Sunday, March 16, 2014

Aku Menuduhmu

Koran Tempo, 15 Maret 2014

Buni Yani

Paris, akhir abad ke-19. Penulis kenamaan Émile Zola menulis surat terbuka yang diterbitkan oleh koran L'Aurore berjudul J'accuse (Aku Menuduhmu), yang isinya menuduh pemerintah Prancis telah memenjarakan Alfred Dreyfus, seorang serdadu berpangkat letnan kolonel keturunan Yahudi, bukan didasari kebenaran dan keadilan, tapi karena etnisnya.

Dreyfus dipenjara karena tuduhan menjadi mata-mata dan membocorkan rahasia negara ke Jerman yang menjadi musuh Prancis pada waktu itu. Bagi Zola, tuduhan ini tidak didukung cukup bukti. Dua tahun kemudian, terbukti bukan Dreyfus pelakunya, melainkan orang lain.

Manila, 1967. Koran berpengaruh The Manila Times membuat teras berita menggemparkan mengenai penangkapan terduga pemerkosa artis mestiza cantik berdarah Spanyol, Maggie de la Riva. Teras berita disertai foto yang dramatis: sang artis menunjuk dengan tangan kiri mata pemerkosanya dengan caption yang tak kalah panas, "J'accuse."

Di pengadilan, keempat pelaku pemerkosaan terbukti melakukan tindak kejahatan. Tiga pelakunya dihukum mati di atas kursi listrik, satu lagi tewas akibat overdosis narkoba di dalam penjara.

Émile Zola di Paris menggema lebih setengah abad kemudian, di tanah yang jauh di Asia Tenggara, di tanah yang sebagian besar penduduknya berbahasa Tagalog, untuk menunjukkan betapa telanjangnya fakta yang bisa dijadikan alat bukti untuk menuduh para pelaku kejahatan. Émile Zola adalah hati nurani yang tak pernah padam di tengah merebaknya anti-semitisme di Prancis pada waktu itu.

Jakarta, hari-hari ini pada 2014. Politikus ramai-ramai ingin "merevisi" Undang-Undang KPK dengan maksud melumpuhkannya agar tak bisa menangkap para pelaku kejahatan korupsi. Bukan, mereka tidak sedang merevisi, karena merevisi artinya memperbaiki menjadi lebih baik. Mereka justru sedang "merusak" undang-undang tersebut yang selama ini cukup efektif menangkap pelaku korupsi dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan pemerintah.

Mewakili pemerintah, penegasan seorang dirjen dari Departemen Hukum dan HAM yang juga seorang guru besar hukum tak mampu meredam kecurigaan banyak kalangan. Meskipun sang dirjen meminta KPK "tak usah galau" dengan menjelaskan duduk persoalan revisi UU KPK ini, kepanikan dan rasa curiga telanjur menyebar.

Masyarakat yang sudah muak dan jijik terhadap perilaku korupsi para pejabat dan politikus kontan berseru, seperti menirukan Émile Zola, "Aku menuduhmu." Masyarakat menuduh bukan tanpa bukti, karena selama ini pihak yang amat dirugikan dengan adanya KPK adalah dua lembaga tinggi tersebut. Masyarakat mencium ada semacam "solidaritas sesama penjahat" untuk melumpuhkan KPK.

Bukti tuduhan sudah banyak, mengapa telunjuk harus diarahkan ke DPR dan pemerintah. Masyarakat menuduh DPR dan pemerintah anti-pemberantasan korupsi karena selama ini dua lembaga negara ini telah menikmati keistimewaan yang besar. Upaya untuk menghentikan keistimewaan tersebut akan dilawan dengan segala cara.

Dalam acara klub pengacara di sebuah stasiun TV swasta, dua anggota DPR muda-belia yang menjadi politikus sejak zaman reformasi tanpa rasa takut dan malu-malu menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap KPK yang dianggap sewenang-wenang. Mereka melecehkan seorang aktivis pemantau korupsi dan juru bicara KPK. Dari nada bicara dan ekspresi muka, mereka dengan tegas mengirim pesan kepada masyarakat bahwa mereka tidak suka rekan sejawat koruptor mereka ditangkap.

Berdasarkan hasil pantauan si aktivis, pada setiap kasus korupsi yang melibatkan para pejabat pemerintah, terselip ada nama anggota DPR di sana. Artinya, ada semacam persekongkolan jahat yang tidak tertulis antara dua lembaga tinggi negara ini, baik secara institusional maupun individual. Ini bisa jadi penjelas mengapa mereka akan melawan dengan segala cara langkah pemberantasan korupsi.

Namun, sikap resmi DPR yang kritis, yang bisa ditafsirkan sebagai anti-pemberantasan korupsi, bisa dilihat pada newsletter DPR Info Singkat Vol. V, No. 03/I/P3DI/Februari/2013 berjudul Penangkapan dan Penetapan Tersangka Kasus Dugaan Suap Impor Daging Sapi. Penangkapan terduga kasus impor daging sapi ini, yang di kemudian hari pelakunya terbukti bersalah dan dijebloskan ke dalam penjara, menurut DPR, diwarnai "kejanggalan."

Langkah seperti ini jelas merupakan upaya delegitimasi KPK agar masyarakat tak lagi percaya kepadanya. Karena itu, KPK harus direstrukturisasi, dan salah satu caranya adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.

Bila Undang-Undang KPK telah "dirusak", kelak, dengan berlindung di balik kata "revisi," seperti dilansir situs web KPK, "pencekalan, penyadapan, dan pemblokiran rekening bank" tidak bisa dilakukan, yang artinya, "KPK tidak dapat menelusuri [dugaan korupsi] dengan meminta keterangan serta mengumpulkan dua alat bukti."

Implikasinya jelas, KPK akan menjadi macan ompong. Melihat ketidakadilan ini, suara Émile Zola lebih satu abad lalu kini terdengar di mana-mana. Hari-hari ini, jangan salahkan masyarakat jika mereka menudingkan telunjuk kepada DPR dan pemerintah seraya berujar penuh amarah, "Aku menuduhmu."###

Wednesday, March 5, 2014

Kebenaran dan Epistemologi Pers

Republika, Selasa, 07 Desember 1999, hal. 6

Buni Yani
Direktur Eksekutif Nurani Dunia

Wartawan itu ibarat Dewa Hermes dalam mitologi Yunani kuno. Menyampaikan warta dari orang pertama ke orang ketiga tanpa boleh melebih-lebihkan atau mengurangi isinya, sebab ia terikat diktum moral ''pesan adalah amanah''. Titik.

Sebagai kepercayaan Dewa Jupiter, atau orang kedua yang mengetahui isi pesan, Hermes dalam mengemban tugasnya bukannya tanpa masalah. Hermes harus paham benar dan menguasai materi pesan yang ingin disampaikan oleh Jupiter. Tanpa penguasaan yang bagus akan product knowledge ini, informasi yang diterima oleh orang ketiga bisa distortif dan menimbulkan salah paham. Bahkan, bukan tidak mungkin kekeliruan informasi yang disebarkan membawa akibat fatal.

Ditunjuknya Hermes sebagai pewarta dari sudut pandang Dewa Jupiter bisa dikategorikan sebagai sikap taken for granted oleh karena kredibilitas Hermes dalam segi-segi kejujuran, tanggung jawab serta kecerdasan memahami isi pesan. Tafsir ulang atas pesan yang diterima tak bisa terhindarkan dalam kerja seperti ini. Oleh karena sebagai subjek yang memiliki kesadaran sendiri, Hermes mau tak mau harus mampu mereproduksi teks yang ia terima dari Jupiter. Dan untuk reproduksi teks ini, yang terkadang terjatuh menjadi subjektivisme, diperlukan kemampuan tersendiri.

Peran Dewa Hermes dalam pewartaan pesan ini menjadi begitu sentral, yang di kemudian hari melahirkan satu disiplin, yakni hermeneutika, sebuah ilmu yang secara rinci mendiskusikan pernik-pernik tentang penafsiran akan makna dan kebenaran. Integritas Hermes serta kemampuan dan perannya dalam penyampaikan pesan mungkin bisa dijadikan suatu model ideal dalam menggagas pers dilihat dari sudut epistemologis.

Kalangan pers telah banyak mengidealisasikan bahwa pers sebagai media komunikasi dan penyampai warta harus memberi gambaran how the world works, bukan how the world should work. Secara epistemologis, kerancuan penempatan dua paradigma ini akan membawa pengaruh yang signifikan pada akibat lanjutan yang dihasilkan. Karena, paradigma how the world works atau das sein memposisikan diri tak lebih seperti juru potret yang jujur dan lugu. Fakta sebagai bahan primer untuk acuan merumuskan kebenaran dilihat seperti apa adanya, tak dilebih-lebihkan dan tidak pula dikurangi. Sementara paradigma how the world should work atau das sollen memposisikan fakta sebagai bahan sekunder dalam merumuskan kebenaran. Faktor primernya adalah kontruksi-konstruksi yang diciptakan sesuai dengan garis ideologi yang dianut.

Dengan demikian, paradigma pertama menghasilkan kebenaran faktual, sementara paradigma kedua menghasilkan kebenaran ideologis. Pers mampu mereproduksi dua jenis kebenaran ini dalam skala tak berhingga bila ditilik dari efek yang ditimbulkannya. Dua versi kebenaran itu menyebar ke setiap ruang ketidaksadaran publik.
Sampai tataran ini, pers telah menjadi the truth setter yang diam-diam setiap saat mencuci otak. Bila pers condong pada paradigma pertama, maka ia berpihak kepada ''pers untuk kebenaran an sich.'' sementara bila pers condong pada paradigma kedua, ia telah bekerja untuk kepentingan tertentu di luar peran dirinya.

Tapi, apakah mungkin sebuah media tak memiliki kepentingan sama sekali di luar perannya sebagai penyampai warta? Dengan logika sederhana, pertanyaan ini bisa dijawab tidak. Fakta bahwa pers dalam industri modern harus berpihak kepada pasar untuk paling tidak menghidupi diri di tengah kompetisi kapitalisme yang ketat adalah ''pengkhianatan'' dari peran pers. Menjadi jelas, tak bisa dibuat kategorisasi berdasarkan dua paradigma ini secara hitam putih untuk mendefinisikan warna pers dewasa ini.

Etika cover both sides dalam kerja kewartawanan, yang juga merupakan suatu idealisasi profesi ini, adalah salah satu instrumen lembaga pers untuk mengklaim diri sebagai lembaga yang objektif, bekerja berdasarkan standar-standar baku keilmuan. Dengan etos ini lalu diharapkan ada keseimbangan pro-kontra arus informasi. Ketimpangan baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam teknik peliputan menunjukkan keberpihakan oleh media, yang bisa dipersepsikan dilakukan secara sengaja atau tidak. Ini akan membawa pengaruh pada keluaran akhir dari proses kerja jurnalistik.

Tapi dewasa ini konsep ideal sang pewarta yang dicontohkan oleh Dewa Hermes, termasuk etos kerja kewartawanan yang telah menjadi legenda itu, sedang mendapatkan tantangan serius di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik para pemilik modal di belakang industri pers. Khusus di Indonesia perangkat-perangkat lunak kerja pers seperti penguasaan ilmu jurnalistik, yang di dalamnya juga termasuk moral kerja profesional seorang jurnalis, nyaris terpinggirkan.

Maka mudah menebak konsekuensi logis dari gambaran pers kita yang demikian itu.
Pers kita menjadi partisan, oleh karena masing-masing telah memiliki agenda setting sendiri-sendiri. Tak bisa mengharapkan gambaran dunia secara lengkap lewat media yang mengutamakan agenda kepentingan tertentu yang terlalu berpihak. Kebenaran dalam konstruksi filosofis jenis ini menjadi ideologis dengan keberpihakan yang terlalu berlebihan. Dalam pers jenis ini dunia digambarkan secara sepotong-sepotong, bergantung pada kepentingan the truth setter tersebut.

Epistemologi dijungkirbalikkan untuk sekadar memperoleh keuntungan ekonomi maupun politik sesaat. Teknik perumusan kebenaran yang digunakan adalah logika terbalik dengan menentukan hasil akhir atau kesimpulan terlebih dahulu, lalu mencari argumen-argumen yang mendukungnya.

Dengan pola jurnalistik seperti ini, yang paling nyata dan pertama dirugikan adalah masyarakat luas. Masyarakat tidak saja harus merogoh kocek lebih untuk berlangganan berbagai macam media untuk sekadar mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran yang tercecer yang dikonstruksi oleh lembaga pers yang berbeda. Namun juga, ini yang lebih akademis, diperlukan waktu lebih lama untuk mengkritisi dan memahami pesan di balik berita atau kebenaran sepotong-sepotong di tengah kesibukan masyarakat modern yang menuntut efisiensi dan efektivitas.

Maka, gambaran pers kita sekarang ini kiranya sesuai dengan pernyataan filsuf hermeneutika Hans-Georg Gadamer: Kita mempersepsi dunia berdasarkan prasangka-prasangka.
Pernyataan ini memiliki tafsir negatif dikaitkan dengan kondisi di sini.***