http://www.korantempo.com/korantempo/2007/09/01/Opini/krn,20070901,47.id.html
Koran Tempo, Sabtu, 01 September 2007
Buni Yani
Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar Ilmu Komunikasi di Swiss German University (SGU) BSD City, Serpong
Pemukulan ketua wasit karate Indonesia, Donald Kolopita, oleh polisi Malaysia merupakan pemantik yang dengan segera menjadikan api dalam sekam hubungan Indonesia-Malaysia berkobar dan membara di berbagai daerah Tanah Air. Protes, demo, pernyataan sikap, dan imbauan untuk memutuskan hubungan diplomatik adalah di antara tuntutan anak bangsa yang sedang marah, terhina, dan terlukai oleh sikap Malaysia itu. Kata maaf saja tak sudi diucapkan, lalu sikap empati dan sopan santun persahabatan apa lagi yang bisa diharapkan dari bangsa serumpun itu? Begitulah keluhan yang terlontar di mana-mana.
Kunjungan Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar ke Jakarta beberapa hari lalu pascapemukulan, alih-alih mendinginkan suasana, sebaliknya malah justru menaikkan suhu ketegangan pada aras hubungan antarpemerintah ataupun hubungan antarmasyarakat madani. Kata Albar, kata maaf merupakan sikap menghakimi empat oknum polisi Malaysia pelaku pemukulan bahwa mereka sudah pasti bersalah, padahal penyelidikan belum tuntas untuk bisa memutuskan apa yang sesungguhnya terjadi.
Secara hukum, Albar memang betul. Harus ada fakta akurat yang tersedia untuk mengambil sikap dan menyimpulkan sesuatu. Harus ada bukti-bukti keras yang bisa dijadikan acuan apakah empat polisi Malaysia itu ataukah wasit karate asal Indonesia yang bersalah. Namun, karena terlalu berpegang pada aspek legal inilah Albar telah tersandung oleh ucapannya sendiri. Sebagai Menteri Luar Negeri dari sebuah bangsa yang bermartabat, Albar telah gagal menunjukkan sikap bahwa bangsa Malaysia memang betul bangsa yang memiliki empati, bermartabat, santun, dan menghormati bangsa lain.
Sebagai menteri, Albar telah gagal memahami arti komunikasi politik dalam keadaan krisis. Dalam keadaan krisis, yang lebih penting ditonjolkan adalah sikap membuka diri dan rendah hati untuk memahami pihak yang sedang marah dan terlukai. Dalam kondisi ini yang paling penting adalah mendinginkan suasana yang sedang panas dan memberikan empati sedalam-dalamnya kepada pihak yang merasa dirugikan, bukan berdebat mengenai persoalan legal, menunjukkan sikap defensif, dan memberikan dalih yang semakin memperburuk suasana.
Secara psikologis, pihak yang merasa terlukai lebih menginginkan empati dan sikap simpatik lainnya, apa lagi kalau krisis tersebut terjadi dalam keluarga atau teman dekat. Namun, sekali lagi Albar telah gagal memahami secara baik psikologi kolektif bangsa Indonesia. Karena terlalu berpegang pada aspek legal yang normatif, Albar terkesan kurang sensitif terhadap perasaan bangsa Indonesia yang sedang marah.
Insiden pemukulan ini adalah pemicu yang meledakkan sentimen negatif bangsa Indonesia terhadap bangsa Malaysia karena serangkaian preseden buruk yang terjadi sebelumnya. Penganiayaan pembantu asal Indonesia oleh majikan Malaysia, kebrutalan polisi Malaysia terhadap pekerja migran asal Indonesia, isu perbatasan, pembalakan liar hutan Indonesia oleh pengusaha kayu Malaysia, serta isu-isu sensitif lainnya telah lama menjadi "dendam" terpendam yang tersimpan dalam sanubari kolektif bangsa Indonesia. Dalam semua kasus ini, bangsa Indonesia hampir selalu dalam keadaan yang kalah dan dirugikan.
Hal lain yang memperburuk suasana adalah berkembangnya stereotipe yang tidak menguntungkan kedua bangsa. Bagi bangsa Malaysia, bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak becus mengurus diri. Pulau Sipadan dan Ligitan kini bukan lagi milik bangsa Indonesia setelah Mahkamah Internasional di Den Haag memenangkan Malaysia dalam sengketa kedua pulau itu. Dalam krisis moneter 1997-1998, bangsa Malaysia mampu segera keluar dari krisis setelah memberlakukan kontrol devisa di bawah kepemimpinan Mahathir. Sebaliknya, Indonesia setelah 10 tahun berlalu masih tertatih-tatih mengayuh biduk ekonomi yang setiap saat mau karam akibat labilnya nilai tukar rupiah.
Di pihak lain, bangsa Indonesia menganggap bangsa Malaysia adalah bangsa yang sombong, di antaranya, karena kemakmuran ekonomi yang dicapai selama kepemimpinan Mahathir. Bagi bangsa Indonesia, terutama bagi yang pernah berkunjung ke Kuala Lumpur, sikap orang Malaysia sering kali menyakitkan hati karena mereka menganggap bangsa Indonesia adalah bangsa pembantu yang bisa diperlakukan tidak ramah, judes, dan semena-mena. Bagi bangsa Indonesia, sebutan "Indon" oleh orang Malaysia adalah penghinaan. Namun, sebaliknya, banyak orang Malaysia yang terus-menerus menggunakan kata berbau derogatif itu.
Sebagai anggota korps Wisma Putra yang terlatih dan terdidik dalam lingkungan diplomatik, Albar mestinya mampu menyelami suasana batin bangsa Indonesia daripada sekadar menyiramkan bensin ke dalam api yang berkobar di berbagai daerah Indonesia. Namun, sebesar apa pun kekhilafan Menteri Syed Hamid Albar karena tak bersedia meminta maaf mewakili bangsanya atas kasus pemukulan yang memalukan itu, bangsa Indonesia tidak boleh memakinya. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang semakin berjiwa besar dan bermartabat bila memaafkan Albar karena keengganannya meminta maaf. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.