Berpolitik.com, Kamis, 21 Juni 2001, @10:22 WIB
Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, Amerika Serikat
Jawaban untuk pertanyan di atas mungkin sederhana tapi mendasar, yakni, karena Presiden Abdurrahman Wahid telah gagal melakukan perubahan dalam diri pribadinya ketika secara resmi menjadi orang nomor satu RI. Formalitas negara sebagai simbol modernitas dianggap Wahid sebagai persoalan sekunder yang remeh.
Perubahan adalah suatu keniscayaan bagi Wahid bila dia ingin searah dalam satu rel simbol modernitas negara. Administrasi, aturan protokoler, dan simbol-simbol negara modern lainnya adalah di antara formalitas ini. Hal-hal ini tidak hanya membutuhkan konsep besar dalam bentuk grand narratives seperti wacana demokrasi dan pluralitas, melainkan juga memerlukan kemampuan teknis yang spesifik. Kesalahan fatal yang dilakukan Wahid setelah menjadi Presiden adalah, alih-alih menyesuaikan diri, ia justru berkecenderungan melakukan “NU-nisasi” di lingkungan Istana.
Dalam bahasa posmodernisme, apa yang dilakukan Wahid merupakan pembongkaran (dekonstruksi) terhadap kemapanan formalitas lingkungan barunya. Pertanyaannya adalah, sekuat apakah ia sehingga berani melakukan pembongkaran? Apakah Wahid memiliki instrumen yang memadai untuk melakukan hal ini? Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya menjadi jelas setelah terbukti bahwa segala ikhtiar radikalisme pembongkaran ini menjadi bumerang yang balik mematikan dirinya.
Sebuah majalah asing pernah memberitakan bagaimana kyai-kyai NU sowan ke Istana dengan “hanya” mengenakan sandal. Petugas protokoler Istana tak bisa berkutik karena rupanya hal ini mendapat restu dari Presiden sendiri, hal yang tak mungkin di masa-masa sebelumnya. Kebiasaan lama Wahid pun tetap terpelihara untuk “ngobrol ngalor-ngidul” hingga larut malam. Lalu muncullah rumor tentang “tim begadang”. Dikabarkan, “forum-forum” seperti “tim begadang” inilah yang banyak mempengaruhi keputusan Wahid setelah dibisiki orang-orang dekatnya.
Pada saat bersamaan sejumlah tokoh baru dikabarkan keluar masuk Istana dengan kepentingan yang tak jelas. Mereka ini disebut-sebut sebagiannya adalah keluarga dekat Presiden, sebagiannya lagi berasal dari kalangan NU dan PKB. Sisanya adalah barisan yang sungguh tak masuk akal, termasuk Suwondo si “pemijat maut” yang bisa mengibuli Ketua Bulog Sapuan yang bergelar doktor. Melihat ini, Ketua MPR Amin Rais pernah mengibaratkan Istana seperti “pasar yang gaduh” yang disesaki terlalu banyak orang dengan kepentingan yang tak ada sangkut pautnya dengan kerja Presiden. Lalu kabar KKN gaya baru pun menyebar luas yang menjadi makanan empuk pers bebas.
Ini adalah sebagian gambaran kasat mata bagaimana Wahid telah gagal melakukan perubahan dalam dirinya. Wahid tetap beranggapan bahwa masalah negara tak ada bedanya dengan masalah keluarga dan soal-soal primordialisme kelompok lainnya. Gaya hidup Presiden tak berubah secara signifikan.
Latar belakang Wahid mungkin bisa menjelaskannya. Semasa menjadi Ketua PBNU, Wahid mendapatkan perlakuan yang terlalu manis dari kalangan nahdiyin. Wahid dimanjakan karena memiliki darah biru NU. Ia dipanggil dengan gelar kesayangan “Gus”. Semua ucapannya dipercayai sebagai kebenaran yang tak bisa dibantah. Bila pun Wahid melakukan kesalahan, maka dengan cepat ia akan dimaafkan oleh massa tradisional ini. Kalau pun Wahid melakukan tindakan di luar nalar umum, itu pun bisa dimengerti, karena Wahid adalah seorang “wali” yang “di dadanya ada malaikat”. Pokoknya Wahid tak ada cela, ia harus dibela sampai mati. Hanya sedikit lapis kecil NU yang tak terjatuh ke dalam kultus ini, yakni mereka kaum terdidik yang tinggal di kota-kota.
Wahid merasa telanjur nyaman dan tak ingin keluar dari kondisi-kondisi yang memanjakannya. Ia ingin tetap di sana dengan segenap kebahagiaan. Itu sebabnya ketika menjadi Presiden, ia tetap menganggap Indonesia sebagai perluasan NU yang tak memerlukan penanganan berbeda. Tentu saja ini adalah penyederhanan yang berlebihan dalam konteks kemajemukan Indonesia. Dengan kata lain, ia gagal melakukan transformasi persepsi yang paling mendasar.
Kegagalan perubahan persepsi ini membawa akibat yang tidak kecil. Wahid rupanya tidak bisa survive di lingkungan baru kenegaraan yang formal. Di satu sisi Wahid masih tetap mempersetankan segala pernik formalitas kenegaraan, padahal pada saat bersamaan DPR tumbuh menjadi lembaga kuat yang kritis. DPR secara perlahan mampu menjadi pengimbang negara yang secara rutin mengevaluasi kinerjanya.
Kasus dugaan korupsi dana Bulog dan Brunei yang masih samar-samar pembuktian kebenarannya menjadi senjata mematikan DPR. Dua kasus ini mencuat menjadi isu politik yang tak bisa ditepis oleh Wahid dengan administrasi negara yang morat-marit.
Tafsir terhadap konstitusi yang menjadi landasan dikeluarkannya Memorandum I dan II tak menguntungkan posisi Wahid. Ia berkeras bahwa Memorandum itu inkonstitusional. Karenanya, ia merasa tak bersalah bila melecehkannya dan tak berusaha menjawabnya secara serius. Tapi apa daya, Wahid kalah telak dalam perebutan wacana tafsir konstitusi yang semakin memojokkannya. Ujung dari dua Memorandum ini adalah Sidang Istimewa (SI) yang kemungkinan besar memberhentikannya dari jabatan.
Kegagalan transformasi pribadi ini mempengaruhi kinerja pemerintahan Wahid secara keseluruhan. Nilai tukar rupiah yang semakin anjlok terhadap dolar Amerika, atau lebih buruk daripada masa pemerintahan Habibie; kegagalan bekerjasama dengan IMF, yang artinya kehilangan sumber pinjaman untuk memulihkan keadaan ekonomi; enggannya investor asing untuk kembali ke Indonesia yang disebabkan oleh faktor politik yang tak kunjung membaik; dan juga tak jalannya reformasi hukum; ini adalah di antara hal-hal pokok yang semakin membuat kalangan DPR semakin pesimis untuk bisa mempertahankan Wahid hingga 2004.
Beberapa kelebihan menonjol Wahid yang tak dimiliki pendahulunya seperti wawasan mengenai demokrasi dan pluralitas, telah terbukti tak berbicara apa-apa bila dikaitkan dengan detail pemerintahan sehari-hari yang memerlukan kemampuan teknis. Konsep-konsep besar itu masih perlu diterjemahkan ke dalam know-how yang praktis. Kesenjangan ini tak terjembatani yang membuat segala kelebihan Wahid itu tampak sebagai macan ompong yang tak ditakuti oleh “murid TK” di DPR sekalipun.
Kegagalan ini begitu menyakitkan tidak saja bagi Wahid, tetapi juga bagi sekitar 30 juta warga nahdiyin. Maka kini terbukti sudah bahwa Wahid dan NU tak bisa survive untuk menjadi imam dalam sebuah pemerintahan demokratis modern yang meniscayakan simbol-simbol formalitas negara. Kegagalan Wahid tentu tak boleh menjadi kegagalan uji coba demokrasi di negeri ini. Kita perlu mencoba lagi hatta dari nol sekalipun. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.