Thursday, October 29, 2009

KIB Jilid Dua

Buni Yani

Frase ”jilid dua” dalam ”Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua” telah dipakai secara berbeda dari makna sebelumnya oleh media akhir-akhir ini. Para wartawan menggunakan frase tersebut tanpa memperhatikan etimologi dan maknanya dalam rentang sejarah sosial-politik Indonesia mutakhir.

Frase ”jilid dua” awalnya digunakan dengan makna negatif dalam frase ”Orde Baru jilid dua”. Makna peyoratif ini dilekatkan kepada apa saja, baik perorangan, kelompok, maupun partai, yang coba-coba berani membangkitkan paham atau gerakan yang mirip atau sama dengan Orde Baru. Dokumen paling tua yang bisa membuktikan pendapat ini adalah laporan-laporan media serta perbincangan sosial-politik pada sekitar tahun 1999.

Presiden Habibie, misalnya, yang menggantikan Presiden Soeharto, dicap oleh para aktivis penentangnya sebagai ”Orde Baru jilid dua” oleh karena kedekatannya dengan mantan bosnya itu. Siti Hardiyanti Rukmana, atau Mbak Tutut, yang mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) tahun 2002 bersama Jenderal Purnawirawan HR Hartono juga tak bisa menghindar dari cap ”Orde Baru jilid dua”.

Dalam perjalanannya, frase ”jilid dua” yang sebelumnya memiliki makna peyoratif (negatif) lambat laun mengalami rehabilitasi yang kemudian memiliki arti netral, dan lambat laun pula meningkat statusnya menjadi kata yang memiliki makna amelioratif (positif). Entah siapa yang memulai, frase ”jilid dua” digunakan untuk apa saja yang telah dilepaskan dari konteksnya semula.

Kata ”jilid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai dua arti, yaitu: 1) jahitan buku (majalah, dsb), dan 2) penggalan atau bagian buku. Dalam frase ”KIB jilid dua”, kata ”jilid” secara leksikal lebih dekat dengan arti kedua. Kata ”jilid” mengacu pada buku, majalah, dan barang cetakan lainnya. Maka bila kata ”jilid” digunakan untuk mengacu pada sebuah rezim atau pemerintahan, maka kata ”jilid” memiliki dua kemungkinan, yaitu: 1) kata ”jilid” telah mengalami perubahan makna, atau 2) kata ”jilid” digunakan sebagai metafora (kiasan).

Untuk kemungkinan pertama, perubahan makna bisa terjadi bilamana sebuah kata mengalami perluasan, penyempitan, atau pergeseran makna. Perluasan makna terjadi bilamana sebuah kata yang sebelumnya memiliki arti tertentu lalu digunakan juga untuk makna lain yang semakin melebar. Sebaliknya, penyempitan makna terjadi bila sebuah kata yang sebelumnya memiliki arti luas lalu berubah maknanya menjadi makna tertentu saja. Pergeseran makna terjadi bila sebuah kata memiliki arti yang semakin membaik (amelioratif), semakin memburuk (peyoratif), memiliki arti yang sebaliknya dengan arti sebelumnya, terjadi kontronim (kata lama yang memiliki makna sebaliknya dengan makna baru masih digunakan oleh pemakai bahasa), atau sebuah kata sama sekali tidak lagi memiliki makna. Dalam kasus”KIB jilid dua”, frase ini mengalami proses ameliorasi, dan nuansa maknanya berlawanan dengan nuansa sebelumnya.

Kemungkinan kedua, yaitu kata ”jilid” digunakan sebagai metafora (kiasan), tidak mungkin terjadi, oleh karena pers tidak diperkenankan menggunakan gaya bahasa kiasan yang maknanya bisa diterima secara berbeda oleh pembaca yang berbeda. Penggunaan kata yang memiliki arti rancu (ambigu) hanya diperkenankan dalam bahasa puisi dan karya sastra lainnya.

Bila hanya kemungkinan pertama, yaitu terjadinya perubahan makna, yang memungkinkan digunakannya frase ”jilid dua” dalam ”KIB jilid dua”, maka pertanyaannya adalah, apakah diperkenankan wartawan dan editor menggunakan frase ini tanpa mempertimbangkan nuansa awal yang dimilikinya. Tentu, jawaban dari pertanyaan ini bisa beragam dan subyektif.

Namun, tentu saja, sebebas apa pun wartawan dan editor sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) di meja redaksi menggunakan kata ”jilid dua”, ini tidak berarti mereka bisa sewenang-wenang menggunakannya tanpa mempertimbangkan dampak yang bisa ditimbulkan. Oleh karena frase ”jilid dua”, yang tadinya digunakan untuk merujuk ke sesuatu yang bernuansa negatif, kini telah dikaburkan dan dibaurkan penggunaannya dengan sesuatu yang netral dan positif, maka di sinilah letak persoalannya.

Penggunaan kata ”jilid dua” untuk merujuk pada rezim atau pemerintahan selain Orde Baru sama artinya dengan mengaburkan fakta sejarah dengan sengaja. Si pengguna setidaknya secara perlahan-lahan ingin menyamakan Orde Baru dengan orde atau pemerintahan lainnya. Dan bila Orde Baru sama dengan orde lainnya, maka segala kesalahan yang ditimpakan kepadanya selama 32 tahun berkuasa tidak layak dianggap sebagai kesalahan. Padahal, gerakan reformasi muncul untuk memperbaharui segala ketidakberesan yang ditimbulkan oleh Orde Baru.

Maka, sekali lagi, pertimbangkanlah untuk kembali menggunakan frase ”jilid dua”.

###

Friday, October 23, 2009

Kabinet SBY yang Mengkhawatirkan


Waspada Online, 16 November 2009

Buni Yani

Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara dan Pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)


Kritik terhadap komposisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II meluas setelah Presiden SBY mengumumkan nama-nama menterinya. Namun kritik ini hilang dengan sendirinya tertimpa isu kriminalisasi KPK, apalagi setelah rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah penegak hukum diperdengarkan secara terbuka di gedung Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, ada baiknya kita mencermati kembali secara seksama komposisi KIB II.


Dilihat dari ukuran, komposisi, dan kompetensi para menteri yang ditunjuk, kabinet Presiden SBY sungguh mengkhawatirkan. Kekhawatiran pertama mengandung kritik substansial yang tak akan bisa dipenuhi oleh SBY, yaitu besarnya jumlah anggota kabinet yang akan mengurus hajat hidup orang banyak dalam waktu lima tahun mendatang. Bukankah organisasi yang besar akan menjadikan sebuah tim lamban bergerak, tidak efisien, dan potensial menghamburkan uang negara? Sebagai perbandingan, kabinet Obama di Amerika Serikat hanya terdiri dari 16 anggota kabinet, sementara kabinet SBY terdiri dari 34 anggota, atau lebih dari dua kali lipat dari jumlah kabinet Obama. Padahal, Amerika memiliki kekayaan jauh lebih besar dibandingkan dengan Indonesia.


Menggelembungnya jumlah anggota kabinet SBY dilakukan untuk mengakomodasi berbagai macam kepentingan yang telah mengantarakannya menjadi RI-1. Jadi bukan efisiensi betul yang menjadi pertimbangan, tetapi lebih dari itu, politik balas budi menjadi pertimbangan yang utama. Secara administrasi publik, langkah SBY ini amat sukar dipahami oleh karena pemerintahan haruslah didasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas.


Keraguan kedua adalah masuknya terlalu banyak orang partai politik dalam kabinet SBY. Ini tak terelakkan, karena sebagai pemenang pemilu SBY harus melakukan power sharing dengan partai-partai yang mendukungnya. Dari 34 anggota kabinet, 21 di antaranya berasal dari partai politik, yakni tujuh dari Partai Demokrat, empat dari PKS, tiga dari Partai Golkar, tiga dari PAN, dua dari PKB, dan dua dari PPP. Rasio ini sungguh tak masuk akal untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. Mestinya kaum profesionallah yang lebih dominan, bukan orang partai.


Keraguan ketiga adalah sejumlah anggota kabinet dianggap tidak kompeten. Yang paling banyak menjadi sorotan adalah Menko Perekonomian Hatta Rajasa (PAN). Ia dianggap tidak memiliki latar belakang ekonomi untuk mengkoordinasikan kementerian-kementerian yang berada di bawah tanggung jawabnya.


Jabatan Menteri Pertahanan yang dipercayakan kepada Purnomo Yusgiantoro juga dinilai tidak tepat, oleh karena Purnomo dianggap orang ekonomi, bukan orang politik ataupun pertahanan. Begitu juga dengan jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang diberikan kepada Darwin Saleh (PD). Jabatan ini kelihatan terlalu dipaksakan oleh karena Darwin tidak memiliki rekam jejak yang memadai untuk mengelola kementerian yang mengurus minyak dan sumber-sumber energi. Maka kesan pengangkatan ini tak lebih dari balas budi SBY kepada Darwin, karena Darwin adalah salah satu tim kampanye yang sering muncul di TV, menjadi tak terelakkan.

Menteri Pertanian Suswono (PKS) yang sebelumnya menjadi anggota DPR juga diragukan kemampuannya oleh karena Suswono tidak memiliki pengalaman mengurusi pertanian. Latar belakang pendidikannya yang dari Magister Manajemen Agribisnis IPB dinilai tidak cukup. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (PAN) tidak memiliki rekam jejak mengurus kehutanan. Menteri Perhubungan Freddy Numberi (PD) dinilai tak lebih hanya mewakili elemen etnis Papua, oleh karena Freddy tak memiliki latar belakang pendidikan maupun pengalaman mengurus perhubungan.

Di samping menteri-menteri di atas, menteri-menteri berikut ini juga dianggap tidak tepat menduduki jabatan mereka oleh karena tidak memiliki latar belakang pendidikan ataupun pengalaman yang memadai untuk mengurus kementerian yang dipercayakan. Mereka adalah: Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (Golkar), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (PKB), Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie (PPP), Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring (PKS), Menteri Negara Riset dan Teknologi Suharna Surapranata (PKS), Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarief Hasan (PD), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara EE Mangindaan (PD), Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini (PKB), Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Manoarfa (PPP), dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng (PD).


Jero Wacik (PD) yang dianggap tidak terlalu berhasil memimpin Menteri Kebudayaan dan Pariwisata diangkat kembali. Pengesahan UU Perfilman yang penuh kontroversi adalah salah satu yang banyak disorot oleh insan film di Tanah Air.


Posisi-posisi strategis yang akan mengangkat ekonomi rakyat dan mempercepat pembangunan daerah mestinya tidak diberikan kepada orang partai yang profesionalismenya dipertanyakan. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal mestinya dijabat oleh orang yang memahami ekonomi pembangunan secara baik, bagaimana mengatasi kesenjangan Jawa-non-Jawa serta Indonesia Timur-Indonesia Barat. Menteri Negara Koperasi dan UKM mestinya dijadikan departemen strategis untuk memacu pertumbuhan ekonomi kecil dan menengah, karena selama ini UKM-lah yang menjadi sokoguru perekonomian nasional. Mengambil pendirian demikan, artinya kementerian ini harus dijabat oleh orang yang lebih kredibel, bukan orang partai yang hanya paham politik. Begitu juga dengan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Departemen terakhir ini harus mampu mengatasi pengangguran yang sudah semakin mengkhawatirkan.


Yang tak kalah penting adalah Menteri Komunikasi dan Informatika. Mestinya jabatan ini diberikan kepada seseorang yang paham komunikasi dan teknologi informasi serta dampaknya pada masyarakat. Sang menteri harus paham bagaimana menggunakan teknologi tinggi ini untuk mempercepat pembangunan, mendayagunakan e-government, e-commerce, dan faedah-faedah lain dari teknologi. Di samping paham secara mendalam ilmu IT dan komunikasi, sang menteri harus pula paham keterkaitan antara IT dan komunikasi dengan bidang-bidang lain. Kemampuannya tidak boleh lebih rendah dari menteri terdahulu yang bergelar profesor.


Melihat begitu banyaknya kelemahan kabinet SBY periode kedua ini, tak mengherankan bila skeptisisme merebak di mana-mana yang mempertanyakan apakah program pemerintah untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan ekonomi nasional di tengah krisis global saat ini akan bisa tercapai. Tidak mengherankan karenanya spekulasi pun berkembang bahwa SBY sudah pasti akan melakukan reshuffle kabinet. Ini cukup beralasan karena pada periode lalu SBY melakukan hal yang sama.


Dengan demikian, uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan SBY di rumahnya di Cikeas beberapa hari sebelum menunjuk para pembantunya pantas dicurigai tak lebih dari sekadar akal-akalan pencitraan semata, oleh karena SBY sebetulnya sudah tahu siapa-siapa saja yang akan dia pilih masuk tim kabinetnya. SBY berusaha mencitrakan dirinya berlaku hati-hati dalam memilih para menteri. Namun melihat hasil yang begitu mengecewakan ini, praktis akal-akalan pencitraan sudah pasti tak akan berhasil.


Rasa tidak percaya sebagian besar masyarakat ini haruslah dijadikan pemacu semangat agar seluruh menteri bekerja sebaik-baiknya dan sekeras-kerasnya. Keraguan hanya bisa dilawan dengan bukti nyata.


Untuk rakyat Indonesia, bagaimanapun pesimisnya kita melihat susunan kabinet yang telah dibentuk SBY ini, alangkah baiknya kita bersabar dan memberikan kesempatan kepada ke-34 menteri yang baru saja dilantik untuk menunjukkan kinerja mereka. Waktu 100 hari cukup adil untuk menilai apakah mereka seperti yang kita sangkakan, ataukah kita yag terlalu cerewet dan banyak menuntut.


Untuk para anggota kabinet, selamat bekerja. Seluruh rakyat menanti kiprah Anda memajukan Indonesia.


###



Friday, October 16, 2009

Menanti Peran Besar SBY

Suara Pembaruan, 20 Oktober 2009, hal. 5

Buni Yani

Perjalanan sebuah bangsa menuju kejayaan dan kemajuan merupakan perpaduan antara usaha kolektif dan keberuntungan sekaligus. Absurditas ini tak terelakkan, karena bila tak memiliki salah satu faktor, kemajuan sebuah bangsa tak lebih hanya menyerupai drama absurd terkenal karya Samuel Beckett, Menanti Godot.

Usaha kolektif bisa saja dimotori oleh seorang pribadi yang kuat sehingga menginsipirasi orang lain untuk ikut mengubah bangsa menuju kemajuan. Namun yang terang adalah kemajuan tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Kemajuan harus diusahakan bersama, karena kompleksitas permasalahan sebuah bangsa tak akan bisa ditangani sendiri. Pribadi kuat tadi berperan memberikan model atau teladan kepada orang banyak, menginsiprasi orang lain untuk berbuat hal-hal baik untuk kemajuan bangsa, serta rela mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok demi bangsa yang dicintai.

Seperti ditulis Andrew Dickson White dalam karyanya Seven Great Statesmen in the Warfare of Humanity with Unreason (1910), di antara yang masuk kategori ini adalah Paolo Sarpi (1552-1623) dari Italia, Hugo Grotius atau Huig de Groot (1583-1645) dari Belanda, Christian Thomasius (1655-1728) dari Jerman, Anne-Robert-Jacques Turgot (1727-1781) dari Perancis, Karl Stein (1757-1831) dari Jerman, Camillo Benso Cavour (1810-1861) dari Italia, dan Otto von Bismarck (1815-1898) dari Jerman.

Faktor lainnya, yaitu keberuntungan, juga tidak kalah penting. Ada bangsa yang lebih beruntung dibandingkan dengan bangsa lain oleh karena faktor geografis di mana bangsa bersangkutan tinggal, kekayaan alam tanah yang didiami, serta faktor-faktor alam yang tak bisa diubah. Puluhan tahun lamanya Jared Diamond, seorang peneliti evolusi satwa burung yang kemudian memperlebar minat kesarjanaannya dengan mempelajari ilmu sosial, mencoba menjawab pertanyaan mengapa sebuah bangsa bisa lebih maju dibandingkan dengan bangsa lainnya di dunia. Dalam bukunya Guns, Germs, and Steel: The Fates of Human Societies (1997), Diamond menemukan jawaban bahwa lingkungan dan letak geografislah faktor penentunya. Lingkungan dan letak geografis menentukan ketersediaan sarana dan prasarana kehidupan yang memungkinkan sebuah bangsa dalam membangun dan mengejar kemajuan. Ditemukan pula bahwa ras putih Eurasia mampu menaklukkan bangsa-bangsa lain di dunia menggunakan senjata, kuman, dan besi baja -- hal-hal yang tidak dimiliki oleh bangsa yang ditaklukkan.

Keberuntungan lain yang mesti dimiliki oleh sebuah bangsa adalah ”keberuntungan sejarah”, yaitu keberuntungan yang didapatkan karena bangsa bersangkutan pada suatu masa dikaruniai seorang tokoh penuh kharisma yang mampu membawa bangsa tersebut menuju kemajuan. Sebagai contoh, apa jadinya bangsa Jerman pada abad ke-19 bila tokoh Otto von Bismarck tidak naik ke tampuk kekuasaan yang mampu menyatukan Jerman yang terpecah-belah sejak zaman Kekaisaran Romawi Kuno. Jiwa kenegarawanan Bismarck mampu mewujudkan cita-cita unifikasi sehingga menjadikan bangsa Jerman menjadi negara terbesar dan terkuat di Eropa pada waktu itu. Hal yang sama juga terjadi dengan negarawan Camillo Benso Cavour yang mampu menyatukan Italia pada abad ke-19. Di bawah kepemimpinan Cavour, bangsa Italia membangun sehingga menjadi bangsa yang maju.

Di Indonesia, mungkin kita bisa bertanya hal yang sama, apa jadinya bangsa Indonesia seandainya Soekarno tidak pernah dilahirkan. Bung Karno memiliki kepribadian penuh kharisma, dianugerahi inteligensia di atas rata-rata, memiliki kemampuan persuasi yang luar biasa, dan yang paling penting adalah kepenuhan semangatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Bisa dipastikan hampir semua pemimpin besar di dunia memiliki jiwa altruisme yang besar. Jiwa dan raga mereka persembahkan untuk orang lain, negara, dan cita-cita yang mungkin dia sendiri tak akan rasakan manfaatnya. Akankah kita mendapatkan keberuntungan lagi untuk memiliki sosok sebesar Soekarno dan tokoh dunia lainnya untuk memajukan Indonesia?

Hari-hari ini, yang paling pantas menjawab pertanyaan ini adalah presiden yang baru saja dipilih oleh rakyat Indonesia melalui proses demokrasi, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Akankah SBY melihat Indonesia secara visioner dengan membayangkan Indonesia akan menjadi seperti apa 100-200 tahun mendatang? Ataukah hanya mementingkan soal remeh-temeh pribadi dan kelompok dalam lima tahun mendatang saja?

SBY akan dikenang dalam sejarah Indonesia dan dunia bila ia mampu memperkuat fondasi demokrasi yang telah diperjuangkan dalam 10 tahun terakhir ini, dan mengikrarkan masa transisi demokrasi telah usai, dengan memberikan ruang bagi demokrasi untuk tumbuh dan mengakar di Tanah Air. Salah satu hal yang bisa dilakukan SBY adalah memberikan ruang institusi demokrasi tumbuh, yaitu dengan memberdayakan berfungsinya parlemen yang bisa mengontrol pemerintahannya. Karena SBY dipilih langsung oleh rakyat, dan koalisi yang dibentuk di parlemen sudah lebih dari 50 persen, maka tidak ada keraguan sedikit pun bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan yang kuat.

Maka, niat untuk mengajak semua partai bergabung dengan koalisi dan membentuk pemerintahan tidak saja merupakan gagasan paling buruk yang pernah dikenal demokrasi, namun juga menjadi kenyataan teramat menyedihkan yang harus diterima rakyat Indonesia yang telah berlelah-lelah berpartisipasi dalam proses demokrasi dalam beberapa bulan terakhir ini. Hal lainnya, SBY sebaiknya membatalkan niat untuk mengajak partai-partai lawannya yang kalah dalam pilpres untuk masuk kabinet. Langkah ini mesti diambil untuk mendorong partai-partai tersebut menjadi oposisi.

SBY harus diberikan kesempatan untuk merenung secara mendalam, apakah sebetulnya yang ia kehendaki bagi bangsa Indonesia yang ia cintai dalam sisa usianya yang sudah semakin pendek. Bangsa Indonesia punya potensi untuk menjadi negara maju dan besar, namun apakah kita memiliki ”keberuntungan sejarah” dengan menjadikan momen demokrasi kali ini menjadi langkah panting untuk masa depan Indonesia. Dan dalam hari-hari ini, hanya SBY-lah satu-satunya tokoh yang memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan besar dalam proses memajukan Indonesia melalui demokrasi.

Wednesday, October 14, 2009

Sekolah dan Perilaku Antisosial


Media Indonesia, 19 Oktober 2009, hal. 8


Buni Yani

Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara dan Pengajar FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)


Perilaku anti sosial atau anti social behavior semakin hari semakin menjadi gejala umum yang tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah merambah ke kota-kota kecil bahkan ke pedesaan. Ini terjadi karena banyak sebab, namun media dipercayai memiliki peran penting, di samping minimnya peran keluarga, sekolah, dan lingkungan dalam memberikan pengetahuan yang baik kepada para pelaku. Sekolah diharapkan mengambil peran untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut, atau paling tidak meminimalisasi dampak buruk yang bisa ditimbulkan.


Perilaku anti sosial memiliki definisi longgar, bahkan cenderung masih dalam ranah perdebatan para ahli. Namun sebagian besar akan setuju dengan ciri-ciri perilaku anti sosial yang dikenal umum, seperti mabuk-mabukan di tempat umum, mengebut di jalan raya, dan perilaku yang dianggap menyimpang lainnya. Secara sederhana, perilaku anti sosial bisa digambarkan sebagai ”perilaku yang tidak diinginkan sebagai akibat dari gangguan kepribadian dan merupakan lawan dari perilaku pro sosial” (Lane 1987; Farrington 1995a; Millon et al. 1998 dalam Millie 2009).


Untuk menghindari kesimpang-siuran batasan dan makna istilah ini, sebuah undang-undang di Inggris memasukkan perilaku-perilaku berikut sebagai perilaku anti sosial, yakni: membuang sampah secara sembarangan, vandalisme, gangguan yang terkait dengan kendaraan, tingkah laku yang mengganggu, suara-suara ribut atau berisik, tingkah laku kasar dan suka gaduh, meninggalkan kendaraan secara sembarangan, minum dan meminta-minta di jalanan, penyalahgunaan dan penjualan narkoba, masalah-masalah yang terkait dengan binatang, panggilan telepon bohongan, serta pelacuran dan tindakan seksual lainnya (Millie 2009).


Literatur media di Amerika mendefinisikan perilaku anti sosial sebagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh media, seperti meniru adegan kekerasan, meniru kata-kata kasar, dan meniru perilaku konsumtif (Dominic et al. 2002). Lawannya adalah perilaku pro sosial, yakni pengaruh positif yang ditimbulkan media. Untuk yang terakhir ini, kajian media banyak menemukan bahwa setelah anak-anak usia sekolah menonton beberapa program televisi, mereka lalu menjadi tambah rajin belajar, prestasi di sekolah semakin meningkat, pintar menahan godaan, serta sikap-sikap terpuji lainnya.


Menilik undang-undang di Inggris tersebut, ada banyak perilaku di Indonesia yang bisa dianggap dalam kategori perilaku anti sosial, seperti penggunaaan knalpot racing (balapan) di jalan umum yang menimbulkan suara bising sehingga mengganggu banyak orang, membuang sampah secara sembarangan yang potensial menimbulkan penyakit dan banjir di musim hujan, meminta-minta di jalan (termasuk sumbangan dan kotak amal) yang menimbulkan kemacetan, dan lain-lainnya.


Untuk meningkatkan standar keadaban publik, perlu kiranya pemerintah bersama DPR untuk memikirkan sebuah peraturan dan undang-undang yang relevan untuk menjamin hak-hak dasar warga dalam mendapatkan ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah inti sari dari demokrasi adalah adanya jaminan dari negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara berdasarkan persamaan hukum. Pada titik tertentu, perilaku anti sosial merupakan lawan terhadap demokrasi yang terjatuh menjadi anarkisme sosial. Setiap orang merasa berhak melakukan apa saja tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Realitas ini merupakan anomali demokrasi yang serius, dan karena terjadinya di ruang publik, maka negara harus mengambil peran demi terjaminnya hak-hak warga secara keseluruhan.


Penggunaan knalpot racing di ruang publik sungguh tidak masuk akal. Karena tidak ada aturan dan batasan yang jelas, knalpot racing diproduksi dan dijual secara massal, dan dipergunakan secara sembarangan di jalan-jalan umum. Mestinya, untuk menggunakan standar keadaban publik yang biasa-biasa saja, karena namanya knalpot racing, maka pengendara yang menggunakannya hanya diperkenankan mengendarai kendaraannya di arena balapan. Tapi kenyataannya sebaliknya. Motor dengan knalpot racing dengan suara meraung-raung bisa masuk kompleks perumahan di tengah malam buta. Gangguan yang ditimbulkan pun tidak kecil. Tidur para penghuni menjadi terganggu, dan yang lebih buruk lagi, bayi-bayi terjaga dan menangis terkejut akibat suara bising yang ditimbulkan.


Perilaku anti sosial bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa ada batasan usia, namun karena ”penyimpangan” ini dikategorikan sebagai ”penyimpangan” ringan dari tatanan sosial yang umum diterima bersama, maka secara umum perilaku anti sosial identik dengan anak-anak muda usia sekolah. Oleh karena perilaku anti sosial identik dengan anak-anak usia sekolah, maka lembaga-lembaga pendidikan memiliki peran yang tidak kecil untuk memberikan sumbangan agar perilaku ini tidak membesar sehingga merong-rong bangunan sosial yang telah ada. Contoh paling kasat mata untuk ini adalah penggunaan knalpot racing dan menjamurnya peminta amal yang semakin hari semakin mengganggu kehidupan sosial kita. Kedua kasus ini terjadi di jalan raya yang mengganggu kepentingan umum. Oleh karena lemahnya penegakan hukum dan kontrol sosial, maka kedua kasus tersebut telah dianggap sebagai perilaku lazim yang normal oleh masyarakat umum. Tentu ini kabar tidak baik yang harus diperbaiki oleh lembaga-lembaga sosial dan negara.


Perilaku anti sosial, dengan demikian, tidak saja memiliki dampak sosial, namun juga politis. Dampak sosial bisa dilihat dari adanya keberterimaan terhadap perilaku ini sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat padahal perilaku ini merupakan perilaku tidak standar yang tidak patut ditiru. Sementara dampak politisnya bisa mewujud dalam bentuk anarkisme, sebuah ancaman serius bagi demokrasi. Bukan tidak mungkin perilaku anti sosial yang tadinya dianggap kecil dan ringan lambat laun menjadi perilaku kolektif yang kemudian merongrong fondasi demokrasi. Dilihat dari anasir politis ini, bukan dampak langsung penggunaan knalpot racing yang sungguh-sungguh mengancam prinsip-prinsip umum demokrasi, namun gagasan bahwa semua orang harus tunduk pada aturan bersama berdasarkan prinsip demokrasilah yang lebih serius dan filosofis.


Adakah yang bisa dilakukan lembaga pendidikan untuk meminimalisasi perilaku anti sosial ini? Pendidikan dan contoh sejak usia dini mengenai mana perilaku standar dan menyimpang di sekolah akan sangat membantu. Kegiatan-kegiatan sekolah yang bermanfaat serta contoh-contoh perilaku positif dan pro sosial lainnya, yang terintegrasi dengan kurikulum yang baik, paling tidak akan menjadi langkah awal yang baik untuk menjadikan manusia Indonesia yang penuh tanggung jawab di masa-masa mendatang. Siswa akan belajar dari sekeliling mereka mengenai banyak hal. Contoh nyata dan suasana belajar-mengajar yang mendukung akan menjadikan siswa relatif lebih mudah untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang didapatkan di kelas. Teori tentang mana perilaku yang standar dan mana yang menyimpang adalah salah satu komponen saja dari beberapa komponen dalam proses belajar-mengajar. Teori tanpa contoh, tindakan nyata, dan suasana belajar-mengajar yang kondusif hanya akan membuat siswa mencerna nilai-nilai yang diajarkan setengah matang. Contoh nyata jauh lebih kuat dibandingkan kata-kata.


Sekolah diharapkan menjadi tempat mempelajari, menjiwai dan mempraktikkan segala hal baik yang menguntungkan dan menghindari tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Mempercayai ini, artinya kita memberikan mandat penuh kepada sekolah, guru, kurikulum, dan sistem pendidikan yang dijalankan. Konsekwensinya, pemerintah dan masyarakat sudah seyogyanya bertekad memperbaiki pendidikan di Tanah Air yang selama ini dilihat secara sebelah mata. Khusus untuk pemerintah, ia harus konsisten menjalankan amanat undang-undang untuk memenuhi target 20 persen anggaran pendidikan, di samping menciptakan kondisi yang kondusif untuk memajukan pendidikan di Tanah Air.


Bila segala ikhtiar ini telah dipenuhi, perilaku anti sosial, yang mungkin banyak disebabkan oleh kurang optimalnya fungsi pendidikan, bisa diminimalisasi. Dengan demikian, sekolah kembali ke fungsinya semula untuk mencetak manusia yang lengkap, yang memahami nilai-nilai secara baik, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, perilaku anti sosial dan hubungannya dengan pendidikan, masyarakat umum dan pemerintah, bukan hanya merupakan panggilan moral untuk diatasi segera, namun juga merupakan panggilan politik. Absennya keinginan politik untuk mengubah kondisi ini hanya akan memperburuk kondisi yang sudah ada. Semoga bangsa ini memberikan prioritas yang tinggi pada pendidikan, karena hanya pendidikanlah yang mampu menjadikan manusia Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.