Jurnal Nasional, 25 Oktober 2007
Buni Yani
Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar pada Faculty of Social Science Swiss German University
Mata dunia kini sedang tertuju pada Myanmar yang sedang bergolak. Prospek demokrasi masih samar, karena junta militer hanya memiliki satu kepentingan, yakni mempertahankan kekuasaan dengan ongkos semahal apa pun.
Demonstrasi di Myanmar mirip people power Filipina tahun 1986 yang digerakkan oleh kalangan agamawan yang suaranya merupakan suara moral yang jauh dari kepentingan ekonomi dan politik. Karena suara moral, maka suara kaum agamawan itu seharusnya menjadi kritik yang tulus bagi penguasa. Namun ini politik, junta militer Myanmar tidak berani mengambil risiko.
Karenanya, junta militer tanpa ragu-ragu memberangus demonstrasi damai dengan kekerasan yang menewaskan belasan demonstran, suatu isyarat akan berulangnya kembali pembantaian berdarah serupa tahun 1988 yang menewaskan sekitar 3000 orang. Demonstrasi dimotori oleh kaum biksu yang dipicu oleh melambungnya harga bahan bakar minyak yang mencapai 500 persen, tentu saja harga tak masuk akal yang harus ditanggung masyarakat di tengah ekonomi rakyat yang morat-marit, sementara di sisi lain ironisnya korupsi dan pasar gelap merajalela di kalangan militer dan pejabat Myanmar.
Dunia internasional masih menunggu ketidakpastian politik yang semakin hari semakin tak menentu ini. Di sebuah negara tertutup yang dipimpin junta militer, apa saja bisa terjadi setiap saat. Untuk mengurangi eskalasi kecaman luar negeri terhadap perkembangan politik di dalam negeri, junta berusaha memblokir arus informasi keluar Myanmar, melarang terbit koran dalam negeri yang tidak sepaham dengan pemerintah, serta tidak memperbolehkan orang asing masuk ke Myanmar. Putusnya jaringan internet untuk berkomunikasi keluar-masuk Myanmar dicurigai disebabkan oleh junta.
Buni Yani
Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar pada Faculty of Social Science Swiss German University
Mata dunia kini sedang tertuju pada Myanmar yang sedang bergolak. Prospek demokrasi masih samar, karena junta militer hanya memiliki satu kepentingan, yakni mempertahankan kekuasaan dengan ongkos semahal apa pun.
Demonstrasi di Myanmar mirip people power Filipina tahun 1986 yang digerakkan oleh kalangan agamawan yang suaranya merupakan suara moral yang jauh dari kepentingan ekonomi dan politik. Karena suara moral, maka suara kaum agamawan itu seharusnya menjadi kritik yang tulus bagi penguasa. Namun ini politik, junta militer Myanmar tidak berani mengambil risiko.
Karenanya, junta militer tanpa ragu-ragu memberangus demonstrasi damai dengan kekerasan yang menewaskan belasan demonstran, suatu isyarat akan berulangnya kembali pembantaian berdarah serupa tahun 1988 yang menewaskan sekitar 3000 orang. Demonstrasi dimotori oleh kaum biksu yang dipicu oleh melambungnya harga bahan bakar minyak yang mencapai 500 persen, tentu saja harga tak masuk akal yang harus ditanggung masyarakat di tengah ekonomi rakyat yang morat-marit, sementara di sisi lain ironisnya korupsi dan pasar gelap merajalela di kalangan militer dan pejabat Myanmar.
Dunia internasional masih menunggu ketidakpastian politik yang semakin hari semakin tak menentu ini. Di sebuah negara tertutup yang dipimpin junta militer, apa saja bisa terjadi setiap saat. Untuk mengurangi eskalasi kecaman luar negeri terhadap perkembangan politik di dalam negeri, junta berusaha memblokir arus informasi keluar Myanmar, melarang terbit koran dalam negeri yang tidak sepaham dengan pemerintah, serta tidak memperbolehkan orang asing masuk ke Myanmar. Putusnya jaringan internet untuk berkomunikasi keluar-masuk Myanmar dicurigai disebabkan oleh junta.

Pengusiran imigran India dan Cina merupakan titik balik dari nasionalisme salah kaprah ala junta militer sejak negeri itu dikuasai oleh Inggris. Untuk mengikis anasir-anasir asing, junta merasa harus memutar kembali jarum sejarah yang lebih dahulu ditorehkan bangsa Inggris terhadap bangsa Myanmar. Di bawah kekuasaan Inggris, Myanmar adalah negeri kaum imigran yang didatangkan Inggris dari koloninya seperti India, Malaysia dan Singapura. Tahun 1931, sekitar tujuh persen penduduk Myanmar terdiri dari imigran India yang berasal dari Bengal dan Madras. Yangon sendiri, dikenal sebagai kota kaum imigran, sekitar 2/3 penduduknya tahun 1931 merupakan kaum imigran, 53 persen di antaranya adalah imigran India. (Church 2003:108-121).
Namun di bawah junta, kohesi sosial yang sudah lama terbangun antara imigran dan penduduk asli Myanmar ini dinafikan begitu saja demi ”nation building” bangsa Myanmar yang salah kaprah. Bagi junta, sejarah telah bergerak salah arah sehingga harus diluruskan ke tempat seharusnya.
Hal yang sama terjadi tahun 1990 ketika National League for Democracy (NLD) di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangi lebih dari ¾ total jumlah kursi parlemen. Bagi junta, sekali lagi, ini adalah sejarah yang salah arah. Suu Kyi mestinya tak mampu memenangi pemilu yang dijaga ketat aparat militer. State Law and Order Restoration Council (SLORC), begitu pemerintah Myanmar menamakan diri, sangat yakin akan mampu memenangi pemilu 1990 karena intel-intel junta telah bekerja “sangat baik” untuk mengontrol warga. Karenanya, karena hasil pemilu bertentangan dengan keinginan junta, maka hasilnya dinyatakan batal.
Sejak saat itulah Suu Kyi dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan junta. Meskipun telah berada di dalam penjara, Suu Kyi dan NLD tetap berjuang untuk menegakkan demokrasi di Myanmar meskipun selalu di bawah ancaman moncong senapan junta. Perjuangan tanpa henti ini bukannya tanpa hasil meskipun kekuasaan junta begitu kuat untuk ditumbangkan. Simpati masyarakat internasional mengalir kepada Suu Kyi yang ditahan secara semena-mena dan tanpa belas kasihan.

Junta berkuasa dengan sangat represif tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Pemberontakan etnis Karen, etnis minoritas terbesar kedua setelah Shan, dihadapi dengan brutalisme tanpa ampun yang telah merenggut ribuan jiwa. Kebebasan berpendapat dibatasi, begitu juga dengan hak-hak sipil lainnya. Semua ini dilakukan junta untuk meredam gerakan prodemokrasi yang kian hari semakin berani ditunjukkan oleh warga. Junta berusaha menyimpan rapat semua rahasia negara yang dianggap bisa membahayakan junta, termasuk tempat penyelenggaraan pemerintahan.

Dari semua pembicaraan negatif mengenai junta Myanmar, yang patut disayangkan adalah langkah ASEAN menerima keanggotaan Myanmar menjadi anggota organisasi regional ini bersama Laos tahun 1997. ASEAN tahu persis bahwa Myanmar adalah negara otoriter di bawah junta militer, namun para pemimpin ASEAN pada waktu itu bersikukuh bahwa ASEAN menganut prinsip non-interference atau tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Kini terbukti prinsip ini semakin ketinggalan zaman di tengah globalisasi komunikasi dan informasi yang dengan segera bisa mengubah lanskap politik internasional.
Di samping PBB, masyarakat internasional kini menaruh harapan besar pada ASEAN untuk memainkan peran dalam mendorong demokratisasi di Myanmar. Bila ASEAN tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam meyakinkan junta bahwa demokrasi Myanmar akan menopang stabilitas di kawasan, organisasi regional ini semakin hari akan semakin menjadi bahan cemoohan yang menyebut ASEAN sebagai organisasi tempat kongkow-kongkow segelintir diplomat yang kurang kerjaan. ###