Wednesday, July 20, 2011

Modernitas Dangkal dan Modernitas Esensial

Koran Tempo, Sabtu, 16 Juli 2011

Buni Yani
Peneliti Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology Universitas Leiden, Belanda, sekarang sedang penelitian lapangan di Manila mengenai budaya pop dan modernitas

Sejak menginjakkan kaki di bandara Ninoy Aquino, Manila, sulit sekali bagi saya membedakan antara bangsa Indonesia dan bangsa Filipina. Bagaimana ekspresi muka, keramah-tamahan dan kesopanan menerima tamu para petugas bandara mengingatkan saya akan kampung halaman sendiri di Jakarta. Cara petugas itu menawarkan jasa, menanyakan keperluan saya, senyum, gerak tubuh, bahkan hampir semua yang melekat dalam dirinya persis seperti manusia yang biasa kita temukan di Indonesia. Begitu melihat tampang Melayu saya, para petugas itu langsung mengajak bicara dalam Bahasa Tagalog, bukan Bahasa Inggris.

Mendapatkan respons demikian, saya sungguh merasa di kampung halaman sendiri. Secara antropologis, manusia Indonesia dan Filipina begitu mirip, bahkan persis sama. Bahasa Tagalog adalah bahasa yang mendapatkan pengaruh dari Bahasa Melayu, karenanya banyak kosa kata Bahasa Tagalog yang mirip dan sama dengan Bahasa Indonesia modern. Maka kita akan menemukan kata anak, asin, dingding (dinding), mangkok, tali, dan banyak kosa kata lainnya yang punya arti sama atau mirip dengan Bahasa Indonesia.

Melihat ini, pikiran saya melayang jauh ke puluhan tahun silam ketika gagasan Maphilindo, yaitu poros budaya yang ingin mempersatukan Malaysia, Filipina dan Indonesia dalam satu rumpun budaya Melayu, mengemuka. Berhasilkah gagasan ini? Tidak.

Pertama, gagasan ke-Melayu-an bagi orang Filipina kelihatannya cukup asing, kecuali mereka yang tinggal di bagian selatan, terutama karena memiliki kesamaan agama dengan mayoritas bangsa Melayu. Kedua, bangsa Filipina, jauh terpatri di dalam hati, mereka merasa lebih modern daripada bangsa Indonesia dan Malaysia. Sementara Filipina yang mayoritas Katolik memiliki aspirasi dan afiliasi budaya ke Barat (Spanyol lalu kemudian Amerika), Indonesia dan Malaysia yang mayoritas Islam masih sangat kuat aspirasi dan afiliasi budayanya ke Timur Tengah. Fakta ini sekaligus berbicara sendiri bahwa modernitas cenderung diasosiasikan dengan segala sesuatu yang berasal dari Barat, bukan yang berasal dari Timur Tengah.

Kini kehidupan modern Manila seperti layaknya kota-kota di Eropa dan Amerika. Di restoran dan tempat-tempat umum lainnya, merupakan pemandangan yang lazim adegan berciuman mesra sesama jenis (perempuan sesama perempuan, laki-laki sesama laki-laki) dan orang-orang di sekeliling pun tak ambil pusing. Gadis-gadis menikmati asap rokok mereka di depan kampus, mall, dan tempat-tempat umum lainnya. Hal-hal ini secara umum belum kita temukan di Jakarta maupun Kuala Lumpur.

Bahasa Inggris adalah bahasa yang lazim digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan media. Kecenderungan ini banyak mendapatkan kritik karena dianggap terlalu mendewa-dewakan bahasa asing (Barat), sikap mental inferior yang kontraproduktif, dan bahkan membawa pengaruh yang negatif belaka bagi bangsa Filipina.

Modernitas bagi orang Manila kebanyakan diterjemahkan sebagai gaya hidup, sikap jiwa yang menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi di Barat, dan semua hal yang tampak di permukaan, yang kasat mata, untuk ditunjukkan kepada orang lain. Modernitas Manila bisa ditemukan dalam budaya pop, dan bagi kebanyakan orang, pemahaman mereka terhadap modernitas tak pernah keluar dari kerangkeng sempit ini. Mungkin di sinilah letak poin para pengeritik budaya Filipina secara umum, bahwa modernitas yang diserap oleh orang kebanyakan adalah gaya hidup yang ”enak-enak” saja, yang tampak di permukaan, kulit paling luar, tanpa berusaha masuk ke intisari sesungguhnya dari makna modernitas.

Modernitas menjadi semacam ciri pribadi yang ditunjukkan oleh aspirasi dan afiliasi budaya, bagaimana seseorang mencitrakan diri dan ingin dilihat oleh orang lain, dalam mempersepsi dan berinteraksi dengan dunia, yang kemudian menjadi perilaku kolektif. Perilaku umum ini menjadi tren yang diterima secara luas sehingga menjadi perilaku bersama masyarakat yang lambat laun setelah melalui kurun waktu tertentu menjadi budaya bersama, lalu dianggap sebagai taken for granted.

Marx, Durkheim dan Simmel adalah di antara pengkaji awal mengenai modernitas dengan kecenderungan melekatkan makna modernitas pada negara-bangsa dan perkembangan masyarakat secara umum (Dodd 1999). Ada juga teoretisi yang mendefinisikan modernitas sebagai cara pandang, cara berpikir, cara melihat dunia. Habermas, yang menyebut modernitas sebagai proyek yang tak kunjung selesai, melihat modernitas sebagai kebaruan belaka yang akan dianggap kuno ketika hal lebih baru muncul mengalahkan yang lama (Habermas dalam D’Entreves and Benhabib 1996). Pemikir lainnya, yaitu Giddens, di antaranya, melihat modernitas sebagai ”seperangkat perilaku tertentu dalam melihat dunia” (Giddens 1998:94), meskipun Giddens memahami modernitas jauh lebih luas dari ini.

Sungguhkah Manila (dan Filipina secara umum), yang bersikeras menjauhkan diri dari identitas ke-Melayu-an, karena merasa lebih modern dari bangsa Melayu secara umum, mengadopsi, menyerap, dan menjalankan modernitas secara menyeluruh? Kelihatannya tidak. Trajektori modernitas Manila secara umum menuju ke arah modernitas dangkal, bukan modernitas esensial, oleh karena yang pertama-tama menarik perhatian, diresapi dan dijalankan masyarakat secara umum dalam kehidupan sehari-hari adalah yang kasat mata, yang ”enak-enak”, dan gampang ditiru. Di lain pihak, perilaku dan sikap mental yang lebih esensial, seperti tepat waktu, kerja keras, disiplin, anti-korupsi, dan perilaku lain yang membutuhkan usaha ekstra keras agar bisa menjadi perilaku budaya yang terpuji masih jauh tertinggal di belakang.

Indonesia bisa belajar dari pengalaman ini, apakah akan menempuh jalan Filipina atau jalan Jepang. Sementara di Filipina dalam proyek adopsi budaya Barat-nya yang tertangkap kebanyakan yang di permukaan saja, di Jepang, tanpa perlu kebarat-baratan dalam berbahasa, pemberian nama, gaya, dan hal dangkal lainnya, mampu membangun negerinya dengan etos modern melalui perilaku tepat waktu, kerja keras, disiplin, anti-korupsi, dan perilaku terpuji lainnya. Bagi bangsa Jepang, etos inilah makna modernitas yang sesungguhnya. ***