Friday, October 12, 2007

Dumbing Down TV

Republika, Rabu, 06 Oktober 2004

Buni Yani
Direktur The Public Sphere Institute dan Redaktur Eksekutif Jurnal Aksi Sosial UI-Depsos

Industrialisasi media kini telah menyebabkan banalisasi yang mengkhawatirkan banyak kalangan, terutama mereka yang berharap media menjadi agen perubahan. Media secara perlahan-lahan menjelma menjadi candu yang merongrong kecerdasan publik karena sifat edukasinya yang semakin menipis. Orkestra keluhan, keprihatinan, dan kekecewaan disuarakan oleh berbagai kalangan -- mulai dari para agamawan, cendekiawan, aktivis LSM pemantau media, hingga masyarakat akar rumput -- yang menuding media telah terlalu banyak bermain-main dengan perannya yang luhur. Alih-alih menjalankan perannya seperti diharapkan, media malah menyebarkan kedangkalan dalam program-programnya.

Kini media kita rupanya seperti pedang bermata dua, bergantung di tangan siapa pedang itu berada. Kelompok yang ingin menempatkan media sebagai pilar keempat demokrasi telah dan selalu menunjuk media sebagai alat untuk menciptakan ruang publik yang luas bagi kontestasi demokrasi. Namun ketika media berada di tangan industrialis pemilik modal, media telah berubah fungsi sebagai alat produksi yang harus bisa mendatangkan benefit atau marjin untuk akumulasi modal.

Dua kelompok ini telah sejak awal saling berebut klaim tentang peran apa yang sesungguhnya media harus mainkan di tengah masyarakat. Media jadi rebutan karena ia berada di tengah, menjadi medium, yang dicari oleh semua orang karena letak dan posisinya yang strategis. Karena letaknya di tengah, maka media dekat dengan siapa pun, baik pihak yang berkuasa maupun rakyat biasa. Media menjadi primadona di kala genting untuk meluruskan yang abu-abu dan hitam kelam. Media menjadi ujung tombak di kala jaya agar kejayaan itu diketahui dunia.

Imperatif globalisasi
Imperatif globalisasi yang tak bisa dibendung oleh siapa pun kini merambah ke mana-mana, melumat apa saja, termasuk media yang sejak awal ingin berdiri sebagai institusi tengah yang bisa dijangkau oleh siapa saja. Globalisasi kapitalisme telah mengubah media menjadi barang dagangan, yang tentu harus mendatangkan keuntungan. Seperti itu yang terjadi di Amerika, dan sekarang itulah yang terjadi di Indonesia.

Sayangnya, ada perbedaan apa yang terjadi di sini dan di sana. Sejarah kapitalisme Amerika adalah sejarah yang matang, namun sejarah kapitalisme Indonesia adalah sejarah yang belum menemukan bentuk di tengah keragu-raguan memihak pasar atau rakyat. Sebagai contoh, kompetisi industri TV sebagai media penyiaran komersial di Amerika telah dimuali sejak 1952 ketika telah berdiri 108 stasiun TV. Sepuluh tahun kemudian jumlah ini membengkak menjadi 541 stasiun (Dominick et al. 2001). Di Indonesia, di tahun 2004 ini, kita baru memiliki 11 stasiun TV nasional dan sejumlah stasiun TV lokal. Begitu pincangnya perbedaan itu, dan begitu jauh ketertinggalan yang harus ditutupi bila harus bersaing secara terbuka. Maka tak heran menonton program TV Indonesia seperti menonton program TV Amerika, karena semua dibeli dari sana. Mulai dari Indonesian Idol sampai acara Nickelodeon, mulai dari film Hollywood hingga program wild life, semuanya berasal dari Amerika.

Di tengah iklim kompetisi stasiun TV yang ketat untuk mendatangkan laba yang sebanyak-banyaknya, hampir semua stasiun TV Indonesia bersaing menjual produk dari Amerika. Kalau tak mampu atau malu menjual barang aslinya, boleh juga menyadur atau meniru sebagian-sebagian. Yang penting kapital harus kembali, yang penting break even point (BEP) sudah harus tercapai dalam sekian tahun, dan yang penting laba sudah harus didapat dalam tenggat waktu tertentu.

Imperatif kapitalisme global ini menggoyang apa saja, termasuk ketahanan budaya nasional, dengan membanjirnya program-program TV dari Amerika. Kompetisi kapitalisme adalah memenangkan pasar sesempurna-sempurnanya. Dengan begitu, "suara pasar adalah suara Tuhan". Maka bila pasar suka dengan Indonesian Idol -- yang bisa menaikkan rating -- maka stasiun TV harus menayangkan program seperti itu. Bila gosip selebriti dan misteri begitu ditunggu-tunggu pemirsa, maka program seperti ini harus dilipatgandakan produksinya. Maka, ruang publik TV kita kini penuh dijejali oleh infotainmen.

Bahkan program berita yang semestinya dimaksudkan sebagai sesuatu yang berbeda dengan infotainmen, kini hal itu tak lagi berlaku karena telah dirasuki oleh hal-hal yang berbau infotainmen. Sebuah stasiun berita nasional kita dengan sangat mencolok memilih para pembaca beritanya dari mereka yang memiliki "kecantikan" yang tidak kalah dengan kecantikan selebriti, meskipun kemampaun membaca beritanya rendah, teknik wawancaranya "buruk", dan "kecerdasan" menjadi seorang jurnalis sangat bisa dipertanyakan. Keharusan bisnis TV kita kini menjadi sesuatu yang sangat ragawi, sesuatu yang harus bisa dinikmati oleh mata, meskipun secara substantif isi pesan menjadi dangkal.

Dumbing down
Pada titik ini mungkin tak terlalu salah apa yang dikeluhkan oleh Brian McNair (2000), bahwa media -- tidak saja di Inggris -- telah terjatuh menjadi media yang dumbing down (menurun kualitasnya), karena terlalu banyak menyiarkan infotainmen di satu sisi, dan terlalu kurang memberikan sumbangan bagi proses democratic politics di sisi yang lain. Apa boleh dikata, kelompok yang mengidealisasikan media sebagai agen perubahan harus gigit jari dengan semakin parahnya kondisi ini. Rupanya kini bandul sedang bergoyang ke arah kapitalis media yang sedang memainkan hitam-putihnya media.

Sejak awal pemikir Sekolah Frankfurt Theodor Adorno begitu pesimis akan peran media di tengah masyarakat. Bahkan dengan konotasi yang agak negatif Adorno (1991) menyebut media sebagai agen culture industry (industri budaya) -- suatu istilah yang sama padanannya dengan budaya massa -- karena dampak negatif media yang cenderung menyeragamkan selera publik untuk berkonsumsi. Dalam argumentasi Adorno, media telah membaurkan "budaya tinggi" dengan "budaya rendah" yang mereduksi kecerdasan publik. Kritik ini semakin menemukan gaungnya kini di sini tatkala sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara serius justru terlalu banyak sifat main-mainnya. Merencanakan demokrasi ke depan bukanlah proyek biasa yang bisa selesai dengan menghadirkan terlalu banyak goyang dalam ruang publik TV kita.

Kelihatannya pemerintahan baru yang terpilih nanti harus memberikan perhatian lebih pada masalah ini. Lembaga sensor harus lebih diberdayakan agar tayangan-tayangan yang tidak mendidik tidak memperbodoh masyarakat. Frekuensi dan jam tayang mistik, goyang "tidak senonoh", dan kontes-kontes yang meracuni pikiran masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga publik tidak terjebak dalam situasi keterperangkapan informasi yang merugikan. Bila tidak, demokrasi kita, yang salah satu pilarnya adalah kecerdasan untuk aktif berpartisipasi di dalamnya, bisa terbajak para kapitalis media di tengah jalan karena terlalu banyak menyuguhkan candu yang meninabobokkan masyarakat. ###

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.