Koran Tempo, Sabtu, 30 Oktober 2004
Buni Yani
Direktur The Public Sphere Institute dan Redaktur Eksekutif Jurnal Aksi Sosial UI-Departemen Sosial
Sinyal runtuhnya ruang publik kita jauh-jauh hari telah menampakkan diri dengan ancaman berskala tinggi. Namun, ironisnya, ancaman ini telah gagal memantik kesadaran berbagai kalangan untuk melakukan pencegahan sewajarnya demi membangun ruang publik yang nyaman bagi setiap warga negara.
Raison d'etre sebuah negara untuk menyediakan ruang yang nyaman untuk ditinggali telah gagal terpenuhi dengan sendirinya. Sebuah teori normatif tentang negara, yaitu teori kontrak sosial, percaya bahwa warga negara rela melepaskan sebagian haknya kepada negara dengan harapan negara akan memberikan jaminan bagi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, termasuk keamanan yang sangat elementer sifatnya. Bila tidak, untuk apa kita hidup bernegara?
Ancaman berskala tinggi yang kita hadapi bersama kini adalah masifnya kekerasan, baik dalam skala kualitas maupun kuantitas, di berbagai tempat di Tanah Air. Efek media elektronik yang oleh Joshua Meyrowitz (1985) disebut menyebabkan situasi "no sense of place"--tak ada tempat bersembunyi dari gempuran informasi--ikut memperburuk paranoia sosial akan meluasnya kriminalitas, kerusuhan, dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV kita.
Anehnya, negara seolah menganggap berbagai kekerasan ini adalah kasus-kasus yang terpilah, sendiri-sendiri, yang tak memiliki kaitan satu sama lain, dan, karena itu, tak memerlukan penanganan yang komprehensif dan terpadu.
Ketika kerusuhan Maluku meledak pada 19 Januari 1999, negara--juga masyarakat pada umumnya--percaya bahwa kekerasan tersebut adalah "rutinitas" yang menjadi mode temporer menjelang dan setelah runtuhnya Orde Baru, dan tentu saja akan padam dengan sendirinya. Namun, anggapan umum itu jauh dari benar.
Setelah tiga tahun berlalu, kekerasan masih berlanjut, yang disertai perusakan infrastruktur berskala luas, sementara upaya rekonsiliasi baru dimulai menjelang tahun keempat kerusuhan. Alhasil, tahap rekonsiliasi itu terus tertatih-tatih, dan hanya belakangan ini situasi kembali normal setelah kota Ambon menjelma menjadi puing-puing reruntuhan perang yang mengerikan.
Kerusuhan Maluku adalah serangkaian kekerasan yang terjadi di berbagai tempat di Tanah Air, seperti efek domino yang sulit dihindari. Pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, kekerasan di Tasikmalaya, dan konflik etnis Dayak-Madura di Sampit ada di antara penyebaran kekerasan itu secara masif.
Konflik terbaru yang masih berlangsung sekarang ini adalah konflik Mamasa, yang menjadi kado getir penuh darah menjelang pergantian kekuasaan dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono. Kini Mamasa menjadi kawasan penuh pengungsi dan ketidakpastian.
Asal muasal konflik sungguh tak bisa diterima akal sehat. Pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa di Sulawesi Barat, yang seharusnya cuma terkait dengan administrasi pemerintahan, ternyata berujung kekerasan yang merenggut jiwa. Kuat dugaan adanya politisasi dan manipulasi pemekaran wilayah ini menjadi isu agama, etnisitas, politik, dan ekonomi oleh segelintir elite daerah yang kepentingannya terganggu.
Telaah terhadap anatomi kekerasan dan penanganannya penting dilakukan karena kekerasan bisa menjadi batu penghalang proses demokratisasi secara baik. Bahkan, bila kekerasan terus berlanjut, yang ditandai dengan meletusnya konflik antaretnis dan antaragama, negara bangsa Indonesia terancam gagal. Dalam sebuah seminar di Jakarta, Profesor Robert Rotberg, Direktur Program Konflik John F. Kennedy School of Government, Harvard University, memberikan peringatan yang menyentak mengenai besarnya kemungkinan kegagalan itu terjadi di Indonesia dengan tak berfungsinya negara untuk meredam konflik.
Karena begitu mendesaknya penghentian kekerasan ini di Tanah Air, tak berlebihan bila semua komponen masyarakat diimbau ikut bersama dalam penanganannya. Di samping itu, yang tak kalah penting adalah studi tentang kekerasan untuk memahaminya secara baik untuk dijadikan dasar penanganan.
Dalam kaitan ini, mungkin sejumlah pertanyaan perlu diajukan untuk memahami anatomi kekerasan, di antaranya adalah bagaimana kekerasan itu timbul, bagaimana kekerasan itu menyebar, dan bagaimana kekerasan itu diterima publik sebagai kewajaran seolah tanpa reserve. Mungkin cukup berguna untuk melihat anatomi kekerasan ini secara kasar--sekaligus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas--dengan meminjam ilmu ekonomi yang mempelajari proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
Pertama, soal produksi kekerasan. Telah jamak disepakati para ahli bahwa produksi kekerasan dimulai dari sejumlah kondisi yang mendorong orang untuk melakukan kekerasan. Kondisi ini di antaranya adalah adanya perasaan tertekan, kesenjangan ekonomi, tidak adanya keadilan, kemiskinan yang mendalam, gaji yang kecil, pengangguran, keterpencilan sosial, serta perumahan yang buruk dan dijejali terlalu banyak orang.
Kondisi ini menjadi semakin parah bila dalam suatu masyarakat memang terdapat budaya kekerasan yang inheren, tidak adanya ajaran moral dan spiritual yang bisa meredam potensi kekerasan itu, seringnya bersentuhan dengan kekerasan melalui media, dan mudahnya akses mendapatkan senjata untuk melakukan kekerasan.
Dipercayai pula, akar paling dalam dari kekerasan berasal dari keluarga. Mengasuh anak secara buruk, seperti kurangnya perhatian dan kekerasan fisik secara langsung (termasuk suka berteriak, pelecehan secara emosional, dan digunakannya disiplin kekerasan), adalah faktor yang amat dominan. Gelles dan Cornell (1985) berpendapat bahwa risiko terjadinya penderitaan akibat kekerasan di masyarakat Barat terjadi di rumah yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya.
Kedua, distribusi kekerasan di Tanah Air dekat dengan perumpamaan bola salju dan cermin retak. Bola salju menggelinding semakin besar dan pecah manakala membentur benda lainnya. Sedangkan cermin retak membuat wajah orang yang berkaca ke dalamnya semakin banyak, sebanyak pecahan itu. Satu kerusuhan yang terjadi di Tanah Air semakin besar bila pindah ke daerah lain, beranak-pinak, dan semakin banyak dan parah akibatnya.
Distribusi kekerasan ini menjalar ke daerah-daerah yang memang potensial dijadikan lokus produksi kekerasan dengan ciri-ciri di atas. Maka perbedaan agama dan etnisitas semakin menyiramkan bahan bakar yang siap membakar amarah setiap saat.
Faktor ketiga adalah konsumsi kekerasan. Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah mengapa orang "mengkonsumsi" kekerasan sebagai cara hidup. Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan lebih dulu makna "konsumsi kekerasan". Asumsi yang terkandung dari frasa "konsumsi kekerasan" adalah adanya sikap, pemahaman, dan tindakan yang menerima, atau setidaknya menoleransi, kekerasan sebagai perilaku sehari-hari.
Seperti realitas sosial yang bisa dibentuk (Berger dan Luckman, 1966), pandangan terhadap kekerasan--akibat sebuah pandangan dan pengetahuan sosial tertentu--seolah merupakan sebuah kultur yang bisa diterima. Pandangan seperti ini bisa dibuktikan oleh adanya anggapan sosial pada masyarakat bawah kurang terdidik pada umumnya bahwa pembakaran terhadap pencuri ayam itu "benar" adanya, walaupun bertentangan dengan hukum yang berlaku, dan mereka yang menentang pembakaran tersebut dianggap "salah".
Kasus STPDN menyadarkan kita bahwa kekerasan yang dikonstruksi secara sosial ternyata bukan hanya milik masyarakat bawah kurang terdidik, tapi bisa terjadi bahkan di perguruan tinggi. Dalam kerangka ini, kekerasan dipercayai timbul secara struktural, yang inheren diciptakan oleh struktur masyarakat itu sendiri. Keterjebakan dalam kondisi suasana tertentu, yang diikuti oleh struktur yang tak bisa diubah, lengkap sudah untuk memantik sumbu peledak kekerasan.
Pemahaman terhadap kekerasan di Tanah Air dengan menggunakan pendekatan yang boleh disebut sebagai "ekonomi kekerasan" ini telah menunjukkan kepada kita bahwa kekerasan sejauh ini tidak bersifat temporer, tapi, lebih dari itu, bersifat permanen yang sangat mengganggu stabilitas negara. Ada bawaan-bawaan yang melekat (embedded) sifatnya dalam masyarakat yang memungkinkan kekerasan bisa meletus secara sporadis kapan saja dan di mana saja. Maka harus ada upaya untuk memotong lingkaran kekerasan (cycle of violence) ini demi menjaga ruang publik bersama yang kita tinggali.
Sinyal runtuhnya ruang publik (public sphere) kita kini dengan masifnya kekerasan tak boleh mengikuti kegagalan pemerintah secara umum dalam mengelola negara pascareformasi. Ruang publik adalah ruang paling elementer masyarakat untuk ditinggali. Di ruang itu, masyarakat bisa berkumpul secara setara untuk mengungkapkan pikiran-pikiran, mendorong partisipasi, dan menjadi mitra bagi pemerintah. Sehatnya ruang publik adalah cermin dari berfungsinya masyarakat madani. Dan bila masyarakat madani telah teberdayakan, demokrasi sedang terbit di ufuk timur.
Maka, seperti diteliti filsuf Jurgen Habermas (1991), ruang publik yang penuh suasana egaliter dan partisipatif pada abad ke-19 di Eropa yang merupakan embrio demokrasi pada abad berikutnya haruslah menjadi inspirasi pembentukan ruang publik, pemberdayaan masyarakat madani, dan gerakan demokrasi di Tanah Air. Kendala-kendala yang menghalanginya, termasuk merebaknya kekerasan, harus segera diatasi. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.