Koran Tempo, 20 Juni 2001
Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS
Teks De la grammatologie (1967) Jacques Derrida mungkin ada gunanya dibaca kembali untuk melengkapi wacana pers kita. Kata "gramatologi" belum dimasukkan sebagai entri dalam kamus umum bahasa Prancis dan Inggris, tapi Derrida memaksudkan terminologi ini sebagai la science de l'ecriture (ilmu tentang penulisan) dalam pengertiannya yang sangat filosofis (Derrida, 1967:13). Derrida tentu masih relevan untuk diacu, karena karya-karyanya telah menjadi subyek lebih dari 400 buku, dan dalam 17 tahun terakhir telah dikutip lebih dari 14 ribu kali dalam jurnal-jurnal dan artikel-artikel (http://prelecture.stanford.edu).
Tulisan ini akan membahas "manifesto" Derrida dalam De la grammatologie dan relevansinya dalam ilmu penulisan. Manifesto itu berbunyi, "Ilmu penulisan dengan demikian haruslah mencari obyeknya pada akar keilmiahan" (La science de l'ecriture devrait donc aller chercher son objet a la racine de la scientificite), dan gramatologi diharapkannya menjadi "ilmunya ilmu yang tidak lagi berbentuk logika tapi juga berbentuk ilmu tata bahasa" (Science de la science qui n'aurait plus la forme de la logique mais de la grammatique) (Derrida, 1967:43).
Manifesto Derrida memiliki relevansi dengan ilmu jurnalistik karena ilmu jurnalistik juga berkenaan dengan ilmu penulisan. Bila gramatologi menyangkut teori penulisan secara umum, maka ilmu jurnalistik berkenaan dengan ilmu penulisan dalam melaporkan peristiwa-peristiwa. Keterkaitan kedua ilmu ini semakin nyata dengan tren ilmu jurnalistik dewasa ini yang mengembangkan pola jurnalistik kesusastraan (literary journalism). Dalam jurnalistik kesusastraan, penulis atau wartawan tidak hanya diharuskan menguasai logique untuk mengolah informasi, tapi juga diharuskan menguasai grammatique untuk menciptakan nuansa literer dalam teks berita.
Namun, ada kesenjangan yang perlu dibenahi dalam pers kita yang membawa akibat serius. Pers kita secara umum baru belajar bagaimana menggunakan logique yang benar dalam tradisi strukturalisme, padahal strukturalisme telah didekonstruksi Derrida dalam gramatologinya. Grammatique yang menjadi kelebihan gramatalogi Derrida belum banyak disentuh karena berbagai kendala. Kesenjangan ini membawa implikasi dalam wacana dan praksis pers.
Dalam strukturalisme, pendiri linguistik modern Ferdinand de Saussure merumuskan bahasa sebagai terdiri dari hubungan arbitrer antara dua tanda, yaitu penanda (signifiant), atau kata, dan tertanda (signifie), atau konsep yang dirujuknya. Dalam pers, hubungan penanda dan tertanda ini analog dengan hubungan antara teks berita dan peristiwa yang dilaporkan. Selalu ada keterkaitan antara berita dan peristiwa, tak mungkin salah satunya berdiri sendiri atau meniadakan yang lainnnya.
Sebaliknya, pers kita berkecenderungan melakukan dua anomali sekaligus, yaitu melaporkan peristiwa yang seharusnya tidak dilaporkan, dan tidak melaporkan peristiwa yang seharusnya dilaporkan. Atau, dalam strukturalisme de Saussure, menciptakan penanda yang tidak ada rujukan konsepnya dan tidak menciptakan kata yang ada konsepnya.
Praksis pers seperti ini berpengaruh besar dalam kerja pers. Sekalipun sebuah peristiwa terjadi, bila ia tak diberitakan, peristiwa tersebut gagal menjadi sebuah teks yang memiliki kekuatan untuk menciptakan logos. Sebaliknya, bila sebuah teks berita ada, namun tidak mengacu kepada suatu peristiwa apa pun, katakanlah fiktif, maka teks tersebut tak bisa digolongkan menjadi sebuah kebenaran karena ia tak merujuk ke mana pun.
Anomali ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan, di antaranya adalah kuatnya pengaruh faktor luar pers yang tak ada sangkut-pautnya dengan kerja pers, seperti faktor-faktor ekonomi, politik, dan kebudayaan. Anomali ini menyebabkan pers menjadi instrumen yang dikuasai oleh faktor luar dirinya, lalu gagal menjalankan fungsi idealnya sebagai agen produksi teks yang merujuk kepada kebenaran peristiwa tertentu.
Tidak cuma itu, organisasi pers juga menjalankan ekonomi pemberitaan secara ketat, yakni telah ditentukan mana berita yang harus diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi oleh publik. Ada blok yang diciptakan untuk mengabaikan atau meniadakan sama sekali suatu peristiwa yang dianggap tidak sejalan dengan misi dan visinya. Sebagai contoh, dalam melaporkan konflik sektarian Maluku, media yang memiliki latar belakang Islam cenderung meniadakan sama sekali fakta-fakta (kebenaran) yang bisa memojokkan umat Islam. Sebaliknya, media yang memiliki latar belakang Kristen mengabaikan fakta-fakta yang bisa menyudutkan umat Kristen.
Praksis pers seperti ini menciptakan penyimpangan logika pers yang serius. Adagium pers sebagai medium pemberitaan yang mencerdaskan berubah menjadi lembaga yang partisan yang abai terhadap tanggung jawab idealnya.
Dengan demikian, pers kita dalam kerangka Derridean belum sampai pada pascastrukturalisme atau pascamodernisme, tapi masih berkutat dengan strukturalisme, seperti logique yang masih harus dibenahi. Namun, Derrida telah meninggalkan strukturalisme dan melakukan dekonstruksi. Ia mengajukan konsep baru, yaitu signifiant (penanda) dan verite (kebenaran). Dalam sebuah tulisan, kata Derrida, hubungan "rasionalitas" antara kedua konsep tersebut telah mengalami "perusakan" (demolition) dan "pembongkaran" (de-construction) (Derrida 1967:21).
Dalam gramatologi, logique adalah kemestian untuk bisa berangkat ke grammatique. Tetapi bila logique telah dikuasai, ia harus dihancurkan dan dilebur bersama grammatique. Maka, seperti dalam manifesto gramatologi, suatu tulisan yang mencari objeknya dalam akar keilmiahan akan menjadi ilmunya ilmu yang tidak melulu berupa logique, tetapi juga grammatique.
Sementara itu, tentang pers kita, secara konseptual dan praksis masih jauh ketinggalan. Belum lagi melangkah ke grammatique, mereka masih berkutat dengan persoalan logique. Belum lagi melakukan dekonstruksi, tetapi baru belajar konstruksi. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.