Monday, November 16, 2009

Delegitimasi Politik SBY

Waspada Online, 2 Desember 2009

Buni Yani

Tekanan politik terhadap SBY semakin tinggi menyusul bergulirnya hak angket Century di DPR dan dihentikannya kasus Bibit-Chandra ke pengadilan. Opini publik sebelumnya yakin bahwa Kejaksaaan Agung dan Kepolisian akan terus memproses dugaan penyalahgunaan wewenang Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah sebagai Ketua KPK meskipun rekomendasi Tim Delapan meminta kasus tersebut dihentikan karena kurangnya bukti.

Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, publik melihat SBY kemungkinan besar akan diam saja, membiarkan Tim Delapan dan Kejaksaan-Polri bersitegang, meskipun tekanan masyarakat intensitasnya semakin tinggi agar kasus Bibit-Chandra segera diselesaikan. Opini publik ini turut memberikan tekanan terhadap SBY. Bila demikian yang terjadi, Tim Delapan tak lebih hanya akal-akalan SBY untuk mengakomodasi tekanan kelas menengah agar kasus Bibit-Chandra diproses secara adil, netral dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Tim Delapan yang diisi oleh tokoh-tokoh dari latar belakang berbeda seperti penegak hukum dan akademisi telah mampu mendongkrak citra SBY. Setidaknya di mata kelas menengah yang haus akan keadilan dan tata kelola pemerintahan yang bersih, pembentukan Tim Delapan telah memberikan harapan agar kasus Bibit-Chandra ditangani secara benar. Memang betul, Tim Delapan hanya akan melahirkan rekomendasi yang tidak mengikat Presiden. Rekomendasi hanyalah sebatas himbauan yang tak memiliki implikasi politis maupun hukum bagi Presiden.

Publik lega ketika dugaan dan prasangka ini keliru dengan dilaksanakannya rekomendasi Tim Delapan oleh Presiden.

Mendapatkan opini publik yang begitu buruk di awal masa pemerintahannya yang kedua, SBY mau tak mau harus bertindak ekstra hati-hati, namun bukan berarti tidak tegas. Pidatonya dalam menyikapi rekomendasi Tim Delapan mendapatkan kritik luas karena SBY dianggap tidak tegas, penuh keraguan, serta bukan sikap seorang pemimpin.

Atas dasar fakta ini, publik menerka-nerka apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Publik sudah mulai tahu dan merasakan adanya ketidakberesan di balik hingar-bingar kasus Bibit-Chandra, dan mengapa SBY sebelumnya berdiam diri saja seolah dia tidak ada sangkut-pautnya dengan apa yang sedang terjadi. Kental kecurigaan publik bahwa pembentukan Tim Delapan adalah untuk melahirkan rekomendasi yang tak diindahkan karena Kejaksaan-Polri akan terus memproses kasus Bibit-Chandra. Karenanya, ada kecurigaan, SBY mendesain sejak awal Tim Delapan untuk pencitraan semata, bukan untuk mencari kebenaran dan menampung rasa haus rakyat akan keadilan. Tak berlebihan muncul kecurigaan, Tim Delapan dia bentuk untuk diadu dengan Kejaksaan-Polri. Sekali lagi, publik bersyukur praduga ini salah.

SBY banyak belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri bahwa amat sukar kini untuk melokalisasi persoalan agar tidak merembet ke mana-mana. Di zaman teknologi informasi dan komunikasi yang demikian maju seperti sekarang ini, strategi apa pun tak akan berhasil untuk menutupi kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Politik menjadi transparan, rumor dan desas-desus begitu cepat beredar ke semua lapisan masyarakat. Bahkan, Soeharto jatuh tahun 1998 di antaranya oleh karena rumor yang tak bisa dikendalikan yang kemudian menimbulkan delegitimasi politik (Dedy N Hidayat 2002).

Akankah SBY mendapatkan deligitimasi politik oleh karena kencangnya rumor, desas-desus, dan meluasnya opini publik bahwa dia terlibat skandal Bank Century? Hari-hari ini aroma korupsi tercium keras dalam skandal Bank Century, dan SBY-Partai Demokrat diduga mendapatkan kucuran dana berlimpah untuk membiayai kampanye Pemilu 2009 yang baru lalu.

Desas-desus beredar bahwa Bank Century yang sudah mau kolaps mendapatkan talangan 6,7 triliun karena keluarga Sampoerna punya dana deposito yang besar di bank ini. Sampoerna adalah salah satu penyumbang terbesar kampanye SBY pada pemilu 2004 dan 2009, dan Sampoerna juga adalah penyumbang paling besar ketika harian Partai Demokrat, Jurnal Nasional, didirikan. Berbicara di gedung DPR pada awal bulan November, Direktur Negarawan Center Johan Silalahi sangat yakin akan adanya aliran dana dari Bank Century ke Partai Demokrat (Fajar Online, 6/11/2009).

SBY pasti tahu hukum komunikasi massa dan hubungan masyarakat, bahwa diam tandanya mengiyakan. Diamnya SBY sebelumnya tidak saja menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang pemimpin yang tegas, namun juga yang lebih tragis, diamnya itu ditafsirkan sebagai keterlibatannya dalam kasus tersebut.

Tekanan massa lewat internet yang lalu berbentuk demonstrasi turun ke jalan tak bisa dianggap sepi. Kekuatan digital ini berpotensi melahirkan gelombang kekuatan rakyat (people power) yang mesti mendapatkan perhatian ekstra. Bahkan di Facebook juga sudah muncul gerakan untuk menurunkan SBY dan mendukung pemakzulan (impeachment). Anggota grup-grup ini memang masih seribuan, namun apakah SBY harus menunggu jumlah kerumunan itu menjadi satu juta dan berkelompok di sekitar Istana Negara untuk tergerak menyelesaikan kasus Bank Century?

Legitimasi politik SBY kini turun drastis. Bila ini terus berlanjut, pemerintahannya terancam tidak efektif karena tak akan mendapatkan dukungan rakyat. Untuk menangani krisis ini, SBY tak cukup hanya menggunakan senjata ampuhnya sejak 2004 -- yaitu menggunakan pencitraan semata -- dalam meraih dukungan publik. Namun lebih dari itu, SBY harus bertindak menyelesaikan persoalan yang ada di depan mata secara substansial. Tanpa itu, kisruh ini tak akan berujung-pangkal yang ujung-ujungnya merugikan rakyat banyak.

Hanya satu obat mujarab untuk melawan delegitimasi politik SBY, yakni membuka secara transparan siapa-siapa saja yang menerima kucuran dana korupsi dari Bank Century dan menyeret nama-nama itu ke pengadilan. Untuk tahap awal, Menkeu Sri Mulyani dan Wapres Budiono harus dinonaktifkan dari tugas agar kepolisian leluasa memeriksa mereka berdua. Kuat dugaan peran mereka sangat sentral dalam menyetujui penalangan (bail-out) Bank Century.

Kerusakan sudah terlanjur fatal, opini publik dari hari ke hari semakin memburuk, dan kini delegitimasi politik SBY mulai merebak. SBY harus merenung dan bertanya kepada hati-nuraninya, apakah yang akan dilakukannya untuk menyelamatkan negerinya dari kerusakan yang semakin parah.

###