Sunday, June 8, 2014

Modernitas Kolonial dan Islam

Koran Tempo, Rubrik Ide, 8 Juni 2014

Buni Yani
Peneliti Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology Universitas Leiden Belanda

Di negeri-negeri bekas jajahan, modernitas atau kemajuan identik dengan bekas penjajah. Bahasa, gaya hidup, teknologi, sistem ekonomi dan pemerintahan, banyak bersumber dari bekas penjajah.

Di Indonesia, sampai tahun 70an, atau bahkan 80an, sisa-sisa peninggalan Belanda masih kentara terlihat di banyak bidang termasuk industri budaya pop. Dialog-dialog bintang film masih banyak disisipi kosa kata Bahasa Belanda yang dijadikan simbol prestise dan status sosial.

Teknokrat Orde Baru dipenuhi oleh mereka yang punya kaitan dengan Belanda baik secara langsung atau tidak. Beberapa di antaranya tamat dari universitas Belanda, sisanya masih terkait dengan kedekatan dan marwah modernitas penjajah. Menteri dan pejabat tinggi negara masih banyak beragama Nasrani yang identik dengan agama kolonial yang dibawa oleh para zending.

Islam dianggap agama yang membawa masalah oleh pemerintah kolonial yang membuat pemeluknya berusaha menyembunyikan identitas mereka. Para pemberontak sebagian besar beragama Islam, mulai dari Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol sampai tuan guru-tuan guru di Lombok.

Mereka yang ingin mempertahankan keislaman mereka tampil seabangan mungkin agar tidak dianggap sebagai ancaman. Banyak ambtenaar (pegawai) Belanda yang punya nama bahasa Arab tapi tak pernah terlihat shalat sekali pun.

Islam identik dengan orang sarungan dari kampung, terbelakang, dan tidak termasuk dalam kategori warga negara yang harus diperhitungkan dalam derap modernitas. Kondisi ini terus bertahan sampai zaman Orde Baru.

Kondisi ini pelan-pelan berubah sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kini sangat sulit mendengar dialog berbahasa Belanda dalam film. Sebagai gantinya, dialog berbahasa Inggris dijadikan standar status sosial. Ungkapan “erg mooi” (sangat bagus) yang jadi ungkapan sebuah iklan mobil tahun 80-an kini terasa ketinggalan zaman dan jadul.

Cendekiawan dan pejabat pemerintah yang dulu diisi oleh etnis dan agama tertentu yang identik atau dekat dengan administratur kolonial kini digantikan oleh generasi baru Indonesia. Kini banyak kelas menengah Muslim memegang peran penting dalam pemerintahan.

Cendekiawan Muslim bertebaran di mana-mana. Sekolah-sekolah agama Islam termasuk pesantren dan IAIN yang dulu terpinggirkan dan tidak diperhitungkan kini berada di tengah panggung perjalanan bangsa.

Pengamat dan intelektual publik yang sering tampil di TV banyak berasal dari lembaga-lembaga pendidikan Islam ini. Novel dan film dengan tema Islam jadi mode, laris karena audiens yang besar, dan bahkan kini jadi standar keberhasilan pemasaran industri budaya pop.

Islam tidak lagi dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Jilbab jadi semacam kewajiban bagi para muslimah yang ingin tampil Islami dan sederhana.

Cendekiawan Nurcholish Madjid benar ketika suatu saat mengatakan bahwa dalam waktu 30-an tahun umat Islam akan panen kelas menengah terdidik yang akan mewarnai ruang publik Indonesia yang sedang kita lihat hari-hari ini. Namun kalau dilihat secara mendalam, kondisi ini bukanlah persoalan munculnya umat Islam dalam perjalanan bangsa yang memang menjadi mayoritas, yang memang seharusnya terjadi.

Sebaliknya, saya melihatnya sebagai transformasi bangsa yang mampu melepaskan diri dari apa yang oleh sebagian ilmuwan sosial disebut sebagai modernitas kolonial (colonial modernity), yaitu kemajuan yang sangat bergantung pada hadirnya bangsa penjajah yang membawa ilmu pengetahuan dan teknologi. Modernitas kolonial tidaklah buruk, tetapi terus berada di bawah bayang-bayangnya menunjukkan bangsa tersebut belum mampu menemukan jalan untuk menjadi bangsa mandiri.

Di Indonesia, juga Malaysia, setelah modernitas kolonial memudar, Islam tampil sebagai gantinya, yang dijadikan patokan modernitas yang baru.

Taka ada yang salah dengan kondisi ini bila tampil sebagai Islam yang esensial yang ajarannya penuh kedamaian dan toleransi lalu menjadi “rahmat sekalian alam.” Sebaliknya, ini kabar buruk bila yang tertangkap kulit Islamnya saja yang tidak toleran lalu menebar ancaman bagi warga negara yang lain.

Sudah menjadi tanggung jawab kelas menengah Muslim yang jumlahnya terus meningkat ini untuk menjadikan tampilnya Islam sebagai modernitas dengan kabar baik.###


No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.