Saturday, October 13, 2007
Bukti Koeksistensi Islam dan Demokrasi
Jurnal Nasional, 22 Juni 2008
Buni Yani
Peneliti Media dan Politik Asia Tenggara, mengajar di Faculty of Social Science, Swiss German University (SGU)
Ada yang menarik dari pernyataan penerima hadiah Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi, yang berasal dari negara Islam Iran. Bahwa, menjadi Muslim sama sekali tidak berarti tidak bisa menjadi pendukung demokrasi yang baik seperti banyak dipercayai oleh para ahli politik dan kebudayaan di dunia, terutama mereka yang berasal dari negara-negara Barat. Bahkan Ebadi dengan lantang dan percaya diri mengatakan, “Islam sejalan dengan demokrasi. Bila Anda membaca Al Quran, Anda akan melihat tak ada satu pun ayat yang bertentangan dengan hak asasi manusia”. Untuk sebagian sarjana, pernyataan mantap Ebadi ini bisa jadi cuma proposisi yang tak memiliki akar empiris. Namun pengalaman pemilu 2004 Indonesia -- negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia -- yang demokratis telah menepis keragu-raguan tersebut. Tak setetes pun darah tumpah dalam pesta demokrasi Indonesia. Semua berjalan lancar sesuai standar demokrasi yang berlaku umum.
Keragu-raguan banyak sarjana Barat terhadap koeksistensi Islam dan demokrasi telah mengakar begitu kuat sejak terjadinya konflik peradaban Timur dan Barat di masa lampau. Sejumlah sarjana Barat percaya bahwa demokrasi adalah khas budaya Barat yang tidak mungkin bisa diterapkan di dunia Timur. Bahkan dalam skala yang lebih luas cakupannya, penulis Inggris Rudyard Kipling (1865-1936) tidak hanya mempertentangkan Islam dan demokrasi, namun juga ia bersikukuh Timur dan Barat tak akan pernah serasi berdampingan sebagai peradaban. Pendirian Kipling ini memiliki dasar yang kuat. Pengalaman hidupnya mengajarkan bahwa kebudayaan Timur dan Barat satu sama lain sangat bertentangan. Kipling yang dilahirkan di Bombay, India – negeri jajahan Inggris waktu itu – melihat betapa Timur dan Barat bagai langit dan bumi. Dalam bait puisinya Ballad of East and West yang mashur, Kipling berujar, “East is East and West is West, and never the twain shall meet” (Timur adalah Timur, Barat adalah Barat, dan keduanya tak akan pernah bertemu). Meskipun begitu rasis dan diskriminatifnya pandangan Kipling ditilik dari semangat zaman kita kini, Kipling memenangkan hadiah Nobel bidang kesusastraan tahun 1907, dan karya-karyanya menjadi kutipan terkenal dalam berbagai literatur.
Saya memiliki pengalaman bagaimana ketidakpercayaan khas intelektual Barat mengenai kemungkinan tumbuhnya demokrasi di negara Islam. Profesor saya di Ohio University yang pernah menjadi koresponden media di Timur Tengah dan disandera oleh kelompok Islam “fundamentalis” mengatakan, “Islam is not compatible with democracy” (Islam tidak bisa hidup berdampingan dengan demokrasi). Ia mengatakan kalimatnya ini dengan suara bergetar, seolah memendam penderitaan traumatis yang pernah dialaminya. Baginya, Islam dan demokrasi adalah dua hal bertentangan yang tak mungkin bisa disatukan. Islam merujuk ke suatu dunia penuh pemasungan kebebasan, otoritarianisme, dan diskriminasi, sementara demokrasi memperjuangkan yang sebaliknya.
Tentu saja pendapat seperti ini banyak mendapat tentangan, salah satunya adalah Robert Hefner, cendekiawan yang tak asing lagi bagi penelitian Islam di Indonesia yang bekerja sebagai Profesor Antropologi di Boston University. Hefner percaya bahwa demokrasi bisa tumbuh di negara Islam. Bukunya, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), dengan jelas menunjukkan bahwa Islam di Indonesia yang ditemukannya melalui penelitian lapangan adalah contoh bagaimana Islam dan demokrasi tak memiliki posisi saling berhadapan untuk meniadakan satu sama lain. Islam dan demokrasi bisa berjalan seiring karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia, menjalankan politik kesetaraan, dan mendukung partisipasi masyarakat.
Oleh karena keyakinan serupa inilah maka mendiang cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid pada tahun 1980-an berinisiatif menerjemahkan terminologi “civil society” menjadi “masyarakat madani”. Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish Madjid, memiliki argumen untuk melakukan transfer epistemik dan semantik yang kelihatannya secara linguistik mengalami deviasi ini. Bagi Cak Nur, apa yang dimaksud dengan “civil society” di negara-negara Barat demokratis dewasa ini pernah dialami dunia Islam pada zaman Nabi Muhammad membangun kota Madinah sebagai kota peradaban Islam. Pada masa itu, demikian Cak Nur, apa yang menjadi roh “civil society” yang kini dikenal di dunia Barat – seperti masyarakat yang penuh partisipasi, setara dan terbuka – berlangsung dengan baik ketika Nabi Muhammad membangun dasar-dasar peradaban Islam. Karenanya, alih-alih menerjemahkan “civil society” menjadi “masyarakat sipil”, Cak Nur lebih memilih menerjemahkannya menjadi “masyarakat madani”.
Hakikat Demokrasi dan Islam
Tapi sebetulnya apakah hakikat demokrasi, dan apakah hakikat Islam, sehingga banyak sarjana Barat menempatkan keduanya dalam posisi berhadap-hadapan? Demokrasi sebagai terminologi politik dilihat sebagai sebuah prosedur pengambilan keputusan politik dengan melibatkan banyak orang. Demokrasi tidak membenarkan kekuasaan terkonsentrasi pada satu orang. Demokrasi adalah karya bersama dalam mencapai kemaslahatan bersama. Jean Baechler (2001), misalnya, menggambarkan hakikat demokrasi dengan bahasa yang lugas seperti berikut ini: “Pelaku kolektiflah yang, dengan mengadopsi prosedur-prosedur yang benar untuk memutuskan, memobilisasi dan bertindak, bisa berperilaku sebagai suatu unit kegiatan ke arah individu-individu dalam kelompok itu” (Baechler 2001:98).
Jadi, kata kunci dari kegiatan berdemokrasi adalah kolektivisme. Hanya dengan bertindak dan memutuskan secara kolektif maka sebuah tindakan maupun keputusan dapat dibenarkan dan dianggap sah. Dalam demokrasi, keputusan adalah keputusan kelompok. Seorang individu tidak diperkenankan bertindak sendiri berdasarkan keputusannya sendiri bila sebuah keputusan telah diambil, meskipun ia tidak menyetujui keputusan tersebut. Ia harus dengan rela hati menerima “kebenaran” keputusan kelompok meskipun keputusan tersebut bukanlah kebenaran yang sejati. Sebagai contoh, banyak kaum demokrat kalangan menengah kota kecewa dengan terpilihnya Megawati sebagai presiden, karena ia dianggap kurang cakap mengurus negara, tingkat intelektualitasnya sangat bisa dipertanyakan, dan bagi sebagian kalangan Muslim, ia dianggap tak layak memimpin negara karena perempuan. Tetapi kekecewaan-kekecewaan individu dan kelompok ini harus dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar.
Demokrasi, karenanya, benar secara prosedural namun belum tentu benar secara substantif. Inilah kelemahan demokrasi yang utama. Di Amerika banyak masyarakat menentang serangan Amerika ke Irak karena tak memiliki legitimasi hukum maupun politik internasional dengan tidak adanya dukungan dari PBB. Namun karena sebagian besar wakil mereka di Kongres menyetujui invasi tersebut, maka “kebenaran” politik yang didapatkan adalah kebenaran yang diciptakan oleh mayoritas itu. Kritik kedua yang juga lazim ditujukan kepada demokrasi adalah sifatnya yang cenderung memenangkan kuantitas dan melecehkan kualitas. Dalam demokrasi, nilai suara yang diberikan oleh Nurcholish Madjid dalam pemilu dihitung satu, sama dengan nilai suara dari seorang pencopet bus kota yang tak memiliki pendidikan. Padahal, kalau kita bicara kualitas, dengan sangat jelas akan kelihatan bahwa nilai suara Nurcholish yang dihitung satu itu pasti lebih berharga dari sejuta pencopet. Apa yang bisa diharapkan dari sejuta pencopet kecuali menimbulkan kemudaratan bagi banyak orang? Sedangkan seorang Nurcholish dengan intelektualitas yang dimilikinya bisa mendorong masyarakatnya untuk memperjuangkan cita-cita bersama ke arah kehidupan yang lebih baik.
Demokrasi bukanlah gagasan dan praksis yang monolitik. Di Amerika, pemahaman demokrasi kaum liberal berbeda dengan pemahaman demokrasi kaum republik. Posisi keduanya yang saling berhadapan ini membuat filsuf Juergen Habermas (1999: 239-252) mengajukan model ketiga yang disebutnya sebagai “deliberative politics”.
Melihat nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi ini, kita mungkin tergoda untuk menarik kesimpulan sementara. Bahwa, pastilah para sarjana Barat yang melihat Islam dan demokrasi tak bisa hidup berdampingan menganggap nilai-nilai Islam berada dalam posisi yang bertentangan secara diametral dengan demokrasi. Apakah demikian adanya?
Islam memiliki pengalaman yang panjang dalam menguji-coba sistem demokrasi. Di zaman Madinah, Nabi Muhammad melibatkan masyarakat dalam berbagai urusan umum/negara. Nabi selalu berunding dengan para sahabat sebelum memutuskan suatu perkara. Kita sangat familiar dengan sabda Nabi “tanyakanlah pada ahlinya”. Sabda ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi, yang oleh pengikutnya pada waktu itu dianggap sebagai utusan Tuhan, sama sekali tak memiliki pretensi untuk seolah-olah mengetahui segalanya. Dengan rendah hati Nabi mengakui keterbatasan-keterbatasan dirinya dan pada saat yang sama merujuk kepada siapa yang paling ahli untuk memecahkan suatu soal. Jadi, keputusan-keputusan politik Nabi adalah keputusan kolektif untuk kemaslahatan bersama.
Contoh yang sangat minim ini kiranya cukup menjadi bukti bahwa ada preseden baik dalam berdemokrasi di dunia Islam. Peradaban Islam pernah mengenal nilai-nilai demokrasi yang dicontohkan oleh Nabi. Bila di zaman Madinah pernah tumbuh suatu peradaban demokrasi yang dikembangkan Islam, mengapa di zaman kontemporer Islam praktik demokrasi itu harus musnah sama sekali dari praktik tata negara dunia Islam?
Sampai titik ini, bisa ditarik kesimpulan sementara bahwa kelihatannya sikap pesimisme para sarjana Barat tersebut tentang tidak mungkinnya Islam dan demokrasi dipersandingkan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat teknis, yakni karena ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuan mereka tentang Islam. Tak kenal maka tak sayang, seperti kata pepatah. Yang kedua, pesimisme tersebut disebabkan oleh sesuatu yang bersifat ad hominem, dan ini yang lebih buruk. Bukan isu nilai Islam secara lengkap yang menjadi sasaran kritik, tetapi sesuatu di luar itu yang disebabkan oleh persaingan dan pertikaian Islam dan Barat pada masa-masa sebelumnya.
Nilai-nilai Asia
Bila kita lebih seksama melihat diskursus demokrasi di dunia Timur, maka kita akan melihat setidaknya ada dua hal mengapa ada pesimisme dan penentangan mengenai kemungkinan demokrasi tumbuh di wilayah ini. Kelompok pertama adalah mereka yang menentang kemungkinan demokrasi yang didasarkan pada hujjah intelektual, seperti kita lihat serba sedikit sebelumnya, yang sebagian besar adalah para sarjana Barat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap para sarjana Barat tersebut disebabkan oleh peninggalan sejarah masa lalu di mana permusuhan antara Islam dan Kristen yang berpuncak pada Perang Salib tak bisa terkikis begitu saja dari memori kolektif masyarakat Barat. Oleh karena trauma sejarah inilah maka banyak intelektual Barat menulis tentang Islam dengan nada yang sangat miring, bahkan cenderung menjelek-jelekkan. Literatur seperti inilah yang menjadi bacaan yang sangat menyesatkan bagi intelektual Barat generasi berikutnya, yang pada titik tertentu, terjadi hingga saat ini.
Kelompok kedua penentang demokrasi adalah rezim yang menganggap demokrasi bisa menjadi bahaya bagi kelanggengan kekuasaannya. Di Singapura, Lee Kuan Yew pernah berpolemik dengan pers Barat bahwa masyarakat Asia sulit menerima demokrasi karena bertentangan dengan “nilai-nilai Asia”. Lee berpendapat nilai Asia yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok jelas bertentangan satu sama lain dengan nilai Barat yang lebih mengutamakan kepentingan dan kebebasan individu. Tetapi kita sesungguhnya tahu arah pembelaan Lee terhadap “nilai Asia”-nya itu. Rezim developmentalis yang didirikan Lee telah memotong hak-hak sipil untuk mendapatkan kebebasan dan partisipasi yang lebih luas dalam politik. Pembangunan ekonomi bagi Lee lebih penting daripada pembangunan demokrasi dan politik. Kita bisa lihat hingga kini, meskipun Lee sudah mundur menjadi perdana menteri sejak sekitar 17 tahun yang lalu, politik Singapura tak banyak mengalami kemajuan. Pers yang tidak bebas, dominannya partai berkuasa People’s Action Party yang sampai batas tertentu menyerupai sistem partai tunggal, serta terbatasnya ruang untuk berbeda pendapat. Dengan kondisi ini, tak mengherankan bila ada peneliti yang mempertanyakan apakah Singapura cocok dengan sistem demokrasi liberal atau tidak (Bell 2000:175). Belakangan ini muncul optimisme di Asia Tenggara bahwa demokrasi di Singapura akan menemukan momentumnya setelah terjadinya pergantian kekuasaan dari Perdana Menteri Goh Chok Tong ke Lee Hsien Loong. Lee Hsien Loong dilihat lebih progresif daripada Goh dan ayahnya, Lee Kuan Yew.
Tapi sebetulnya tipe kedua penentang demokrasi bukanlah kasus khas Singapura. Di Asia Tenggara, Soeharto dan Mahathir melakukan hal yang kurang lebih sama. Rezim developmentalis Soeharto percaya bahwa untuk melakukan pembangunan ekonomi, stabilitas keamanan diperlukan, dan untuk mendapatkan stabilitas keamanan ini stabilitas politik menjadi keharusan. Stabilitas politik diterjemahkan sebagai tidak diperbolehkannya suara-suara yang berbeda dengan suara negara. Suara yang berbeda harus dibungkam. Mahathir, yang sebelumnya dielu-elukan sebagai bapak pembangunan Malaysia karena keberhasilannya membawa negeri itu menjadi salah satu negara paling makmur di negara-negara Islam, setali tiga uang. Saingan politiknya, Anwar Ibrahim, yang dulu pernah ditimang-timang untuk menggantikannya, dijebloskan ke penjara karena dianggap berada dalam posisi yang berseberangan dengannya.
Pesimisme terhadap Demokrasi di Dunia Islam
Sampai batas tertentu, pesimisme dan penentangan para sarjana Barat terhadap demokrasi di dunia Islam dapat dipahami karena beberapa hal. Pertama, karena mereka sebagian besar tidak mengenal Islam secara baik, dan kedua, karena mereka melihat contoh nyata bahwa sebagian besar negara Islam di dunia, terutama di Timur Tengah, tidak demokratis. Negara monarki seperti Saudi Arabia, misalnya, sangat jauh dari praktik demokrasi dalam menjalankan tata negara sehari-hari. Imbalan politik tidak didasarkan pada prinsip meritokrasi. Seorang pemimpin diangkat tidak didasarkan pada kecakapan dan isi otaknya dalam mengurus negara, melainkan berdasarkan pada garis keturunan. Prinsip manajemen modern tentu saja mengecam praktik bisnis seperti ini. Bagaimana mungkin seorang anak raja yang tidur-tiduran di rumah nanti setelah dewasa otomatis menjadi raja? Ya, kalau dia cakap dan pintar, kalau tidak, bagaimana? Praktik tata negara seperti di Saudi Arabia ini berlaku juga di negara-negara tetangga di Timur Tengah, dengan sedikit perkecualian seperti Turki.
Pasca-serangan teroris 11 September 2001 semakin memperburuk stigma Islam yang tak bisa berdampingan dengan demokrasi. Setelah kejadian naas tersebut, Islam bahkan mendapatkan label baru, yaitu Islam adalah kekerasan itu sendiri yang menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan politik. Esensi demokrasi yang mempertukarkan kata di ruang debat dalam memecahkan masalah “mengharamkan” kekerasan sebagai metode dalam mencapai tujuan politik. Kekerasan masif dalam serangan teroris itu semakin memperuncing prasangka Barat, dan semakin memperdalam jarak temu antara Islam dan Barat.
Epilog
Islam memiliki modal teologis dalam berdemokrasi, dan Islam juga memiliki eksemplar sejarah dalam menjalankan demokrasi. Dengan dua faktor ini, sudah cukup bekal bagi negara-negara Islam untuk menjalankan demokrasi. Pengalaman Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dalam menjalankan demokrasi telah membuktikan Islam tidak relevan untuk dipertentangkan dengan demokrasi. Islam dan demokrasi adalah dua nomenklatur yang semakin hari menemukan titik pijaknya dalam sejarah peradaban manusia.
Namun demokrasi di dunia Islam di masa yang akan datang hanya akan bisa tumbuh dan menjadi gerakan yang penting bila masyarakat pendukungnya mampu memelihara demokrasi secara baik dan memiliki keinginan yang kuat untuk melaksanakannya secara benar. Faktor-faktor potensial penghambatnya seperti kemiskinan, kebodohan, dan bentuk-bentuk keterbelakangan lainnya harus menjadi prioritas utama untuk diatasi. Bila tidak, demokrasi hanya akan menjadi ilusi bagi mereka yang merindukannya. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.