Friday, October 12, 2007

Aceh

Berpolitik.com, Senin, 04 Desember 2000, @12:22 WIB

Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana Ohio University, Amerika Serikat

Pernah ada perasaan yang mengoyak-ngoyak romantisme kesejarahan saat hampir seperempat dari jumlah rakyat Aceh tak lagi ingin berbendera merah putih. Ada kegalauan yang sangat saat pertemuan akbar itu diselenggarakan di rumah Tuhan, seolah-olah tuntutan referendum itu telah mendapatkan legitimasinya. Kita bangsa besar, bangsa Indonesia, hanya bisa mengurut dada.

Tak ada lagi kepercayaan oleh saudara kita suku Aceh bahwa Indonesia tak hanya rangkaian sejarah yang dicipta oleh Orde Lama dan Orde Baru yang menistakan dan mengasingkan harkat mereka sebagai pemilik tanah yang kaya. Yang mencerabut arti kata keadilan dari kosa kata keseharian Bumi Rencong.

Tak pernah kita terlalu yakin dengan masa lalu yang amat panjang itu betul-betul terjadi. Kita seolah-olah menggugat kesadaran kita akan sejarah yang menguap bagai mimpi: bagaimana mungkin sebuah bangsa besar bernama Indonesia telah dengan begitu ganas memangsa saudara sendiri. Apakah betul bangsa besar dengan mayoritas berpenduduk Muslim itu telah dengan girang memuncratkan darah saudara seakidah.

Kita seolah-olah mempertanyakan kembali keabsahan kesadaran kita, apa sejarah yang nyaris tanpa nurani itu telah betul-betul terjadi. Begitu cepat berlalu, menguap dibawa ambisi dan kepedihan di sana-sini, dan kini kealpaan dan kezaliman itu menjelma kesadaran kolektif bangsa besar itu dan seolah-olah berkata, "Darah dan peluru adalah suatu keniscayaan sejarah yang tak bisa ditawar-tawar untuk menegakkan harkat dan harga diri."

Aceh adalah suku dengan harga diri terlalu tinggi untuk dinistakan oleh sesama. Seandainya orang-orang besar pembuat keputusan di masa lalu memahami pendirian tak tergoyahkan ini, upaya membunuhi dan mencederai rasa keadilan mereka tak akan pernah menjadi kata final yang tak pernah tuntas hingga hari ini. Perempuan seperti Cut Nyak Dien yang waktu dulu mestinya "hanya" menyiapkan urusan dapur untuk para serdadu ketika pergolakan berkecamuk melawan Belanda, telah menampik peran domestik itu dengan kekerasan hati seorang pejuang, lalu memilih untuk memanggul sendiri senjata.

Kini, di jaman serba terbuka dengan serba seribu satu kemungkinan, apa yang harus menyurutkan "jihad" orang seperti Tengku Syafii Abdullah atau Hasan Tiro untuk meninggalkan gelanggang tempur? Nun jauh dalam pengharapan, api kemenangan selalu mereka tatap dengan mata berbinar-binar.

Begitulah suku bangsa Aceh. Seandainya saja orang-orang besar pembuat keputusan memahami ini...

Kita akan merasa kesepian dan rindu ditinggalkan saudara yang telah serumah lebih dari setengah abad. Dulu, di jaman Belanda menjajah Republik, saudara kita itu telah memberikan sesuatu yang berlebih untuk kemerdekaan bersama. Tapi bahwa memang sejarah berkata lain: Orde Lama dan Orde Baru telah menistakan pengorbanan itu. Dan kini mereka nyaris tak percaya lagi kepada siapa pun. Mereka tak ingin lagi "dijajah" Jakarta, mereka ingin menentukan nasib sendiri. Lalu kita sebagai saudara bertanya pelan-pelan, bahkan terkadang hanya dalam hati, untuk tidak menyinggung perasaan: "Sudah bulatkah keputusan itu?"

Kalau ya, apa itu satu-satunya keputusan untuk keluar dari persoalan rasa ketidakadilan yang telah dilakukan Jakarta? Dan, bukankah sejarah Indonesia tidak hanya rangkaian Orde Lama dan Orde Baru yang telah mencederai perasaan ketidakadilanmu itu, Saudaraku? Mungkin kau tak ingin menjawab semua pertanyaan itu, namun satu hal yang engkau harus pahami benar adalah Indonesia, seperti negeri-negeri yang baru lepas dari cengkeraman otoritarianisme, kini sedang belajar memahami apa makna kata demokrasi. Dalam dirinya, proses untuk menjadi dewasa dan menghargai hak asasi manusia sedang dicamkan benar.

Kita akan selalu mengenang kebanggaan bersama ketika dengan harga diri yang tinggi engkau menyebut negerimu dengan Serambi Mekah, sebuah tempat yang menunjukkan prestise tinggi bagi para Muslim untuk merujuk ke ranah yang jauh, di mana Nabi Muhammad pernah memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebutan Serambi Mekah-mu itu pula menunjukkan harga diri yang tak gampang ditindih-tindih, dipermainkan atau dinistakan; dalamnya ada tekad untuk menampik kebatilan dan menegakkan kebenaran, pula, menyerap semangat juang junjungan Nabi Muhammad SAW dalam menyadarkan kaum Quraisy yang tenggelam dalam kegelapan ketidaktahuan.

Kini kau kumpulkan kekuatan untuk sekadar menunjukkan engkau memiliki harga diri. Itu adalah tindakan mulia. Akan tetapi ketika kekuatanmu itu mulai kau anggap penuh untuk menjadi merdeka, maka Saudaraku, tanyakanlah pada nuranimu kembali, apakah sudah bulat keputusanmu itu dengan pertimbangan yang sungguh-sungguh masak. Karena, sebagai saudara, kita wajib saling mengingatkan.

Bukankah sejarah telah mengajarkan kita semua betapa umat yang besar adalah umat yang mau bersatu memecahkan persoalan bersama dengan semangat persaudaraan tanpa syarat? Lagi pula, Saudaraku, kita tak terlalu yakin dengan pilihan merdekamu itu akan otomatis menyelamatkan Aceh dengan sendirinya. Potensi terjadinya konflik baru pasti ada, karena kekuasaan adalah milik semua orang yang berhak mengklaimnya, karenanya semua orang atau kelompok pasca-Aceh merdeka akan berebut kekuasaan.

Yang lain, bagaimana engkau melihat tragedi kemanusiaan yang tak berkesudahan setelah tentara tak lagi memberlakukan daerahmu sebagai kawasan yang harus dipantau setiap saat? Kini pengungsi masih berserak di mana-mana bagai sampah kotor yang tak lagi berguna, harkat kemanusiaannya tercerabut, mereka tak bisa lagi menghargai diri sendiri sebagai umat normal yang layak menikmati kehidupan secara biasa akibat segelintir orang pintar yang bermain-main dengan kekuasaan.

Ada orang Aceh di luar kampung halamannya yang mulai diusiri dari tempat tinggal yang telah bertahun-tahun dicintainya bersama sanak saudara serta handai taulan, karena terbetik kabar bahwa orang Aceh sendiri di Aceh telah mengusiri saudara sendiri hanya gara-gara mereka bukan orang Aceh. Semuanya, Saudaraku, adalah badai yang dituai lewat ambisi kekuasaan segelintir orang yang merasa berhak atasnya. Tragis dan memilukan. Kita tak akan pernah bisa membangun masa depan dengan tingkah polah dan pendirian seperti ini.

Kita tentu tak ingin terjebak dalam model berpikir "kalau tidak merdeka, kita dijajah dan dikuasai Jakarta." Penyederhanaan seperti ini bukanlah konsumsi diskusi yang mensyaratkan penalaran yang layak debat. Ia adalah hasutan untuk membangkitkan amarah orang-orang yang telah tak lagi memiliki pilihan setelah lebih dari setengah abad dipermain-mainkan oleh kekuasaan yang culas dan tidak memihak umat. Kita tentu ingin berbagi rasa dan pikiran, Saudaraku, untuk membantumu menyelesaikan persoalan pelik yang kau hadapi. Dan kita paham benar sebagian di antaramu telah letih dan tak lagi memiliki pengharapan yang cukup untuk berbicara dengan Jakarta "yang hitam dan angkuh." Tapi, bukankah penderitaan tak seharusnya membuat kita tak lagi bisa berpikir dan memilah-milah fakta, ambisi, dan keculasan?

Engkau memang sedang ada di persimpangan jalan untuk menentukan sejarah tentang kemanusiaan dan bangsamu. Engkau sedang menimbang-nimbang tentang abad yang begitu cepat berganti sementara kualitas harkatmu oleh para penguasa yang culas tak pernah bisa disejajarkan dengan cita-citamu tentang ideal Serambi Mekah. Daun-daun pepohonan akan meranggas bersamaan dengan musim kemarau yang akan segera tiba, seperti engkau menanggalkan satu-satu kepercayaanmu kepada Jakarta yang sedang digoyang teriknya suasana politik dan iklim kemanusiaan.

Engkau memang harus menentukan, Saudaraku, tapi tidak dengan tergesa-gesa. Dan keputusan sepenuhnya ada di tanganmu. ###

No comments:

Post a Comment

Thanks for visiting my blog.