Koran Tempo, Selasa, 23 November 2004
Buni Yani
Direktur The Public Sphere Institute dan Redaktur Eksekutif Jurnal Aksi Sosial UI-Departemen Sosial
Belakangan ini wacana Islam moderat di Tanah Air semakin menampakkan diri sebagai wacana dominan di kalangan cendekiawan, aktivis, dan kelompok agama. Meskipun fenomena ini bisa saja ditafsirkan sebagai sebuah gejala permukaan yang tidak substantif sifatnya, karena dalam waktu yang bersamaan aksi teror dan kekerasan semakin meningkat dalam skala kualitas dan kuantitas. Teror bom Kuningan sekitar dua bulan lalu adalah bukti bahwa dominannya wacana Islam moderat masih bersifat kosmetik karena dalam kenyataannya kekerasan dengan dalih agama masih terjadi.
Setidaknya, ada tiga hal belakangan ini yang bisa dijadikan patokan mengapa wacana Islam moderat menguasai ruang publik diskursus intelektual di Tanah Air.
Pertama, dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, juru bicara Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Fauzan Al-Anshari dengan tegas menyatakan, organisasi yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir ini antikekerasan, cinta damai, dan mengutuk segala bentuk terorisme. MMI yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir kini dalam sorotan publik Indonesia dan dunia karena diduga memimpin gerakan Jemaah Islamiyah (JI), otak pelaku terorisme di Asia Tenggara. Dalam sebuah wawancara televisi yang membahas proses peradilan Ba'asyir sehari sebelumnya, Fauzan menegaskan hal serupa kepada seorang petinggi kepolisian yang berada satu panel dengannya.
Dalam presentasinya Fauzan berulang kali mendasarkan hujjah intelektualnya mengenai pemahaman antikekerasan pada Al-Quran bahwa Islam dengan ajarannya inheren tidak membenarkan terjadinya kekerasan. Presentasi Fauzan mengingatkan kita pada metodologi para pendukung Islam moderat dalam menyampaikan gagasan mereka.
Yang patut dicermati, Fauzan dan rekan-rekan dari MMI belum pernah sefasih seperti sekarang dalam menyampaikan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, ada kesan MMI sedang berusaha keras menyelamatkan Ba'asyir dari tuduhan keterlibatannya dengan JI dengan menampilkan citra MMI semoderat mungkin.
Akan tetapi, apa pun motif di baliknya, apa yang dilakukan MMI sekarang patut dipuji dan didukung, karena organisasi keagamaan Islam yang banyak pendukungnya ini mungkin sedang merumuskan diri menjadi Islam yang lebih inklusif. MMI memerlukan lebih banyak lagi juru bicara seperti Fauzan dalam memberikan pencitraan positif bagi organisasinya, terutama kepada nonmuslim.
Namun, tentu saja, usaha-usaha seperti ini tak bisa hanya bersifat kosmetik dan retorika yang hanya kelihatan indah di permukaan. Diperlukan keikhlasan dan sikap tulus tiada henti dalam menerima perbedaan, sehingga ikrar antikekerasan dan perdamaian ini datangnya dari dalam, dari buah pikir yang dihasilkan oleh kesadaran diri.
Kedua, dalam langkah serupa, sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI) yang dikenal "galak" karena telah merusak sejumlah tempat hiburan malam juga menyatakan diri sebagai organisasi cinta damai dan antikekerasan. Pascabom Marriott, FPI dalam luapan emosi kolektif bersama seluruh lapisan masyarakat menunjukkan sikap dukacita dan simpati kepada para korban.
FPI sebisanya menunjukkan diri sebagai organisasi antikekerasan seperti ditunjukkan oleh pendapat mainstream pada umumnya. Belum diketahui persis apakah sikap dan pernyataan FPI ini ada hubungannya dengan proses peradilan yang sedang dijalani oleh pemimpinnya, Rizieq Shihab, waktu itu.
Ketiga, yang paling mengejutkan adalah pembubaran diri Laskar Jihad sekitar tiga tahun lalu. Laskar Jihad terbentuk berkaitan dengan konflik Maluku pada 1999, karena mereka kecewa terhadap tindakan Presiden Abdurrahman Wahid yang dianggap tidak bisa menyelamatkan umat Islam. Laskar Jihad menolak habis-habisan bila dikaitkan dengan berkepanjangannya konflik di Maluku dan bersikeras bahwa kedatangan mereka di daerah itu untuk berdakwah dan memberi bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Maluku.
Namun, karena sikap frontal yang ditunjukkannya kepada pemerintah dan nonmuslim, sangat sukar bagi Laskar Jihad untuk tidak dikategorikan sebagai organisasi yang lebih banyak memperburuk citra Islam. Citra kurang baik Laskar Jihad ini adalah bukti yang kesekian kalinya bagaimana komunikasi umat Islam telah gagal dengan sendirinya karena kegagalan dalam pencitraan diri secara baik. Namun, pembubaran diri yang tak banyak mendapat perhatian publik ini serta-merta mendapat sambutan yang menggairahkan di kalangan Islam moderat.
Tiga kasus ini menunjukkan pendulum pemahaman Islam militan telah berayun ke arah yang berlawanan dengan mencitrakan diri sebagai organisasi yang antikekerasan dan cinta damai. Penegasan antikekerasan di ruang publik merupakan langkah yang relatif baru dalam komunikasi politik para pendukung Islam militan.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bergesernya pemahaman ini merupakan sinyal "tumbangnya" wacana Islam militan di Tanah Air. Wacana dan praksis Islam militan akan terus menghantui selama sumber-sumber daya ekonomi dan politik masih terkonsentrasi pada segelintir elite yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Senyum Amrozi yang nothing to lose, meskipun telah divonis mati oleh pengadilan adalah contoh telanjang betapa deprivasi ekonomi dan politik yang menjelma menjadi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan telah mengubah pria desa yang hanya berpendidikan setingkat SLTP ini bermetamorfosis menjadi muslim garis keras yang mencari keselamatan batin dan akhirat dalam ajaran Islam yang dogmatis, literal, intoleran, dan haus darah.
Amrozi telah terjengkang dari modernitas, karena ia tak terserap ke dalamnya. Krisis Indonesia yang tak kunjung henti adalah faktor lainnya yang ikut mendorong mereka yang tak bisa bertahan untuk mencari keselamatan dan ketenangan batin pada cara-cara yang tak jarang menjatuhkannya menjadi literal dan skripturalis.
Islam militan dalam pencitraan diri, baik yang tertangkap secara fisikal maupun substantif oleh media mainstream, dipenuhi oleh kekerasan dan sikap tak bersahabat, tidak saja kepada nonmuslim, tetapi juga kepada sesama muslim yang tidak sepaham dengannya. Militansi di sini dipahami sebagai sebuah sikap berlebihan dalam memperjuangkan aspirasi, sehingga tak jarang menimbulkan kekerasan dan melawan hukum. Dalam negara yang demokratis, semua aspirasi dan pemahaman mendapat tempat, termasuk yang paling radikal sekalipun. Tetapi perlu diingat, segala aspirasi hanya boleh diperjuangkan melalui jalan damai dan jalur hukum yang berlaku.
Laskar Jihad jelas terlibat dalam konflik Maluku karena telah mengirimkan tentara ke daerah yang sedang bertikai, sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam demokrasi karena melanggar hukum. Demikian juga dengan FPI. Sikap kerasnya terhadap hiburan malam Jakarta yang dianggap sebagai perbuatan maksiat telah menimbulkan kekerasan yang mendapatkan kritik, baik di dalam maupun luar negeri.
Adapun mengenai MMI, organisasi ini belum jelas benar keterlibatannya dalam aksi teror, meskipun aura MMI kental ke arah sana. Sejumlah alumni pondok pesantren ini terkait secara langsung atau tidak dengan aksi-aksi teror di Tanah Air. Vonis empat tahun penjara terhadap pemimpinnya, Abu Bakar Ba'asyir, adalah vonis yang dijatuhkan karena Ba'asyir terbukti melanggar peraturan keimigrasian dan "ikut serta" dalam makar terhadap pemerintahan yang sah.
Karena secara legal Ba'asyir terbukti bersih terkait dengan JI, sungguh suatu ironi bahwa citra negatif yang melekat dalam dirinya tak lebih dari dominannya kekuasaan, media, dan diskursus yang tak berpihak kepadanya. Banyak kalangan percaya bahwa Ba'asyir kini menjadi korban pertarungan antara the dominant dan the dominated. Karena Ba'asyir tidak memegang diskursus yang menjadi arus utama saat ini, ia terkalahkan dalam pencitraan diri. Bahkan sampai kadar tertentu, media pun tak berpihak kepadanya karena telah terjebak ke dalam diskursus yang diciptakan oleh kekuasaan.
Akhirnya, pertanyaannya adalah adakah "kesuksesan" wacana Islam moderat ini bisa ditransformasikan menjadi praksis, sehingga Islam tidak hanya menempuh dakwah bil lisan, tetapi juga menjalankan dakwah bil hal.Bom Kuningan adalah bukti terakhir betapa "kesuksesan" wacana Islam moderat telah ternihilkan seperti patung pasir yang terhempas ombak pantai tanpa bekas. Seperti kata pepatah Inggris, action is louder than words, maka aksi teror yang dilakukan kelompok Islam militan jauh lebih nyaring bunyinya dibandingkan kesuksesan kata-kata atau wacana Islam moderat.
Ternyata itu terbukti. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, kiranya tak berlebihan bila publik dunia jauh lebih mengenal ikon terorisme seperti Amrozi, Alghozi, dan Hambali daripada simbol intelektualitas dan kedamaian seperti Nurcholish Madjid, Syafi'i Maarif, dan Hasyim Muzadi.
Fakta ini menunjukkan kerja besar Islam moderat belumlah selesai sampai di sini. Setelah menguasai kesadaran umat secara dominan, kini Islam moderat ditantang untuk mengubah kesadaran itu menjadi perilaku nyata sehari-hari. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.