnya.

Pada saat bersamaan sejumlah tokoh baru dikabarkan keluar masuk Istana dengan kepentingan yang tak jelas. Mereka ini disebut-sebut sebagiannya adalah keluarga dekat Presiden, sebagiannya lagi berasal dari kalangan NU dan PKB. Sisanya adalah barisan yang sungguh tak masuk akal, termasuk Suwondo si “pemijat maut” yang bisa mengibuli Ketua Bulog Sapuan yang bergelar doktor. Melihat ini, Ketua MPR Amin Rais pernah mengibaratkan Istana seperti “pasar yang gaduh” yang disesaki terlalu banyak orang dengan kepentingan yang tak ada sangkut pautnya dengan kerja Presiden. Lalu kabar KKN gaya baru pun menyebar luas yang menjadi makanan empuk pers bebas.

Ini adalah sebagian gambaran kasat mata bagaimana Wahid telah gagal melakukan perubahan dalam dirinya. Wahid tetap beranggapan bahwa masalah negara tak ada bedanya dengan masalah keluarga dan soal-soal primordialisme kelompok lainnya. Gaya hidup Presiden tak berubah secara signifikan.

Latar belakang Wahid mungkin bisa menjelaskannya. Semasa menjadi Ketua PBNU, Wahid mendapatkan perlakuan yang terlalu manis dari kalangan nahdiyin. Wahid dimanjakan karena memiliki darah biru NU. Ia dipanggil dengan gelar kesayangan “Gus”. Semua ucapannya dipercayai sebagai kebenaran yang tak bisa dibantah. Bila pun Wahid melakukan kesalahan, maka dengan cepat ia akan dimaafkan oleh massa tradisional ini. Kalau pun Wahid melakukan tindakan di luar nalar umum, itu pun bisa dimengerti, karena Wahid adalah seorang “wali” yang “di dadanya ada malaikat”. Pokoknya Wahid tak ada cela, ia harus dibela sampai mati. Hanya sedikit lapis kecil NU yang tak terjatuh ke dalam kultus ini, yakni mereka kaum terdidik yang tinggal di kota-kota.

Wahid merasa telanjur nyaman dan tak ingin keluar dari kondisi-kondisi yang memanjakannya. Ia ingin tetap di sana dengan segenap kebahagiaan. Itu sebabnya ketika menjadi Presiden, ia tetap menganggap Indonesia sebagai perluasan NU yang tak memerlukan penanganan berbeda. Tentu saja ini adalah penyederhanan yang berlebihan dalam konteks kemajemukan Indonesia. Dengan kata lain, ia gagal melakukan transformasi persepsi yang paling mendasar.

Kegagalan perubahan persepsi ini membawa akibat yang tidak kecil. Wahid rupanya tidak bisa survive di lingkungan baru kenegaraan yang formal. Di satu sisi Wahid masih tetap mempersetankan segala pernik formalitas kenegaraan, padahal pada saat bersamaan DPR tumbuh menjadi lembaga kuat yang kritis. DPR secara perlahan mampu menjadi pengimbang negara yang secara rutin mengevaluasi kinerjanya.

Kasus dugaan korupsi dana Bulog dan Brunei yang masih samar-samar pembuktian kebenarannya menjadi senjata mematikan DPR. Dua kasus ini mencuat menjadi isu politik yang tak bisa ditepis oleh Wahid dengan administrasi negara yang morat-marit.

Tafsir terhadap konstitusi yang menjadi landasan dikeluarkannya Memorandum I dan II tak menguntungkan posisi Wahid. Ia berkeras bahwa Memorandum itu inkonstitusional. Karenanya, ia merasa tak bersalah bila melecehkannya dan tak berusaha menjawabnya secara serius. Tapi apa daya, Wahid kalah telak dalam perebutan wacana tafsir konstitusi yang semakin memojokkannya. Ujung dari dua Memorandum ini adalah Sidang Istimewa (SI) yang kemungkinan besar memberhentikannya dari jabatan.

Kegagalan transformasi pribadi ini mempengaruhi kinerja pemerintahan Wahid secara keseluruhan. Nilai tukar rupiah yang semakin anjlok terhadap dolar Amerika, atau lebih buruk daripada masa pemerintahan Habibie; kegagalan bekerjasama dengan IMF, yang artinya kehilangan sumber pinjaman untuk memulihkan keadaan ekonomi; enggannya investor asing untuk kembali ke Indonesia yang disebabkan oleh faktor politik yang tak kunjung membaik; dan juga tak jalannya reformasi hukum; ini adalah di antara hal-hal pokok yang semakin membuat kalangan DPR semakin pesimis untuk bisa mempertahankan Wahid hingga 2004.

Beberapa kelebihan menonjol Wahid yang tak dimiliki pendahulunya seperti wawasan mengenai demokrasi dan pluralitas, telah terbukti tak berbicara apa-apa bila dikaitkan dengan detail pemerintahan sehari-hari yang memerlukan kemampuan teknis. Konsep-konsep besar itu masih perlu diterjemahkan ke dalam know-how yang praktis. Kesenjangan ini tak terjembatani yang membuat segala kelebihan Wahid itu tampak sebagai macan ompong yang tak ditakuti oleh “murid TK” di DPR sekalipun.

Kegagalan ini begitu menyakitkan tidak saja bagi Wahid, tetapi juga bagi sekitar 30 juta warga nahdiyin. Maka kini terbukti sudah bahwa Wahid dan NU tak bisa survive untuk menjadi imam dalam sebuah pemerintahan demokratis modern yang meniscayakan simbol-simbol formalitas negara. Kegagalan Wahid tentu tak boleh menjadi kegagalan uji coba demokrasi di negeri ini. Kita perlu mencoba lagi hatta dari nol sekalipun.
###