Tuesday, June 24, 2014

Menyelamatkan TNI

Koran Tempo, 24 Juni 2014

Buni Yani, Peneliti Universitas Leiden Belanda

Tak ada yang lebih mengkhawatirkan selama pemilihan umum presiden kali ini selain terbelahnya angkatan bersenjata yang ditengarai konfliknya sudah berlangsung selama puluhan tahun. Kini muncul kembali pernyataan saling memojokkan dari para purnawirawan yang seharusnya menjadi panutan bagi para junior mereka.

Kubu TNI "merah-putih" yang mengklaim diri "nasionalis" menghujat kubu TNI "hijau" yang merasa lebih "islami" secara terang-terangan, dan begitu pula sebaliknya. Hujat-menghujat ini telah menimbulkan persepsi negatif bagi TNI sebagai institusi.

Bagi masyarakat luas, TNI seharusnya berdiri di atas semua golongan dan tidak berpihak, tapi yang tertangkap justru sebaliknya. Parahnya, TNI terkesan terbelah dan saling cakar di dalam. Konflik terbuka ini adalah hubungan kemasyarakatan yang sangat buruk bagi TNI yang berpotensi membawa pengaruh buruk bagi TNI secara internal dan institusi negara secara umum.

TNI adalah alat negara yang diberi keistimewaan membawa senjata untuk membela negara. Masyarakat mulai resah, apa jadinya bila perang kata-kata antar-para purnawirawan ini merembet ke para prajurit aktif lalu berakhir menjadi perpecahan tidak terkendali yang melibatkan senjata?

Militer di negara-negara berkembang selalu rentan terlibat atau ditarik-tarik ke ranah politik yang seharusnya dikuasai oleh politikus sipil. Negara demokrasi adalah negara dengan supremasi politikus sipil, karena perdebatan di ruang publik adalah perang kata-kata, bukan perang menggunakan senjata.

Kemenangan dalam negara demokrasi adalah kemenangan argumentasi berdasarkan akal sehat, bukan kemenangan berdasarkan kekuatan untuk memusnahkan lawan. Prinsip-prinsip ini menyebabkan militer aktif harus tahu diri dan pintar mengendalikan diri agar tidak terlibat politik praktis.

Bangsa Indonesia beruntung punya TNI yang dalam sejarahnya tidak pernah melakukan kudeta. Sikap menahan diri militer Indonesia yang tidak pernah terlibat kudeta sungguh merupakan prestasi luar biasa di antara negara-negara berkembang yang militernya tak tahan godaan politik. Seharusnya, prestasi ini juga menjadi patokan dalam memelihara institusi TNI, agar selalu menjadi kebanggaan anak bangsa.

Namun kecenderungan senior mereka yang sudah purnawirawan selama pilpres ini sungguh tidak elok, karena telah terjebak menjadi begitu partisan dengan membela capres yang kira-kira bisa memberikan keuntungan jangka pendek. Bukankah TNI dididik untuk selalu mengedepankan kepentingan nusa dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan?

Demi menghujat pihak lawan, para purnawirawan ini rela membuka borok TNI secara telanjang ke muka umum, yang berpotensi merusak citra TNI sebagai kebanggaan bangsa. Para purnawirawan ini seharusnya berpikir berulang kali sebelum mengeluarkan pernyataan yang kira-kira bisa berakibat fatal bagi institusi TNI, yang citranya harus dipelihara.

Konflik terbuka antar-purnawirawan ini harus segera diselesaikan sebelum menjadi bencana yang lebih serius di kemudian hari. Sebagai presiden, SBY sudah seharusnya turun tangan dan ikut meredakan ketegangan ini demi kepentingan bangsa yang lebih luas. Suara SBY pasti akan didengarkan, baik oleh para purnawirawan maupun prajurit aktif, apalagi karena posisi SBY yang juga seorang jenderal purnawirawan.###


 

Friday, June 20, 2014

Pentingnya Revolusi Mental

Koran Tempo, 20 Juni 2014

Buni Yani
Peneliti Universitas Leiden Belanda

Gagasan calon presiden Jokowi mengenai "revolusi mental" mendesak dilaksanakan dilihat dari sudut pandang antropologi. Jika melihat transformasi demokrasi di Indonesia selama 16 tahun dan di Filipina selama 28 tahun terakhir, perubahan sistem politik belum berbuah menjadi kesejahteraan karena tidak dibarengi perubahan sikap mental dan perilaku nyata sehari-hari.

Di kedua bangsa, perubahan sistem dan institusi telah terjadi, tapi perilaku dan sikap mental kolektif warga negara masih tetap sama. Yang berubah adalah orang, sistem, dan institusi, tapi sikap mental dan perilaku korup, tidak disiplin, serta etos kerja yang rendah masih tetap sama yang masih bisa ditemukan di hampir semua lini birokrasi.

Sebagai perbandingan, Korea Selatan yang kondisinya sama dengan Indonesia pada 1960-an, kini menjadi negara industri maju karena sikap mental serta etos kerja dan disiplin yang tinggi.

Di banyak kantor pemerintah di Indonesia dan Filipina, masih bisa kita saksikan para pegawai yang tidak disiplin. Proyek dilakukan melalui tender yang dimainkan yang menyebabkan banyaknya korupsi. Proyek diberikan bukan kepada bidder, yang bisa memberi harga paling rendah, melainkan kepada yang bisa memberikan sogokan paling tinggi.

Etos kerja rendah menghasilkan kinerja buruk dan berakibat pelayanan publik yang terbengkalai. Kalaupun ada perbaikan di sana-sini atas inisiatif tokoh tertentu yang menumbuhkan harapan, gerakan ini rentan dikalahkan oleh sikap mental lama yang belum beranjak dari kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging.

Birokratisasi yang dasarnya adalah rasionalisasi untuk mempermudah urusan publik seperti diidealkan Weber justru yang terjadi sebaliknya. Sikap mental "kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah" masih ditemukan di mana-mana, karena sistem birokrasi yang diperumit ini adalah sumber korupsi yang menggiurkan.

Setiap usaha perbaikan ke arah birokrasi modern yang bersih dan berdisiplin tinggi akan dilawan oleh kekuatan lama yang lahannya hilang. Bagi aparat lama yang sudah membusuk ini, justru sistem yang kotor dan korup inilah yang menguntungkan mereka.

Dalam kondisi birokrasi yang suram inilah lalu gagasan tentang revolusi mental menjadi ide yang cemerlang yang dinanti-nantikan rakyat yang mendambakan perubahan nyata. Revolusi mental menyiratkan kesediaan mengoreksi kebiasaan lama yang buruk dan keinginan berbenah menuju tata nilai baru demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Revolusi mental haruslah mencakup koreksi terhadap seluruh kesalahan mental masa lalu yang merugikan bangsa secara kolektif. Di tengah arus globalisasi, gerakan ini harus memberi perhatian pada cinta budaya, produk, dan hasil karya bangsa sendiri serta berhenti mendewa-dewakan segala sesuatu yang berbau asing. Sebab, sebuah bangsa hanya bisa menjadi maju kalau mencintai budaya sendiri (ethnocentric), bukan mencintai budaya asing (xenocentric).

Siapa pun yang terpilih kelak, Prabowo atau Jokowi, dia haruslah memberi perhatian lebih pada perbaikan mental bangsa ini melalui revolusi yang harus disebarkan virusnya ke seluruh anak bangsa. Tanpa hal itu, reformasi hanya akan menjadi perpindahan dari satu sistem ke sistem lain yang tak bermakna apa pun bagi perubahan bangsa. Pengalaman di Indonesia dan Filipina dalam 28 tahun terakhir ini telah menunjukkan hal itu.###



Sunday, June 8, 2014

Modernitas Kolonial dan Islam

Koran Tempo, Rubrik Ide, 8 Juni 2014

Buni Yani
Peneliti Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology Universitas Leiden Belanda

Di negeri-negeri bekas jajahan, modernitas atau kemajuan identik dengan bekas penjajah. Bahasa, gaya hidup, teknologi, sistem ekonomi dan pemerintahan, banyak bersumber dari bekas penjajah.

Di Indonesia, sampai tahun 70an, atau bahkan 80an, sisa-sisa peninggalan Belanda masih kentara terlihat di banyak bidang termasuk industri budaya pop. Dialog-dialog bintang film masih banyak disisipi kosa kata Bahasa Belanda yang dijadikan simbol prestise dan status sosial.

Teknokrat Orde Baru dipenuhi oleh mereka yang punya kaitan dengan Belanda baik secara langsung atau tidak. Beberapa di antaranya tamat dari universitas Belanda, sisanya masih terkait dengan kedekatan dan marwah modernitas penjajah. Menteri dan pejabat tinggi negara masih banyak beragama Nasrani yang identik dengan agama kolonial yang dibawa oleh para zending.

Islam dianggap agama yang membawa masalah oleh pemerintah kolonial yang membuat pemeluknya berusaha menyembunyikan identitas mereka. Para pemberontak sebagian besar beragama Islam, mulai dari Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol sampai tuan guru-tuan guru di Lombok.

Mereka yang ingin mempertahankan keislaman mereka tampil seabangan mungkin agar tidak dianggap sebagai ancaman. Banyak ambtenaar (pegawai) Belanda yang punya nama bahasa Arab tapi tak pernah terlihat shalat sekali pun.

Islam identik dengan orang sarungan dari kampung, terbelakang, dan tidak termasuk dalam kategori warga negara yang harus diperhitungkan dalam derap modernitas. Kondisi ini terus bertahan sampai zaman Orde Baru.

Kondisi ini pelan-pelan berubah sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kini sangat sulit mendengar dialog berbahasa Belanda dalam film. Sebagai gantinya, dialog berbahasa Inggris dijadikan standar status sosial. Ungkapan “erg mooi” (sangat bagus) yang jadi ungkapan sebuah iklan mobil tahun 80-an kini terasa ketinggalan zaman dan jadul.

Cendekiawan dan pejabat pemerintah yang dulu diisi oleh etnis dan agama tertentu yang identik atau dekat dengan administratur kolonial kini digantikan oleh generasi baru Indonesia. Kini banyak kelas menengah Muslim memegang peran penting dalam pemerintahan.

Cendekiawan Muslim bertebaran di mana-mana. Sekolah-sekolah agama Islam termasuk pesantren dan IAIN yang dulu terpinggirkan dan tidak diperhitungkan kini berada di tengah panggung perjalanan bangsa.

Pengamat dan intelektual publik yang sering tampil di TV banyak berasal dari lembaga-lembaga pendidikan Islam ini. Novel dan film dengan tema Islam jadi mode, laris karena audiens yang besar, dan bahkan kini jadi standar keberhasilan pemasaran industri budaya pop.

Islam tidak lagi dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Jilbab jadi semacam kewajiban bagi para muslimah yang ingin tampil Islami dan sederhana.

Cendekiawan Nurcholish Madjid benar ketika suatu saat mengatakan bahwa dalam waktu 30-an tahun umat Islam akan panen kelas menengah terdidik yang akan mewarnai ruang publik Indonesia yang sedang kita lihat hari-hari ini. Namun kalau dilihat secara mendalam, kondisi ini bukanlah persoalan munculnya umat Islam dalam perjalanan bangsa yang memang menjadi mayoritas, yang memang seharusnya terjadi.

Sebaliknya, saya melihatnya sebagai transformasi bangsa yang mampu melepaskan diri dari apa yang oleh sebagian ilmuwan sosial disebut sebagai modernitas kolonial (colonial modernity), yaitu kemajuan yang sangat bergantung pada hadirnya bangsa penjajah yang membawa ilmu pengetahuan dan teknologi. Modernitas kolonial tidaklah buruk, tetapi terus berada di bawah bayang-bayangnya menunjukkan bangsa tersebut belum mampu menemukan jalan untuk menjadi bangsa mandiri.

Di Indonesia, juga Malaysia, setelah modernitas kolonial memudar, Islam tampil sebagai gantinya, yang dijadikan patokan modernitas yang baru.

Taka ada yang salah dengan kondisi ini bila tampil sebagai Islam yang esensial yang ajarannya penuh kedamaian dan toleransi lalu menjadi “rahmat sekalian alam.” Sebaliknya, ini kabar buruk bila yang tertangkap kulit Islamnya saja yang tidak toleran lalu menebar ancaman bagi warga negara yang lain.

Sudah menjadi tanggung jawab kelas menengah Muslim yang jumlahnya terus meningkat ini untuk menjadikan tampilnya Islam sebagai modernitas dengan kabar baik.###


Sunday, March 16, 2014

Aku Menuduhmu

Koran Tempo, 15 Maret 2014

Buni Yani

Paris, akhir abad ke-19. Penulis kenamaan Émile Zola menulis surat terbuka yang diterbitkan oleh koran L'Aurore berjudul J'accuse (Aku Menuduhmu), yang isinya menuduh pemerintah Prancis telah memenjarakan Alfred Dreyfus, seorang serdadu berpangkat letnan kolonel keturunan Yahudi, bukan didasari kebenaran dan keadilan, tapi karena etnisnya.

Dreyfus dipenjara karena tuduhan menjadi mata-mata dan membocorkan rahasia negara ke Jerman yang menjadi musuh Prancis pada waktu itu. Bagi Zola, tuduhan ini tidak didukung cukup bukti. Dua tahun kemudian, terbukti bukan Dreyfus pelakunya, melainkan orang lain.

Manila, 1967. Koran berpengaruh The Manila Times membuat teras berita menggemparkan mengenai penangkapan terduga pemerkosa artis mestiza cantik berdarah Spanyol, Maggie de la Riva. Teras berita disertai foto yang dramatis: sang artis menunjuk dengan tangan kiri mata pemerkosanya dengan caption yang tak kalah panas, "J'accuse."

Di pengadilan, keempat pelaku pemerkosaan terbukti melakukan tindak kejahatan. Tiga pelakunya dihukum mati di atas kursi listrik, satu lagi tewas akibat overdosis narkoba di dalam penjara.

Émile Zola di Paris menggema lebih setengah abad kemudian, di tanah yang jauh di Asia Tenggara, di tanah yang sebagian besar penduduknya berbahasa Tagalog, untuk menunjukkan betapa telanjangnya fakta yang bisa dijadikan alat bukti untuk menuduh para pelaku kejahatan. Émile Zola adalah hati nurani yang tak pernah padam di tengah merebaknya anti-semitisme di Prancis pada waktu itu.

Jakarta, hari-hari ini pada 2014. Politikus ramai-ramai ingin "merevisi" Undang-Undang KPK dengan maksud melumpuhkannya agar tak bisa menangkap para pelaku kejahatan korupsi. Bukan, mereka tidak sedang merevisi, karena merevisi artinya memperbaiki menjadi lebih baik. Mereka justru sedang "merusak" undang-undang tersebut yang selama ini cukup efektif menangkap pelaku korupsi dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan pemerintah.

Mewakili pemerintah, penegasan seorang dirjen dari Departemen Hukum dan HAM yang juga seorang guru besar hukum tak mampu meredam kecurigaan banyak kalangan. Meskipun sang dirjen meminta KPK "tak usah galau" dengan menjelaskan duduk persoalan revisi UU KPK ini, kepanikan dan rasa curiga telanjur menyebar.

Masyarakat yang sudah muak dan jijik terhadap perilaku korupsi para pejabat dan politikus kontan berseru, seperti menirukan Émile Zola, "Aku menuduhmu." Masyarakat menuduh bukan tanpa bukti, karena selama ini pihak yang amat dirugikan dengan adanya KPK adalah dua lembaga tinggi tersebut. Masyarakat mencium ada semacam "solidaritas sesama penjahat" untuk melumpuhkan KPK.

Bukti tuduhan sudah banyak, mengapa telunjuk harus diarahkan ke DPR dan pemerintah. Masyarakat menuduh DPR dan pemerintah anti-pemberantasan korupsi karena selama ini dua lembaga negara ini telah menikmati keistimewaan yang besar. Upaya untuk menghentikan keistimewaan tersebut akan dilawan dengan segala cara.

Dalam acara klub pengacara di sebuah stasiun TV swasta, dua anggota DPR muda-belia yang menjadi politikus sejak zaman reformasi tanpa rasa takut dan malu-malu menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap KPK yang dianggap sewenang-wenang. Mereka melecehkan seorang aktivis pemantau korupsi dan juru bicara KPK. Dari nada bicara dan ekspresi muka, mereka dengan tegas mengirim pesan kepada masyarakat bahwa mereka tidak suka rekan sejawat koruptor mereka ditangkap.

Berdasarkan hasil pantauan si aktivis, pada setiap kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintah, terselip ada nama anggota DPR di sana. Artinya, ada semacam persekongkolan jahat yang tidak tertulis antara dua lembaga tinggi negara ini, baik secara institusional maupun individual. Ini bisa jadi penjelas mengapa mereka akan melawan dengan segala cara langkah pemberantasan korupsi.

Namun, sikap resmi DPR yang kritis, yang bisa ditafsirkan sebagai anti-pemberantasan korupsi, bisa dilihat pada newsletter DPR Info Singkat Vol. V, No. 03/I/P3DI/Februari/2013 berjudul Penangkapan dan Penetapan Tersangka Kasus Dugaan Suap Impor Daging Sapi. Penangkapan terduga kasus impor daging sapi ini, yang di kemudian hari pelakunya terbukti bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara, menurut DPR, diwarnai "kejanggalan."

Langkah seperti ini jelas merupakan upaya delegitimasi KPK agar masyarakat tak lagi percaya kepadanya. Karena itu, KPK harus direstrukturisasi, dan salah satu caranya adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.

Bila Undang-Undang KPK telah "dirusak", kelak, dengan berlindung di balik kata "revisi," seperti dilansir situs web KPK, "pencekalan, penyadapan, dan pemblokiran rekening bank" tidak bisa dilakukan, yang artinya, "KPK tidak dapat menelusuri [dugaan korupsi] dengan meminta keterangan serta mengumpulkan dua alat bukti."

Implikasinya jelas, KPK akan menjadi macan ompong. Melihat ketidakadilan ini, suara Émile Zola lebih satu abad lalu kini terdengar di mana-mana. Hari-hari ini, jangan salahkan masyarakat jika mereka menudingkan telunjuk kepada DPR dan pemerintah seraya berujar penuh amarah, "Aku menuduhmu."###

Wednesday, March 5, 2014

Kebenaran dan Epistemologi Pers

Republika, Selasa, 07 Desember 1999, hal. 6

Buni Yani
Direktur Eksekutif Nurani Dunia

Wartawan itu ibarat Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno. Menyampaikan warta dari orang pertama ke orang ketiga tanpa boleh melebih-lebihkan atau mengurangi isinya, sebab ia terikat diktum moral ''pesan adalah amanah''. Titik.

Sebagai kepercayaan Dewa Jupiter, atau orang kedua yang mengetahui isi pesan, Hermes dalam mengemban tugasnya bukannya tanpa masalah. Hermes harus paham benar dan menguasai materi pesan yang ingin disampaikan oleh Jupiter. Tanpa penguasaan yang bagus akan product knowledge ini, informasi yang diterima oleh orang ketiga bisa distortif dan menimbulkan salah paham. Bahkan, bukan tidak mungkin kekeliruan informasi yang disebarkan membawa akibat fatal.

Ditunjuknya Hermes sebagai pewarta dari sudut pandang Dewa Jupiter bisa dikategorikan sebagai sikap taken for granted oleh karena kredibilitas Hermes dalam segi-segi kejujuran, tanggung jawab serta kecerdasan memahami isi pesan. Tafsir ulang atas pesan yang diterima tak bisa terhindarkan dalam kerja seperti ini. Oleh karena sebagai subjek yang memiliki kesadaran sendiri, Hermes mau tak mau harus mampu mereproduksi teks yang ia terima dari Jupiter. Dan untuk reproduksi teks ini, yang terkadang terjatuh menjadi subjektivisme, diperlukan kemampuan tersendiri.

Peran Dewa Hermes dalam pewartaan pesan ini menjadi begitu sentral, yang di kemudian hari melahirkan satu disiplin, yakni hermeneutika, sebuah ilmu yang secara rinci mendiskusikan pernik-pernik tentang penafsiran akan makna dan kebenaran. Integritas Hermes serta kemampuan dan perannya dalam penyampaikan pesan mungkin bisa dijadikan suatu model ideal dalam menggagas pers dilihat dari sudut epistemologis.

Kalangan pers telah banyak mengidealisasikan bahwa pers sebagai media komunikasi dan penyampai warta harus memberi gambaran how the world works, bukan how the world should work. Secara epistemologis, kerancuan penempatan dua paradigma ini akan membawa pengaruh yang signifikan pada akibat lanjutan yang dihasilkan. Karena, paradigma how the world works atau das sein memposisikan diri tak lebih seperti juru potret yang jujur dan lugu. Fakta sebagai bahan primer untuk acuan merumuskan kebenaran dilihat seperti apa adanya, tak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurangi. Sementara paradigma how the world should work atau das sollen memposisikan fakta sebagai bahan sekunder dalam merumuskan kebenaran. Faktor primernya adalah kontruksi-konstruksi yang diciptakan sesuai dengan garis ideologi yang dianut.

Dengan demikian, paradigma pertama menghasilkan kebenaran faktual, sementara paradigma kedua menghasilkan kebenaran ideologis. Pers mampu mereproduksi dua jenis kebenaran ini dalam skala tak berhingga bila ditilik dari efek yang ditimbulkannya. Dua versi kebenaran itu menyebar ke setiap ruang ketidaksadaran publik.
Sampai tataran ini, pers telah menjadi the truth setter yang diam-diam setiap saat mencuci otak. Bila pers condong pada paradigma pertama, maka ia berpihak kepada ''pers untuk kebenaran an sich.'' sementara bila pers condong pada paradigma kedua, ia telah bekerja untuk kepentingan tertentu di luar peran dirinya.

Tapi, apakah mungkin sebuah media tak memiliki kepentingan sama sekali di luar perannya sebagai penyampai warta? Dengan logika sederhana, pertanyaan ini bisa dijawab tidak. Fakta bahwa pers dalam industri modern harus berpihak kepada pasar untuk paling tidak menghidupi diri di tengah kompetisi kapitalisme yang ketat adalah ''pengkhianatan'' dari peran pers. Menjadi jelas, tak bisa dibuat kategorisasi berdasarkan dua paradigma ini secara hitam putih untuk mendefinisikan warna pers dewasa ini.

Etika cover both sides dalam kerja kewartawanan, yang juga merupakan suatu idealisasi profesi ini, adalah salah satu instrumen lembaga pers untuk mengklaim diri sebagai lembaga yang objektif, bekerja berdasarkan standar-standar baku keilmuan. Dengan etos ini lalu diharapkan ada keseimbangan pro-kontra arus informasi. Ketimpangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam teknik peliputan menunjukkan keberpihakan oleh media, yang bisa dipersepsikan dilakukan secara sengaja atau tidak. Ini akan membawa pengaruh pada keluaran akhir dari proses kerja jurnalistik.

Tapi dewasa ini konsep ideal sang pewarta yang dicontohkan oleh Dewa Hermes, termasuk etos kerja kewartawanan yang telah menjadi legenda itu, sedang mendapatkan tantangan serius di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik para pemilik modal di belakang industri pers. Khusus di Indonesia perangkat-perangkat lunak kerja pers seperti penguasaan ilmu jurnalistik, yang di dalamnya juga termasuk moral kerja profesional seorang jurnalis, nyaris terpinggirkan.

Maka mudah menebak konsekuensi logis dari gambaran pers kita yang demikian itu.
Pers kita menjadi partisan, oleh karena masing-masing telah memiliki agenda setting sendiri-sendiri. Tak bisa mengharapkan gambaran dunia secara lengkap lewat media yang mengutamakan agenda kepentingan tertentu yang terlalu berpihak. Kebenaran dalam konstruksi filosofis jenis ini menjadi ideologis dengan keberpihakan yang terlalu berlebihan. Dalam pers jenis ini dunia digambarkan secara sepotong-sepotong, bergantung pada kepentingan the truth setter tersebut.

Epistemologi dijungkirbalikkan untuk sekadar memperoleh keuntungan ekonomi maupun politik sesaat. Teknik perumusan kebenaran yang digunakan adalah logika terbalik dengan menentukan hasil akhir atau kesimpulan terlebih dahulu, lalu mencari argumen-argumen yang mendukungnya.

Dengan pola jurnalistik seperti ini, yang paling nyata dan pertama dirugikan adalah masyarakat luas. Masyarakat tidak saja harus merogoh kocek lebih untuk berlangganan berbagai macam media untuk sekadar mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran yang tercecer yang dikonstruksi oleh lembaga pers yang berbeda. Namun juga, ini yang lebih akademis, diperlukan waktu lebih lama untuk mengkritisi dan memahami pesan di balik berita atau kebenaran sepotong-sepotong di tengah kesibukan masyarakat modern yang menuntut efisiensi dan efektivitas.

Maka, gambaran pers kita sekarang ini kiranya sesuai dengan pernyataan filsuf hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Kita mempersepsi dunia berdasarkan prasangka-prasangka.
Pernyataan ini memiliki tafsir negatif dikaitkan dengan kondisi di sini.***


Wednesday, February 26, 2014

Politik Minus Kebajikan

Opini Koran Tempo, Rabu, 26 Februari 2014 

Buni Yani
Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda


Politikus-politikus busuk sedang merancang siasat untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak lagi efektif memberantas korupsi. Yang paling sistematis dan tentu saja konstitusional adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.

Apakah mereka orang-orang tua dan berasal dari partai Orde Baru? Bukan. Mereka termasuk anak-anak muda yang menikmati kebebasan politik akibat runtuhnya Soeharto yang dulu dilawan karena korupsi.

Logika politik ini absurd dan gila, tak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin menentang sesuatu yang dulu diperjuangkan, lalu bergabung dengan penjahat dan menistakan diri ke dalam kubangan politik yang kotor?

Anak-anak SD Banten menyeberang jembatan bambu yang bergoyang di atas sungai yang airnya deras bertaruh nyawa, sementara gubernurnya mengoleksi barang-barang mewah berharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang dibeli di luar negeri dengan uang korupsi.

Harapan menyehatkan anak bangsa dengan mengkonsumsi protein jadi kandas karena harga daging sapi setinggi langit, bahkan lebih tinggi daripada negara-negara Barat karena suap dan korupsi penyelenggara negara yang diotaki oleh parpol. Kisruh pilkada bisa meledak di mana-mana karena sengketa yang diputuskan MK didasarkan pada siapa yang berani membayar lebih tinggi. Daftar keculasan dan penderitaan yang diakibatkannya ini bisa diperpanjang, dan semuanya disebabkan oleh korupsi.

Pertanyaannya, apakah politikus-politikus yang tidak terhormat ini ingin bangsanya terbelakang, bodoh, miskin, dan diremehkan bangsa lain karena tak punya harga diri?

Kini sebagian besar ruang publik politik dan ekonomi dikangkangi mereka yang sedang menikmati keistimewaan melalui korupsi. Sesedikit apa pun langkah masyarakat madani untuk mengubah kondisi ini merupakan ancaman yang akan ditanggapi secara reaksioner oleh mereka.

Bagi para politikus busuk ini, politik bukanlah kebajikan yang akan menuntun mereka kelak menuju surga di akhirat. Politik bukanlah ibadah yang ketika setiap kali datang rapat, menemui konstituen, dan membuat undang-undang sama nilainya dengan pengabdian kepada Tuhan.

Mereka sudah tercemar sejak dalam niat dan pikiran menjadi politisi yang mengurusi hajat hidup orang banyak. Sebab, kebajikan yang semestinya menjadi penuntun mereka dalam bertindak dan merumuskan kebijakan publik bukan lagi menjadi pelita yang sakral.

Mereka adalah para mafia yang menjadikan undang-undang dan peraturan sebagai pistol yang disembunyikan di balik jas mewah mereka. Pistol bisa ditembakkan kapan saja, bisa melukai siapa saja, bila mereka tersudut dan akan tertangkap.

Namun mereka lebih berbahaya dibanding para mafia. Sementara mafia cuma bisa membunuh sedikit orang dengan desing peluru yang membabi-buta, para politikus busuk ini bisa merenggut nyawa jutaan orang dengan undang-undang dan peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka adalah kaum yang berpesta-pora di tengah penderitaan rakyat. Mereka ingin menjadikan negeri ini kleptokrasi.

Cuma satu cara menghentikannya, yaitu dengan melawannya. Kejahatan yang merajalela, sebagiannya disebabkan oleh diamnya orang-orang baik. Masyarakat harus menandai muka, nama, dan partai para politikus busuk ini menjelang pemilu yang sebentar lagi digelar. Bila memilih mereka, itu sama artinya menciptakan neraka sejak di dunia ini. ***