Sunday, June 30, 2013

Modernitas dan Korupsi

Rubrik Ide, Koran Tempo, 30 Juni 2013

Buni Yani
Peneliti Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology Universitas Leiden, Belanda, sekarang sedang penelitian mengenai budaya pop dan modernitas

Modernitas perlu biaya, tak bisa gratis begitu saja. Ongkos paling kasat mata bisa berupa benda material, namun bisa juga barang tak tampak mata yang lebih halus dan ideologis sifatnya. Modernitas diperjuangkan, ia tak datang dengan sendirinya dan otomatis melekat pada diri seseorang. Modernitas harus ditampakkan karena ia adalah etalase di mana prestise bisa dipamerkan.

Orang-orang berebut marwah modernitas karena prestisenya bisa punya dampak sosial dan budaya yang penting. Modernitas dianggap membawa tuah yang bisa mengubah persepsi khalayak akan postur seseorang dalam pergaulan sosial. Orang-orang berlomba ingin disebut modern karena di dalamnya tersimpan janji yang agung dan tinggi bahwa ia adalah segala hal yang bisa menjadi obat segala sesuatu yang dikonotasikan terbelakang. Dalam dunia sosial, keterbelakangan adalah aib yang mesti ditebus dan dibayar berapa pun harganya.

Secara umum, konstruksi wacana demikian ini tak hanya berlaku pada kelas sosial tertentu, seperti kalangan menengah dan atas, misalnya. Di kalangan masyarakat bawah pun modernitas memiliki arti dan ciri sendiri yang berlaku, beredar dan diterima sebagai kebenaran. Di kelas sosial mana pun, modernitas adalah aspirasi yang terus diperjuangkan dan direbut karena ia adalah simbol kemajuan dan gerak ke depan. Di kawasan perumahan mewah dan prestisius Menteng tahun 1960-an, mendengarkan musik rock ’n roll dianggap sebagai simbol modernitas karena marwah Barat, kebaruan, dan sisa-sisa prestise kolonialismenya. Di tempat lain Ibu Kota, sebaliknya, irama gambus dianggap sebagai pencapaian modernitas yang tinggi. Yang satu mengacu ke dunia Barat, yang lainnya ke dunia Arab-Islam. Dua-duanya mendaku sebagai telah mengadopsi modernitas dengan cara masing-masing.

Aspirasi akan modernitas kelihatannya sama tuanya dengan aspirasi akan intelektualitas karena keduanya memiliki banyak titik singgung yang mempertemukan. Modernitas adalah proyek yang tak pernah selesai, tulis Habermas. Tak pernah selesai karena setiap zaman memiliki semangat dan ciri sendiri dalam melihat apa yang baru dan maju dan apa yang dianggap mundur dan terbelakang. Ungkapan Habermas ini buat sebagian orang bisa jadi kemubaziran yang tidak perlu karena modernitas memang sebuah gerak maju ke depan yang memperbaharui diri sendiri terus-menerus yang tentu tak akan selesai sampai berakhirnya dunia. Namun Habermas menjadi relevan manakala modernitas dikaitkan dengan semangat zaman atau zeitgeist. Justru karena setiap zaman memiliki semangat, aspirasi budaya dan intelektual sendiri, maka proyek tentang kebaruan dan kemajuan itu tak akan pernah selesai.

Modernitas per se tak pernah salah dalam dirinya karena ia adalah gagasan tentang kemajuan dan kebaruan yang inheren melekat dalam diri manusia yang dinamis. Bukan modernitasnya yang salah dan merusak, tetapi arah perlintasan atau trajektori sosial serta konsekuensinya. Implikasi sosial modernitas bisa sangat merusak bila segala ongkos yang harus dibayarkan untuk mencapainya mesti menggunakan sumber-sumber milik publik. Karena yang porak-poranda bukan cuma materi, namun juga nilai-nilai sosial-budaya sebagai penyangga sebuah budaya dan peradaban. Dalam banyak kasus di Indonesia, modernitas telah memangsa banyak korban. Modernitas telah menjadi gagasan dan praktik yang ganas, yang haluannya telah diputar-balikkan menjadi kiamat kecil ruang publik. Pejabat, politisi, dan pemangku kepentingan publik dalam mengejar ambisi dan prestise sosial mereka telah mencuri kekayaan yang mestinya menjadi sumber kemaslahatan publik. Bagi mereka, membebankan ongkos modernitas untuk prestise pribadi dan kelompok dari kekayaan publik bukanlah dosa karena itu bagian dari kecerdasan berakrobat politik.

Dalam perlintasan demikian, modernitas yang berkawin-mawin dengan politisi narsis yang tak henti-hentinya memuja dirinya di hadapan publik tidak cuma mengerikan namun juga telah menjelma jadi sumber dari segala bencana sosial. Dengan penghasilan yang tidak mencukupi untuk membayar ongkos modernitas yang tinggi, mau tak mau mereka putar otak untuk menemukan sumber dana yang bisa dimainkan. Lalu mereka menemukan kekayaan publik sebagai sumber yang bisa dijarah. Dengan kepintaran memainkan pasal demi pasal undang-undang, lobi, kongkalikong dan perbuatan tidak senonoh lainnya, maka target penjarahan kekayaan publik menjadi legal. Mereka merasa bukan melakukan korupsi karena seringkali di atas kertas memang sah dan memiliki justifikasi hukum yang tak terbantahkan.

Ongkos modernitas mahal dan tak pernah gratis. Dalam dunia yang telah dibentuk oleh kapitalisme dan konsumerisme yang ganas dan masif, maka gaya hidup modern itu adalah mobil mewah, rumah besar, baju bermerek, parfum wangi, dasi yang indah berselera, dan jabatan publik yang tinggi dan berpengaruh. Khusus untuk yang terakhir ini, dari tahun ke tahun ongkosnya terus naik berlipat-lipat. Agar mendapatkan promosi dari partai politik untuk memegang jabatan tertentu, si calon harus membayarkan biaya yang sangat besar yang lagi-lagi sumbernya diambil dari sumber kekayaan publik yang dilakukan dengan cara korupsi. Lingkaran setan ini tak akan berhenti sampai akhirnya menjadi megaskandal dan pelakunya ditangkap KPK.

Kondisi modernitas dengan trajektori korupsi ini mengingatkan saya akan tesis Zygmunt Bauman tentang apa yang ia maksud dengan “modernitas yang cair” (liquid modernity). Bauman menemukan tiga konsekuensi modernitas yang mesti ditanggung oleh masyarakat modern. Pertama, munculnya ketidakpastian di mana-mana; kedua, masyarakat modern hidup dalam risiko yang berkelanjutan; dan ketiga, masyarakat modern harus bertindak dalam kondisi keyakinan yang terus-menerus berubah. Kondisi kepegawaian mungkin bisa merangkum ketiga konsekuensi yang disebut Bauman ini: karena modernitas membawa gagasan efisiensi yang membuat perusahaan tidak mau mempekerjakan karyawan sebagai pegawai tetap, maka praktik outsourcing terjadi di mana-mana. Ini membuat hidup para pekerja tidak menentu, penuh risiko, dan untuk mengatasi persoalan yang terus-menerus berubah, maka mereka dituntut memutuskan dengan keyakinan yang terus-menerus berubah pula. Bagi Bauman, alih-alih padat dan statis, modernitas itu cair karena berubah dengan cepat dan perubahannya terus-menerus terjadi.

Anehnya, tesis Bauman ini bertolak-belakang dengan modernitas yang diresapi oleh para politisi dan pejabat publik Indonesia. Sementara Bauman melihat modernitas dengan suasana hati sendu, muram dan penuh peringatan karena membawa akibat yang serius dalam kehidupan, di Indonesia, modernitas disambut dengan jingkrak-jingkrak pesta riuh-rendah. Bagi para pejabat publik ini, modernitas adalah ajang di mana hal berbau materi dan prestise sosial dipamerkan. Namun sayang, untuk membayarnya, biaya-biaya harus dicuri dari dana publik melalui korupsi.***