Berpolitik.com, Senin, 16 Juli 2001, @11:44 WIB
Buni Yani
Mahasiswa Pascasarjana International Studies, Ohio University, AS
Sesumbar cattenacio Presiden Abdurrahman Wahid beberapa waktu lalu rupanya kini sedang dipertontonkan di sebuah lapangan bola yang begitu luas dengan penonton 210 juta penduduk Indonesia. Tak cukup dengan bertahan dan menggerendel lawan politiknya, Wahid pun melakukan serangan balik dengan kekuatan yang masih tersisa.
Teknik menyerang dalam permainan bola bisa jadi sungguh indah untuk ditonton, tetapi itu tetaplah permainan yang mengharuskan pemain menjaga aturan yang disepakati. Ketika salah satu pemain memulai permainan kasar, itu artinya mengundang pemain lainnya untuk bertindak serupa. Logika permainan mestinya juga berlaku dalam tindak politik nyata, di mana etika politik menjadi rujukan yang telah selesai dan ditaati semua pelaku politik.
Tetapi Wahid kelihatannya telah kehilangan nalar dan humor permainan manakala kekuasaannya akan dijatuhkan oleh MPR pada Sidang Istimewa (SI) mendatang menyusul dua memorandum yang dijatuhkan kepadanya. Ia menempuh tindakan apa saja untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk menyerang lawan dengan merusak lapangan tempat bermain.
Secara konstitusional Presiden memang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Tetapi dalam logika politik yang normal, itu harus dilakukan berdasarkan efektivitas administrasi negara. Pemberhentian lima menteri baru-baru ini adalah bongkar pasang kabinet yang kesekian kalinya dalam pemerintahan Wahid yang belum berumur dua tahun. Alasan pemberhentian itu ada yang tak masuk akal publik meskipun secara aturan tata negara bisa dibenarkan. Misalnya, Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono yang diberhentikan karena alasan “rakyat yang tak menghendaki.” Pertanyaannya, rakyat yang mana?
Karena tak jelasnya pemberhentian itu, tersebar aroma politik di baliknya. Yudhoyono baru saja mengukir prestasi atas keberhasilannya mengamankan Jakarta saat berlangsungnya dua peristiwa besar, yaitu Sidang Paripurna DPR 30 Mei dan KTT G-15 30-31 Mei. Alih-alih mendapat penghargaan, Yudhoyono malah dipecat dari jabatan. Wewenang pemegang Maklumat Presiden yang disandangnya sejak 28 Mei pun harus dilepas.
Sebelumnya, pemberian Maklumat Presiden menimbulkan spekulasi yang semakin menurunkan popularitas Wahid. Wahid disebut-sebut secara sengaja membenturkan DPR dengan TNI sebagai kelanjutan gertakan sebelumnya. Tindakan Wahid membenturkan DPR dengan TNI tersebut secara tidak langsung menguntungkan TNI. Ada kesan Wahid ingin berlindung di balik kekuatan militer dalam menyelesaikan konfliknya dengan DPR.
Ini adalah tindakan kontraproduktif karena telah menarik TNI kembali ke tengah gelanggang politik setelah berusaha netral pasca-tumbangnya Orde Baru. Untungnya, militer tak terbujuk rayuan Wahid. Atau entah militer memiliki perhitungan politik lain.
Yudhoyono dianggap tak memenuhi harapan Wahid setelah wewenang Maklumat dilimpahkan kepadanya. Alih-alih bertindak keras terhadap para politisi anti-Wahid, Yudhoyono malah datang menemui Ketua DPR Akbar Tanjung dan Ketua MPR Amin Rais dan mengadakan konferensi pers bersama yang intinya memorandum dan SI adalah proses konstitusional. Merasa gagal memperalat Yudhoyono, Wahid pun “menendang” jenderal bintang tiga ini.
Tak cukup dengan itu, Wahid kembali berseteru dengan Kapolri Bimantoro. Wahid meminta Bimantoro untuk mengundurkan diri yang kemudian mendapatkan penolakan. Bimantoro berpegang pada undang-undang bahwa pemilihan dan pemberhentian Kapolri haruslah atas persetujuan DPR, sementara fraksi-fraksi di DPR termasuk ketuanya Akbar Tandjung hanya mengakui keabsahan Bimantoro.
Terlepas dari motif Bimantoro tidak mau mundur, satu hal sangat penting dalam aturan tata negara patut dijadikan pelajaran dari kejadian ini. Hukum positif dijadikannya rujukan untuk melawan Presiden. Ini adalah permulaan yang baik untuk menciptakan sebuah kondisi tertib hukum.
Tindakan Wahid melangkahi aturan tata negara juga terjadi pada penonaktifan Gubernur BI Sjahril Sabirin beberapa waktu lalu. Sjahril pun melawan keputusan Presiden itu dengan alasan yang kurang lebih sama seperti yang dilontarkan oleh Bimantoro. Anehnya, setelah masuk tahanan akibat dugaan korupsi di bank sentral itu, Sjahril Sabirin kembali menduduki jabatannya hingga saat ini.
Pemecatan mantan menteri Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi juga penuh diliputi misteri. Dituduh melakukan praktik KKN, bukti keras tuduhan terhadap kedua menteri tersebut hingga dengar pendapat dengan DPR beberapa waktu lalu tak juga dibeberkan Wahid. Dalam hal ini Wahid tak memenuhi azas transparansi. Ia berkilah masalah kedua menteri itu terlalu sensitif untuk dibeberkan kepada masyarakat. Tapi publik telanjur curiga, jangan-jangan Wahid tak memiliki bukti dan hanya berlindung di balik sensitivitas masalah tersebut.
Dengan semua ini, semakin terbukti tuduhan lawan-lawan politik Wahid bahwa sang Presiden menggerogoti sendiri segenap legitimasi yang disandangnya setelah terpilih pada Pemilu 1999. Gelar kampiun demokrasi yang disandangnya pun kini patut diragukan. Begitu banyak tindakan tak demokratis yang ditempuh Wahid untuk mempertahankan kekuasaannya. Yang paling mencolok, ada kesan Presiden sengaja membiarkan kerusuhan di Jawa Timur dan berdirinya Pasukan Berani Mati sebagai bargain politiknya. Sementara dalam administrasi negara, azas-azas transparansi tak dipenuhinya, begitu pula dengan azas taat hukum.
Ironisnya, Wahid merasa sedang memperbaiki negara meskipun ia sedang mengobrak-abriknya. Aturan tata negara dilanggar, institusi negara diporak-porandakan, administrasi negara dikacau-balaukan, sementara logika publik dijungkir-balikkan.
Bila Soeharto melakukan kesalahan besar karena potensi intelektualya tak diasah secara maksimal, maka bagi Wahid kesalahan besar serupa hampir tak bisa dipercaya karena ia menyandang begitu banyak gelar kecendekiaan. Mungkin satu harapan yang masih tersisa kepadanya: agar tidak semakin memperburuk negara yang telah diobrak-abriknya menjelang kejatuhannya yang sebentar lagi. ###
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Thanks for visiting my blog.