Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani "Galang", Vol. 2 No. 3 Agustus 2007, yang diterbitkan oleh PIRAC bekerja sama dengan Ford Foundation
Buni Yani[1]
Kata Kunci (Keywords)
philanthropy (filantropi), Corporate Social Responsibility (CSR, tanggung jawab sosial perusahaan), capitalism (kapitalisme)
Abstrak
This study argues that philanthropy and capitalism do not oppose each other. Philanthropic works need capital, while capitalists need to do philanthropic works as an effort to ensure the public that their companies are aware of their social environments. In a glimpse, these two terms seem to contradict each other, as capitalism promotes private rights – that is why it tends to take, while philanthropy promotes the idea of sharing – that is why it tends to give. But in fact this assumption is proven wrong. There have been plenty of philanthropic works performed by the capitalists. The idea of philanthropy practiced by the capitalists is not merely based on pragmatic and professional ground -- that is to promote their companies, but it is also based on a strong theoretical and academic ground – that is, their understanding of system theory advocated by the functionalist. The functionalist believes that social world is a system, that is why there will be no balance if any part of the system does not function. The capitalists share the functionalist view of balancing each part of the society to make it work. The capitalists understand that people’s hostility towards the company will only harm the company’s survival. For this reason companies worldwide today establish what is known as philanthropy and corporate social responsibility (CSR).
Pendahuluan
“A business that makes nothing but money is a poor kind of business.”
– Henry Ford, industrialis Amerika (1863-1947)
Secara sekilas, mungkinkah kita bisa memadukan antara filantropi dan kapitalisme sekaligus dalam satu langkah? Padahal filantropi adalah satu hal dan kapitalisme hal lain yang berlawanan? Pertanyaan-pertanyaan ini banyak diajukan berbagai kalangan dalam melihat perkembangan dunia usaha dan hubungannya dengan masyarakat secara keseluruhan dewasa ini. Celakanya, sebagian menjawab tidak mungkin mengawinkan keduanya karena saling bertentangan satu sama lain.
Pesimisme berbagai kalangan ini bukan tanpa alasan. Terminologi filantropi sendiri secara umum dipahami sebagai sifat-sifat dan tindakan kedermawanan sosial yang dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga tanpa berharap mendapatkan imbalan atas kedermawanan yang dilakukan. Bila seseorang berharap suatu imbalan balik dari apa yang diberikannya maka tindakan kedermawanannya bertentangan dengan makna kedermawanan sosial. Sang dermawan harus ikhlas dalam memberikan sesuatu. Sementara kapitalisme di lain pihak adalah suatu paham yang percaya akan pentingnya kepemilikan pribadi dalam aktivitas ekonomi demi menjamin dan terselenggaranya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.[2] Argumentasi umum yang diberikan para pendukung kapitalisme adalah: bila setiap orang mendahulukan kepentingan pribadi maka kompetisi akan terjadi, dan kompetisi akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Singkat kata, dengan bahasa yang sederhana bisa dikatakan bahwa filantropi adalah memberi, sementara kapitalisme adalah mengambil. Tindakan memberi dalam filantropi dilakukan karena sang filantropis memikirkan orang lain, sementara tindakan mengambil dalam kapitalisme dilakukan karena sang kapitalis hanya memikirkan diri-sendiri. Bagaimana mungkin kita bisa memadukan dua hal yang saling bertentangan ini?
Apa yang tampak di permukaan dan terlihat secara sekilas ini tidak cukup sahih untuk dijadikan landasan pemahaman. Diperlukan cara pandang lain yang bisa memperkaya pemahaman kita akan pengertian filantropi dan kapitalisme. Kutipan dari Henry Ford, salah satu industrialis terkemuka Amerika abad ke-20, pada awal artikel ini menunjukkan betapa cara berpikir normatif seperti ditunjukkan oleh argumentasi di atas bisa sangat menyesatkan. Dalam kenyataannya, Ford sang kapitalis rela berbagi kepada orang lain demi kesejahteraan bersama. Ford yang sukses luar biasa dengan industri otomotifnya percaya bahwa bisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun lebih dari itu. Dari keuntungan usahanya yang mungkin tak akan habis-habis digunakan keluarga, ia mendirikan Ford Foundation, yayasan sosial yang umum dikenal sebagai pemberi beasiswa di berbagai belahan dunia.
Dalam studi ini perlu dijelaskan bahwa istilah “filantropi” digunakan hampir sama pengertiannya dengan istilah “CSR” (corporate social responsibility) dalam hal strategi perusahaan mendapatkan citra yang baik dan dukungan yang luas dari masyarakat. Pendirian ini sama dengan pendapat guru strategi bisnis Harvard Michael Porter yang melihat filantropi (corporate philanthropy, CP) dan CSR sebagai ujung tombak perusahaan agar menjadi semakin kompetitif di tengah-tengah masyarakat.[3] Meskipun pendapat Porter ini banyak mendapat kritik dan tentangan dari mereka yang membedakan secara kategoris lingkup kerja dan kemanfaatan filantropi dan CSR dari persepektif strategi manajemen perusahaan[4], studi ini akan tetap menggunakan konsep filantropi dan CSR sebagai dua hal yang identik dan bisa digunakan secara bergantian. Alasan lainnya, karena studi ini mencoba menjelajah kemungkinan koeksistensi dan kemungkinan pertentangan antara gagasan besar filantropi dan kapitalisme, maka perbedaan sejarah, kategori fungsional, dan hal-hal lainnya antara filantropi dan CSR akan diabaikan.
Studi ini akan membahas filantropi dan kaitannya dengan filsafat kapitalisme. Selanjutnya diskusi juga akan dikembangkan untuk melihat rasional dari sebuah tindakan filantropi beserta landasan yang digunakan, baik secara praktis-profesional maupun teoretis-akademis. Namun sebelum sampai pada bagian inti pembahasan dalam studi ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai letak perusahaan dalam sistem sosial dan logika-logika yang melandasinya.
Kapitalisme[5] dalam Keseluruhan Sistem Sosial
Dengan semakin majunya dunia usaha dewasa ini, semakin maju pula perangkat-perangkat pendukung yang dibentuknya. Perangkat-perangkat pendukung bertugas untuk mempertahankan keberlangsungan perusahaan di tengah sengitnya persaingan bisnis yang semakin tak mengenal ampun. Divisi penelitian dan pengembangan usaha (research and development) yang bisa ditemui di banyak perusahaan berskala besar melakukan penelitian rutin. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa untuk bisa bertahan hidup, perusahaan harus mampu menarik hati para konsumen agar tetap mau membeli produk mereka. Di antara strategi komunikasi yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen adalah kampanye periklanan, kampanye public relations, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya.[6] Alat-alat komunikasi ini pada umumnya berusaha membujuk masyarakat untuk membeli terus produk dari perusahaan.
Di samping menggunakan alat-alat komunikasi di atas, perusahaan juga mencoba meyakinkan publik bahwa perusahaan bersangkutan adalah perusahaan yang baik. Tentu banyak cara untuk melakukan ini. Body Shop mengidentifikasikan diri sebagai perusahaan yang ramah lingkungan. Perusahaan ini tidak menggunakan hewan untuk mengetes produk-produknya.[7] Body Shop berharap masyarakat yang semakin hari semakin sadar akan lingkungan akan membeli produk-produknya. Agar diakui menjadi perusahaan yang baik, kini sudah umum perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Bisnis tidak hanya mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan lingkungan, namun lebih dari itu, perusahaan dituntut untuk memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
Tuntutan tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah gagasan yang hanya melulu memiliki implikasi praktis dan bisnis, namun lebih dari itu ia merupakan gagasan yang memiliki dasar teoretis yang kokoh. Dalam pandangan kaum fungsionalis, masyarakat bekerja sebagai suatu sistem layaknya organ tubuh manusia.[8] Di tengah-tengah masyarakat terdapat berbagai macam institusi yang terkait satu sama lain. Ada pemerintah, masyarakat sipil, kelompok agama, kelompok kesenian, dan tentu saja ada entitas bisnis. Institusi-institusi ini tersambungkan secara virtual oleh kepentingan untuk mempertahankan kelangsungan masyarakat. Bagi Fungsionalisme, tiap-tiap bagian dalam masyarakat haruslah berfungsi sebagaimana mestinya demi mempertahankan sistem yang sedang berjalan dan kelangsungannya.
Konsep ’fungsi’ dalam analisis kaum fungsionalis mengacu pada sumbangan tiap bagian kepada keseluruhan. Lebih khusus, fungsi tiap bagian dari masyarakat adalah sumbangan yang diberikannya untuk memenuhi syarat-syarat berfungsinya sistem sosial. Tiap-tiap bagian dalam masyarakat bersifat fungsional, dalam pengertian bagian-bagian itu mempertahankan sistem dan memberikan sumbangan terhadap kelangsungnnya. Dengan demikian, fungsi keluarga adalah untuk menjamin kelanjutan masyarakat dengan melahirkan dan melakukan sosialisasi kepada anggota-anggota baru. Fungsi agama adalah mengintegrasikan sistem sosial dengan menegakkan nilai-nilai yang berlaku umum. (Haralambos dan Holborn, 2004:938)[9]
Dalam persepektif kaum Fungsionalis, keberadaan institusi bisnis di tengah-tengah masyarakat tentulah memiliki fungsi yang sama dengan institusi-institusi lainnya, yakni menjamin berjalannya sistem dan kelangsungan masyarakat. Namun, dalam hal apakah dan bagaimana institusi bisnis bisa menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat?
Perusahaan-perusahaan bekerja dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa. Perusahaan juga membutuhkan konsumen untuk membeli produk mereka. Di lain pihak, masyarakat membutuhkan layanan penyediaan barang dan jasa oleh perusahaan karena tidak semua kebutuhan bisa dipenuhi sendiri. Hubungan saling membutuhkan ini terjadi secara alami, tidak direkayasa oleh siapa pun. Hubungan yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat pembeli adalah hubungan saling menguntungkan. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari selisih harga, sementara masyarakat mendapatkan keuntungan dari tersedianya barang dan jasa karena mereka tak perlu bersusah payah menyediakannya sendiri. Dengan sekali jalan ke supermarket, semua kebutuhan tersedia di sana.
Namun, keuntungan kelihatannya lebih banyak berpihak kepada perusahaan. Kaum Marxis melihat “dosa” yang dilakukan oleh kaum kapitalis terutama dalam proses produksi, di mana buruh mengalami eksploitasi yang berlebihan. Perusahaan memberikan ongkos buruh yang rendah, jam kerja yang panjang, dan minimnya (terutama di Indonesia) jaminan keselamatan yang memadai. Setelah menekan ongkos produksi serendah-rendahnya, perusahaan lalu menjual produknya dengan harga yang tinggi. Kini yang menjadi korban kaum kapitalis adalah konsumen atau masyarakat umum. “Dosa“ perusahaan berasal dari dua arah, yakni, dari keringat buruh yang tidak dibayarkan sebagaimana mestinya, dan kedua, dari harga tinggi yang harus dibayar masyarakat atas produk-produk yang dibuat perusahaan.
Dalam kondisi seperti ini meluasnya permusuhan terhadap pihak perusahaan menjadi tak terelakkan. Gerakan global menentang praktik kapitalisme yang dianggap telah menyengsarakan miliaran umat manusia kini marak di mana-mana. Secara mikro, perusahaan dalam hal ini harus memikirkan dampak buruk yang potensial terjadi bila sikap tak bersahabat dari masyarakat semakin hari semakin menipis. Perusahaan harus mendefiniskan kembali raison d’ĂȘtre-nya bagi masyarakat dan sistem sosial secara keseluruhan. Bila tidak, sentimen negatif yang muncul hanya akan merugikan pihak perusahaan sendiri. Itulah sebabnya, munculnya gagasan tentang filantropi dan CSR menjadi masuk akal dan tak terhindarkan.
Di sisi lain, yang tak kalah penting menyumbang terhadap dinamika ini adalah teknologi informasi dan komunikasi yang telah mendorong cepatnya informasi tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi menciptakan masyarakat yang semakin cerdas dan peduli dengan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Masyarakat semakin tahu apa yang dilakukan oleh perusahaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan mereka. Di Indonesia, sudah menjadi pemandangan yang lazim demonstrasi untuk menekan perusahaan mengubah suatu kebijakan atau menghentikan operasi yang dianggap merugikan. Masih belum lepas dari ingatan bagaimana masyarakat memprotes operasi perusahaan tambang Newmont Minahasa Raya yang dianggap telah mencemarkan lingkungan di pantai Buyat, Sulawesi Utara. Para aktivis lingkungan tidak bisa tinggal diam melihat masifnya kerugian yang dianggap disebabkan oleh Newmont. Teknologi informasi dan komunikasi telah mempercepat kesadaran akan lingkungan ini merata di masyarakat. Di Indonesia, munculnya puluhan stasiun televisi yang dibarengi dengan kebebasan pers pasca-1998 mempercepat tumbuhnya kesadaran ini. Hal lainnya, terjangkaunya telepon seluler oleh sebagian masyarakat telah memberikan pengaruh yang besar pada bentuk dan kualitas komunikasi. Komunikasi aktif di antara stakeholders melalui saluran komunikasi yang tersedia ini memungkinkan berbagai macam aspirasi masyarakat dapat dikedepankan ke hadapan perusahaan.
Selanjutnya pada bagian berikut akan dibahas secara lebih khusus pengertian kapitalisme, neoliberalisme dan globalisasi dan hubungannya dengan filantropi. Pembahasan secara khusus ini dianggap perlu untuk memperjelas pemahaman kita mengenai hakikat hubungan antara filantropi dan kapitalisme.
Kapitalisme, Neoliberalisme, dan Globalisasi
Kapitalisme, neoliberalisme, dan globalisasi adalah kata-kata besar yang sarat muatan ideologis yang telah mengisi ruang publik kita secara serentak di berbagai kesempatan. Praktik kapitalisme muncul pada abad ke-19 menyusul Revolusi Industri di Inggris, sedangkan kata kapitalisme sendiri berasal dari konsep Marx mengenai penguasaan alat-alat produksi oleh kelas kapitalis atau borjuasi.[10] Kata neoliberalisme dan globalisasi relatif baru digunakan. Ada yang memperkirakan kata globalisasi digunakan sejak 1990-an. Meskipun istilah-istilah ini dipakai hampir saling bergantian di berbagai tempat untuk menggambarkan ekonomi politik dunia dewasa ini, namun kata neoliberalisme tidak sepopuler dua kata lainnya. Ketiga kata ini tentu saja memiliki arti yang saling berbeda-beda meskipun ada keterkaitan di antara ketiganya.
Kapitalisme, seperti sempat disinggung secara sekilas sebelumnya, mementingkan kepemilikan pribadi, yang sering diperlawankan dengan paham sosialisme. Neoliberalisme bisa disebut sebagai turunan dari Kapitalisme yang mengedepankan pasar bebas di seluruh dunia.[11] Perdagangan bebas di seluruh dunia menciptakan situasi di mana setiap kelompok bisnis bisa berdagang di mana saja tanpa ada pembatasan. Situasi inilah yang disebut sebagai globalisasi. Namun globalisasi bukan hanya aktivitas dalam bidang perdagangan. Canggihnya alat komunikasi telah menimbulkan globalisasi budaya. Remaja-remaja usia belasan tahun di Tokyo, New York dan Jakarta meskipun belum pernah saling bertemu, mereka memiliki kesamaan selera dalam mode: rambut pirang, hidung ditindik, celana jeans gombor, dan sama-sama mendengarkan musik R&B – yang dalam beberapa puluh tahun lalu saat ayah-ayah mereka masih seusia mereka hal ini tak mungkin bisa terjadi. Lalu mengapa fenomena ini sekarang bisa terjadi? Jawabnya: MTV. MTV telah menyeragamkan selera remaja-remaja ini. Begitu juga dalam bidang politik. Format politik banyak negara semakin seragam. Demokrasi semakin hari menjadi standar praktik politik di dunia.
Di samping Kapitalisme, Neoliberalisme dan Globalisasi memiliki pengertian yang saling berdekatan dan sering digunakan secara bergantian, ketiga kata ini juga memiliki satu ciri lainnya, yakni, ketiganya oleh kaum Kiri dianggap sebagai penyebab segala bencana kemiskinan di seluruh dunia. Terutama Neoliberalisme, yang mengedepankan perdagangan bebas, telah dituduh memperlebar jurang antara negara kaya dengan negara miskin. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, kata-kata inilah yang sering digunakan aktivis antiglobalisasi untuk menyudutkan praktik neoliberalisme.[12] Mengapa bisa terjadi demikian? Kritik pedas aktivis antiglobalisasi terutama menyoroti mengenai tidak adilnya praktik perdagangan bebas oleh karena dalam perdagangan bebas negara dengan ekonomi kuat disamakan dengan ekonomi lemah: mereka sama-sama tidak boleh memproteksi barang mereka. Praktik ini dituduh telah menguntungkan negara-negara kaya di Utara, dan menimbulkan keterpurukan bagi negara-negara di Selatan.
Joseph Stiglitz, ekonom Amerika peraih Hadiah Nobel yang juga dikenal sebagai pengeritik globalisasi, secara terang-benderang menyebutkan adanya ketidakadilan yang dibuat oleh lembaga-lembaga perdagangan dunia.[13] IMF dan World Bank, dua lembaga keuangan dunia yang didukung sepenuhnya oleh Amerika, tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang membantu negara-negara di dunia untuk sembuh dari krisis ekonomi semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi. Sebaliknya, dua lembaga keuangan ini telah menggunakan pengaruhnya untuk tujuan-tujuan politik tertentu yang ditunggangi oleh kepentingan global Amerika. Resep-resep khas IMF dan World Bank yang terangkum dalam kebijakan structural adjustment seperti penghapusan subsidi, penghapusan proteksi, dan lain-lain kebijakan, amat menyengsarakan negara-negara yang sedang dalam “perawatannya“. Akibatnya, negara “pasien“ bukannya cepat sembuh dan sehat, melainkan semakin sekarat, bahkan ada yang tragisnya terus dalam keadaan koma.
Fundamentalisme pasar kaum neoliberal telah menciptakan ketidakseimbangan baru lanskap ekonomi dan politik global. Munculnya terorisme di kalangan sebagian penduduk dunia sebagiannya disebabkan oleh deprivasi ekonomi dan politik yang amat menyengsarakan. Secara ekonomi para teroris ini merasa tak berdaya melawan digdayanya kekuatan modal, dan secara politik suara mereka hampir-hampir tak terdengar. Singkatnya, para teroris menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tak kunjung mendapatkan tempat.
Untuk sejenak menengok ke belakang, sejarah kapitalisme dan korporasi sejak awal memang penuh diwarnai oleh adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya ketika korporasi menjadi perpanjangan tangan dari kolonialisme Eropa di negara-negara jajahan. Memang betul, ketika korporasi mulai muncul di Eropa pada awal abad ke-17, tujuannya bukanlah untuk mencari laba seperti dikenal dewasa ini. Sebagai lembaga nirlaba, korporasi Eropa diberikan tugas mulia untuk membangun fasilitas umum seperti universitas dan rumah sakit. Namun dalam perkembangannya, korporasi menjadi alat penghisap darah yang menindas ketika lambat laun secara perlahan korporasi bergandengan tangan dengan kolonilaisme Eropa di berbagai belahan dunia. Kerajaan Inggris memberikan semacam surat izin kepada korporasi untuk melakukan kegiatan perdagangan dalam upaya pemerintah kolonial memperluas pasar di negeri-negeri jajahan. (Jem Bendell dalam Anton Waspo 2004). Di Indonesia tentu saja kita mengenal VOC yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah Belanda. Sejarah kehadiran VOC di Indonesia penuh dengan penghisapan, pemaksaan dan kekejaman yang menorehkan penderitaan selama berabad-abad.
Dewasa ini wajah kejam korporasi dan kapitalisme semakin menampakkan diri sebagai alat pembunuh haus darah yang tak mengenal bahasa, bangsa, maupun warna kulit. Kapitalisme bisa muncul di mana saja karena ia telah mendapatkan legitimasi oleh lembaga-lembaga internasional yang dibentuk oleh negara bangsa-negara bangsa berdaulat. Tidak itu saja, kapitalisme adalah sebuah ideologi, suatu ajaran, yang memiliki perangkat filsafat yang lengkap, yang ditopang oleh argumentasi akademik yang kuat dan memukau. Pasar adalah segalanya. Bahkan pasar adalah tuhan yang sakral karena ia digerakkan oleh invisible hand yang keramat itu. Pasar menentukan arus barang dan jasa, fluktuasi harga, dan tentu saja, kemakmuran untuk seluruh penghuni planet. Para pemuja pasar percaya betul hanya pasarlah yang bisa membawa isi seluruh Bumi menuju kemakmuran.
Tetapi itulah ideologi. Ia akan dianut hatta kenyataan menunjukkan fakta sebaliknya. Kapitalisme yang lalu melahirkan globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas hanya membawa kemakmuran bagi negara-negara yang telah mapan berproduksi namun sebaliknya semakin membawa keterpurukan bagi negara-negara miskin yang baru belajar membuat barang dan jasa. Diktum ekonomi laissez-faire hanya melahirkan jurang dan ketimpangan ekonomi yang dalam karena prinsip ini telah menciptakan ketidakadilan dengan mengadu petinju profesional dengan bocah balita dalam satu ring yang sama. Tak cuma itu, kapitalisme pun memunculkan sikap-sikap serakah, mau menang sendiri, dan acuh terhadap lingkungan.
Karenanya, kritik merebak di mana-mana yang menghujat kapitalisme adalah kejahatan itu sendiri yang telah menciptakan kemiskinan, ketimpangan ekonomi Utara-Selatan, kerusakan lingkungan, dan berbagai persoalan sosial lainnya. Menanggapi ini, korporasi dan kapitalisme lalu mengembangkan suatu model strategi bisnis yang bertujuan untuk mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Dalam suasana seperti inilah sebagian praktik filantropi lahir.[14]
Filantropi dan CSR
Filantropi dan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility, CSR) memiliki spirit yang sama, yaitu memberikan empati kepada orang lain atas nama kemanusiaan. Filantropi adalah perwujudan dari rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang berwujud sumbangan dalam bentuk uang, barang, atau karya lainnya bagi orang yang membutuhkan atau untuk tujuan-tujuan sosial lainnya.[15] Di samping definisi normatif yang sangat positif ini, tidak sedikit kalangan yang memandang filantropi sebagai bentuk “bayar dosa” terhadap masyarakat oleh karena keburukan-keburukan yang telah dilakukan perusahaan.[16] CSR tidak hanya menyangkut hubungan perusahaan dengan publik di luarnya, namun juga terkait erat dengan tanggung jawab perusahaan dengan karyawannya sendiri, misalnya bagaimana perusahaan memberlakukan peraturan agar para karyawan dapat menyeimbangkan antara dunia kerja dengan keluarga.[17]
Agama-agama besar di dunia memiliki landasan teologis yang kuat mengenai pentingnya arti filantropi atau berbagi kepada orang lain.[18] Islam mengenal zakat, Hindu mengenal datra datrtva dan daanam parmrarth, Budha mengenal thambun dan thamtaan, dan Kristen mengenal tithing.[19] Tidak cuma agama yang mendorong masyarakat untuk berbagi kepada orang, budaya pun melakukan hal yang sama. Budaya-budaya di Asia, yang terkenal dengan sifat empatinya yang besar kepada sesama, juga demikian. Budaya-budaya di Indonesia terkenal dengan gotong-royong, bangsa Nepal mengenal muthi daan, guthi dan parma, dan lain sebagainya.[20] Budaya filantropi ini, dengan bentuk yang berbeda-beda pada setiap budaya, memiliki kesamaan filosofi dan prinsip dasar, yakni:
- Manusia tidak hidup sendirian di atas dunia ini, melainkan bagian dari masyarakatnya, lingkungan sosial yang lebih luas, serta jagad alam dan spiritual yang mengelilinginya;
- Dengan demikian manusia secara esensial bergantung dalam semua aspek kehidupannya pada orang lain;
- Karenanya ia harus selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan anggota masyarakat lainnya, yang dilandasi oleh spirit persamaan; dan
- Ia harus selalu berusaha sebisa mungkin untuk sejalan, dan melakukan yang sama serta menjadi sama seperti orang-orang lain dalam masyarakat.[21]
Bagi kalangan aktivis pemantau korporasi, filantropi dan CSR bukanlah bentuk tindakan belas kasihan perusahaan kepada publik oleh karena kebaikan hati perusahaan, tetapi sebaliknya merupakan kondisi sine qua non yang tercipta oleh karena sifat keberadaan perusahaan di tengah publik. Perusahaan dianggap berada di ranah publik dan keberadaannya dalam aktivititas bisnis sehari-hari telah mempengaruhi secara luas dan mendalam kepentingan-kepentingan publik. Operasi bisnis transnasional telah mempengaruhi masyarakat secara global dengan banyak kasus yang timbul di seluruh dunia. Sebagai contoh, perusahaan-perusahaan otomotif dunia harus ikut bertanggung jawab terhadap polusi dan semakin tingginya emisi karbondioksida di seluruh dunia. Emisi karbondioksida ini adalah salah satu unsur yang menimbulkan pemanasan global dan ketidakseimbangan ekologi dunia dewasa ini.
Sudah menjadi sebab-akibat yang logis jika kemudian perusahaan harus ikut bertanggung jawab terhadap segala akibat langsung maupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Perusahaan harus memberikan donasi kepada mereka yang sakit akibat terkena dampak operasi perusahaan; perusahaan harus memikirkan secara mendalam bagaimana mengurangi sehingga dampak buruk yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan menjadi seminimal mungkin; perusahaan harus ikut memikirkan bagaimana cara agar ketidakseimbangan ekologi dunia yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan dikembalikan ke keadaan semula. Tanggung jawab-tanggung jawab ini tidak saja bersifat moral, tetapi juga profesional. Perusahaan harus bersikap gentle dengan segala bentuk dampak yang ditimbulkannya. Perusahaan tidak bisa cuci tangan begitu saja atau pura-pura tidak tahu dengan segala macam dampak ini lalu melakukan business as usual. Bila ini yang terjadi, maka perusahaan telah mencoreng mukanya sendiri di depan publik yang semakin hari semakin kritis. Kehilangan muka di depan publik dengan semakin merosotnya citra perusahaan merupakan kondisi yang sangat dihindari oleh perusahaan-perusahaan berskala besar. Jika ini yang terjadi, kemungkinan besar tingkat competitiveness perusahaan akan semakin merosot. Karenanya, harus ada strategi untuk melindungi dan menyelamatkan perusahaan dari ancaman opini publik yang buruk.
Sebagiannya, filantropi dan CSR lahir dari penalaran seperti di atas. Logika seperti ini klop dan saling melengkapi dengan praktik kapitalisme global yang memang bertumpu dan sangat percaya pada kekuatan modal.
Cara pandang lain untuk melihat praktik filantropi dan CSR adalah dengan mengandaikan bahwa perusahaan di dalam dirinya telah terbangun praktik etika bisnis yang baik. Tentu asumsi ini bisa keliru oleh karena dewasa ini tidak sedikit perusahaan berskala besar yang mengabaikan etika bisnis demi mendapatkan keuntungan dengan cepat. Penyimpangan seperti ini tentu bisa terjadi di sektor apa pun, entah sektor pemerintah, LSM ataupun institusi publik lainnya.
Filsafat etika pada umumnya membicarakan tentang apa yang baik dan buruk, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan, serta kebebasan dan tanggung jawab seseorang baik kepada dirinya maupun masyarakat. Filsafat etika sangat dekat dengan ajaran moral di mana tolok ukur terakhir yang dijadikan patokan dalam pengambilan keputusan adalah hati nurani.
Akan halnya dengan bisnis, dewasa ini korporasi-korporasi dituntut untuk menerapkan standar etika yang tinggi dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Tak mengherankan karenanya di banyak sekolah bisnis di dunia mata kuliah etika bisnis telah dimasukkan dalam kurikulum yang terintegrasi. Asumsinya, berbisnis bukanlah semata-mata mencari uang, namun lebih dari itu, kalangan bisnis harus pula memperhatikan aspek-aspek nonbisnis yang bisa berpengaruh terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Kesimpulan
Setidaknya dalam praktik, tidak ada argumentasi yang kuat untuk memperlawankan antara filantropi dan kapitalisme. Justru keduanya saling membutuhkan satu sama lain agar masing-masing terus bisa hidup berdampingan. Seperti ditunjukkan oleh studi ini, filantropi memerlukan kapital agar seseorang bisa berderma. Sebaliknya, kaum kapitalis perlu mengadakan filantropi untuk – tujuan praktisnya – meyakinkan publik bahwa ia mempunyai perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial. Namun sebetulnya tidak cukup memadai hanya melihat filantropi perusahaan dari tujuan praktisnya saja. Harus dilihat juga bahwa banyak kalangan usahawan yang memang memiliki sifat dermawan seperti ditunjukkan oleh industrialis otomotif Henry Ford.[22]
Harus diakui, memang, kapitalisme memiliki wajah ganda. Di samping mendatangkan berbagai macam akibat buruk kepada miliaran umat manusia, para kapitalis juga sadar betul bahwa tanpa tanggung jawab sosial maka keuntungan hanyalah ilusi yang lambat laun akan hilang dengan sendirinya karena produk-produk mereka dijauhi oleh konsumen. Namun sebetulnya yang lebih mendasar adalah adanya kesadaran para kaum kapitalis bahwa mereka hidup di suatu dunia di mana orang-orang lain juga tinggal. Dunia yang satu ini oleh para fungsionalis disebut sebagai satu sistem layaknya organ manusia yang saling kait-mengait satu sama lain.
Paradoks filantropi dan kapitalisme, bagaimanapun mustahilnya dua gagasan ini seperti tampak di permukaan, bukanlah praktik dan produk intelektual yang asal jadi begitu saja tanpa ada preseden. Sebegitu bertentangannya kapitalisme dan sosialisme pun dapat dipadukan menjadi suatu gagasan yang bisa dipraktikkan menjadi kenyataan. Anthony Giddens (1998) telah menunjukkan dua ekstrim filsafat ini bisa menjadi satu tanpa saling menghancurkan satu sama lain. Dengan cemerlang Giddens melahirkan Jalan Ketiga yang mashur itu. Kalau Giddens bisa melahirkan Jalan Ketiga, mengapa kapitalisme dan filantropi harus mustahil?
Referensi Dikutip
Dictionary of Beliefs and Religion. 1992. Kent, Great Britain: Wordsworth.
Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising & IMC. New York: McGraw-Hill.
Ford, Henry. 2006. The International Jew (terjemahan). Jakarta: Hikmah-Zaman Baru.
Giddens, Anthony. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Cambridge, UK: Polity.
Haralambos dan Holborn. 2004. Sociology: Themes and Perspectives. London: HarperCollins.
Millet, Fabien Curto. 2005. The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in the 21st Century. Makalah dipresentasikan pada 35th ISC-Symposium at the University of St. Gallen/Switzerland, 19-21 Mei 2005.
Pacific Philanthropy Consortium. 2002. Giving and Fund Raising in Asia. Manila: Asian Development Bank.
Rostgaard, Tine. 2000. The Configuration of Corporate Social Responsibility. Makalah untuk Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of Social Research, Working Paper 3, 2000.
Stiglitz, Joseph. 2002. Globalization and Its Discontents. London: Penguin Books.
The Random House Dictionary of the English Language. 1968. New York: Random House.
Waspo, Anton. 2004. Partisipasi Publik dalam Tata-Kelola Sektor Korporasi. Surakarta: The Business Watch Indonesia.
Wibowo, I dan Francis Wahono (eds.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Yani, Buni. Filantropi dan Keadilan Sosial. Opini Republika, 19 Oktober 2004.
Situs Internet:
capitalism.org
importanceofphilosophy.com
isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm
mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.
thebodyshop.com.au
web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html
Endnote
[1] Buni Yani, editor buku Pengantar Memahami Hak Ekosob (2006), Pegangan Ringkas Pemenuhan HAM Pendidikan dan Kesehatan (2006), dan Sejarah Bank Indonesia Periode II: 1959-1966 (2005), juga editor Jurnal Aksi Sosial yang diterbitkan oleh Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial UI-Departemen Sosial. Mengajar Ilmu Komunikasi di Swiss German University di samping menjadi Direktur The Public Sphere Institute. Tamat dari program Master International Studies, Southeast Asian Studies, Ohio University dengan tesis politik pemberitaan konflik sektarian Maluku.
[2] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992. Definisi yang sama juga didapat dari www.capitalism.org: “Capitalism is a social system based on the principle of individual rights” (www.importanceofphilosophy.com).
[3] Lihat http://www.isc.hbs.edu/soci-corporate_philanthropy.htm. Pendapat Porter ini banyak mendapat kritik dan tentangan.
[4] Misalnya, lihat http://www.mhcinternational.com/articles/CSR_and_philanthropy.htm.
[5] Selanjutnya istilah-istilah kapitalisme, perusahaan, dan bisnis akan digunakan secara bergantian dengan pengertian yang sama.
[6] Uraian lengkap mengenai strategi komunikasi perusahaan dalam menjual produk, lihat Tom Duncan, Principles of Advertising & IMC, 2005.
[7] Lihat situs Body Shop, www.thebodyshop.com.au.
[8] “Functionalism views society as a system: that is, as a set of interconnected parts which together form a whole” (Haralambos dan Holborn, 2004:936). Di antara tokoh Fungsionalisme adalah Emile Durkheim, Talcott Parson, dan Robert K Merton. Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai aliran Fungsionalisme dalam Sosiologi, lihat buku Haralambos dan Holborn, Sociology: Themes and Perspectives, 2004:934-944.
[9] Terjemahan penulis. Berikut adalah teks aslinya: “The concept of ‘function’ in functionalist analysis refers to the contribution of the part to the whole. More specifically, the function of any part of society is the contribution it makes to meeting the functional prerequisites of the social systems. Parts of society are functional so far as they maintain the system and contribute to its survival. Thus a function of the family is to ensure the continuity of society by reproducing and socializing new members. A function of religion is to integrate the social system by reinforcing common values.” (Haralambos dan Holborn, 2004:938)
[10] Dictionary of Beliefs and Religion, 1992: 87-88.
[11] Lebih jauh mengenai pengertian istilah-istilah ini, lihat http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html.
[12] Lihat Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents (2002:24). Stiglitz dalam buku ini lebih banyak menyoroti peran lembaga-lembaga pendukung globalisasi seperti World Bank dan IMF dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang dibuat sehingga semakin memiskinkan negara-negara yang menjadi “pasien”. Di samping Stiglitz, lihat pula I Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, 2003.
[13] Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontents, khususnya Bab 6 “Unfair Fair Trade Laws and Other Mischief” (2002:166-179).
[14] Praktik filantropi lainnya ada yang didorong oleh keinginan untuk menghindari pajak, dan ada juga yang semata-mata digerakkan oleh tanggung jawab kemanusiaan untuk berbagi kepada sesama manusia.
[15] “Affection for mankind, especially as manifested in donations of money, property, or work to needy persons or to socially useful purposes”. (The Random House Dictionary of the English Language, 1968:996)
[16] Lihat misalnya pendapat yang diutarakan oleh Fabien Curto Millet dari Universitas Oxford dalam makalahnya (yang tak diterbitkan) berjudul “The Meaning of ‘Corporate Responsibility’ in the 21st Century”, yang dipresentasikan dalam 35th ISC-Symposium at the University of St. Gallen/Switzerland, May 19–21, 2005. Millet mengatakan: “CSR is an attempt by people worldwide to manually override values into a system which they perceive sacrifices them all on the altar of productivity… In fact, capitalism today is sick because of its own affluence, thereby providing an additional driving force behind the quest for corporate responsibility.”
[17] Lihat makalah (tidak diterbitkan) oleh Tine Rostgaard, “The Configuration of Corporate Social Responsibility”, Research Program on the Open Labor Market, The Danish National Institute of Social Research, Working Paper 3, 2000.
[18] Di antara doktrin yang melekat kuat pada agama-agama besar, khususnya Islam, adalah isu keadilan sosial. Keadilan sosial mendapatkan tempat sentral oleh karena tanpa adanya keadilan sosial, sistem sosial akan goyah. Dalam konteks inilah filantropi menjadi sangat relevan. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai hubungan antara filantropi dan keadilan sosial, lihat Buni Yani, Filantropi dan Keadilan Sosial, Opini, Republika, 19 Oktober 2004.
[19] Asia Pacific Philanthropy Consortium, Investing in Ourselves: Giving and Fund Raising in Asia, 2002:7-8.
[20] Ibid hal. 8-9.
[21] Ibid hal. 8.
[22] Kebaikan hati dan sifat kedermawanan sosial Ford dapat dibaca dalam pengantar bukunya yang kontroversial, The International Jew (terjemahan), 2006. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.