Friday, October 12, 2007

Berantas Korupsi dalam Tempo Sesingkatnya

Sinar Harapan, Selasa, 13 Januari 2004

Buni Yani
Direktur The Public Sphere Institute dan Dosen Luar Biasa Universitas Paramadina

Sekaranglah apa yang disebut dalam ilmu siasat sebagai ”kondisi hamil tua” untuk memberantas korupsi harus segera dibuat klimaks agar anak yang terlahir kemudian adalah anak sah reformasi, bukan anak haram berupa korupsi. Tafsir ini didasarkan atas dua sebab. Pertama, yang disebabkan oleh kondusifnya kondisi saat ini dengan beramai-ramainya masyarakat madani menggalang aksi pemberantasan korupsi yang didukung oleh liputan media yang luas.

Dua kelompok harus disebut di sini, yakni gerakan antikorupsi yang dideklarasikan oleh koalisi NU-Muhammadiyah yang didukung oleh Kemitraan, dan gerakan antisuap yang dideklarasikan oleh kalangan pengusaha dalam kelompok Kadin. Kedua kelompok ini dalam hitungan di atas kertas sudah bisa menjadi kelompok penekan yang signifikan agar pemerintah secepatnya melakukan tindakan yang perlu untuk memberantas korupsi. Kelompok-kelompok lainnya yang tergabung dalam kelompok profesional – seperti Masyarakat Profesional Madani – dan kelompok LSM serta mahasiswa harus terus didorong untuk melaksanakan aksi damai antikorupsi. Demonstrasi harus terus dilaksanakan untuk menunjukkan kepada pemerintah dan masyarakat luas setidaknya kita tidak tinggal diam dalam melawan korupsi.

Kedua, fakta meluasnya kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan di ruang-ruang publik kita sehari-hari yang menimbulkan ketakutan, rasa was-was dan tak tenang, tidak bisa kita terima terlalu lama sebagai sesuatu yang permanen. Alangkah absurdnya hidup ini bila kita dihinggapi oleh perasaan tak tenang ke mana pun kita pergi. Keadaan rentan yang ditimbulkan oleh kondisi ini semakin hari semakin memburuk. Pengamen bus kota kini tidak cuma berani secara vulgar mengatakan dirinya ”lapar” dan ”perlu makan”, tetapi juga berani memeras dengan ancaman-ancaman yang menakutkan. Kita semua tentu tak ingin menunggu datangnya seorang agitator lalu mengorganisasi mereka menjarah gedung-gedung tinggi di Jalan Sudirman sebagai akibat dari ketidakadilan dan timpangnya kondisi sosial.

Dan tesis ini bukannya tanpa preseden sejarah. Peyerangan dan penjarahan oleh kelompok masyarakat terpinggirkan pada Mei 1998 di antaranya diakibatkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ini. Dan Revolusi Perancis 1789 terutama disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan sosial, dan kaum feodallah yang menjadi tumbal. Begitu massa yang begitu luas hidup dalam kemiskinan itu mengetahui hak-hak mereka untuk hidup telah dirampas oleh sesama warga negara lewat korupsi – dan negara tak melakukan apa-apa untuk mencegahnya – tak ada jaminan bahwa hidup kita akan berjalan normal seperti biasa, business as usual. Dan logikanya sangat sederhana. Bahwa, insting survival manusia sangatlah tinggi, dan itu bisa dicapai dengan tindakan yang sangat tak masuk akal, terutama bila disertai oleh frustrasi kolektif.Penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dalam beberapa bulan terakhir ini telah menambah angka kemiskinan, dan mereka yang hidup terlunta-lunta tanpa rumah untuk berteduh semakin kehilangan harapan untuk menjalani hidup yang normal. Hidup layak seolah tercerabut dalam sekejap. Anak-anak mereka tak bisa bersekolah, kondisi kesehatan yang semakin menurun, dan semakin kecilnya kesempatan mendapatkan pekerjaan layak untuk menghidupi keluarga.

Penggusuran ini menambah jumlah kelompok masyarakat yang semakin terpinggirkan, namun pemerintah seolah tak menyadari sedang menambah ”musuh” baru dalam tatanan sosial kehidupan berbangsa. Koalisi ”musuh-musuh” negara yang datang dari berbagai latar belakang frustrasi sosial ini sangatlah mengkhawatirkan. Bahan bakar amarah dan kebencian telah memenuhi seluruh kesadaran mereka untuk siap diledakkan setiap saat. Ancaman ini begitu manifes (nyata). Setiap saat kita bisa melihat sinar mata pengamen dan pengemis yang dipenuhi rasa ”iri” dan ”dendam” yang bertebaran di ruang-ruang publik kita.

Persamaan Politik
Dalam catatan pakar demokrasi Robert Dahl, di antara alasan mengapa orang memilih demokrasi sebagai bentuk negara adalah karena demokrasi dianggap bisa menciptakan ”kadar persamaan politik yang relatif lebih tinggi” bagi setiap warga negara (Dahl 2001:79). Namun ironisnya, klaim Indonesia sebagai negara demokrasi tak didukung oleh persamaan politik dan hukum bagi semua warga negara. Terlalu banyak kasus kasat mata yang bisa dijadikan contoh. Yang terbaru misalnya, bagaimana dalam sebuah perkara pencemaran nama baik seorang pengusaha kaya raya dengan gampang bisa meminta sita jaminan rumah seorang redaktur senior sebuah majalah dan begitu cepat dikabulkan oleh hakim, padahal kita tahu birokrasi kita begitu lamban dan berbelit-belit.

Praktik pilih kasih ini lebih nyata lagi dalam peradilan kasus korupsi. Harus disebut kembali di sini kasus Akbar Tandjung yang begitu fenomenal dan melecehkan rasa keadilan publik. Akbar, yang di tingkat banding pun tetap dijatuhi hukuman tiga tahun penjara pada Januari 2003, alih-alih meringkuk dalam penjara seperti diharapkan masyarakat pencari keadilan, sebaliknya malah sampai kini tetap memimpin rapat di DPR tanpa rasa malu sedikit pun.

Selama pemerintah tak memiliki kehendak politik untuk menjebloskan para koruptor ke dalam sel penjara, psikologi sosial yang berasumsi bahwa korupsi bukanlah sesuatu yang berbahaya dan riskan bagi pelakunya akan terus berlangsung. Sangat mengherankan mengapa pemerintahan Mega tidak memiliki kehendak politik untuk memberantas korupsi. Padahal ketika baru naik ke kursi kekuasaan Mega berjanji memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dan kini retorika itu kosong, bahkan menjadi kebohongan publik. Kondisi ini melahirkan rasa curiga yang tentu membahayakan posisi Mega.

Bahwa, jangan-jangan keengganan politik Mega untuk memberantas korupsi disebabkan oleh keterlibatan diri dan orang-orang di sekitarnya dalam korupsi. Orang bersih tak takut menghilangkan tindakan kotor, sementara orang kotor sendiri takut melakukannya karena bisa terseret dan menjadi tumbal tindakannya sendiri. Mega harus menjelaskan posisinya kepada publik, agar semakin terbuka pilihan-pilihan rasional yang bisa diambil terutama karena telah menjadi calon presiden final dari PDIP dalam pemilu 2004.

”Blitzkrieg”
Seringkali suatu aksi yang terlalu lama mencapai klimaks akhirnya layu dan mati sia-sia sebelum mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena para aktivis gerakan sangat sulit mempertahankan tingkat ketegangan moral dalam mencapai tujuan. Jarak waktu start gerakan dengan klimaks harus dibuat pendek agar spirit gerakan tetap tinggi.

Begitu juga dengan gerakan antikorupsi yang kembali marak dalam beberapa waktu terakhir ini. Ia terancam gagal kembali bila terlalu lama mencapai klimaks. Kita telah belajar selama lima tahun masa reformasi untuk memberantas korupsi yang sampai kini hasilnya tak efektif. Gerakan yang tak terpadu dan tak terarah membuat gerakan antikorupsi selama ini hanya menjadi retorika tanpa makna.

Dalam beberapa waktu terakhir ini tampak ada psikologi sosial yang kondusif untuk mempercepat tempo gerakan antikorupsi sehingga seluruh lapisan masyarakat segera mendukungnya. Dan bila seluruh lapisan masyarakat mendukung gerakan ini, bisa dikatakan bahwa inilah gerakan yang potensial menjadi penekan pemerintah. Dan apabila pemerintah masih saja enggan merespons keinginan rakyatnya untuk memberantas korupsi, maka ia harus diberi hukuman dalam pemilu 2004 dengan tidak memilihnya.

Jadi, gerakan antikorupsi ini harus cepat dibuat klimaks. Taktik seperti ini menyerupai blitzkrieg atau perang kilat. Musuh diserbu dalam tempo yang cepat sehingga mendapatkan hasil yang efektif. Taktik ini memiliki setidaknya dua keuntungan. Pertama, terjaganya tingkat ketegangan moral para aktivis antikorupsi, dan kedua, relatif lebih cepat menyebar sebagai gerakan yang efektif.

Dan perang kilat melawan antikorupsi saat ini sangatlah tepat waktunya karena ia harus menjadi agenda menjelang pemilu 2004. ###

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.