Koran Tempo, 30 May 2001
Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS
Dalam menggambarkan setiap tindak-tanduk dan kelemahan Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua MPR Amien Rais selalu menggunakan kata-kata yang bersifat "superlatif" Demikian pernyataan cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam presentasinya di Ohio University, Amerika Serikat, 13 April lalu. Ungkapan Cak Nur ini memiliki pengertian bahwa apa yang dilakukan secara "biasa-biasa saja" oleh Wahid, dalam tafsir Amien menjadi "luar biasa". Apa yang mungkin "remeh-temeh" dalam pemahaman Wahid memiliki bobot "keseriusan yang tinggi" bagi Amien. Contoh untuk menjelaskan penyebutan "superlatif" Cak Nur terhadap Amin adalah, bila kinerja pemerintahan Wahid "buruk", maka Amin akan menyebutnya "sangat buruk".
Perbedaan penafsiran adalah hal yang wajar dalam wacana hermeneutika (ilmu tafsir). Perbedaan penafsiran bisa disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya adalah latar belakang kehidupan si penafsir, lingkup pengetahuan yang dimiliki, garis politik yang dianut, dan lain-lainnya. Dalam wacana hermeneutika, setiap perbedaan selalu memiliki argumentasi dan penalaran yang kokoh untuk menopang setiap proposisi yang diajukan. Perbedaan selalu memiliki dasar dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Idealnya, sebuah perbedaan seharusnya didasarkan pada argumentasi akademis yang ditopang oleh alasan pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Tapi dalam politik praktis ini mungkin tak pernah terjadi, karena politik praktis memiliki logikanya sendiri.
Satu pertanyaan bisa diajukan dalam konteks perbedaan penafsiran Wahid-Amien, apakah perbedaan mereka melulu harus dipahami secara epistemologis (filsafat pengetahuan), atau sebaliknya, harus ditafsirkan di luar itu. Pertanyaan ini menjadi penting, karena setiap jawaban yang diberikan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Berpendapat bahwa perbedaan penafsiran Wahid-Amien adalah melulu persoalan epistemologis tidak saja naïf, tapi juga karena filsafat pengetahuan terlalu ideal untuk dipersandingkan dengan tindak politik nyata. Tetapi, berpendapat bahwa perbedaan tersebut adalah bukan persoalan epistemologis--melainkan persoalan politik per se--menyebabkan wacana ini menjadi terlalu praktis, sehingga kehilangan cita-cita luhur yang bisa menyebabkan terjadinya degradasi ideal pengetahuan.
Saya berpendapat, persoalan perbedaan Wahid-Amien haruslah dipahami dalam konteks yang lebih luas. Sembari mempertahankan ideal epistemologi, perbedaan Wahid-Amin haruslah dipahami sebagai tindak politik yang memiliki potensi merugikan publik. Ada beberapa alasan mengapa publik bisa dirugikan karena perbedaan penafsiran ini. Namun, yang paling menonjol adalah karena kedua tokoh ini menempati posisi tertinggi dua lembaga tinggi negara, mereka menjadi pusat perhatian pers. Pernyataan mereka mendapatkan liputan besar yang disiarkan secara luas, dan media massa memiliki kekuatan untuk membuat setiap pernyataan kedua tokoh ini seolah selalu "benar"--padahal tidak demikian kenyataannya, terutama bila dilihat secara epistemologis.
Bila analisis Cak Nur di atas akurat dan benar, maka kini sedang terjadi suatu "kekerasan epistemologis" (epistemological violence). Kebenaran pengetahuan disampaikan tidak secara semestinya dan apa adanya, karena maknanya telah dikeraskan, ditambah-tambah, dikurangi, atau dimanipulasi. Secara struktural diberikan kesempatan untuk pembinasaan pengetahuan yang dimulai oleh pribadi-pribadi yang berada pada pucuk pimpinan lembaga negara. Wahid, tentu saja, tidak melulu menjadi korban komunikasi politik yang dilancarkan oleh Amien dan Poros Tengahnya, misalnya (dalam istilah Cak Nur) dengan melebihkan dan mengeraskan makna melalui "superlatif").
Modus operandi komunikasi politik Amien dan Poros Tengah adalah bermain melalui media massa bebas. Di samping menjadi korban, Wahid pun adalah pelaku "kekerasan epistemologis" besar-besaran--atau gross violation untuk meminjam istilah HAM. Wahid seringkali melakukan pelintiran informasi yang dibantah oleh sumber berita. Bahkan karena seringnya Wahid melakukan "kekerasan" serupa, sebagian masyarakat mengecap Presiden kita ini sebagai pelaku "kebohongan publik", suatu penamaan yang tentu saja tak sedap di telinga.
Ada dua kemungkinan mengapa terjadi "kekerasan epistemologis". Pertama, karena pelaku percaya apa yang dilakukannya sesungguhnya benar berdasarkan pada standar-standar nalar yang ia punyai. Kekurangan potensi nalar yang baik termasuk di antara penyebab hal ini. Jadi, kekerasan pertama dilakukan tanpa sengaja. Kedua, "kekerasan epistemologis" disebabkan oleh kepentingan-kepentingan lain di luar ideal pengetahuan dan kebenaran itu sendiri. Faktor ekonomi dan politik sangat dominan dalam "kekerasan" jenis kedua ini. Dengan kata lain, "kekerasan" jenis ini dilakukan secara sengaja.
Apa yang terjadi dalam konteks perbedaan hermeneutika Wahid-Amien adalah "kekerasan epistemologis" jenis kedua, yang secara sengaja dilakukan. Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa kedua orang tersebut memiliki kapasitas intelektual yang memadai untuk bisa mencerna dan mengolah informasi. Bahkan oleh kemampuannya itu pula kedua orang ini berada di puncak dua lembaga negara yang sangat terhormat. Memang, masih ada keraguan mengenai kemampuan Presiden Wahid untuk mengolah informasi yang diterimanya menyusul berita mengenai "gangguan syaraf" dan fisik yang dideritanya, tetapi ini pun masih menjadi perdebatan yang perlu dibuktikan kebenarannya.
Menjadi jelas apa yang dirisaukan oleh para pecinta ilmu pengetahuan bahwa epistemologi yang sedang mengalami "musim semi" setelah "zaman kegelapan" Orde Baru tumbang, kini sedang dalam proses pembinasaan yang serius yang disokong secara struktural oleh para pelaku politik. Bila di zaman Orde Baru pembungkaman kebebasan berbicara digunakan sebagai medium pembinasaan epistemologi, kini di zaman serba terbuka dan bebas ini yang digunakan sebagai alat pembinasaan adalah kebebasan dan keterbukaan itu sendiri. Rupanya bergantinya rezim tak berarti apa-apa bagi epistemologi di negeri ini. Nasibnya tetap merana karena ia selalu ingin dibinasakan. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.