Berpolitik.com, Rabu, 16 Agustus 2000, @00:34 WIB
Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS
Setelah serdadu-serdadu Australia itu berhasil menunjukkan bahwa tentara Indonesia tak berdaya memadamkan kekacauan di Malu ku, mereka lalu berkonvoi dan berbaris keliling kota untuk merebut hati rakyat. Sebagian besar Muslim menolak, hampir seluruh pemeluk Kristen dengan suka cita mengelu-elukan kedatangan “sang pahlawan” pembawa perdamaian. Komandan serdadu lalu bertanya kepada rakyat, apa pendapat mereka tentang pemerintah Indonesia? Apakah mereka masih mempercayai kemampuan Indonesia melindungi dan mengelola warganya? Apakah mereka ingin tetap dalam wilayah Indonesia atau memisahkan diri? Menjawab pertanyaan itu, masyarakat Maluku terpecah lagi menjadi dua, ada yang setuju, ada yang tidak. Komandan serdadu lalu mengajukan pertanyaan pamungkasnya, apa Saudara-saudara sekalian ingin referendum saja?
Mimpi buruk itulah yang pertama kali terbayang ketika Australia kembali dengan high profile berminat “membantu” Indonesia dalam memecahkan sengketa berbau agama di Maluku dan Maluku Utara. Usaha Menteri Pertahanan Australia John Moore melobi Menteri Pertahanan AS William Cohen (The Jakarta Post, 18/7) adalah langkah awal yang patut menjadi perhitungan masyarakat Indonesia untuk melihat apa agenda Australia di balik tawaran itu. Cohen mengakui kemampuan Australia dalam mengelola keamanan di wilayah Asia Tenggara. Mengenai konflik di Maluku, Cohen berkata, “...we believe Australia is closer to the situation. That we look for some leadership on the part of Australia in terms of formulating our own policies in the region (...kami percaya Australia lebih dekat dengan persoalan di sana. Kami mencari sebagian kepemimpinan Australia dalam hal merumuskan kebijakan-kebijakan kami di wilayah ini)” (Reuters, 17/7). Kepercayaan AS terhadap Australia bukanlah tanpa alasan. Masih segar dalam ingatan bagaimana tentara Australia memimpin tentara PBB ketika referendum dilaksanakan di Timtim pada Agustus 1998. Alih-alih menjadi penonton dan fasilitator referendum yang adil, seperti dituduhkan sebagian masyarakat Timtim, tentara Australia malah telah mengotori tangan mereka dengan mendukung masyarakat Timtim prokemerdekaan.
Masyarakat Indonesia dan pemerintahan Abdurrahman Wahid perlu kiranya mempertimbangkan beberapa hal mengenai “niat baik” Australia tersebut untuk “membantu” Indonesia.
Pertama, adagium yang mengatakan bahwa kepentinganlah yang abadi dalam politik kiranya berlaku dalam setiap kebijakan luar negeri pemerintah Australia. Pemerintah Australia tak segan-segan menunjukkan “kemunafikannya” dalam hal Timtim. Di masa pemerintahan sebelumnya, pemerintah Australia mendukung integrasi Timtim ke dalam wilayah Republik Indonesia. Australia ketika itu tergolong berani keluar dari mainstraim ketika PBB tak mengakui integrasi Timtim ke dalam wilayah Indonesia. Tapi di masa Timtim diberikan kesempatan untuk melaksanakan referendum, Australia mulai menunjukkan siapa dia sesungguhnya. Pengalaman tak sedap ini bukan tak mungkin terjadi pada Maluku bila penanganan keamanannya dipercayakan kepada Australia.
Kedua, “niat baik” pemerintah Australia ini haruslah memiliki standar yang jelas. Bila ingin membantu Indonesia dalam memecahkan konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara, harus jelas tujuan dan sasarannya. Pemerintah Indonesia melalui Menlu Alwi Shihab telah berulang kali menegaskan tak akan ada campur tangan tentara asing untuk mengatasi kemelut di Maluku. Campur tangan asing hanya diperbolehkan dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Pernyataan Menlu kiranya menjadi isyarat yang positif untuk membendung menggebu-gebunya “niat baik” Australia tersebut. Namun satu hal yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana melaksanakan komitmen untuk tidak membiarkan pasukan asing turut campur dalam konflik Maluku. Diplomasi intensif untuk itu diperlukan. Tidak saja di PBB, AS dan Australia, namun juga di negara-negara yang potensial menjadi sekutu Australia untuk mewujudkan niatnya ini. Karenanya, diplomat-diplomat di setiap Kedutaan Besar RI perlu diberdayakan seoptimal mungkin agar tidak terulang lagi tragedi diplomasi seperti pada kasus Timtim.
Ketiga, segala bentuk “bantuan” dan “niat baik” masyarakat Australia, terutama yang terlembaga dalam bentuk NGO-NGO haruslah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Harus diakui bahwa NGO bukanlah suatu organisasi tanpa kepentingan dan agenda. Pengalaman buruk kasus Timtim mengajarkan bahwa label kemanusiaan yang distempel dalam setiap bantuan organisasi-organisasi internasional, termasuk yang berasal dari Australia, kini harus kembali dipertanyakan. Logika sederhana bisa menjelaskan hal ini. Kenapa lembaga-lembaga itu ribut-ribut mengenai kericuhan di Timtim, sementara pembantaian oleh militer di Aceh dianggap sepi saja oleh mereka? Dengan kenyataan ini, patut menjadi kecurigaan bahwa ada sentimen primordial yang paling dalam yang melibatkan setiap “niat baik” dalam bentuk “bantuan” kemanusiaan itu. Dan sentimen primordial ini yang paling gampang dimanipulasi untuk kepentingan politik.
Keterlibatan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS) dalam konflik berkepanjangan di Maluku dan Maluku Utara masih perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut. Indikasi ke arah itu telah banyak disinyalir, terutama oleh golongan Muslim garis keras. Teori konspirasi ini menyebutkan adanya keterlibatan aktivis RMS di Belanda yang ingin “come back” memanfaatkan suasana politik di Tanah Air yang sedang tidak menentu. Namun cendekiawan seperti George Aditjondro (makalah, 2000) membantah kongkalikong seperti ini. Suara bantahan lain yang lebih keras mengatakan bahwa teori konspirasi seperti ini hanya dipercayai oleh orang yang mengidap paranoia. Bisa jadi kalangan Muslim garis keras mengidap penyakit semacam “paranoia” yang selalu ketakutan setelah begitu lama terpinggirkan dalam setiap wacana ekonomi, sosial dan politik di Tanah Air. Namun kiranya patut menjadi pertimbangan bagaimana aktivisme RMS ini mendapat perhatian pers di Belanda. Koran-koran seperti Rotterdams Dagblad dan Haagsche Courant masih terus memberitakan kegiatan-kegiatan RMS hingga kini, yang bisa ditafsirkan sebagai RMS belum mati dan akan terus berjuang untuk tujuan mereka. Pada tahun 70-an, aktivis-aktivis RMS di Belanda tak segan-segan melakukan teror dan kekerasan dalam bentuk pembajakan kereta api, pembunuhan dan penyanderaan untuk menekan pemerintah Belanda agar bersedia memberikan dukungan kepada mereka, serta menekan pemerintah Indonesia untuk mengakui mereka sebagai negara merdeka (Bartels, 1977:1)
Dengan lanskap sosial-politik seperti ini, di mana indikasi keterlibatan RMS sebagai salah satu biang keladi masalah di Maluku, kecurigaan terhadap setiap organisasi luar negeri yang berlabel kemanusiaan memiliki dasar. Organisasi-organisasi internasional yang berkedok kemanusiaan bisa saja menyerupai RMS yang memiliki agenda tersendiri di Maluku. Sentimen kesamaan agama akan menjadi perekat yang dalam untuk menjalin kerjasama, dan bukan tak mungkin untuk memisahkan diri dari NKRI.
Keempat, asumsi bahwa masyarakat Australia memiliki pandangan yang kritis terhadap setiap gerak langkah pemerintah Indonesia tercermin dalam pemberitaan-pemberitaan persnya. Bila beberapa NGO di Australia memiliki spesifikasi khusus untuk perjuangan kemerdekaan Timtim, maka seolah telah menjadi kesepakatan tak tertulis bagi kalangan pers untuk mengikuti trend serupa. Pers Australia tanpa membicarakan Indonesia, ibarat sayur tanpa garam, hambar dan tak enak rasanya. Dan membicarakan Indonesia tanpa menyinggung Timtim, sama nekatnya dengan mendirikan perusahaan pers untuk tak dibeli. Dan selalu yang menjadi agenda setting pers Australia ketika membicarakan Timtim adalah bentuk simpati mendalam terhadap Timtim karena telah “dicaplok” Indonesia dan tak pernah diakui PBB. Melihat pengalaman buruk ini, cukup beralasan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam menangani keterlibatan masyarakat Australia, termasuk persnya, di Maluku.
Kelima, lobi penentu untuk masuknya pasukan asing di Maluku kelihatannya ada di tangan AS, itu sebabnya Menteri Pertahanan Australia John Moore amat “ngebet” membicarakan kondisi di Maluku ketika Menteri Pertahanan AS William Cohen berkunjung ke Australia baru-baru ini. Moore memainkan kartunya setelah mengetahui pemerintah AS memiliki perhatian yang besar terhadap kondisi di Maluku. Juru bicara Deplu AS Philip Reeker secara resmi meminta “pemerintah Indonesia harus mencegah kelompok-kelompok terorganisir yang melakukan serangan dan menghentikan para ekstrimis dari luar Maluku memanas-manasi situasi dan terlibat dalam kekerasan” (editorial Republika, 24/6). Statemen keprihatinan AS ini dimanfaatkan oleh Menhan Australia itu untuk mengintensifkan lobinya agar bisa masuk ke Maluku.
Keenam, langkah Sekjen PBB Kofi Annan menelepon Presiden Abdurrahman Wahid untuk menanyakan keadaan di Maluku bisa ditafsirkan sebagai bagian dari “pengeroyokan” terhadap Indonesia oleh masyarakat internasional dari segala arah, agar membolehkan pasukan asing atau PBB diperkenankan masuk ke Maluku. Sebelumnya terdengar kalangan gereja di Australia menggalang simpati serupa, lalu 24 NGO Jepang, dan bukan tak mungkin hal ini akan menggelinding bagai bola salju bila tak mendapatkan penanganan serius. Sebelumnya hanya terdengar Human Rights Watch yang memberikan laporan secara teratur mengenai perkembangan di Maluku yang disertai rekomendasi-rekomendasi mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengatasi persoalan di daerah itu. Sementara Amnesty International kurang tertarik dengan masalah Maluku dan hanya memberikan sedikit porsi dalam laporan-laporannya, itu pun di bawah topik Timtim.
Kelihatannya Presiden Abdurrahman percaya terhadap Annan bahwa persoalan Maluku tak akan dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. Namun seperti dikatakan oleh Abdurrahman sendiri bahwa Annan “akan mencoba meyakinkan bahwa usulan-usulan (untuk pasukan di Maluku) tak akan dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB (will try to ensure that these proposals [for foreign troops in Maluku] will not be put on the agenda of the UN Security Council)” (The Jakarta Post, 18/7). Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa harapan Bapak Presiden itu akan menjadi kenyataan? Basa-basi diplomatik tingkat tinggi selalu sulit untuk ditafsirkan. Seringkali kenyataan di lapangan tak ada sangkut pautnya dengan janji-janji dan basa-basi seperti itu.
Melihat beberapa faktor di atas, sudah cukup alasan untuk mempercayai adanya agenda untuk memasukkan pasukan asing atau internasional ke Maluku. Seperti pengalaman kasus Timtim, pasukan Australia kelihatannya yang paling mungkin untuk direkomendasi PBB, setelah mendapat dukungan AS, untuk beroperasi dan menjadi komando di sana. Bila agenda masuk Maluku ini sudah tercapai, sulit menebak apa yang ada di balik kepala pemerintah Australia dengan sederet pengalaman tak sedap berhubungan dengan negara ini. Bisa jadi mimpi buruk itu benar-benar terjadi. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.