Kompas, Rabu, 17 September 2003
Buni Yani
Direktur The Public Sphere Institute dan Dosen Luar Biasa Universitas Paramadina
DI tengah harapan yang begitu besar akan datangnya zaman baru setelah reformasi digulirkan di Tanah Air, alih-alih sikap antusias dan optimistis yang muncul, sebaliknya malah frustrasi massal dan pesimisme kolektif terjadi di mana-mana. Fenomena ini terjadi karena secara substantif reformasi tak membawa perubahan, terutama bagi golongan kelas bawah. Tak mengherankan, karenanya, masyarakat di pedesaan menghidupkan kembali romantisme Orde Baru di mana kebutuhan pangan tercukupi, harga terjangkau, dan keamanan yang terjamin.
Di tengah defisit demokrasi yang kini sedang dihadapi, tidak seperti kalangan kurang terdidik di pedesaan, masyarakat kelas menengah terdidik perkotaan berpaling kepada media dan masyarakat madani untuk meluruskan jalannya reformasi yang hampir mati sia-sia. Dua agen demokrasi ini kini menjadi alternatif setelah negara menjadi semakin tak efektif dan terancam bangkrut.
Masyarakat kini tak bisa sepenuhnya menggantungkan harapan perubahan sosial pada negara. Setelah Habibie, lalu Abdurrahman Wahid dan kini Megawati memerintah, perubahan sosial tak kunjung tiba. Ekonomi yang tetap koyak, politik yang tak memberikan harapan, serta kehidupan sosial yang semakin mendekati deprivasi fatal, telah memotong harapan akan masa depan yang lebih baik. Itu baru masalah internal yang mendasar sifatnya. Bila menambahkan persoalan separatisme di Aceh dan Papua, serta semakin rapuhnya keamanan yang dibuktikan dengan meledaknya bom di Bali dan di Hotel Marriott Jakarta, kusutnya ancaman terhadap negara seolah tanpa henti menimpa. Dan, ironisnya, negara kini semakin impoten, bahkan terancam gagal.
Oleh karenanya, tak berlebihan bila kini satu-satunya harapan terletak pada kekuatan media dan masyarakat madani untuk mengambil alih peran pemerintah yang semakin tak efektif. Keduanya harus menjadi "alternatif" perubahan bila keinginan agar Indonesia terus ada adalah cita-cita bersama yang mesti diperjuangkan. Namun, pertanyaannya, apakah yang bisa dilakukan oleh media dan masyarakat madani? Bisakah keduanya menggantikan tugas pemerintah untuk menjalankan good governance? Dan, melalui proses apa kedua lembaga dapat menggantikan pemerintahan sah yang kini sedang berjalan?
Sebagai institusi tentu saja media dan masyarakat madani kehilangan legitimasi untuk menggantikan pemerintahan yang sah. Perjuangan demokrasi untuk menentukan pemimpin yang sah hanya bisa dilakukan melalui pemilihan umum yang sah pula. Yang bisa dilakukan media dan masyarakat madani untuk menyelamatkan reformasi adalah dengan melakukan pengawasan yang terus-menerus. Senjata utama kedua lembaga ini adalah diskursus. Dengan diskursus, kesadaran akan pentingnya nilai reformasi secara pelan atau pun cepat akan sampai kepada berbagai lapisan masyarakat. Melalui diskursus, media dan masyarakat madani bisa menjadi kelompok penekan pemerintah.
Dalam bukunya Global Voice: Civil Society and Media in Global Crisis (1999), Martin Shaw melihat masyarakat madani dan media ibarat ikan dan air dalam sebuah institusi demokratis. Intelektual Michael Walzer mendefinisikan media dan masyarakat madani sebagai "ruang hubungan manusia yang tak terbatasi dan seperangkat jaringan relasional-yang terbentuk demi keluarga, keyakinan, kepentingan, dan ideologi...." Bagi saya media dan masyarakat madani adalah dua ruang publik alternatif untuk keluar dari jejaring kekuasaan, terutama kekuasaan yang hegemonik dan tak memberdayakan.
Media dan masyarakat madani harus mendesakkan perubahan sosial, membangun jaringan yang memiliki kekuatan untuk "menantang" pemerintah. Kedua agen ini harus bisa menekan pemerintah untuk melaksanakan agenda reformasi. Sampai kini korupsi tetap merajalela, supremasi hukum belum juga tampak, dan profesionalisme pemerintah terlalu rendah dalam menangani kompleksitas krisis yang tak kunjung henti.
Sebuah evaluasi kasar kiranya dapat diberikan terhadap kinerja media dan masyarakat madani setelah lima tahun reformasi digulirkan. Hasilnya, media dan masyarakat madani sering kali dilihat sebagai tak bisa mengambil peran yang efektif untuk urusan publik yang teramat penting. Demonstrasi antikorupsi dimotori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) terjadi di DPR dan kantor pemerintah lainnya, lalu keesokan hari menjadi kepala berita di berbagai surat kabar. Sebaliknya, di lain pihak, banyak pula berita korupsi menginspirasikan terjadinya demonstrasi yang dimotori oleh kalangan LSM.
Namun, secara substantif apakah yang kita dapatkan? Ketua DPR Akbar Tandjung dan Jaksa Agung MA Rachman tetap menempati jabatan mereka masing-masing meskipun terlibat korupsi. Kedua tokoh ini memiliki jabatan publik tertinggi di bidang masing-masing. Keterlibatan mereka dalam tindak korupsi merupakan noda besar yang tak termaafkan. Seharusnya mereka mengundurkan diri demi menjunjung tinggi moral. Yang paling berkepentingan dan memiliki otoritas untuk memecat kedua orang tersebut adalah anggota DPR untuk Akbar Tandjung dan Presiden untuk Rachman. Namun, baik DPR maupun pemerintah, telah kehilangan cita-cita pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Di tengah reruntuhan rasa frustrasi itu kita mencoba mengais-ngais harapan dengan mengajukan pertanyaan sederhana. Mengapa perubahan tak juga muncul meskipun media dan masyarakat madani telah bekerja? Apakah kedua lembaga ini salah menjalankan pekerjaan sehingga hasilnya tak efektif?
Di satu sisi masyarakat madani dan media telah menemukan common denominator, namun di sisi lain kedua agen ini memiliki rencana aksi yang terbelah. Menyangkut isi korupsi, pada tingkat wacana, baik media maupun masyarakat madani sama-sama setuju korupsi harus segera dibasmi. Namun, dalam praktik, rencana aksi mereka pecah. Untuk kasus Akbar Tandjung, tidak semua media menyuarakan tuntutan vokal agar Akbar Tandjung diberhentikan. Dan, juga, tidak semua LSM dan kelompok masyarakat lainnya setuju agar Akbar Tandjung segera ditahan. Ternyata, masih ada pengecualian-pengecualian dalam hal-hal tertentu dan orang per orang yang menghambat tuntutan pembasmian korupsi. Pengecualian ini disebabkan oleh adanya kepentingan pragmatis ekonomi atau politik jangka pendek. Ini satu hal.
Hal lain, baik media maupun masyarakat madani di Tanah Air tampaknya terisolasi dari perkembangan global. Perkembangan yang terjadi di tingkat dunia kurang memberikan inspirasi yang signifikan bagi pergerakan kedua lembaga ini. Laporan investigatif yang kaya data dan tak terbantahkan kesahihannya mampu menjatuhkan Presiden Nixon di Amerika Serikat. Meskipun kasus Nixon tak terlalu tepat sebagai perbandingan karena mekanisme demokrasi dan pemerintahan berjalan baik di AS (sedangkan di sini tidak-seperti pada kasus Akbar), poin ini masih relevan untuk dibandingkan dengan media kita yang masih miskin laporan investigatif.
Banyak yang menyayangkan kematian jurnal Pantau yang pernah menjadi alternatif bagi jurnalisme investigatif. Adapun mengenai masyarakat madani kita, mereka gagal menjadi motor seperti ditunjukkan oleh kelompok-kelompok masyarakat madani di dunia. Tak berlebihan bila kita berharap adanya keberanian dan kemampuan dari LSM-LSM kita untuk mengorganisir sebuah demonstrasi antikorupsi yang bisa mengubah kebijakan pemerintah, seperti kelompok antiglobalisasi yang menggagalkan pertemuan di Seattle.
Mungkin perbandingan ini tak fair dan tuntutan kita terlalu mengada-ada, tetapi tanpanya kita tak akan pernah bisa beranjak dari kubangan lumpur korupsi yang semakin memurukkan kita. Kalau bukan sekarang, lalu kapan lagi. Atau seperti kata Chairil Anwar, "Sekali berarti, setelah itu mati". ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.