Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS
Seandainya Yenny bukan anak Presiden, apakah juri akan tetap menganugerahinya Walkley Awards, sebuah penghargaan bergengsi bagi wartawan berprestasi di Australia? Pertanyaan ini mengandung kecurigaan, rasa tak percaya, dan mungkin juga rasa cemburu sekaligus. Pertanyaan ini dilontarkan oleh seorang mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat, tapi saya yakin bisa juga dilontarkan oleh peneliti dan wartawan di Jakarta maupun Canberra.
Rasa curiga ini menjadi "sahih" bila dikaitkan dengan ekonomi politik hubungan bilateral Indonesia-Australia, terutama bagi mereka yang percaya bahwa Australialah yang lebih berkepentingan untuk memulihkan hubungan kedua negara pascakemerdekaan Timor Timur.
Indonesia melakukan resistensi terhadap Australia yang dianggap merasa "sok tahu" dan ikut campur urusan dalam negeri Indonesia. Demonstrasi di Jakarta dan Canberra berakhir dengan saling bakar bendera. Dengan nada melecehkan, sebuah harian di Jakarta pernah memelesetkan nama komando pasukan Interfet, yang berasal dari Australia, menjadi Kolonel Cockroach (kecoa), yang seharusnya Kolonel Cosgrove. Ketegangan hubungan tidak hanya terjadi pada aras government to government, tapi juga pada aras people to people, bahkan juga pada aras pemberitaan media.
Pemulihan hubungan kedua negara baru-baru ini mendapatkan momentumnya setelah kedua kepala negara terjepit dengan persoalan politik dalam negeri masing-masing. Kondisi politik mendorong mereka segera bertemu. Perdana Menteri John Howard ingin menutupi ketidakpopulerannya melalui kemenangan diplomasi dengan Jakarta, yang wujudnya kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Canberra. Sementara itu, Wahid ingin mendapatkan kembali dukungan luar negeri, setelah pemerintah Amerika Serikat dikabarkan bersikap mendua, dan Canberralah yang dianggap pintu gerbang untuk lobi masuk ke Washington.
Di tengah ekonomi politik seperti inilah Yenny, atau Zannuba Wahid, dianugerahi Walkley Awards, sebuah hadiah untuk prestasi kerja kewartawanan yang setara dengan Pulitzer Prize di Amerika Serikat. Yenny adalah orang asing pertama yang mendapatkan hadiah tersebut.
Komentar pun bermunculan, mulai dari yang bernada sinis sampai yang bernada "iri hati". Komentar yang bernada sinis menunjukkan bukti bahwa tanpa kepentingan politik Australia, anugerah tersebut tak akan pernah didapatkan Yenny. Walkley Awards tak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah Australia di bawah Howard yang sedang mati-matian membangun kembali hubungan dengan Indonesia. Dalam pandangan ini, hampir-hampir kemandirian pers Australia tak mendapatkan tempat.
Komentar yang bernada "iri hati" mungkin akan sungguh menyakitkan bagi Yenny karena meragukan kemampuannya menjadi wartawan profesional. Dasar yang bisa digunakan sebagai rujukan keraguan adalah berita-berita penganugerahan Walkley Awards oleh media-media Australia. Yenny dalam berita-berita tersebut "hanya" disebutkan bekerja sebagai "penerjemah" (interpreter) dan "peneliti" (researcher) untuk Sydney Morning Herald (SMH) biro Jakarta, tidak menjadi "wartawan" penuh. Contohnya adalah berita yang ditulis oleh Australian Financial Review (AFS) (11/12/1999).
Untuk bisa menentukan apakah anugerah Walkley Awards tersebut "masuk akal" atau tidak diberikan kepada Yenny, mungkin ada baiknya dilakukan penelitian. Berita The Age (25/10/2000) menyebutkan bahwa Wahid sejak lama ingin berkunjung ke Australia dan sekaligus "ingin melihat putrinya, Yenny, datang... untuk menerima sebuah hadiah untuk karier jurnalistiknya selama bekerja untuk The Age dan The Sydney Morning Herald selama krisis Timor Timur." Tetapi, kunjungan tersebut tertunda, menurut The Age, karena tekanan politik dalam negeri harus diatasi Wahid.
Situs Walkley Awards (www.walkley.com) menyebutkan bahwa Yenny menerima hadiah tersebut pada 1999 bersama wartawan SMH lainnya yang tergabung dalam satu tim liputan. Termasuk dalam tim ini adalah Louise Williams (koresponden SMH di Jakarta waktu itu), Hamish McDonald, Lindsay Murdoch, Mark Riley, Mark Dodd, dan David Jenkins (mantan koresponden SMH di Jakarta yang pernah dicekal masuk Indonesia). Karya jurnalistik yang membawa tim ini menerima hadiah adalah liputan berjudul "Perjuangan untuk Timor" (The Battle for Timor) di bawah kategori liputan untuk wilayah Asia Pasifik.
Dari dua sumber ini bisa ditarik dua kesimpulan. Pertama, penganugerahan Walkley Awards kepada Yenny telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya bersama penerima Walkley Awards 1999 lainnya, tetapi Yenny baru dapat mengambil hadiahnya bersamaan dengan kunjungan Wahid ke Australia baru-baru ini. Bila diduga motif pemberian hadiah ini sebagai pintu masuk untuk mencairkan ketegangan pascakemerdekaan Timor Timur pada 1999, hal ini kelihatannya tak terlalu masuk akal. Diperlukan waktu cooling down untuk membuka kembali hubungan diplomatik.
Kesimpulan kedua, Yenny tak mendapatkan hadiah ini untuk karya perorangan, tetapi untuk karya yang dikerjakan oleh satu kelompok yang terdiri dari tujuh orang. Dalam kelompok tersebut, mungkin tugas dibagi berdasarkan kapasitas masing-masing, dan Yenny mendapatkan tugas sebagai "peneliti" dan "penerjemah" seperti diberitakan oleh AFS di atas. Dalam kerangka ini, tentu hadiah tersebut masuk akal, karena Yenny dianggap sebagai orang yang ikut memberikan kontribusi dalam kelompok.
Saya sering bertemu Yenny di lapangan sewaktu saya bekerja sebagai wartawan Australian Associated Press (AAP). Sesama wartawan untuk media Australia, wilayah dan ketertarikan liputan saya dengannya tak jauh berbeda. Kesan saya, yang mungkin bersifat subyektif, Yenny menunjukkan etos kerja layaknya wartawan profesional. Kata selamat mungkin pantas untuk Yenny, karena saya tak punya dasar dan otoritas untuk mengatakan apakah ia layak dapat hadiah ini atau tidak. Mudah-mudahan hadiah tersebut memacunya bekerja lebih giat, sekalipun sekarang sedang prei jadi wartawan. ###
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.